Jumat, 28 Februari 2025

Mindset Ramadhan

“Ramadhan adalah bulan pembaruan spiritual, disiplin, dan rahmat Ilahi yang luar biasa,” kata Limbuk kepada Cangik usai membaca ayat penutup surah al-Fath,
مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ مَعَهٗٓ اَشِدَّاۤءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاۤءُ بَيْنَهُمْ تَرٰىهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيْمَاهُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْدِ ۗذٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ ۖوَمَثَلُهُمْ فِى الْاِنْجِيْلِۚ كَزَرْعٍ اَخْرَجَ شَطْـَٔهٗ فَاٰزَرَهٗ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوٰى عَلٰى سُوْقِهٖ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيْظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ ۗوَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنْهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا ࣖ
'Nabi Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras terhadap orang-orang kafir (yang bersikap memusuhi), tetapi berkasih sayang sesama mereka. Engkau melihat mereka rukuk dan sujud (dalam shalat) memohon karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud (bercahaya). Itulah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan Injil, yakni laksana benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu makin kuat, lalu menjadi besar dan tumbuh di atas batangnya. Tanaman itu menyenangkan hati orang yang menanamnya. (Keadaan mereka diumpamakan seperti itu) karena Allah hendak membuat marah orang-orang kafir. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka ampunan dan pahala yang besar." [QS. Al-Fath (48):29]
Surah al-Fath dikaitkan dengan kemenangan dan kesuksesan Ilahi, sebuah pengingat besar bahwa Ramadhan merupakan waktu untuk menaklukkan hasrat seseorang dan mencapai kesuksesan spiritual. Al-Fath (Bahasa Arab: الفتح, artinya: "Kemenangan") adalah surah ke-48 dalam Al-Qur'an dengan 29 ayat. Surah ini diturunkan di Madinah pada tahun keenam Hijrah, pada saat Perjanjian Hudaybiya antara negara-kota Muslim Madinah dan kaum musyrik Mekah. Sebagian orang membacanya di awal Ramadhan untuk memohon kemudahan dan keberkahan.

"Ramadhan tak semata tentang berpantang dari makanan dan minuman; ia adalah kesempatan untuk menyegarkan jiwa, menyucikan qalbu, dan terkoneksi kembali dengan Allah. Setiap lapar dan dahaga merupakan pengingat akan ketergantunganmu kepada-Nya, memperdalam iman dan rasa syukurmu. Ramadhan adalah bulan transformasi.
Ramadhan juga merupakan Bulan Al Quran. Bulan ini adalah bulan turunnya Al Quran, maka marilah kita juga memasukkannya ke dalam hati kita. Biasakan diri menghayati kata-katanya, merenungkan maknanya, dan menerapkannya dalam kehidupan.
Allah berfirman,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗوَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗيُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖوَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.' (QS Al-Baqarah (2):185)
Pintu-pintu rahmat terbuka lebar di bulan Ramadhan. Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu) meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, "Ketika Ramadhan dimulai, pintu-pintu surga dibuka." Dalam riwayat lain, "Pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka dikunci, dan setan-setan dirantai." Ada pula dikatakan, "Pintu-pintu rahmat dibuka." (Muttafaq alaih)

Ramadhan adalah undangan untuk berdoa dengan tulus. Bisikan hatimu didengar dengan keras dan jelas oleh Allah di bulan yang penuh berkah ini. Dia, Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
'وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ
'Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu [duhai Muhammad] tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.' [QS Al-Baqarah (2):186]
Maka janganlah berhenti—mintalah segalanya, mulai dari dunia hingga akhirat, dan percayalah pada rahmat-Nya.

Taqwa merupakan tujuan akhir Ramadhan, Allah berfirman dalam Al-Qur'an,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
'Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.' (QS. Al-Baqarah (2):183)
Bagaimana memupuk Taqwa di Bulan Ramadhan? Jalinlah hubungan yang erat dengan Al-Quran. Al-Quran adalah kitab Taqwa. Bacalah Al-Quran setiap hari, renungkan maknanya, dan biarkan Al-Quran menuntun qalbumu. Cobalah menghafalkan sebagian kecil atau membaca ulang ayat-ayat tentang Taqwa.
Sempurnakan Shalatmu dan tingkatkan shalat nawafil (Shalat nawafil adalah shalat sunnah yang dianjurkan agar dikerjakan, tetapi tak diwajibkan). Jadikan shalatmu lebih khusyuk—rasakan kehadiran Allah dalam setiap sujudmu. Shalat Tarawihlah dengan penuh ketaatan, dan jangan lewatkan Tahajjud—waktu ketika doa paling dikabulkan.
Jagalah lidah dan hatimu. Taqwa tak semata tentang menghindari makanan dan minuman; ia tentang mensucikan pikiran, perkataan, dan tindakanmu. Berbicaralah yang baik atau diam, hindari pertengkaran, dan singkirkan rasa iri atau dendam dari qalbumu.
Jadikan Istighfar dan doa sebagai kebiasaan harianmu. Rasulullah ﷺ memohon ampunan lebih dari 70 kali sehari—berapa banyak lagi yang harus kita lakukan? Buatlah daftar doa harian dan mohonlah Taqwa secara spesifik:
اللّٰهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الۡعَجۡزِ وَالۡكَسَلِ، وَالۡجُبۡنِ وَالۡبُخۡلِ، وَالۡهَرَمِ وَعَذَابِ الۡقَبۡرِ. اللّٰهُمَّ آتِ نَفۡسِي تَقۡوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنۡتَ خَيۡرُ مَنۡ زَكَّاهَا، أَنۡتَ وَلِيُّهَا وَمَوۡلَاهَا. اللّٰهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنۡ عِلۡمٍ لَا يَنۡفَعُ، وَمِنۡ قَلۡبٍ لَا يَخۡشَعُ، وَمِنۡ نَفۡسٍ لَا تَشۡبَعُ، وَمِنۡ دَعۡوَةٍ لَا يُسۡتَجَابُ لَهَا
'Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari kelemahan, kemalasan, sifat penakut, sifat pelit, pikun, dan azab kubur. Ya Allah, berilah kepada jiwaku ketakwaannya dan sucikanlah ia. Engkaulah sebaik-baik Dzat yang mensucikan. Engkaulah yang menjaga dan menguasainya. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari ilmu yang tak bermanfaat, dari qalbu yang tidak khusyu', dari jiwa yang tak merasa puas, dan dari doa yang tak terkabulkan.' [Sahih Muslim]
Amalkan Ihsan dalam segala hal. Taqwa adalah sadar akan Allah walaupun tiada yang melihat. Puasa bukan semata soal raga, melainkan pula soalan mata, telinga, dan hati—menghindari apapun yang menjauhkanmu dari-Nya.
Berilah sedekah dan carilah Lailatul Qadar. Rasulullah ﷺ adalah orang yang paling dermawan di bulan Ramadhan. Bersedekahlah setiap hari, meskipun sedikit. Carilah Lailatul Qadar dengan penuh ketaatan—bisa jadi malam itu hidupmu berubah selamanya.
Taqwa adalah perjalanan seumur hidup, dan Ramadhan adalah dorongan bagimu dalam mencapainya. Teruslah berdoa, tetaplah ikhlas, dan percayalah bahwa Allah akan menuntun hatimu. Semoga Dia memberkahimu dengan Ramadhan yang penuh barokah, rahmat, dan transformasi!

