Akhirnya, seusai drama politik yang rasanya kayak sinetron tayang tengah malam, Presiden Prabowo mengambil langkah yang bikin publik nyaris bilang, “Ini baru pemimpin!”—empat pulau yang sempat “nyasar” ke Sumut, resmi balik kandang ke Aceh.Ini bukan cuma soal narik garis ulang di peta, bro. Ini kayak ngembaliin kepercayaan yang udah lama retak kayak kaca mobil nabrak tembok. Banyak yang bilang ini langkah cerdas, tapi yang lebih penting: ini kayak kode keras kalau pusat udah mulai bisa dengerin suara dari pinggiran.Pulau-pulau itu mungkin kecil di atlas, tapi besar banget nilainya buat rakyat Aceh. Dengan mengembalikannya, Presiden Prabowo nggak cuma ngasih lahan—beliau ngasih dignity. Bukan sekadar wilayah, tapi pengakuan bahwa luka lama nggak bisa disembuhin pakai janji, tapi dengan aksi.Okelah, ini memang belum bisa nutup semua luka sejarah, tapi buat kali ini, pusat ngomong lewat aksi nyata, bukan pidato basa-basi. Dan buat itu, Aceh—dan Indonesia—pantas narik napas lega, walau tetap waspada. Karena di negeri ini, peta bisa sewaktu-waktu berubah… tapi harapan? Seyogyanya tetap terus dijaga.Drama empat pulau Aceh ini bukan cuma urusan kertas-kertas pemerintahan yang salah meja. Ini semacam pengingat keras bahwa dalam urusan negara, peta boleh dicetak pakai tinta… tapi kepercayaan rakyat digambar pakai darah, luka sejarah, dan ingatan kolektif yang nggak gampang terlupakan.Pelajarannya? Nggak cuma soal salah SK atau main serobot wilayah. Ini tentang cara kekuasaan dilihat dari pinggiran, tentang bagaimana keadilan itu bukan cuma soal prosedur, tapi rasa dihargai. Pulau-pulau itu boleh kecil di mata Google Maps, tapi buat rakyat Aceh, itulah perlambang martabatnya, otonomi, dan kisah lama yang belum pernah benar-benar usai.Keputusan Presiden Prabowo buat balikin pulau itu sungguh patut diacungi jempol, tapi kemenangan sebenarnya adalah pesan yang beliau bawa: bahwa pemerintahan tanpa empati cuma bikin rakyat makin jauh. Dan kadang, cara meredakan bara bukan dengan pidato atau proyek mercusuar—tapi cukup dengan memperbaiki peta… dan telinga yang mau bener-bener ngedengerin.Persatuan bangsa itu bukan sekadar tulisan manis di baliho atau jargon kosong yang dibacain tiap upacara bendera. Persatuan itu semacam kesepakatan diam-diam antar jutaan orang buat tetap percaya—meski kadang rasanya kayak maksa banget—bahwa hidup bareng, walau beda-beda, masih layak diperjuangkan.Persatuan sejati bukan terbentuk pas semua adem ayem, tapi justru waktu keadaan lagi gonjang-ganjing, dan kita milih buat saling rangkul, bukan saling tunjuk. Ini bukan tentang semua harus seragam, tapi soal bisa nerima perbedaan sebagai kekuatan. Kayak saat petani Jawa, mahasiswa Papua, pengusaha Minang, dan nelayan Aceh bisa ngerasa mereka semua bagian dari satu cerita besar yang sama. Cerita yang bilang: “Loe penting. Suara loe didengar. Negara ini, meskipun amburadul kadang, masih rumah buat loe.”Negara yang bener-bener bersatu tuh bukan yang maksa rakyatnya diem. Tapi yang ngajak ngobrol. Bukan yang nyamaratakan semua, tapi yang ngerayain keunikan tiap-tiap daerah. Dan yang paling penting, persatuan bangsa cuma bisa hidup kalo ada satu bahan utama: kepercayaan. Percaya kalau pusat nggak cuma dengerin yang deket Istana, tapi juga, yang suaranya jauh dari keramaian.Salah satu eksplorasi paling abadi tentang persatuan nasional dapat ditemukan dalam Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (1983, Verso Books) karya Benedict Anderson. Anderson bilang, bangsa itu bukan cuma soal peta atau daerah doang. Tapi lebih ke komunitas yang dibikin bareng-bareng di pikiran kita—yang nyatuin