Di tengah gegap gempita dunia Instagram—tempat pemimpin dunia bisa berpapasan ama selebgram, akun meme, dan kucing pakai topi ulang tahun—Wakil Presiden Indonesia "Mas Wapres" tampaknya sedang menjalani peran baru: kurator medsos paling niat se-jagat nusantara. Seolah-olah, kalau nggak lagi rapat kabinet, Mas Wapres ini sedang asyik mantengin story bukan buat update kebijakan, tapi buat cek siapa yang menang giveaway atau nge-like reels receh. Ada beberapa kejadian dimana akun Instagram Mas Wapres terlihat mengikuti akun-akun yang berhubungan dengan perjudian online, antara lain: @bang_jabrik.game, @raffjokiin_, @solutip8. Kalau dicek list following-nya, isinya campur aduk kayak soto pinggir jalan—mulai dari pejabat setara menteri sampai akun yang (tadinya sih) kayaknya cuma jual prediksi skor bola, eh tahu-tahu berubah jadi tempat taruhan online berkedok konten. Katanya, sih, pas di-follow belum jadi akun judi. Terus, tiba-tiba akunnya “berubah nama dan konten”. Lah, kok bisa? Mirip banget sama mantan yang dulu alim, sekarang jualan chip slot.
Ada juga akun-akun satir yang isinya kayak roasting halus — dari “Kementerian Kegelapan” sampai postingan parody yang lebih pedas dari sambel level 5. Apa ini berarti Mas Wapres relate ama kultur anak meme? Atau jempolnya cuma lagi usil dan salah pencet?
Yang lebih seru lagi, kadang Mas Wapres tiba-tiba follow netizen biasa yang komen iseng. Kebayang nggak, lagi scroll iseng, eh ternyata akun di follow difollow Wakil Presiden. Gila, kayak naik level jadi citizen plus-plus. Langsung screenshot, upload, dan viral, tentu saja.
Akun Instagram beliau ibarat warung Indomie 24 jam: bisa nemu apa aja, kadang nggak penting, tapi tetap bikin mampir. Di era digital ini, feed Instagram bisa lebih tajam dari orasi di podium—dan ternyata, lebih cepat juga bikin orang heboh.
Dalam drama besar politik zaman now, akun medsos seorang Wakil Presiden bukan lagi cuma pelengkap biodata—tapi udah jadi semacam panggung digital, catwalk tempat wibawa dan kerakyatan adu gaya tiap hari. Kalau dulu urusan kenegaraan itu eksklusif buat ruang sidang dan jumpa pers, sekarang malah merambah ke dunia filter, emoji, dan follow-followan absurd yang bikin netizen mengernyit.
Idealnya sih, Instagram seorang Wapres tampak seperti galeri kenegaraan: foto resmi, pidato penting, dan sedikit diplomasi kelas dunia. Tapi realitanya? Kadang malah berasa akun anak SMA yang baru nemu explore page. Isi following-nya? Dari akun prediksi skor bola yang tiba-tiba berubah jadi kasino digital, sampai page parodi yang roasting pemerintah pakai meme receh.
Tentu, kita nggak berharap Mas Wapres ngecek satu-satu akun yang difollownya —doski kan sibuk urus negara, bukan curating feed. Tapi justru itu bikin penasaran: siapa yang pegang HP-nya? Staf muda yang bercita-cita jadi admin akun fanbase? Pegawai senior yang lagi usaha keliatan gaul? Atau jempol iseng yang nyasar pas scroll sambil ngantuk?
Wapres kita tuh sibuk banget loh… sibuk kunjungan, kunjungan, dan kunjungan lagi. Tapi pas negara lagi darurat, yang kelihatan pontang-panting cuman Pak Presiden. Terus Mas Wapres ngilang ke mana? Cuman muncul buat foto-foto di acara, terus hop—hilang lagi. Oke sih, katanya semua buat negara, tapi kok lebih mirip ‘tour promosi’ buat 2029 ya? Bener-bener ‘silent mode activated’ pas lagi butuh kehadiran nyata.
Pertanyaannya, akun medsos pejabat itu harusnya ngikutin siapa, sih? Haruskah hanya lembaga resmi dan kolega diplomatik? Atau boleh sesekali follow akun parodi, satir, bahkan page yang isinya cuma tebak-tebakan garing? Apa tujuannya: memimpin atau jadi trending?
Di zaman ketika satu "follow" bisa bikin geger satu negeri, batas antara diplomasi digital dan drama digital makin tipis. Mungkin udah saatnya buku panduan medsos pejabat direvisi. Tapi sebelum itu terjadi, kita tetep pantau timeline Mas Wapres kayak lagi nunggu episode baru sinetron politik.