Puasa juga dimaksudkan untuk meningkatkan rasa syukur kita, sebagaimana disebutkan sebelumnya dalam Surah Al-Baqarah (2:185). Ketika kita menahan diri dari makan dan minum, kita menyadari betapa kita menganggapnya remeh. Rasa lapar mengingatkan kita kepada mereka yang kekurangan kebutuhan dasar sehari-hari, sehingga meningkatkan rasa syukur kita.
Puasa membantu kita menghargai karunia Iman dan Islam. Tak semua orang memiliki berkah mengenal Allah, dan puasa membuat kita lebih sadar akan rahmat-Nya. Dengan berpuasa, kita merasa lemah tanpa makanan—hal ini mengingatkan kita bahwa kesehatan kita adalah karunia dari Allah. Kita belajar bersyukur atas setiap tarikan napas, setiap tegukan air, dan setiap makanan yang kita nikmati.
Bersyukur bukan sekadar merasa bersyukur, tetapi juga mengungkapkannya melalui ibadah. Kita menunjukkan rasa syukur dengan berdoa, membaca Al-Qur'an, dan memperbanyak amal-shalih.
Rasulullah ﷺ adalah hamba Allah yang paling bersyukur, dan beliau ﷺ berpuasa secara teratur, bahkan di luar bulan Ramadhan. Diriwayatkan oleh Aisha (رضي الله عنها) bahwa Nabi ﷺ biasa berdiri (sholat) di malam hari hingga kakinya membengkak. Ia (رضي الله عنها) berkata beliau ﷺ, 'Ya Rasulullah, mengapa engkau melakukan ini padahal Allah telah mengampuni dosamu yang lalu dan yang akan datang?' Beliau ﷺ menjawab,
أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ عَبْدًا شَكُورًا
'Bukankah semestinya aku menjadi hamba yang bersyukur?' [Sahih Bukhari & Muslim]
Hal ini menunjukkan bahwa rasa syukur yang sejati diungkapkan melalui tindakan, bukan sekedar kata-kata.
Oleh karenanya, agar lebih menunjukkan rasa syukur di bulan Ramadhan ini, ingatlah nikmat Allah saat berbuka puasa; bersedekahlah kepada mereka yang kesulitan mencari makanan; bersyukurlah kepada Allah atas tuntunan Islam dan berusahalah lebih banyak mengamalkannya; dan perbanyaklah doa, dzikir, dan shalat sebagai bentuk syukur.

Ramadhan bukan cuma tentang berpuasa dari makanan dan minuman—ia undangan Ilahi untuk menemukan kembali dirimu, menyelaraskan kembali hatimu, dan terkoneksi kembali dengan Allah.
Ramadhan adalah sebuah cermin. Ramadhan menyingkirkan gangguan—pertemuan sosial, kesenangan, bahkan rutinitas harian kita—sehingga kita dapat melihat diri sendiri. Siapakah diriku tanpa kebiasaanku? Seberapa besar hidupku benar-benar berpusat pada Allah? Apakah diriku mengendalikan keinginanku, atau apakah keinginanku yang mengendalikan diriku? Inilah bulan untuk berhenti sejenak, merenung, dan mengkalibrasi ulang.

Mindset atau pola pikir Ramadhan lebih dari sekadar berpuasa. Pandanglah Ramadhan sebagai tempat latihan spiritual—bukan hanya tentang berpuasa, melainkan tentang menjauhi hal-hal negatif, kebiasaan buruk, dan godaan. Inilah kesempatan dirimu membangun disiplin dan membawa perubahan positif melampaui Ramadhan.
Semoga Ramadhan kali ini menjadi Ramadhan yang mengubahmu, mengangkat derajatmu, dan membawamu lebih dekat kepada Allah dibanding sebelumnya. Amin, amin yaa Rabbal Alamin," pungkas Limbuk.

