[Bagian 5]Perang dan kemiskinan itu kayak temen toxic yang saling nyeret ke jurang. Begitu perang meletus, kemiskinan langsung nyusul kayak api kena bensin. Sekolah dan rumah sakit rontok—anak-anak gak bisa belajar, orang sakit gak bisa diobatin. Warga terusir, kehilangan rumah, KTP, dan kerjaan. Harga makanan naik, uang gak ada artinya, pasar kayak kuburan.Siklusnya gak berhenti di situ. Kemiskinan juga bisa jadi pemicu perang. Di tempat-tempat yang udah laper dan nganggur parah, orang jadi gampang marah, gampang dibakar ide radikal. Bukan karena mereka benci, tapi karena butuh makan. Politikus culas bisa manfaatin ini—bikin orang miskin jadi pasukan, ngasih senjata ke yang putus asa, terus bungkus semuanya dengan slogan taklid nasionalisme buta atau revolusi batil.Sejarah udah ngomong dari Sierra Leone sampai Suriah: kalau gak ada roti, yang datang selanjutnya darah. Damai itu gak cukup cuma tandatangan di meja—harus ada martabat, kestabilan, dan janji bahwa hidup setelah perang itu masih layak diperjuangkan.
Konflik Iran–Israel sering dibungkus pake narasi agama, ideologi, atau soal senjata nuklir. Tapi di balik semua itu, ada luka ekonomi dan bayang-bayang kemiskinan yang gak pernah sembuh. Di Timur Tengah, generasi demi generasi tumbuh di bawah sanksi, blokade, pendudukan militer, dan bom-bom udara. Hidup jadi mandek, masa depan kaya dilucuti pelan-pelan.Ceritanya tuh gini—Israel tiba-tiba ngegas tanggal 13 Juni 2025 lewat Operasi Singa Terbit, nyerang fasilitas nuklir dan militer Iran di Natanz sama Isfahan. Nggak cuma target militer yang kena, tapi juga warga sipil dan pejabat penting. Iran langsung murka.Alasan Israel? Katanya Iran udah main-main sama uranium, nyaris sampe level buat bikin senjata nuklir. Tapi Iran bilang, “Eh salah, bro! Ini buat listrik doang kok, serius.”Terus Iran bales lewat True Promise III, ngehujani Tel Aviv, Haifa, sama Yerusalem pake rudal dan drone. Chaos banget. Infrastruktur penting rusak, korban jiwa jatuh.Tapi konflik ini bukan baru kemarin sore, sih. Udah lama banget mereka panas-panasan. Iran deket ama gengnya—Hizbullah dan Hamas—sementara Israel suka ngintip operasi Iran di Timur Tengah.Iran udah puluhan tahun dicekik sanksi ekonomi global. Katanya buat nahan program nuklir, tapi efek nyatanya bikin harga-harga naik, orang nganggur, obat dan makanan langka. Dan yang paling kena, ya, rakyat kecil. Dalam kondisi sesak kayak gitu, pemerintah Iran jualan narasi nasionalisme dan “perlawanan” buat tetap kuat di dalam negeri.Israel di sisi lain juga jor-joran duit buat pertahanan. Secara teknologi dan ekonomi, mereka lebih maju. Tapi itu juga bikin negaranya hidup terus-terusan dalam tekanan. Di balik tembok keamanan tinggi, masih ada jurang kemiskinan—terutama antara warga Yahudi dan Arab, kota dan pinggiran.Akhirnya, konflik Iran–Israel bukan cuma soal politik tinggi. Ini tragedi manusia—diwarnai kemiskinan, harga diri, dan ketakutan yang mahal banget ongkosnya.Sekarang dunia lagi panik, takut drama ini makin melebar. Banyak yang bilang, “Eh tolong, damai kek—jangan bikin makin ribet dunia!”Drama