"Ketika Mulyono, sang Raja Jawa, masih bertahta, ia berkesempatan menghabiskan malam Tahun Baru 2016 di Raja Ampat, Papua Barat. Ia tiba di Waisai pada 31 Desember 2015 sekitar pukul 22.20 WIT, dan menikmati pergantian tahun dengan menghadiri pesta rakyat di Pantai Waisai bersama Ratu Jawa serta sejumlah pejabat.Keesokan paginya, pada 1 Januari 2016, baginda menyaksikan matahari terbit (sunrise) di dermaga Waiwo sekitar pukul 06.15 WIT. Paduka tuan bahkan sempat memberi makan ikan sambil duduk di dermaga dan menyebut tempat itu sebagai “tempat terbaik di dunia untuk snorkeling” melalui akun Twitter resminya.Maka bertebaranlah foto-foto Raja Jawa di Raja Ampat yang dipotret selama kunjungannya, terutama disaat malam 31 Desember 2015dan dikala pagi tanggal 1 Januari 2016. Memang sih, bagi Mulyono, self-branding adalah segalanya, walaupun itu semua harus ngibul.Sunrise, ikan-ikan lucu, vibes healing total. Taapii.. ternyaataa, ada plot twistnya cuiy.Tahun 2017, setahun setelah momen indah itu, pemerintah ngasih izin tambang di Raja Ampat.Iya, loe gak salah baca. Tambang nikel. Di salah satu tempat tercantik di bumi.Siapa yang dapet izin? PT Gag Nikel, anak perusahaan Antam (yang BUMN itu lho).
Mereka dapet izin garap Pulau Gag, yang sebelumnya dilindungi karena status hutannya.Tapi yaa... hukum bisa berubah kalau kepentingan main, kan?Dan gak cuma mereka. Raja Ampat kayak dibagi-bagi ke:
PT Kawei Sejahtera Mining (Pulau Kawe, IUP seluas 5.922 ha)
PT Anugerah Surya Pratama (Manuran, 9.365 ha plus 1.167 ha)
PT Mulia Raymond Perkasa (Manyaifun & Batang Pele, 2.194 ha)Semua dapet jatah. Semua pengen cuan.Dampaknya? Green Peace dan rekan-rekan melaporkan kerusakan ekologis yang serius::
500+ hektare hutan hujan lenyap.Tanah longsor ke laut.Terumbu karang rusak.Ikan-ikan bingung mau ngungsi ke mana.Surga berubah jadi ladang galian.Yang bikin makin nyesek:Foto-foto Mulyono duduk manis di dermaga, kasih makan ikan, jadi ironi.Dari “cintailah alam” ke izin "tambanglah lebih dalam.”Koherensi? Entah kemana.Yup, masuk akal banget kalau dibilang kerusakan lingkungan di Raja Ampat gara-gara izin tambang itu mungkin gak bakal terungkap secepat ini kalau sang Raja Rawa masih bertakhta. Kenapa? Karena dalam dunia politik, siapa yang pegang kekuasaan, dia juga yang biasanya pegang kendali cerita.
Selama masih menjabat, Mulyono punya pengaruh super besar, gak cuma ke lembaga negara, tapi juga ke media arus utama. Banyak banget isu yang bisa “ditidurkan” atau disetir narasinya biar gak bikin gaduh, apalagi kalau nyangkut proyek gede, tambang nikel, atau BUMN kayak Antam. Semua terlalu “strategis” buat buka-bukaan.
Dan sekarang, momen ini datang setelah sang raja lengser.Pas banget sama pola klasik dalam politik:“Kalau yang berkuasa udah turun panggung, barulah boroknya mulai kebuka atu-atu.”Media jadi lebih berani. Aktivis lebih lantang.Orang-orang yang dulu diam mulai angkat bicara.Kenapa? Karena payung politiknya udah gak sekuat dulu.Ada juga istilah lucu tapi nyata: “legacy cleaning”.Mantan pendukung atau pejabat yang dulunya diem aja, mulai bilang,“Sebenarnya dari dulu saya gak setuju…”Padahal dulu mah mingkem.Jadi ya, kalau loe ngerasa baru belakangan ini rame soal tambang nikel di Raja Ampat dan hutan yang gundul... itu bukan karena baru terjadi.Tapi karena kekuasaan yang dulunya menutupi, sekarang udah gak punya daya tekan sebesar itu.Seperti kata anak Twitter:
“Dulu narasi dikunci, sekarang netizen punya kunci cadangan.”
