Tahun 1960-an, di Afrika Selatan yang masih hidup dalam sistem apartheid, seorang mahasiswi nemuin novel Nadine Gordimer yang udah dilarang pemerintah, nyempil di pojokan rak perpustakaan kampus. Isi bukunya nggak dimulai dengan demo atau adegan penjara. Justru, awalnya cuma percakapan ringan antara seorang perempuan kulit putih dan pekerja rumah tangganya yang kulit hitam. Tapi makin dibaca, makin kerasa ada yang kagak beres. Gak ada narasi rusuh atau ceramah politik, tapi rasa gak adilnya tuh… nyelekit. Perempuan ini akhirnya bilang: “Buku ini kagak nyuruh gua mikir apa. Tapi buku ini bikin gua denger dunia dengan cara yang beda.” Dan itu cukup buat ngerubah pandangannya soal hidup dan kekuasaan. Inilah contoh klasik gimana sastra bisa jadi bom waktu yang saksama tapi mematikan.
Dalam kehidupan berbangsa, budaya itu bukan pelengkap atau pajangan estetik semata. Ia merupakan “jantung” yang memompa makna, kesadaran, dan refleksi ke dalam nadi kehidupan masyarakat. Dan dari sekian banyak aspek budaya, tiga yang paling sering jadi game-changer, yakni seni, sastra, dan diskusi publik. Ketiganya punya peran yang amat penting dalam menjaga kewarasan bersama, bahkan ketika dunia terasa makin absurd.
Coba bayangin seni—entah itu lukisan, musik, film, teater, atau tari—sebagai kaca besar yang memantulkan siapa kita sebenarnya. Lewat seni, nilai-nilai hidup, perjuangan masa lalu, bahkan harapan masa depan bisa dirayakan atau dikritisi. Tapi seni gak cuma jadi cermin doang. Kadang ia juga jadi peluru kritik sosial yang tajam, tapi nggak frontal. Contohnya, sebuah mural di tembok kota atau lagu protes bisa jauh lebih nendang daripada pidato politisi. Seni, dalam bentuknya yang paling jujur, bisa menggugah, mempersatukan, dan menginspirasi orang agar bertindak.
Menurut The Politics of Aesthetics karya Jacques Rancière (2013, Bloomsbury Academic, yang diterjemahkan dan diperkenalkan oleh Gabriel Rockhill, dengan epilog dari Slavoj Žižek), seni itu nggak pernah netral—sama sekali bukan cuma urusan "indah-indahan" atau "buat hiburan doang". Dalam pandangan Rancière, setiap karya seni itu ikut main dalam apa yang disebutnya sebagai distribusi yang bisa dirasa (distribution of the sensible)—alias gimana masyarakat ngatur siapa yang boleh kelihatan, siapa yang boleh ngomong, dan suara siapa yang dianggap sah buat didengar.
Nah, distribusi ini bukan soal estetika doang, tapi bermuatan politis banget. Kenapa? Karena ia menentukan siapa yang dianggap “ada” dan penting di ruang publik—dan siapa yang tetap dilihatin kayak transparan. Karya seni, entah itu film, musik, mural, novel, sampai pertunjukan jalanan, bisa memperkuat sistem yang ada, atau sebaliknya: ngerusak urutan kelas sosial dan ngebuka ruang buat suara-suara yang biasa dibungkam.
Menurut Rancière, seni dan politik itu nggak bisa dipisahin kayak dua dunia beda. Justru, senilah arena dimana politik dimainkan secara lembut tapi dalam banget. Misalnya, saat sebuah lagu indie ngangkat suara minoritas, atau saat teater rakyat tampil di luar kota besar, itu bukan cuma “aksi budaya”—tapi sebuah aksi politik yang bikin kita mikir ulang siapa yang boleh ngomong, siapa yang boleh didengerin, dan siapa yang selama ini disuruh diam.
Dengan kata lain, seni itu bukan sekadar ngasih opini, tapi ngeacak ulang peta makna dalam masyarakat. Bukan karena pesannya keras, tapi karena caranya ngacak-acak cara kita ngeliat, denger, dan mikir tentang dunia. Itu sebabnya, menurut Rancière, kekuatan seni bukan di isi kontennya doang, tapi di kemampuannya buat ngacak tatanan yang udah dianggap normal.
