Rabu, 11 Juni 2025

Raja Ampat: Dari Surga Jadi Luka (3)

Kenapa sih bumi bisa makin rusak? Jawabannya nggak cuma soal buang sampah sembarangan atau lupa matiin lampu. Di balik itu semua, ada jalinan rumit antara pola pikir manusia, sistem ekonomi, dan perebutan kuasa. Salah satu penyebab utamanya adalah sistem ekonomi yang doyan banget ama pertumbuhan tanpa batas, kayak nonton serial drama yang nggak kelar-kelar. Kapitalisme modern ngajarin kita buat ngejar untung terus, tanpa mikir alam bisa ngos-ngosan juga. Hutan dianggep cuma stok kayu, sungai jadi tempat buang limbah, dan bumi? Ya cuma gudang besar buat segala hasrat manusia.

Alasan lain: kita makin jauh dari alam. Hidup di kota bikin banyak orang lupa gimana rasanya nyium tanah basah atau liat bintang tanpa polusi cahaya. Budaya kita juga udah keburu ngajarin bahwa manusia tuh “penguasa alam,” bukan bagian dari ekosistemnya. Ditambah lagi dengan politisi yang slow respon, korporasi yang rakus, dan aturan lingkungan yang seringnya cuma formalitas doang.

Tapi yang lebih dalem lagi, ada soal cara pandang. Kita sering nganggep manusia itu spesial dan terpisah dari alam, padahal kita ini bagian dari sistem yang sama. Nah, pola pikir “manusia di atas segalanya” inilah yang bikin kita ngambil keputusan jangka pendek tanpa mikirin masa depan. Jadi kalau kita mau nyelamatin bumi, kita bukan cuma perlu ubah tindakan, tapi juga ubah cara mikir. Gitu, sob.

Kalau kita nanya, “Di mana sih masalah lingkungan itu terjadi?”, jawabannya simpel tapi ngeri: dimana-mana, sob. Kerusakan lingkungan nggak kenal batas negara. Di hutan Amazon, pohon ditebang buat lahan ternak. Di Kutub Utara, es mencair kayak es krim kena matahari siang bolong—tanda-tanda iklim lagi kacau. Di kota-kota besar, udara kotor bikin napas sesek, dan di laut, sampah plastik serta tumpahan minyak bikin ikan-ikan megap-megap. Tapi gini, meskipun masalahnya global, dampaknya nggak rata. Negara-negara di belahan bumi selatan—yang justru punya kekayaan alam paling melimpah—malah sering jadi korban paling parah, padahal kontribusinya pada kerusakan tuh paling minim. Negara-negara industri udah lama “nyurhin” masalah lingkungannya ke negara miskin—lewat perdagangan, limbah, dan eksploitasi sumber daya. Dan jangan salah, “di mana” itu juga bisa di rumah kita sendiri—dari belanja bulanan, baju kekinian, sampai HP yang kita pegang—semuanya nyambung ke rantai lingkungan yang panjang dan rumit. Intinya, lingkungan itu bukan cuma “di luar sana,” tapi juga nempel di hidup kita sehari-hari.

Kalau kita nanya, “Siapa sih yang tanggungjawab soal lingkungan?”, jawabannya nggak sesederhana nunjuk satu orang atau satu kelompok doang. Yang terlibat tuh banyak banget—mulai dari pemerintah, perusahaan raksasa, komunitas lokal, petani, ilmuwan, aktivis, sampai orang biasa kayak kita. Para pembuat kebijakan tuh punya kuasa gede karena bisa ngatur aturan mainnya. Tapi perusahaan juga pegang peran penting—mereka bisa ngerusak lingkungan besar-besaran, atau justru bantu ngejaganya, tergantung mereka milih yang mana. Di sisi lain, masyarakat adat, gerakan akar rumput, dan para penjaga lingkungan sering jadi garda terdepan yang berani ngelawan perusakan dan jaga alam tetap lestari. Ilmuwan dan pendidik bantu nyebarin ilmu dan solusi, sedangkan konsumen kayak kita itu diem-diem punya pengaruh gede lewat pilihan harian—mau ngedukung yang ngerusak atau yang ngerawat. Intinya, tanggungjawabnya barengan, tapi beban dan dampaknya nggak dibagi rata. Yang punya kuasa dan duit mestinya paling bertanggung jawab, bukan malah nyalahin yang miskin dan udah kena dampaknya duluan.