English 

Rabu, 26 Februari 2025

Oligarki (8)

"Melobi dalam politik merujuk pada tindakan mempengaruhi pejabat pemerintah, legislator, dan pembuat kebijakan dalam membentuk undang-undang, peraturan, atau kebijakan yang menguntungkan kelompok kepentingan, organisasi, atau industri tertentu. Pelobi dapat mewakili perusahaan, kelompok advokasi, serikat pekerja, atau entitas lain yang berusaha memajukan kepentingan mereka," lanjut Cangik.
"Dalam 'Lobbying: The Art of Political Persuasion' (2008, Harriman House), Lionel Zetter mendefinisikan melobi sebagai 'proses dalam upaya membentuk agenda kebijakan publik guna mempengaruhi pemerintah (dan lembaga-lembaganya) dan program legislatif.' Ia juga menyebutnya sebagai 'the art of political persuasion.' Zetter mengeksplorasi asal-usul dan evolusi melobi, dengan mencatat bahwa asal muasal terma tersebut masih diperdebatkan tetapi berakar di Westminster atau Washington. Sebuah sumber menunjukkan bahwa pada tahun 1860-an, orang yang hendak mempengaruhi Presiden Ulysses S. Grant berkumpul di lobi Hotel Willard di Washington, D.C., mencari peluang guna menyampaikan kasus mereka kepadanya. Perspektif lain menelusuri terma tersebut ke Inggris Raya, tempat orang menunggu di lobi Gedung Parlemen dalam berinteraksi dengan Anggota Parlemen. Seiring berjalannya waktu, melobi berkembang menjadi profesi yang terstruktur, yang memainkan peran penting dalam membentuk kebijakan publik dan legislasi.
Zetter menekankan bahwa melobi yang beretika sangat penting dalam menjaga kepercayaan publik dan integritas sistem politik. Ia membahas perlunya pelobi mematuhi kode etik yang ketat, memastikan transparansi, kejujuran, dan penghormatan terhadap proses demokrasi. Kerangka regulasi bervariasi secara global, tetapi elemen umum mencakup pendaftaran wajib pelobi, pengungkapan aktivitas melobi, dan pembatasan pemberian atau insentif kepada pejabat publik. Langkah-langkah ini bertujuan mencegah pengaruh yang tak semestinya dan meningkatkan akuntabilitas dalam profesi pelobi.
Karya Zetter mengeksplorasi bagaimana aktivitas lobi didanai, dengan menyoroti bahwa pendanaan dapat berasal dari berbagai sumber, termasuk perusahaan, organisasi nirlaba, dan asosiasi industri. Zetter mencatat bahwa meskipun kontribusi finansial merupakan cara yang sah untuk mendukung upaya advokasi, kontribusi tersebut hendaknya dikelola secara transparan agar menghindari konflik kepentingan. Ia juga meneliti peran sumbangan politik, membahas bagaimana sumbangan tersebut dapat digunakan untuk mendapatkan akses ke pembuat kebijakan, tetapi juga bagaimana sumbangan tersebut diatur untuk mencegah korupsi dan memastikan bahwa pengaruh politik tidak dibeli secara tak semestinya.
Analisis komprehensif Zetter memberikan pemahaman yang bernuansa tentang dimensi etika dan finansial dari lobi, dengan menggarisbawahi pentingnya regulasi yang kuat dan praktik etis untuk menegakkan legitimasi advokasi politik.

'Lobbying' penting di banyak negara, terutama negara-negara dengan sistem demokrasi dimana pembuatan kebijakan dipengaruhi oleh berbagai pemangku kepentingan. AS memiliki salah satu industri 'lobbying' yang paling terdepan, dengan peraturan ketat yang mengharuskan pelobi mendaftar dan mengungkapkan aktivitas mereka. Hal ini penting karena kompleksitas pembuatan kebijakan di tingkat federal dan negara bagian, dengan bisnis, serikat pekerja, LSM, dan kelompok advokasi yang mempengaruhi undang-undang. Kontribusi finansial kampanye politik dan PAC (Political Action Committees) memainkan peran penting dalam pengaruh kebijakan.
Lobbying sangat berpengaruh di Inggris, khususnya di Parlemen dan kementerian pemerintah. Lembaga pemikir, serikat pekerja, perusahaan, dan kelompok advokasi bekerjasama dengan politisi membentuk undang-undang. Ada peraturan tentang lobi, tetapi ada kekhawatiran tentang transparansi terkait aktivitas lobi informal.
Lobbying amatlah penting di Brussels, tempat Komisi Eropa dan Parlemen Eropa membuat keputusan yang memengaruhi 27 negara anggota. Korporasi, LSM, dan industri mempengaruhi kebijakan UE tentang perdagangan, regulasi lingkungan, dan teknologi. Uni Eropa memiliki daftar transparansi untuk memantau aktivitas melobi.
Lobi merupakan profesi yang diatur di Kanada, dengan Undang-Undang Lobi yang mensyaratkan transparansi. Lobi penting dalam memengaruhi kebijakan pemerintah di tingkat federal dan provinsi. Sektor seperti energi, perawatan kesehatan, dan teknologi terlibat dalam lobi untuk membentuk regulasi.
Lobbying merupakan bagian penting dari politik Australia, khususnya dalam industri semisal pertambangan, pertanian, dan farmasi. Transparansi dan masalah etika telah menyebabkan regulasi lobi yang mengharuskan pelobi mendaftar dan mengungkapkan aktivitas mereka.
Jerman memiliki kehadiran lobi perusahaan dan industri yang kuat, khususnya di sektor seperti otomotif, energi, dan keuangan. Serikat pekerja dan kelompok lingkungan juga melobi untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Negara tersebut baru-baru ini memperkuat undang-undang transparansi untuk lobbying.
Lobbying semakin menonjol di Prancis, dengan perusahaan, serikat pekerja, dan kelompok advokasi mempengaruhi keputusan kebijakan. Ada kerangka hukum yang mengharuskan pelobi mendaftar dan mengungkapkan aktivitas mereka. Lobi perusahaan khususnya aktif dalam industri seperti pertahanan, teknologi, dan keuangan.
Meskipun lobbying tak terstruktur seperti di negara demokrasi Barat, lobbying memainkan peran penting dalam bisnis dan politik di India. Perusahaan besar, asosiasi perdagangan, dan konsultan politik mempengaruhi keputusan pemerintah. Kekhawatiran tentang transparansi dan etika lobi tetap menjadi tantangan.
Lobbying resmi terbatas di China, tetapi pengaruh terjadi melalui hubungan pemerintah, jaringan bisnis, dan organisasi yang berafiliasi dengan negara. Perusahaan asing dan bisnis domestik terlibat dalam lobi tidak langsung melalui asosiasi dan kemitraan industri.
Lobbying penting dalam membentuk kebijakan pemerintah, terutama di sektor-sektor semisal pertanian, energi, dan keuangan di Brazil. Kendati melobi itu legal, ada kekhawatiran tentang korupsi dan kurangnya transparansi. Reformasi terkini bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas dalam lobi politik.