Seni itu, dalam kerangka ini, bukan panggung hiburan—tapi medan perang makna, tempat dimana ide, identitas, dan ruang publik direbut dan ditafsir ulang. Gak ada pestol atau senapan, tapi ada travesti, ada kepekaan, dan ada pertanyaan yang nyeleneh tapi ngena. Disanalah seni bisa jadi alat perlawanan dan tempat ngebayangin dunia alternatif.
Dalam konteks kebangsaan dan ekspresi budaya, kata “seniman” itu jauh lebih luas dari sekadar orang yang melukis pakai cat minyak atau penyair galau yang nulis puisi di atas secarik kertas lusuh. Seniman, dalam makna civic alias kewarganegaraan budaya, ialah siapa saja yang pakai kreativitas—entah lewat gambar, kata, gerakan, suara, atau ide liar—buat mikir ulang dan ngacain masyarakat tempatnya hidup.
Iya, pelukis dan pematung masuk. Juga penulis naskah drama, novelis, penari, pembuat film, ilustrator, musisi, aktor teater, seniman mural dan graffiti, pemain spoken word yakni pembaca puisi atau prosa atau seni verbal lainnya, content creator digital, dalang dan sinden, desainer kostum, sampai pembuat meme yang nyeleneh tapi tajam. Yang ngamen di pinggir jalan, penulis zine bawah tanah, tukang bikin spanduk demo, sampai developer game indie yang nyindir sistem—mereka semua bisa disebut seniman kalau karya mereka bikin kita mikir, ngaca, atau ngeliyat dunia dari sisi yang beda.
Jadi, seniman itu bukan cuma buat hiburan. Mereka itu kayak decoder realitas. Mereka ngebantu kita buat ngelihat hal-hal yang selama ini luput, ngerasain yang udah mati rasa, dan nanyain ulang hal-hal yang selama ini dianggep biasa aja. Mereka gak nyari tepuk tangan doang, tapi juga bikin orang mikir. Dan lewat itu semua, mereka berperan dalam hidup bernegara—bukan dari balik punggung kekuasaan, tapi dari balik panggung pentas, dari pojok internet, dari retakan trotoar—ngingetin kita bahwa kebenaran kadang justru terlahir dari imajinasi, bukan cuma dari otorisasi atau yurisdiksi.
Dalam How to Be an Artist (2020, Riverhead Books), Jerry Saltz menegaskan bahwa jadi seniman di masa krisis itu bukan cuma soal bikin lukisan atau patung keren—itu tindakan politik dan spiritual yang penting banget. Menurut Saltz, bikin karya seni itu kayak bilang, “Hallo, gue masih ada, gue manusia, dan gue peduli,” di tengah dunia yang makin absurd, dingin, dan penuh sistem yang bikin kita kehilangan arah. Saltz nggak ngomongin seni yang harus t'riak-t'riak soal politik secara langsung. Tapi justru, dengan loe bikin sesuatu yang jujur, personal, dan dari hati, itu udah jadi bentuk perlawanan. Loe ngelawan dunia yang serba instan, algoritma media sosial, dan standar hidup “sukses” ala kapitalisme yang bikin orang capek mental. Berkarya itu jadi cara loe buat tetap waras, tetap jadi diri sendiri, dan tetap peduli, meski dunia kayaknya lagi jungkir balik.
Saltz juga ngeliat seni sebagai semacam perjalanan spiritual. Di dunia yang serba kacau ini, proses bikin karya bisa jadi semacam meditasi: loe nyelam ke dalam diri sendiri, loe berdamai sama luka, dan loe temuin makna di balik kekacauan. Buat Saltz, jadi seniman itu bukan gaya-gayaan—itu kayak loe jadi penjaga harapan, yang bisa bantu orang lain ngerasa gak sendirian. Jadi intinya, bikin seni itu bukan cuma penting—tapi esensial.