Indonesia, negeri yang kaya raya sumber daya alam dan ekonomi yang makin ngebut, ternyata juga punya sisi gelap yang jarang dibahas: peredaran duit haram alias uang kotor. Menurut "Manusia Merdeka", duit ini datang dari judi online, narkoba, korupsi, penyelundupan, sampai tambang ilegal—semuanya nyusup diam-diam ke ekonomi nasional. Artikel ini bermaksud menyajikan informasi singkat gimana aliran uang haram ini jalan, berubah bentuk, dan nyaru jadi duit sah lewat skema pencucian uang yang canggih, bikin kejahatan, trus, beranak-pinak.
Menurut sang “Manusia Merdeka”, duit bersih alias “White Money” sebanyak kira-kira Rp 5.000 sampai Rp 7.000 triliun kabarnya diselundupkan dan dijadikan modal buat ngebikin “Black Money”. Ya, karena nggak ada yang lebih ironis daripada nyuci uang halal biar bisa makin lancar main haramnya.
Terdapat beberapa sektor yang udah jadi “ATM” duit kotor. Judi online misalnya, sekarang makin gampang karena internet—bisa nyambung ke luar negeri dengan cepat. Narkoba masih jadi bisnis “gelap tapi laris manis”, sementara korupsi di kalangan pejabat tetap rutin masuk berita. Barang selundupan dan tambang ilegal juga gak ketinggalan nyumbang duit gelap yang masuk tanpa izin dan ngerusak sistem ekonomi.
Bayangin, judi online itu bisa hasilin miliaran rupiah per hari. Narkoba? Jangan ditanya—mulai dari sabu sampai ekstasi, semua punya jaringan lintas negara. Korupsi? Dikit-dikit anggaran "dikreatifkan". Tambang ilegal? Banyak yang nyedot emas, batu bara, nikel, tapi gak bayar pajak dan ninggalin kerusakan alam yang parah.
Judi online menjadi salah satu sumber utama aliran uang haram di Indonesia. PPATK mencatat bahwa perputaran dana dari aktivitas ini mencapai Rp 1.200 triliun pada tahun 2025, meningkat dari Rp 981 triliun pada 2024 . Sebagian besar dana tersebut mengalir ke luar negeri, terutama ke negara-negara Asia Tenggara seperti Thailand, Kamboja, dan Filipina . Selain itu, sekitar Rp 30 triliun dana judi online ditransfer ke luar negeri melalui aset kripto pada 2024 .
Korupsi tetap menjadi masalah serius di Indonesia. Pada tahun 2024, PPATK melaporkan bahwa nilai transaksi terkait tindak pidana korupsi mencapai Rp 984 triliun, menjadikannya tindak pidana terbesar dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Dana hasil korupsi ini sering disamarkan melalui berbagai cara, termasuk investasi properti dan bisnis fiktif.
Perdagangan narkoba juga menyumbang signifikan terhadap aliran uang haram di Indonesia. Meskipun data spesifik untuk tahun 2025 belum tersedia, sebelumnya PPATK mencatat bahwa aliran dana dari perdagangan narkoba mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya. Dana ini sering digunakan untuk mendanai aktivitas ilegal lainnya dan disamarkan melalui berbagai metode pencucian uang.
Penyelundupan barang, termasuk barang mewah dan komoditas ilegal, menyebabkan kerugian besar bagi negara. PPATK dan Bea Cukai telah mengidentifikasi berbagai modus operandi penyelundupan, termasuk penggunaan dokumen palsu dan jalur distribusi ilegal. Aliran dana dari aktivitas ini sering kali disamarkan melalui transaksi keuangan yang kompleks.
Tambang ilegal, terutama di sektor batu bara dan emas, menjadi sumber aliran uang haram yang signifikan. Kegiatan ini tidak hanya merugikan negara dari segi pendapatan, tetapi juga merusak lingkungan. Dana dari tambang ilegal sering digunakan untuk mendanai aktivitas ilegal lainnya dan disamarkan melalui berbagai metode pencucian uang.
Sampai kuartal pertama 2025 aja, perputaran uang dari judi online udah tembus Rp 47 triliun! Ini padahal udah turun dari tahun lalu, yang sempat Rp 90 triliun di periode yang sama. Turunnya karena pemerintah lagi rajin ngeblokir situs judi—katanya sih udah 1,3 juta situs dibabat habis. Tapi jangan seneng dulu. PPATK kasih peringatan, kalau negara lengah sedikit aja, potensi perputaran dana dari judi online bisa tembus Rp 1.100 triliun sampai akhir 2025. Soalnya sekarang banyak banget modus baru, termasuk pake aplikasi fintech dan e-wallet buat nyaruin transaksi. Uang haram tapi jalannya lewat jalur legal. Gila sih.