Dan begitulah, kebenaran itu emang kadang telat masuk FYP — tapi ujung-ujungnya tetep viral juga. Raja Ampat bukan lagi "tempat terbaik di dunia untuk snorkeling”, tapi "tempat terbaik di dunia untuk destroying."
Moral of the story? Selfie di alam gak cukup. Butuh kebijakan yang bener-bener jaga lingkungan, bukan cuma pencitraan. Kalau gak, nanti alam ngebalesnya lewat bencana."
Lingkungan hidup itu gak cuma soal pohon, laut, dan udara segar. Doski itu kayak sistem kehidupan yang super kompleks dan saling terhubung—ada manusia, hewan, tumbuhan, plus elemen non-hidup kayak tanah, cahaya, air, dan udara. Bayangin aja kayak satu ekosistem gede yang kalau satu bagian rusak, yang lain bisa ikut kacau. Kayak domino efek, cuiy!
Kalau dipikirin secara filosofis, lingkungan itu bukan cuma “halaman belakang rumah kita,” tapi hubungan batin antara manusia dan alam. Ada yang mikir alam itu ada buat dilahap manusia (tim antroposentris), ada juga yang bilang semua makhluk itu setara nilainya (tim biocentris). Terus, ada yang lebih bijak: kita ini cuma satu titik kecil dalam semesta alam raya (tim ekosentris). Jadi ya, bukan dunia yang milik kita—kita justru bagian dari dunia.
Nah, di ranah politik, lingkungan hidup itu ladang kekuasaan dan kepentingan. Siapa yang boleh ngatur tanah? Siapa yang punya kuasa atas hutan, tambang, laut? Dan, siapa yang diuntungkan dari semua itu? Di sini, kebijakan lingkungan bisa jadi alat nego, mainan elite, atau malah korban janji kampanye.Dalam ekonomi, lingkungan hidup dipandang sebagai “modal alam” alias sumber bahan mentah buat jalannya pembangunan. Masalahnya, ekonomi versi lama tuh suka anggap polusi dan kerusakan lingkungan sebagai efek samping yang bisa diabaikan. Tapi sekarang ada yang namanya green economy—cara mikir baru yang bilang alam itu aset yang harus dijaga, bukan dihisap habis.
Di sisi sosial, lingkungan itu erat banget ama isu keadilan. Yang tinggal di pesisir, di pegunungan, di kampung-kampung adat—mereka sering banget jadi korban limbah, banjir, atau digusur demi tambang dan properti. Sementara yang tinggal di kota besar bisa nyaman-nyaman aja pakai AC dan air botolan. Nggak adil, kan?
Secara budaya, alam itu bukan cuma tempat tinggal—tapi juga bagian dari identitas. Ada hutan keramat, gunung yang dianggap leluhur, laut yang dijaga pakai ritual. Kalau alam rusak, budaya pun ikut punah. Terutama buat masyarakat adat yang hidupnya nyatu banget sama alam.
Di karyanya The Web of Life (1996, Anchor Books), Fritjof Capra ngerombak banget cara kita mikir soal alam. Kalau biasanya kita mikir makhluk hidup itu kayak potongan puzzle yang berdiri sendiri-sendiri, Capra ngajak kita buat lihat semuanya kayak jaring-jaring rumit yang saling nyambung dan saling ngaruh. Bayangin aja, segala sesuatu di alam itu nyambung kek kabel-kabel yang ngebentuk sistem besar. Jadi, nggak mungkin kita ngerti cara kerja hidup cuma dengan ngupas satu bagian doang, kudu ngeliat gimana bagian-bagian itu nyatu dan berinteraksi supaya semuanya bisa jalan lancar. Capra bilang, hidup itu bukan cuma soal benda-benda diam, tapi proses yang terus bergerak dan ngejaga keseimbangan supaya alam tetap ‘fit’ dan bisa adaptasi. Intinya, doski bikin kita sadar kalau ekologi itu soal keseluruhan, bukan cuma potongan-potongan kecil yang terpisah-pisah.