Dalam sebuah negara yang gak cuma pengin terlihat hidup tapi bener-bener hidup, ada satu kelompok pelaku budaya yang sering diremehkan padahal perannya penting banget: para komedian. Sekilas, mereka mungkin kelihatan cuma bikin orang ketawa. Tapi kalau kita lihat lebih dalam, komedi itu salah satu alat paling lempeng dan paling demokratis yang dimiliki rakyat.
Komedian itu semacam penambul istana modern—bukan karena mereka bodoh, tapi justru karena mereka pintar menyembunyikan kebenaran di balik tawa. Mereka bisa ngomong hal-hal yang orang lain takut ucapin. Mereka nyindir penguasa, ngeledek kemunafikan, dan membongkar absurditas sistem, semua tanpa harus marah-marah. Kadang, satu punchline bisa lebih ampuh dari satu spanduk demo. Tawa bisa nembus tameng kekuasaan dan bikin orang mikir: “Iya juga yaa…”
Tapi bukan cuma itu. Komedi juga jadi semacam penyembuh kolektif. Di tengah krisis, bencana, atau hidup yang makin absurd, tawa itu bisa jadi pelampiasan yang sehat. Komedian muncul di ruang itu, ngajak orang ketawa bareng, bukan karena hidup gampang, tapi karena kita butuh rehat sejenak dari beban hidup. Mereka mengubah rasa sakit jadi bahan tawa—bukan buat ngeledek penderitaan, tapi supaya penderitaan itu bisa kita tanggung bareng-bareng.
Lebih dari itu, komedi juga jadi indikator kebebasan. Negara yang bener-bener bebas itu bisa dilihat dari sejauh mana komedian bebas nge-jokes. Bisa ngeledek pejabat atau godain sistem tanpa takut dibui atau disensor. Kalau semua jokes harus disaring dulu sebelum naik panggung, bisa jadi ada yang nggak beres di atas sana.
Dalam The Joke and Its Relation to the Unconscious (1905, Franz Deuticke), Sigmund Freud menjelaskan bahwa jokes itu bukan cuma buat lucu-lucuan doang—tapi bisa jadi cara cerdik dari alam bawah sadar kita buat ngomongin hal-hal yang enggak berani atau enggak boleh diomongin secara langsung. Mirip kayak mimpi, keceplosan ngomong, atau bahkan gangguan psikologis ringan, lelucon merupakan jalur alternatif buat isi kepala (dan hati) kita yang terpendam supaya bisa keluar ke permukaan—tapi tetap aman dari "polisi norma sosial".
Freud bilang, lewat jokes, orang bisa "curi start" dari sensor internal dan tekanan sosial yang biasanya bikin kita mikir dua kali sebelum ngomong. Kalo loe pengen nyindir bos, ngomentarin politik, atau nyeletuk soal seksualitas misalnya, loe bisa selipin 'tu semua dalam bentuk lelucon. Akhirnya, bukan cuma yang bikin lelucon yang lega, tapi juga yang dengerin—karena mereka ngerasa, “Wah, iya juga ya!” sambil ketawa. Padahal di dalam hati, mereka juga mungkin ngerasain atau mikirin hal yang sama, cuma takut ngomongin.
Nah, di dunia sosial dan politik, teori Freud ini makin menarik. Dalam situasi yang penuh tekanan atau otoriter, komedi bisa jadi senjata bawah tanah. Kayak stand-up comedy yang nyindir pemerintah atau meme politik di media sosial—itu semua bisa dibaca sebagai bentuk "perlawanan terselubung." Soalnya, kalau disampaikan secara serius, bisa-bisa dibungkam atau disensor. Tapi kalau lewat tawa? Orang jadi bisa ngomong banyak tanpa kelihatan "nyerang".
Intinya, menurut Freud, lelucon bukan hal receh. Justru di situlah letak kekuatannya. Lelucon bisa menyampaikan kebenaran tersembunyi yang susah diungkap, dan bikin kita nyadar: kadang, yang paling jujur justru keluar lewat tawa. Jadi lain kali loe denger jokes yang “ngena banget,” mungkin itu bukan cuma lucu—tapi juga terapi, curhat, dan kritik sosial yang nyamar.