Pemerintah mengandalkan masukan ahli dari bisnis, LSM, dan kelompok advokasi. Berbagai pemangku kepentingan (perusahaan, pekerja, kelompok lingkungan, dll.) memastikan bahwa aspirasi mereka didengar. Lobbying yang diatur dengan baik dapat membantu memastikan representasi yang adil ketimbang transaksi gelap. Industri melobi peraturan yang mempengaruhi perdagangan, undang-undang ketenagakerjaan, kebijakan lingkungan, dan perpajakan.
Meskipun tak dilembagakan atau transparan seperti di negara-negara Amerika Serikat atau Uni Eropa, lobbying di Indonesia seringkali beroperasi melalui jaringan informal, hubungan pribadi, dan koneksi bisnis-politik, bukan melalui firma atau asosiasi lobi formal.
Lobi di Indonesia sangat erat kaitannya dengan nepotisme dan jaringan patronase, dimana bisnis, elit politik, dan kelompok kepentingan mempengaruhi pengambilan keputusan melalui koneksi pribadi. Perusahaan besar, khususnya di sektor seperti pertambangan, minyak kelapa sawit, energi, dan telekomunikasi, terlibat dalam lobi untuk mendapatkan kontrak pemerintah, izin, dan peraturan yang menguntungkan.
Meskipun sumbangan politik diatur, bisnis seringkali mendukung partai politik atau kandidat dengan imbalan pengaruh atas keputusan ekonomi dan kebijakan. Organisasi semisal KADIN (Kamar Dagang dan Industri Indonesia) dan APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) bertindak sebagai kelompok lobi yang mewakili kepentingan sektor swasta. Bisnis dan investor internasional melobi pemerintah Indonesia, kerap melalui saluran diplomatik, konsultan, atau usaha patungan dengan perusahaan lokal.
Perusahaan kelapa sawit melobi peraturan lingkungan yang ketat dan mencari subsidi. Perusahaan pertambangan batu bara, emas, dan nikel melobi kebijakan ekspor dan izin pertambangan. Perusahaan teknologi melobi peraturan yang mempengaruhi perpajakan digital, e-commerce, dan perlindungan data. Proyek infrastruktur pemerintah sangat dipengaruhi oleh lobi dari perusahaan konstruksi besar.
Tak seperti negara-negara Barat, Indonesia tidak memiliki undang-undang lobi yang jelas, yang menyebabkan kurangnya transparansi dalam cara bisnis dan politisi berinteraksi. Indonesia telah menghadapi beberapa kasus korupsi besar dimana upaya lobi melibatkan penyuapan dan sogokan alih-alih negosiasi formal.
Beberapa industri yang paling berpengaruh dalam lobi meliputi Industri Minyak Kelapa Sawit, yang mempengaruhi regulasi lingkungan, kebijakan ekspor, dan undang-undang penggundulan hutan; Pertambangan dan Sumber Daya Alam, yang mengamankan izin pertambangan, menegosiasikan keringanan pajak, dan membentuk kebijakan energi; Teknologi & Ekonomi Digital, yang mempengaruhi regulasi internet, undang-undang perlindungan data, dan aturan investasi asing; Infrastruktur & Konstruksi, melobi kontrak pemerintah dan kemitraan publik-swasta; Farmasi & Kesehatan, membentuk kebijakan tentang harga obat, akses layanan kesehatan, dan investasi asing di rumah sakit; Industri Tembakau, mempengaruhi pajak rokok dan regulasi periklanan; Perbankan & Keuangan, melobi regulasi keuangan, kebijakan teknologi finansial, dan undang-undang kepemilikan asing.
Meskipun Indonesia memiliki komisi antikorupsi (KPK), menegakkan transparansi dalam lobi tetap menjadi tantangan. Upaya meningkatkan transparansi melalui undang-undang pengungkapan publik dapat memformalkan lobi. Memperkuat langkah-langkah antikorupsi dapat membantu mengatur bagaimana lobi mempengaruhi keputusan politik. Bisnis dapat mengadopsi praktik lobi yang lebih etis seiring dengan semakin terintegrasinya Indonesia ke dalam ekonomi global.

Lionel Zetter meneliti praktik lobi di berbagai wilayah, termasuk Timur Tengah. Meskipun karyanya memberikan gambaran umum yang komprehensif, perincian spesifik tentang lobi di Timur Tengah masih terbatas. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa lobi di wilayah ini seringkali beroperasi melalui jaringan informal dan hubungan pribadi, mengingat lanskap politik dan budaya yang unik. Ketiadaan kerangka lobi formal, seperti yang terlihat di negara-negara demokrasi Barat, berarti bahwa pengaruh seringkali diberikan melalui interaksi langsung dan koneksi yang mapan dalam kalangan elit penguasa dan komunitas bisnis.