Silent Spring (1962, Houghton Mifflin) oleh Rachel Carson, semacam buku legendaris yang bikin dunia ngeh banget ama kerumitan alam dan betapa rentannya ekosistem kalau kena ganggu manusia—apalagi soal penggunaan pestisida secara massal. Rachel Carson sendiri adalah ilmuwan biologi laut sekaligus pejuang lingkungan yang tulisannya bukan cuma ilmiah, tapi juga enak dibaca, jadi gampang dimengerti orang biasa. Di bukunya itu, doski ngulik tuntas gimana pestisida kayak DDT nggak cuma ngebunuh hama yang dituju, tapi juga ngecesin tanah, air, dan udara sampai akhirnya nyerang burung, ikan, dan hewan lainnya. Doski jelasin, alam itu kayak jaringan super rumit dimana semua makhluk dan proses saling tergantung. Kalau satu bagian kena racun, efeknya bisa nyebar ke seluruh sistem dan bikin kacau balau. Misalnya, jumlah burung yang makin menyusut gara-gara cangkang telurnya jadi tipis akibat paparan racun—padahal burung itu bagian penting dari rantai makanan. Lewat Silent Spring, Rachel bilang kalau manusia itu bukan makhluk yang terpisah dari alam, tapi bagian dari satu sistem besar. Jadi kalau kita main rusak-rusak alam seenaknya, ujung-ujungnya yang rugi justru diri kita sendiri.
Dalam karyanya Gaia: A New Look at Life on Earth (1979, Oxford University Press), James Lovelock ngegabungin ilmu sains ama filosofi dengan cara yang keren banget lewat Gaia hypothesis. Doski ngajak kita buat mikir kalau Bumi itu bukan cuma kumpulan batu, air, dan udara yang diem doang, tapi kayak makhluk hidup super gede yang bisa ngatur dirinya sendiri. Jadi, atmosfer, laut, tanah, ama makhluk hidup di Bumi itu saling nyambung dan kerja bareng buat jaga kondisi supaya kehidupan tetep jalan lancar. Kaya tubuh kita yang bisa ngejaga suhu tubuh dan keseimbangan biar tetep sehat, Bumi juga ngejaga cuaca, udara, dan semuanya supaya kita semua bisa hidup. Lovelock bilang, ini bukan karena Bumi mikir atau punya niat, tapi karena sistem rumit yang saling ngasih sinyal dan respon otomatis. Ide ini ngasih kita perspektif baru: Bumi itu hidup, pinter, dan harus kita jaga dengan penuh cinta, bukan cuma diambil atau dimanfaatin seenaknya dewek.
Di bukunya Ecology, Community and Lifestyle (1989, Cambridge University Press), Arne Naess, yang sering disebut bapak deep ecology, ngasih filosofi yang keren banget buat ngegoyang cara kita mikir soal alam. Doski bilang, semua makhluk hidup—entah itu tanaman, binatang, atau ekosistem—punya nilai yang asli dan penting, bukan cuma karena bisa nguntungin manusia aja. Jadi, bukan cuma manusia yang “penting,” tapi semua makhluk itu berharga cuma karena mereka ada. Naess ngajak kita buat lihat semua makhluk hidup ini kayak satu geng yang nyambung dan saling dukung, bukan cuma sekadar objek buat dimanfaatin. Filosofinya juga ngajarin kita supaya gaya hidup kita lebih ngejaga dan hormatin alam, dari yang tadinya cuma mau nguasain dan ngeksploitasi jadi yang bener-bener ngerawat dan jadi bagian dari komunitas ekologi yang luas. Intinya, deep ecology ngajak kita buat ngurangin jejak kaki di bumi dan hidup selaras bareng alam.
Dalam karyanya Feminism and the Mastery of Nature (1993, Routledge), Val Plumwood ngebongkar cara pikir Barat yang suka banget misahin manusia dan alam, dan doski bilang, itu bukan cuma soal beda, tapi udah level ngejajah. Menurut Plumwood, selama ini manusia—terutama kaum lelaki yang dianggap rasional dan “beradab”—ditempatin di atas alam, yang sering dikaitin sama hal-hal feminin, emosional, dan liar. Nah, doski ngelihat pola ini mirip banget kayak patriarki yang ngeposisiin kaum perempuan di bawah kaum lelaki. Jadi, waktu manusia ngerasa berhak ngontrol atau ngerusak alam, itu sebenernya cerminan dari cara pikir yang sama kayak ngontrol kaum perempuan. Lewat sudut pandang ecofeminist-nya, Plumwood ngajak kita buat stop mikir dunia ini pakai kacamata “atas-bawah” atau “kuat-lemah”, dan mulai mikir pakai etika yang saling merawat, setara, dan penuh respek—baik ke sesama manusia maupun ke alam.
Jadi, lingkungan hidup itu bukan cuma latar panggung kehidupan. Lingkungan hidup merupakan bagian dari siapa kita, bagaimana kita hidup, bagaimana kita bersikap, dan warisan apa yang kita tinggalin buat anak cucu. Bukan sekadar urusan “save the planet”—ini soal “save ourselves.”