Iran vs Israel ini bukan cuma ribut-ribut tetangga sebelah, tapi udah kayak sinetron prime time yang bikin dunia ikut deg-degan. Setelah Israel nge-bomb fasilitas nuklir Iran, Iran langsung ancam nutup Selat Hormuz—jalur sempit tapi vital buat nganterin hampir 20% minyak dunia. Baru ancaman doang, harga minyak udah naik lebih dari $10 per barel. Dompet rakyat? Auto megap-megap.Efeknya? Bensin makin mahal, ongkos kirim naik, harga mie instan pun bisa ikutan nyusul. Negara-negara yang doyan impor energi—kayak Indonesia, India, sampai negara-negara Eropa—lagi pusing tujuh keliling. Inflasi yang udah nyesek, sekarang makin jadi.Jalur dagang juga ikut kena getahnya. Kapal-kapal yang lewat Laut Merah dan Selat Hormuz sekarang harus bayar asuransi lebih mahal dan siap-siap telat nyampe. Eksportir Asia udah mulai ngeluh: “Barang belum nyampe, ongkos udah bengkak.”Di panggung diplomasi, negara-negara besar lagi saling lirik. AS dan Uni Eropa ditekan buat ambil sikap, sementara China—yang langganan beli minyak Iran—bilang, “Eh, jangan ribut dulu, minyak gue lewat situ!”Pasar saham? Langsung galau. IHSG di Indonesia turun, investor pada tarik napas panjang. Yang senyum cuma perusahaan energi, sisanya lagi cari pelampung.Intinya, ini bukan sekadar konflik dua negara. Ini kayak efek domino global yang bisa ngacak-ngacak peta energi, perdagangan, dan politik dunia. Dan kayaknya, episode berikutnya masih paanjaang.Mari kita omongin skenario terburuk dan bagaimana negara-negara Asia dapat nemuin jalan keluar dari badai geopolitik ini.Kalau skenarionya bener-bener ambyar, konflik Iran–Israel bisa meledak jadi perang regional gede-gedean, kayak crossover film Marvel tapi versi Timur Tengah. Kalau Iran beneran nutup Selat Hormuz, dunia bakal kelabakan. Bayangin aja, 20% minyak dunia nggak bisa lewat. Harga minyak bisa tembus $150 per barel—ekonomi global langsung masuk mode panik.Asia bakalan jadi salah satu korban paling parah. Negara kayak China, India, Jepang, dan Korea Selatan yang doyan banget minyak dari Timur Tengah bakal megap-megap. Pabrik bisa berhenti produksi, harga bensin dan makanan naik gila-gilaan, dan rakyat bisa ngamuk kalau dapur nggak ngebul.Tapi Asia nggak bakal tinggal diam. Mereka bisa buka cadangan minyak darurat dulu buat tahan guncangan awal. Trus, mereka bakal ngebut cari energi alternatif—dari tenaga surya, nuklir, sampai impor dari Rusia, Asia Tengah, atau bahkan Afrika. Pokoknya, siapa yang punya minyak, langsung jadi sahabat.Di jalur diplomasi, China dan India bisa jadi mak comblang, coba damaiin dua kubu yang lagi panas. Negara-negara ASEAN juga bisa kompak bilang, “Eh, stop dulu dong, kita butuh stabilitas buat dagang dan makan.”Kalau dilihat dari sisi terang, krisis ini bisa jadi tamparan keras buat Asia supaya nggak terus-terusan tergantung ama minyak dan drama geopolitik Timur Tengah. Mungkin ini saatnya buat bangun masa depan energi yang lebih mandiri dan tahan banting. Mari kita telusuri bagaimana krisis ini dapat mengubah kebijakan energi Indonesia dan berpotensi memicu lahirnya aliansi energi baru di Asia.