'Total Lobbying: What Lobbyists Want (and How They Try to Get It)' oleh Anthony J. Nownes (2006, Cambridge University Press) menawarkan tinjauan ilmiah namun mudah dipahami tentang peran lobi dalam politik Amerika, yang diambil dari penelitian yang ada dan data asli dari wawancara dengan banyak pelobi di seluruh Amerika Serikat. Karya tersebut menjelaskan bagaimana pelobi beroperasi di semua cabang pemerintahan di tingkat nasional, negara bagian, dan lokal, yang memberikan pandangan komprehensif tentang lobi di luar apa yang tersedia dalam banyak literatur yang ada.
Nownes mendefinisikan lobi sebagai 'proses yang dilakukan individu dan kelompok untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.' Definisi ini menggarisbawahi bahwa melobi tak terbatas pada pelobi profesional, tetapi mencakup pula berbagai pelaku, semisal bisnis, kelompok kepentingan, dan bahkan warga biasa yang berupaya membentuk kebijakan publik.
Karena lobi mencakup berbagai aktivitas, strategi, dan pelaku yang beroperasi di berbagai tingkat pemerintahan, Nownes menggambarkan lobbying sebagai fenomena yang kompleks. Ia menyoroti bahwa lobbying bukanlah proses tunggal yang seragam, tetapi bervariasi tergantung pada lingkungan politik, isu kebijakan yang sedang dihadapi, dan sumber daya yang tersedia bagi pelobi. Karyanya juga mencatat bahwa lobbying terjadi di seluruh cabang pemerintahan—legislatif, eksekutif, dan bahkan yudikatif—yang semakin menambah kompleksitasnya.
Nownes mengidentifikasi beberapa strategi yang digunakan pelobi untuk mempengaruhi pembuat kebijakan. Strategi ini dapat dikategorikan secara luas menjadi lobi langsung dan lobi tak langsung (atau akar rumput). Dalam Lobi Langsung (Strategi Internal), pelobi terlibat dalam pertemuan tatap muka dengan pembuat kebijakan untuk menyampaikan argumen, menyediakan penelitian, dan mengadvokasi kebijakan tertentu. Kelompok kepentingan dan pelobi sering memberikan kesaksian di hadapan komite legislatif untuk membentuk diskusi kebijakan. Pelobi terkadang menulis rancangan undang-undang atau amandemen dan memberikannya kepada legislator untuk diperkenalkan. Mereka membangun hubungan jangka panjang dengan anggota parlemen, staf, dan pejabat lembaga untuk mendapatkan pengaruh dari waktu ke waktu.
Dalam Lobi tidak langsung (Strategi Eksternal), para pelobi mendorong masyarakat menghubungi perwakilan mereka melalui panggilan telepon, email, petisi, atau protes. Menggunakan iklan, media sosial, dan liputan berita untuk mempengaruhi opini publik dan, secara tidak langsung, keputusan politik. Pelobi sering membentuk aliansi dengan kelompok kepentingan lain untuk memperkuat pengaruh mereka. Mereka mendukung kandidat secara finansial atau melalui dukungan untuk mendapatkan pengaruh politik. Nownes menekankan bahwa efektivitas strategi ini bergantung pada konteks politik, isu yang sedang dilobi, dan sumber daya yang tersedia bagi para pelobi.

Nowness mengeksplorasi efektivitas lobbying dengan memeriksa berbagai faktor yang menentukan seberapa besar pengaruh yang dapat diberikan pelobi terhadap pembuat kebijakan. Ketika suatu isu tidak diketahui secara luas atau kontroversial, pelobi dapat memberikan dampak yang lebih besar karena pengawasan dan pertentangan publik yang lebih sedikit. Pelobi yang memiliki koneksi baik dan memiliki hubungan dengan anggota parlemen atau pejabat pemerintah cenderung lebih berhasil. Organisasi dengan sumber daya keuangan yang signifikan dapat mendanai penelitian, mempekerjakan pelobi yang terampil, dan mempertahankan upaya lobi jangka panjang, sehingga menjadi lebih efektif. Jika suatu isu mendapat perhatian media dan dukungan publik, pelobi dapat menggunakannya menekan politisi. Namun, jika opini publik sangat menentang tujuan pelobi, hal itu dapat menjadi bumerang. Mengetahui kapan harus melobi—seperti selama tahap awal pembentukan kebijakan—dapat meningkatkan peluang keberhasilan.
Nownes juga mengakui bahwa meskipun melobi itu powerful, namun tidak sepenuhnya powerful—pembuat kebijakan memiliki kepentingan, kendala, dan tekanan mereka sendiri yang membentuk keputusan mereka.