bukan cuma garis batas negara, tapi juga cerita-cerita yang sama, ingatan kolektif, dan kesepakatan buat percaya kalau kita itu punya rasa memiliki. Singkatnya, persatuan itu ilusi indah yang kita semua setuju buat ngikutin.Dalam Imagined Communities, Benedict Anderson bilang: jangan salah kira, negara itu bukan entitas sakral yang turun dari langit. Bangsa itu “dibayangkan” alias hasil bikinan sejarah dan budaya. Kenapa dibayangkan? Karena orang-orang dalam satu negara itu sejatinya gak saling kenal satu sama lain, tapi tetap merasa jadi bagian dari satu komunitas. Nah, rasa kebersamaan inilah yang bikin orang mau nyanyi lagu kebangsaan rame-rame meski gak satu kampung.Persatuan dalam versi Anderson itu kayak bikin benang merah di antara jutaan kepala yang berbeda-beda. Dulu orang setia ama raja, imam, atau dewa. Tapi begitu kekuasaan kerajaan mulai memudar dan mesin cetak mulai ngebut produksi koran ama novel, orang jadi punya satu cerita yang sama, dibaca dalam bahasa yang sama, dan di waktu yang berbarengan. Efeknya? Semua ngerasa “eh, kita satu bangsa ya!”—walau beda suku, pulau, atau aksen.Nah, dari situ muncul rasa “gue rela berkorban buat negara ini”, bukan karena disuruh raja, tapi karena ngerasa satu nasib sama yang lain. Jadi, kalau loe cinta tanah air, itu bukan karena darah biru loe sama kayak raja-raja, tapi karena kita semua pernah baca cerita yang sama, nyanyi lagu yang sama, dan nangis bareng waktu timnas kalah penalti.Anderson ngajarin kita bahwa persatuan itu bukan hadiah, tapi cerita kolektif yang disepakati bareng. Dan begitu cerita itu hidup, orang bisa kompak banget—bahkan untuk sesuatu yang sebenernya cuman ada di kepala, tapi rasanya, nyata di dada.Lalu ada pula bahan bacaan esensial lainnya, Nations and Nationalism dari Ernest Gellner. Doski bilang, nasionalisme itu nggak turun dari langit. Dibikin. Dirawat. Kadang dipaksain juga. Kenapa? Biar negara industri bisa jalan rapi dan rakyatnya bisa setara (minimal dalam hal jam kerja dan bahasa).Gellner ngebongkar mitos bahwa persatuan bangsa itu muncul dari “akar budaya yang tua dan murni”. Menurut Gellner, itu cuma dongeng klasik biar kita ngerasa punya warisan mulia. Faktanya? Persatuan nasional itu bukan hasil dari sejarah panjang nenek moyang, tapi hasil rekayasa modern yang dibuat karena... pabrik butuh pekerja yang bisa baca tulis dan ngerti SOP.Di dunia industrial yang serba cepat dan kapitalistik, loe kagak bisa lagi pakai model kampung-kampungan. Dulu zaman agraris, orang lahir dan mati di kampungnya, gak perlu bisa baca atau ngerti bahasa nasional. Tapi pas revolusi industri masuk, semua berubah: buruh harus bisa baca petunjuk, ngisi formulir, dan ngerti perintah bos. Makanya negara bikin sistem pendidikan nasional, bikin kurikulum seragam, bahkan bikin sejarah versi pemerintah.Gellner bilang: nasionalisme itu bukan kebangkitan bangsa, tapi penciptaan bangsa dari nol. Loe disuruh cinta tanah air lewat pelajaran PPKn, lagu wajib, dan upacara bendera tiap Senin. Negara bikin “template warga ideal” yang bisa digerakin seperti spare part di mesin negara.So, persatuan nasional itu kayak boyband K-Pop: nggak terbentuk secara alami di gang, tapi hasil audisi, pelatihan keras, dan manajemen yang niat banget. Kalau perlu, dikasih ancaman biar kompak. Hasilnya? Semua rakyat nyanyi lagu yang sama, hafal sejarah yang sama, dan ikut Pemilu bareng—meski dari asal usul beda-beda.Pesan Gellner itu tajam: jangan dikira persatuan bangsa itu soal nurani, kadang itu cuma proyek negara yang butuh orang-orang bisa kerja bareng dalam sistem industri. Nationalism is not magic—it’s