Kalau soal korupsi mah nggak usah heran. Sejak dulu korupsi itu udah kayak ‘final boss’ dari semua masalah di negeri ini. Tahun 2024 aja, transaksi mencurigakan dari korupsi tembus Rp 984 triliun. Duit sebanyak itu sering banget disamarkan lewat beli properti, bikin perusahaan palsu, atau disebar lewat jaringan kroni.
Singkatnya, uang hasil korupsi itu pinter banget ngilangnya. Tapi jejaknya selalu ada. Tinggal mau diikutin atau nggak.
Meski belum ada angka resmi tahun 2025, PPATK udah lama nyebut kalau duit dari bisnis narkoba itu gede banget—triliunan tiap tahun. Uang dari narkoba ini sering dipakai buat ‘ngumpet’ dalam bisnis lain, bahkan buat sok-sokan nyalon di politik atau biayai aktivitas ilegal lain. Dunia bawah tanah di Indonesia nggak lepas dari yang satu ini.
Nggak cuma narkoba dan judi, bisnis gelap lain kayak penyelundupan juga tetap laris manis. Mulai dari barang branded KW, elektronik, sampai barang tambang, semua ada pasarnya. Modusnya? Pakai dokumen palsu, manipulasi bea cukai, atau kirim barang via jalur tikus. Negara jelas rugi—tapi para pemainnya untung besar.
Dan uang hasil selundupan ini? Disulap juga jadi “resmi” lewat transaksi keuangan yang berlapis dan ribet. Udah kayak lakon film “Catch Me If You Can”.
Awalnya sih keliatan rapi. Duit haram itu nongol lewat investasi keren, properti mewah, sampai donasi buat kegiatan amal. Tapi kalau kita bongkar lapisannya, ternyata isinya duit sogokan pejabat, hasil dagang narkoba, tambang liar yang ngacak-acak hutan, dan jaringan gelap yang lebih rapih dari laundry kiloan.
Triknya dimulai dari placement—alias “masukin duit kotor” ke sistem keuangan. Biasanya lewat bisnis yang penuh transaksi tunai: klub malam, karaoke, atau top-up e-wallet. Lanjut ke tahap layering, di mana duitnya diputer-puter: lewat rekening luar negeri, beli kripto, bahkan beli lukisan mahal cuma buat nyamarin sumbernya. Terakhir, tahap integration—duit haram tadi balik ke ekonomi legal lewat beli apartemen, mobil sport, atau saham perusahaan bonafide.
Contohnya nyata banget. Seorang bule Inggris ketangkep di Bali karena nyelundupin narkoba—duitnya dilacak ternyata dipake buat beli vila dan transfer internasional. Di Batam, jaringan judi online dari China diciduk karena nyuci duit miliaran lewat perusahaan palsu dan kripto, muter-muter sampai ke Singapura.
Dan ini bukan kasus receh—banyak yang nyambung ke elite. Ada dugaan dana dari tambang ilegal dipake buat danai kampanye politik. Bahkan, organisasi amal palsu pun kadang jadi “mesin cuci” buat duit kotor.
Walaupun pemerintah lewat PPATK udah pasang badan dan ngetatkan aturan, musuhnya makin canggih. Mereka jago main teknologi, ngerti celah hukum, dan kadang dilindungi orang dalam. Meski udah kerja bareng lembaga luar negeri, faktanya, korupsi dan sistem yang belum steril bikin perang ini belum imbang.
Tapi yang dipertaruhkan bukan cuma pajak atau pemasukan negara. Ini soal keadilan, soal kepercayaan rakyat, dan soal masa depan. Kalau duit kotor bisa bebas jalan dan nyaru jadi duit sah, lama-lama negara ini bisa dikendalikan sama para penjahat berdasi.
Ngelawan pencucian uang bukan cuma urusan hukum, tapi soal keberanian dan kesadaran. Kita butuh sistem yang transparan, penegakan hukum yang tegas, dan rakyat yang gak gampang dibeli. Kalau enggak, kita cuma jadi penonton dalam negeri sendiri yang pelan-pelan dikendalikan duit haram. Dan untuk sementara, kita hanya bisa melantunkan "Mangu", tembangnya Fourtwnty,