Nownes menyajikan beberapa temuan utama tentang lobbying di Amerika Serikat, yang menekankan kompleksitas, strategi, dan dampaknya. Lobi terjadi di seluruh tingkatan pemerintahan (lokal, negara bagian, dan federal) dan di semua cabang (legislatif, eksekutif, dan bahkan yudikatif). Lobbying melibatkan berbagai aktor, termasuk pelobi profesional, bisnis, kelompok kepentingan, serikat pekerja, dan bahkan warga negara.
Tak cuma satu cara untuk melobi—lobi sangat mudah beradaptasi dan bervariasi tergantung pada isu dan lingkungan politik. Strategi langsung (lobi internal) meliputi pertemuan pribadi dengan para pembuat kebijakan, memberikan kesaksian di hadapan komite legislatif, menyusun rancangan undang-undang, dan memelihara hubungan jangka panjang dengan para pejabat. Strategi tidak langsung (lobi eksternal) meliputi mobilisasi publik, kampanye media, pembangunan koalisi, dan mempengaruhi pemilihan umum melalui dukungan dan sumbangan kampanye. Pilihan strategi bergantung pada sifat isu kebijakan, sumber daya yang tersedia, dan political timing.
Melobi paling efektif ketika publik tak memerhatikan, karena pembuat kebijakan menghadapi lebih sedikit tekanan dari konstituen. Pelobi yang punya hubungan pribadi dengan legislator dan birokrat memiliki keuntungan yang signifikan. Kelompok dengan lebih banyak uang dan keahlian (misalnya, kepentingan perusahaan) cenderung lebih berhasil dalam mempengaruhi kebijakan. Melobi di awal proses kebijakan, terutama pada tahap penyusunan, meningkatkan peluang keberhasilan.
Sementara beberapa pihak memandang lobi sebagai tindakan korup atau manipulatif, Nownes berpendapat bahwa melobi merupakan bagian yang normal dan penting dari politik demokrasi. Tak semua melobi berkaitan dengan pengaruh perusahaan—banyak kelompok advokasi melobi untuk kepentingan publik, semisal perlindungan lingkungan atau hak sipil. Meskipun ada kepercayaan umum, uang tak selalu menjamin keberhasilan—para pelobi masih menghadapi kendala politik dan kelembagaan.
Legislator dan pejabat pemerintah tak mudah terpengaruh oleh lobi semata—mereka menyeimbangkan berbagai faktor, termasuk loyalitas partai, opini publik, dan keyakinan pribadi. Melobi merupakan salah satu pengaruh di antara banyak pengaruh dalam pembuatan kebijakan, tapi tidak secara langsung menentukan keputusan. Para pembuat kebijakan terkadang menggunakan pelobi untuk memperoleh keahlian, penelitian, dan proposal kebijakan, sehingga menjadikan lobi sebagai pertukaran dua arah.
Dalam isu-isu yang sangat teknis (misalnya, kebijakan pajak, regulasi perawatan kesehatan), pelobi yang ahli dapat berdampak yang lebih besar karena legislator mengandalkan pengetahuan mereka. Dalam isu-isu yang sangat menonjol dan kontroversial (misalnya, aborsi, dan pengendalian senjata), lobi kurang efektif karena politisi lebih mengutamakan opini publik dan keberpihakan partai daripada tekanan lobi.
Sementara lobi berfokus pada upaya mempengaruhi pembuat kebijakan setelah mereka terpilih, kelompok kepentingan juga mencoba membentuk siapa yang akan terpilih melalui sumbangan kampanye, dukungan, dan iklan politik. Hal ini memunculkan siklus dimana pejabat terpilih mungkin lebih reseptif terhadap mereka yang mendukung kampanyenya.
Nownes menyimpulkan bahwa lobi merupakan fitur yang penting dan meluas dalam demokrasi Amerika. Meskipun sering dianggap sebagai alat bagi orang kaya dan berkuasa, lobbying juga digunakan oleh kelompok kepentingan publik dan gerakan akar rumput. Efektivitas lobbying bergantung pada waktu, hubungan, sumber daya, dan sifat isu yang dilobi.

Nownes mendefinisikan para kelompok kepentingan (interest groups) sebagai entitas terorganisasi yang berupaya mempengaruhi kebijakan publik dengan cara yang menguntungkan anggotanya atau memajukan tujuan mereka. Kelompok ini dapat mewakili bisnis, serikat pekerja, asosiasi profesional, gerakan ideologis, atau tujuan kepentingan publik.
Pelobi kerap adalah profesional yang disewa yang bekerja bagi para kelompok kepentingan, tetapi keduanya tidak sama. Kelompok kepentingan terlibat dalam banyak kegiatan di luar lobi, termasuk pendidikan publik, mobilisasi akar rumput, dan pemilihan umum. Mengapa para kelompok kepentingan penting dalam politik? Para kelompok kepentingan menjembatani kesenjangan antara warga negara dan pemerintah dengan menyelenggarakan tindakan kolektif. Mereka menyediakan keahlian dan informasi kepada para pembuat kebijakan, memengaruhi keputusan kebijakan. Melalui kontribusi dan dukungan kampanye, mereka membentuk siapa yang terpilih dan dipilih kembali. Kelompok Kepentingan dapat menggunakan beberapa taktik: bertemu dengan para pembuat kebijakan, menyusun undang-undang, bersaksi di sidang (lobi langsung); Memobilisasi anggota untuk menghubungi pejabat, memprotes, atau mengajukan petisi (lobi akar rumput); menggunakan iklan dan liputan berita untuk membentuk opini publik (kampanye media); berkontribusi pada kandidat, mendukung tokoh politik, menjalankan iklan politik (eletioneering).

Nownes berpendapat bahwa meskipun kelompok kepentingan berpengaruh signifikan, mereka tak selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan. Efektivitas mereka bergantung pada sumber daya, opini publik, political timing, dan hambatan kelembagaan. Sementara beberapa pihak mengkritik kelompok kepentingan karena mendistorsi demokrasi demi kepentingan elit kaya, pihak lain memandang mereka penting bagi partisipasi demokrasi.

Dalam The Lobbying Strategy Handbook: 10 Steps to Advancing Any Cause Effectively (2021, Oxford University Press), Pat Libby membedakan lobbying dari advokasi, menekankan bahwa meskipun saling terkait, keduanya tidaklah sama. Advokasi adalah istilah umum yang merujuk pada segala upaya untuk mempengaruhi kebijakan publik, meningkatkan kesadaran, atau mempromosikan suatu tujuan. Advokasi mencakup berbagai kegiatan seperti pendidikan publik, kampanye media, dan pengorganisasian masyarakat. Advokasi umumnya tidak dibatasi dan dapat dilakukan oleh lembaga nirlaba, individu, dan organisasi tanpa batasan hukum. Advokasi mencakup berbagai kegiatan seperti menulis opini, mengorganisasi protes, atau mendidik masyarakat. Advokasi sering ditujukan kepada masyarakat umum untuk membangun kesadaran dan memobilisasi dukungan terhadap suatu isu.
Lobbying merupakan jenis advokasi khusus yang melibatkan komunikasi langsung dengan pejabat pemerintah untuk mempengaruhi undang-undang atau kebijakan. Lobi diatur oleh hukum, khususnya bagi organisasi nirlaba dan pelobi terdaftar, yang harus mengikuti persyaratan dan pembatasan pelaporan (seperti batasan keterlibatan kampanye politik). Lobi secara khusus melibatkan upaya langsung mempengaruhi anggota parlemen, semisal bertemu dengan legislator, memberikan kesaksian di sidang, atau mendorong perubahan legislatif tertentu. Lobi menargetkan pejabat pemerintah dan pembuat kebijakan agar mendorong perubahan kebijakan yang konkret. Pat Libby menekankan bahwa semua lobi adalah advokasi, namun tak semua advokasi adalah lobi. Advokasi merupakan konsep yang lebih luas yang mencakup berbagai cara untuk mendorong perubahan, sedangkan lobi adalah upaya yang lebih terfokus, legal, dan didorong oleh kebijakan.