manufacturing.Kalau mau yang lebih kekinian dan relate ke isu ketimpangan, coba deh baca Why Nations Fail karya Acemoglu dan Robinson. Mereka bilang, negara bisa gagal atau sukses tergantung apakah rakyatnya merasa diikutsertakan atau cuma jadi penonton. Kalau cuma segelintir orang yang pegang kuasa dan duit, jangan heran kalau rakyat mulai mikir buat jalan sendiri-sendiri.Dalam Why Nations Fail, Acemoglu dan Robinson bilang dengan gaya serius tapi nyelekit: negara itu gagal bukan karena miskin, tapi karena rakus. Dan akar rakusnya? Ya karena rakyat disuruh jadi penonton pasif, sementara elit main monopoli di belakang layar.Kalau rakyat diajak ikutan main—bukan cuma nonton, tapi bisa nyuarain pendapat, milih pemimpin yang bener, ngeritik kalau keliru, dan punya peluang yang sama buat naik level hidup—negara jadi sehat. Ekonomi tumbuh, inovasi muncul, dan yang kerja keras dapet hasilnya. Sekolah jadi jalan buat naik kelas, bukan cuma tempat buat hafalin slogan. Karena rakyat percaya: kalau gue usaha, masa depan gue bisa berubah.Tapi giliran rakyat cuma jadi penonton—disodorin baliho, disuguhi acara TV, disuruh nyoblos tiap lima tahun tanpa tahu siapa yang bakal untung—yang tumbuh bukan keadilan, tapi kroni. Institusi negara jadi alat buat ngeduitin rakyat, hukum cuma berlaku buat yang gak punya kuasa, dan pemilu? Cuma pesta topeng demokrasi.Acemoglu dan Robinson nyindirnya pedes: negara gagal bukan karena kurang emas, tapi karena elit gak mau berbagi kuasa. Jadi melibatkan rakyat bukan soal idealisme manis, tapi strategi paling realistis kalau loe pengen negara loe tahan banting dan makmur beneran.Terakhir, Martha Nussbaum lewat The Cosmopolitan Tradition ngajak kita mikir lebih jauh: persatuan tuh nggak berarti semua harus sama. Justru, kita bisa bersatu kalau saling hargai perbedaan dan kasih tempat buat tiap suara, sekecil apapun.
Dalam The Cosmopolitan Tradition: A Noble but Flawed Ideal (2019, Harvard University Press), Martha Nussbaum ngegas argumen basi bahwa persatuan itu artinya semua harus seragam. Buat doski, persatuan sejati bukan datang dari menyeragamkan semua orang kek mie instan, tapi dari ngerangkai segala perbedaan jadi satu lagu yang enak didengerin—kayak playlist loe yang isinya campur-campur tapi tetep nge-blend.
Nussbaum percaya bahwa loe bisa cinta tanah air tanpa harus jadi fanatik buta yang nyuruh semua orang mikir, berpakaian, dan berdoa dengan cara yang sama. Persatuan itu bukan lomba baris-berbaris pikiran, tapi lebih mirip konser orkestra—tiap alat punya suara beda, tapi justru karena itulah, lagunya jadi hidup.Kalo loe bikin persatuan berdasarkan keseragaman, kata Nussbaum, itu bukan kuat tapi rapuh. Karena orang-orang yang beda bakal dibungkam, disingkirkan, dan akhirnya marah. Tapi kalau loe buka ruang buat tiap suara, sekecil apapun, maka negara loe jadi kaya—bukan cuma kaya ide, tapi juga kaya empati dan solidaritas.Nussbaum ngambil dari Stoic dan Tradisi Pencerahan buat ngajak kita mikir: patriotisme itu bukan soal teriak paling keras, tapi soal berani dengerin suara yang paling pelan. Karena di negara yang adil, gak ada yang terlalu kecil buat didengerin.Coba bayangin Martha Nussbaum duduk nonton berita Indonesia dari kantornya di Harvard. Mungkin doski bakal nyeruput kopinya pelan, sambil ngelirik ke layar dan bilang, “Ini beneran persatuan atau cuma lomba seragam nasional, sih?”Buat Nussbaum, persatuan itu bukan soal semua orang harus mirip—bukan acara 17 Agustus-an versi ideologi. Tapi soal ngakuin bahwa tiap warga negara, dari Aceh sampai Papua, dari yang pro-pemerintah sampai yang sering dibilang “ngerecokin,” punya harga