Gara-gara konflik Iran–Israel, Indonesia kayak baru bangun dari mimpi panjang soal energi. Selama ini kita terlalu nyaman impor minyak, tapi sekarang, pas harga minyak naik dan jalur distribusi makin ribet, pemerintah langsung panik mode on. APBN udah ngos-ngosan, jadi strategi energi harus dirombak total.Langkah pertama? Gaspol produksi minyak dalam negeri—target lifting udah tembus 610 ribu barel per hari. Trus, program biodiesel B50 juga digeber, biar nggak terus-terusan ngemis solar dari luar. Di daerah-daerah yang biasanya ngandelin genset diesel, sekarang mulai dilirikin pembangkit panas bumi. Go green, tapi tetep lokal.Tapi yang lebih seru, krisis ini bikin negara-negara Asia mulai mikir, “Eh, kenapa nggak kita barengan aja?” Muncullah wacana bikin Aliansi Energi Asia—semacam geng energi yang bisa bareng-bareng nyimpen cadangan minyak, beli energi rame-rame, dan bangun infrastruktur energi terbarukan lintas negara. China, India, Indonesia, sama Korea Selatan udah mulai ngobrol-ngobrol santai soal ini. Mereka sadar, zaman sekarang, energi itu bukan cuma soal punya, tapi soal bisa bertahan bareng.Buat Indonesia, ini bisa jadi momen emas. Bukan cuma buat lepas dari ketergantungan impor, tapi juga buat jadi pemain penting di peta energi Asia yang lebih solid dan berkelanjutan.Perang bikin anggaran negara habis, dan kemiskinan jadi warisan. Miliaran dolar melayang buat beli roket dan drone, padahal bisa aja dipakai buat bangun sekolah atau rumah sakit. Tiap rudal yang dilepas, itu bukan cuma serangan militer—itu keputusan ekonomi juga: lebih pilih nyakitin daripada nyembuhin.
Dalam The Bottom Billion: Why the Poorest Countries are Failing and What Can Be Done About It (2007, Oxford University Press), Paul Collier ngasih tamparan keras ke dunia: ternyata, yang miskin itu bukan cuma soal belum maju, tapi soal terjebak. Ada sekitar 60 negara, rumah bagi hampir satu miliar orang, yang bukan cuma ketinggalan—tapi kaya kejebak di lumpur kemiskinan dan kekacauan. Negara-negara ini, kata Collier, kena kutukan siklus jahat: perang, korupsi, ekonomi hancur, lalu balik lagi ke perang.Yang paling ngeri? Perang sipil. Menurut Collier, perang di negara-negara miskin ini bukan cuma sesaat—tapi panjang, berulang, dan ngancurin segalanya. Infrastruktur hancur, rakyat ngungsi, uang negara habis buat beli senjata. Dan kalaupun sempat damai sebentar, biasanya dalam lima tahun perang balik lagi. Ya gimana mau maju, baru napas udah dicekik lagi.Tapi Collier bukan tipe akademisi yang cuma nyindir. Doski nawarin solusi: bukan belas kasihan, tapi intervensi cerdas. Bukan cuma kasih duit bantuan, tapi bantu jaga perdamaian, lawan korupsi, bikin aturan ekonomi yang bikin negara-negara ini pengen damai, bukan perang.Lantas? Menurut Collier, kemiskinan dan perang itu kembaran jahat. Loe gak bisa ngatasi satu kalau gak sentuh yang lain. Kalau cuma kasih bantuan tanpa beresin akar konflik, itu sama aja nambal ban bocor di tengah tembakan.Dalam Greed and Grievance: Economic Agendas in Civil Wars (2000), dua editor keren—Mats Berdal dan David M. Malone—ngajak kita buka mata: perang saudara itu gak selalu soal ideologi atau etnis. Acapkali, yang nyulut dan bikin perang makin panjang justru urusan ekonomi—kemiskinan, ketimpangan, dan rebutan sumber daya.Mereka bilang, di negara-negara miskin yang pemerintahnya lemah dan pengangguran merajalela, perang bisa berubah jadi bisnis. Kelompok pemberontak, tentara bayaran, bahkan pejabat korup ikut rebutan duit dari hasil jarahan: batu mulia, minyak, kayu, sampai narkoba. Konflik jadi ATM, bukan bencana. Rakyat kecil? Ya tetep jadi korban, atau lebih tragis: dijadiin bahan bakar perang.Inti dari karya ini lumayan bikin merinding: kemiskinan bukan cuma latar belakang perang—tapi senjata yang dipakai