'So Damn Much Money: The Triumph of Lobbying and the Corrosion of American Government' karya Robert G. Kaiser (2009, Alfred A. Knopf) meneliti bagaimana munculnya lobi telah menyebabkan erosi proses demokrasi di Amerika Serikat. Kaiser, seorang jurnalis kawakan, memberikan narasi mendalam tentang bagaimana lobi telah menjadi kekuatan yang menyebar luas, yang kerap mengarah pada keputusan kebijakan yang lebih memihak kepentingan khusus daripada kepentingan publik. Kaiser menyoroti kasus-kasus tertentu dimana upaya lobi telah menghasilkan hasil legislatif yang signifikan, yang menimbulkan kekhawatiran tentang integritas lembaga pemerintah.
Kaiser, seorang jurnalis kawakan, meneliti kebangkitan lobi di Amerika Serikat dan dampak buruknya terhadap demokrasi. Ia menelusuri bagaimana lobi telah berkembang menjadi industri bernilai miliaran dolar, yang membentuk kebijakan demi menguntungkan kepentingan khusus dengan mengorbankan masyarakat luas.
Kaiser berpendapat bahwa lobi telah mengubah prioritas Kongres, mengalihkan fokus legislatif dari isu-isu kepentingan publik (seperti perawatan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur) dan mengarah pada agenda perusahaan dan kepentingan khusus. Hal ini mengarah pada kebijakan yang melayani entitas terkaya dan paling berpengaruh daripada masyarakat umum.
Sejak tahun 1970-an, lobi telah berkembang secara dramatis, dengan perusahaan dan asosiasi perdagangan menginvestasikan sejumlah besar uang untuk mempengaruhi anggota parlemen. Lobi telah menjadi sebuah profesi, dengan firma-firma yang mengkhususkan diri dalam manipulasi kebijakan, menciptakan industri yang mandiri yang berkembang pesat dengan akses dan pengaruh orang dalam.
Pelobi dan kelompok kepentingan menyalurkan uang ke dalam kampanye politik, membuat pejabat terpilih semakin bergantung pada pendanaan kepentingan khusus. Hal ini menciptakan sistem dimana politisi memprioritaskan donor daripada pemilih, yang merusak akuntabilitas demokratis.
Banyak mantan anggota parlemen dan pejabat pemerintah menjadi pelobi usai meninggalkan jabatan, memanfaatkan koneksi orang dalam mereka untuk mempengaruhi kebijakan. 'Pintu putar' ini mendorong siklus perdagangan pengaruh, dimana keputusan kebijakan dibentuk oleh mantan orang dalam daripada pemilih. Para pelobi seringkali berupaya melemahkan regulasi di berbagai industri seperti keuangan, perawatan kesehatan, dan energi, yang berujung pada deregulasi yang menguntungkan perusahaan sekaligus meningkatkan risiko bagi warga biasa. Kaiser menyoroti bagaimana upaya lobi sektor keuangan berkontribusi terhadap krisis ekonomi 2008 dengan mendorong pengawasan yang longgar.
Kelompok kepentingan khusus kerap mendikte prioritas kebijakan, mengesampingkan isu-isu yang tak sejalan dengan tujuan finansial atau politiknya. Kaiser menjelaskan bagaimana perusahaan farmasi, misalnya, mempengaruhi kebijakan perawatan kesehatan untuk melindungi harga obat yang tinggi.
Perusahaan besar menyusun undang-undang dan mendorongnya melalui Kongres dengan pengawasan publik yang minimal. Kaiser merinci bagaimana perusahaan telekomunikasi dan energi telah membentuk kebijakan untuk mengamankan keuntungan monopoli, seringkali dengan mengorbankan konsumen. Ia berpendapat bahwa lobi memperburuk polarisasi politik, karena kelompok kepentingan mendorong anggota parlemen ke posisi ekstrem yang menguntungkan agenda mereka daripada mendorong kompromi. Hal ini berkontribusi pada kebuntuan legislatif, dimana reformasi yang berarti gagal karena tekanan lobi yang kuat.
Kaiser menyajikan lobi sebagai kekuatan yang menyebar luas yang mendistorsi demokrasi, membuat pemerintah lebih responsif terhadap kepentingan uang daripada kebutuhan warga negara biasa. Ia berpendapat bahwa sistem ini merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah dan menyerukan transparansi dan reformasi yang lebih besar untuk mengurangi dominasi kepentingan khusus.