diri yang setara dan suara yang layak didengerin.Hari-hari ini, obrolan soal persatuan di Indonesia suka kebablasan jadi obrolan soal “jangan beda, nanti dikira makar.” Padahal menurut Nussbaum, persatuan yang bener itu bukan tentang nyuruh semua orang diem, tapi tentang bikin panggung biar semua suara bisa tampil. Termasuk suara yang nanya: “Kenapa pulau gue dipindahin?” atau “Kenapa tanah gue diambilin?”Pas rakyat Aceh protes soal empat pulau yang mendadak jadi milik Sumut, atau pas orang Papua ribut soal tambang dan tanah adat, jangan buru-buru dibilang ‘ancaman negara’. Itu bukan separatisme—itu bentuk cinta, tapi cinta yang kritis. Kayak pasangan yang bilang, “Kita masih bareng, tapi gue capek kalau suara gue gak pernah didenger.”Kalau kita mau Bhinneka Tunggal Ika bukan cuma jadi quote Instagram tiap Hari Sumpah Pemuda, kita harus belajar dari Nussbaum: persatuan itu bukan ngegas yang beda biar nurut, tapi ngerangkul perbedaan biar negara ini gak jadi monolog. Indonesia gak butuh orkestra satu nada, tapi simfoni banyak suara yang main bareng, meski nggak semua nadanya mayor.Prinsip ketiga dalam Pancasila, “Persatuan Indonesia”, itu bukan cuma kalimat sakti yang dibacain tiap upacara bendera atau dibikin hafalan anak sekolah. Itu semacam lem super spiritual yang nyatuin ribuan pulau, ratusan suku, dan segala macam bahasa jadi satu negara yang kadang kayak benua nyamar jadi republik.Persatuan versi Pancasila tuh bukan nyuruh orang Minang jadi kayak orang Sunda, atau orang Papua mikir kayak orang Jawa. Bukan. Justru, Persatuan dalam Pancasila ngajak kita semua buat nemuin alasan bareng kenapa kita masih mau tinggal dalam rumah yang sama, meski warna dindingnya beda-beda. Ini bukan persatuan ala robot seragam, tapi lebih kayak band besar—instrumen beda-beda tapi main lagu yang sama.Lebih dari itu, prinsip ini juga jadi penangkal halus dari penyakit bangsa: politik pecah belah, saling curiga antar agama, atau kecenderungan "kubu-kubuan" yang makin runcing. Kalau prinsip ini bener-bener dihayati, bakalan jadi kompas yang ngarahin diskusi kebangsaan ke arah yang adem, nggak bikin makin panas timeline medsos.Jadi, bisa dibilang, persatuan dalam Pancasila itu bukan soal mematikan perbedaan, tapi bikin orkestra dari keberagaman. Semua suara boleh beda, tapi mainin nada yang sefrekuensi: nada kebersamaan.Tapi, tepatkah bila keputusan Presiden Prabowo ini disebut populis? Keputusan Presiden Prabowo soal balikin empat pulau Aceh itu, kayak pemain sinetron yang tiba-tiba nongol di episode klimaks—tegas, dramatis, dan siap mendobrak skenario lama “Mulyono” and the geng, yang dinasti banget itu.Dengan cara ini, Presiden Prabowo bukan cuma bicara soal hukum atau peta administratif. Beliau bermain di ranah dignity atau “harga diri”, “solidaritas Aceh”, dan politik panggung yang bisa langsung nyolok emosi publik. Beliau melewati dalil teknokrat dan ngasih signal ke Aceh: “Gue di sini buat loe.” Itu namanya populisme 101—leadership that speaks directly to hearts, bukan koridors.Tapi ini bukan sekadar teatrikal semata. Langkah beliau juga nyenggol simbol kekuasaan lama: Mulyono dan geng dinastinya. Ibaratnya, Pesiden Prabowo bilang: Jakarta gak main-main soal ambisi politis yang nyelip pake skenario keluarga besar. Jadi iya, ini bisa disebut populis. Tapi bukan populis yang bikin heboh aja—ini populis style: powerful, act-now, no-nonsense.Keputusan ini memang khas populis, tapi bukan yang asal ramaikan media. Ini sinyal kuat bahwa Presiden Prabowo hendak memimpin dengan aksi nyata dan menolak politik balas jasa ala dinasti yang selama ini, udah bikin rakyat muak.