elit buat nyari untung di tengah kekacauan. Orang miskin bukan cuma keseret perang, tapi malah dijadiin pion. Perang gak lagi soal perubahan, tapi soal siapa yang dapet bagian lebih gede dari kue kekacauan.Greed and Grievance ngajarin kita buat jangan cuma dengerin pidato politik yang manis-manis. Lihat siapa yang cuan dari perang. Kalau mau bangun perdamaian sejati, gak cukup cuma bikin pemilu atau genjatan senjata. Harus ubah ekonomi rakyat dari ladang perang jadi ladang harapan.Dalam The Looting Machine: Warlords, Oligarchs, Corporations, Smugglers, and the Theft of Africa’s Wealth (2015, William Collins), jurnalis investigatif Tom Burgis ngebuka aib besar dunia modern: gimana perang, korupsi, dan kapitalisme global saling peluk erat buat nyedot kekayaan dari negara-negara miskin, khususnya di Afrika. Dan di balik semua itu? Ada segelintir elite—dari panglima perang lokal sampai pengusaha internasional—yang tajir melintir dari darah dan derita orang miskin.Burgis fokusin ceritanya ke negara-negara kaya sumber daya: minyak, berlian, logam langka—semua yang bikin “wangi” di pasar global. Tapi anehnya, makin kaya isi buminya, makin miskin rakyatnya. Soalnya, kekayaan itu malah jadi bahan rebutan berdarah. Perang gak lagi soal ideologi—tapi soal siapa yang bisa nguasain tambang dan sumur minyak. Burgis sebut sistem ini “mesin penjarahan”—gabungan dari korporasi multinasional, pemerintah asing, makelar bayangan, sampai pejabat lokal yang doyan komisi.Burgis nyeritain langsung dari lapangan: dari hutan perang sampai ruang rapat di London. Di satu sisi, anak-anak mati di rumah sakit rusak, petani lari dari ladang yang dibakar milisi. Di sisi lain, CEO minum wine sambil teken kontrak ekspor emas. Yang miskin tinggal di tenda pengungsian. Yang kaya naik jet pribadi.Lewat karya ini, Burgis ngelempar pertanyaan pedas: kalau perang dan kemiskinan itu ternyata menguntungkan segelintir orang, apa kita masih bisa berharap dunia bakal berubah?Kalau tiga karya ini disatuin—The Bottom Billion, Greed and Grievance, dan The Looting Machine—maka jadilah semacam trilogi brutal tentang gimana kemiskinan, konflik, dan kerakusan saling nyambung dan ngasih untung buat mereka yang duduk di atas.
Di The Bottom Billion, Paul Collier ngajak kita nengok 60 negara yang gak maju-maju, bukan karena malas atau bodoh, tapi karena kejebak “jebakan konflik”. Perang di sana bikin pembangunan mandek, rakyat ngungsi, infrastruktur ambyar. Solusi Collier bukan cuma bantuan, tapi intervensi yang cerdas dan tepat sasaran: bantuan yang beneran bantu, reformasi pemerintahan, dan perdamaian yang dijaga bareng-bareng.
Lanjut ke Greed and Grievance, karya ini ngebongkar anggapan lama bahwa perang sipil itu soal dendam sejarah atau agama. Nyatanya, banyak konflik justru muncul karena peluang buat ngambil untung. Sumber daya dijarah, rakyat miskin dijadiin tentara bayaran, dan kekacauan dijadikan ladang bisnis. Perang bukan sekadar gagal diplomasi—tapi sengaja dikomporin buat cuan.
Nah, The Looting Machine bawa kita ngintip siapa dalang sebenarnya di balik layar. Tom Burgis nunjukin gimana korporasi global, pejabat asing, dan elite finansial dunia ikut pesta pora dari perang dan kemiskinan di negara-negara kaya tambang dan minyak. Di sini, penjarah bukan cuma preman bersenjata di hutan, tapi juga eksekutif berdasi yang minum anggur di ruang rapat. Kemiskinan jadi sistem yang sengaja dipelihara supaya duit terus ngalir ke kantong mereka.
Ketiga karya ini punya benang merah yang tegas: kemiskinan dan konflik itu bukan kecelakaan sejarah, tapi bagian dari sistem global yang dirancang rapi. Mereka ngajak kita buat gak cuma kasihan, tapi sadar dan marah. Dunia gak akan damai kalau yang di atas terus ngambil untung dari penderitaan yang di bawah.
[Bagian 3]