Gimana sih cara ngadepin masalah lingkungan? Jawabannya nggak sesimpel buang sampah di tempatnya atau nanem pohon tiap Earth Day. Ini bukan cuma urusan teknologi canggih atau riset ilmiah, tapi perjuangan moral, budaya, dan politik. Kita perlu banget move on dari sistem ekonomi yang hobi nyedot alam sampai kering, dan mulai bangun gaya hidup yang bisa nyembuhin, bukan nyakitin. Gampangnya: dari gaya hidup “ambil buang ambil buang” ke sistem “pakai, rawat, dan balikin.”
Artinya apa? Ya mulai dari energi terbarukan, pertanian ramah lingkungan, balikin hutan ke alam liar, jaga keanekaragaman hayati, dan anggap hidup berkelanjutan itu bukan tren, tapi kebiasaan. Tapi jangan lupa, kita juga mesti lawan sistem yang bikin rusak—kayak ketergantungan sama energi fosil, tambang yang ngawur, perusahaan yang ngerusak tapi bebas hukum.
Tapi lebih dari sekadar kebijakan, jawaban “bagaimana” ini juga harus nyentuh hati. Kita butuh cerita-cerita baru—yang ngajarin kita kalau bumi itu bukan milik kita, tapi titipan yang harus dijaga. Perubahan bakal terjadi kalau orang mulai peduli, dan orang bakal peduli kalau mereka merasa nyambung. Makanya, edukasi, seni, gerakan lokal, kearifan adat, dan suara anak muda itu penting banget buat bangkitin koneksi itu. Intinya, “bagaimana” itu bukan cuma soal alat dan teknologi, tapi juga soal nilai, visi, dan keberanian.

Apa yang terjadi di Raja Ampat itu bukan cuma “musibah lokal” yang bisa kita anggap angin lalu. Ini tuh semacam kisah tragis tentang surga yang dijual atas nama pembangunan. Dulu dielu-elukan sebagai tempat snorkeling terbaik di dunia dan rumah buat ribuan spesies laut yang langka, sekarang Raja Ampat lagi megap-megap. Terumbu karangnya luka, airnya keruh, nelayan lokal susah cari ikan, dan parahnya, tambang udah mulai merambah—semua atas nama “investasi”.
Siapa dalangnya? Waduh, ini kayak sinetron politik yang aktornya banyak. Warga lokal udah dari dulu hidup berdampingan dengan alam, tapi keputusan-keputusan yang merusak justru diambil sama elit-elit di balik meja—mulai dari pejabat yang tanda tangan izin sampai investor yang nggak pernah injak pulau itu. Mereka jarang banget ngobrol dulu sama masyarakat adat yang punya tanah dan laut itu dari leluhur. Jadi ya, rakyat cuma bisa nonton sambil gigit jari.
Di mana semua ini terjadi? Di ujung timur Indonesia, di tempat yang dulunya dibilang “taman surga terakhir” sama Jacques Cousteau. Raja Ampat itu mutiara Papua, tapi karena keindahannya, dia juga jadi incaran banyak kepentingan. Ironis, kan? Tempat yang seharusnya dijaga, malah dibuka buat tambang dan turisme massal.
Kapan mulai rusak? Titik baliknya tuh sekitar 2017, waktu pemerintah ngasih izin tambang di wilayah sensitif. Dari situ, hutan mulai dibabat, laut mulai tercemar, dan hewan-hewan pun mulai kabur. Di saat yang sama, turisme makin digencarkan. Wisatawan rame, uang masuk, tapi bebannya ditanggung alam dan masyarakat lokal.
Kenapa bisa begini? Ya karena kita masih terjebak di logika ekonomi lama: semua harus menghasilkan uang. Padahal, hancurnya alam itu nggak pernah masuk hitungan kerugian. Bagi pemerintah dan investor, alam itu modal. Tapi buat masyarakat adat, alam itu ibu. Nah, konflik dua cara pandang ini yang bikin Raja Ampat nangis.
Gimana kita bisa bantu? Jangan cuma selfie terus pulang. Kita harus dorong kebijakan yang berpihak ke alam, kasih ruang buat suara masyarakat adat, dan stop beli narasi bahwa “pembangunan” harus ngorbanin alam. Wisata yang ramah lingkungan, aturan yang ketat, dan balik ke kearifan lokal bisa jadi solusi. Tapi yang paling penting: kita ubah mindset. Bukan lagi manusia sebagai raja atas alam, tapi manusia sebagai penjaga bumi, istilah kerennya, "Khalifah" bumi.

Kerusakan lingkungan itu bukan sekadar “kecelakaan sejarah” akibat kemajuan zaman, tapi hasil dari hubungan yang makin jauh antara manusia dan alam—ditambah sistem yang lebih sayang duit daripada bumi. Dari hasil ngobrolin “apa”, “siapa”, “di mana”, “kapan”, “kenapa”, sampai “gimana” soal lingkungan, kita jadi ngerti bahwa ini bukan cuma soal cuaca ekstrim atau plastik di laut, tapi tentang bentroknya sains, politik, ekonomi, budaya, dan cara kita mikir tentang dunia.
Solusinya? Bukan cuma instal aplikasi hemat listrik atau beli tote bag lucu. Kita butuh revolusi cara pikir dan sistem yang ngasih ruang buat bumi sembuh. Dari Capra yang ngajak kita mikir sistemik, Carson yang teriak soal racun, Lovelock yang bilang bumi itu hidup, sampai Vandana Shiva yang ngebela pengetahuan lokal—semuanya bilang hal yang sama: nyelamatin bumi itu soal nilai dan keberanian. Dan keberanian itu dimulai dari cerita yang kita sebar, prinsip yang kita pegang, dan langkah kecil yang kita pilih setiap hari.