Dalam Overview of Soft Corruption: How Unethical Conduct Undermines Good Government and What To Do About It (2017, Rutgers University Press), William E. Schluter, mantan senator negara bagian New Jersey, mengeksplorasi bentuk-bentuk korupsi yang lebih halus (soft corruption) yang mengikis tatakelola pemerintahan yang baik. Tak seperti penyuapan langsung atau pelanggaran pidana, yang mudah diidentifikasi, 'soft corruption' mengacu pada praktik yang sah, namun tak beretika, yang mendistorsi pembuatan kebijakan, yang selalu menguntungkan kelompok kepentingan yang kuat dengan mengorbankan masyarakat.
Pelobi menggunakan taktik legal tetapi etikanya dipertanyakan untuk mempengaruhi anggota parlemen, semisal hadiah mewah, perjalanan gratis, dan acara eksklusif yang membangun hubungan pribadi dengan legislator; Politik pintu putar, dimana pejabat pemerintah menjadi pelobi usai tak menjabat, menggunakan pengetahuan orang dalam untuk membentuk kebijakan; Ghostwriting legislation, dimana pelobi perusahaan atau industri menyusun rancangan undang-undang yang disahkan oleh legislator dengan sedikit pengawasan; Celah hukum memungkinkan donor dan perusahaan kaya memberikan pengaruh yang tak proporsional terhadap pemilihan umum dan keputusan kebijakan; Super PAC (Komite Aksi Politik) dan kelompok uang gelap mendanai kampanye politik, membuat politisi lebih bertanggungjawab kepada donor daripada kepada pemilih. Pejabat publik memberi penghargaan kepada sekutu politik dengan kontrak pemerintah, pekerjaan, atau peraturan yang menguntungkan, bahkan ketika mereka bukan kandidat yang paling memenuhi syarat (Kronisme dan Patronase). Hal ini menyebabkan inefisiensi dan merusak pengambilan keputusan berdasarkan prestasi. Legislator dan pembuat kebijakan memiliki saham dalam industri yang mereka atur, yang memungkinkan mereka meloloskan undang-undang yang menguntungkan kepentingan finansial mereka. Beberapa legislator menerima pekerjaan sektor swasta yang menguntungkan setelah meninggalkan jabatan dengan imbalan perlakuan yang menguntungkan saat berkuasa (konflik kepentingan); Beberapa politisi sengaja menunda legislasi atau memblokir reformasi yang akan meminta pertanggungjawaban pelobi dan donor. Gridlocks (kebuntuan) kerapkali menguntungkan status quo, yang menguntungkan kepentingan yang mengakar di atas kebutuhan publik.
Menurut Schluter, soft corruption mengacu pada perilaku yang sah tetapi tidak beretika, yang mendistorsi operasi pemerintah, pembuatan kebijakan, dan demokrasi. Tak seperti hard corruption, yang melibatkan kegiatan ilegal semisal penyuapan dan penipuan, soft corruption beroperasi dalam batasan hukum tetapi merusak kepercayaan publik dan tatakelola pemerintahan yang baik.
Soft corruption akan mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah; mengutamakan kepentingan khusus di atas kesejahteraan umum; mengurangi akuntabilitas, karena praktik yang tak beretika tetapi legal terus berlanjut tanpa kendali; melemahkan demokrasi dengan membuat pejabat terpilih lebih bergantung pada donor kaya daripada pemilih biasa.
Schluter berpendapat bahwa meskipun hard corruption (semisal penyuapan) adalah ilegal, soft corruption lebih berbahaya karena lebih sulit dideteksi dan legal dalam banyak kasus. Soft corruption tak melanggar hukum secara langsung, tetapi mengeksploitasi celah dalam sistem. Contohnya termasuk pengaruh lobi yang berlebihan, patronase politik, dan konflik kepentingan. Alih-alih membayar suap, kelompok kepentingan khusus menggunakan sumbangan kampanye, bantuan, dan jaringan untuk mempengaruhi politisi. Legislator dapat memprioritaskan kepentingan donor di atas kebutuhan pemilih, membentuk kebijakan yang menguntungkan perusahaan dan elit daripada publik.
Kepercayaan publik terhadap pemerintah menurun ketika warga negara menganggap bahwa politisi melayani para donatur kaya daripada para pemilih. Pengambilan keputusan pemerintah menjadi bias terhadap entitas yang kuat, sehingga mengurangi keadilan dan akuntabilitas. Schluter berpendapat bahwa soft corruption lebih berbahaya daripada korupsi kriminal karena lebih sulit dideteksi dan tetap legal. Hal ini menyebabkan ketidakefisienan pemerintah, favoritisme, dan kebijakan yang melayani kepentingan khusus daripada kepentingan publik. Ia menyebutkan beberapa contoh korupsi lunak: Pelobi menulis undang-undang atas nama perusahaan, yang disahkan oleh anggota parlemen dengan sedikit pengawasan; Mantan pejabat pemerintah menjadi pelobi (politik pintu putar) dan menggunakan pengaruh orang dalam mereka untuk menguntungkan kepentingan pribadi; Individu dan perusahaan kaya menyumbangkan sejumlah besar uang kepada politisi, memastikan keputusan kebijakan yang menguntungkan; Super PAC dan kelompok uang gelap memungkinkan pengaruh anonim atas pemilihan umum, sehingga mengurangi transparansi; Pejabat publik memberi penghargaan kepada teman, keluarga, dan sekutu politik dengan pekerjaan dan kontrak pemerintah. Hal ini memprioritaskan kesetiaan daripada prestasi, yang mengarah pada pemerintahan yang tidak efisien; Politisi menunda atau memblokir reformasi yang akan membatasi kekuatan lobi, memperkuat aturan etika, atau meningkatkan transparansi.
Schluter berpendapat bahwa korupsi ringan lebih berbahaya daripada korupsi kriminal karena lebih sulit dideteksi dan tetap legal. Hal ini menyebabkan inefisiensi pemerintah, favoritisme, dan kebijakan yang melayani kepentingan khusus daripada kepentingan publik.

Schluter mendefinisikan 'politik pintu putar' sebagai perpindahan individu antara posisi pemerintahan dan sektor swasta, khususnya peran lobi dan industri, dengan cara yang menciptakan konflik kepentingan dan merusak tatakelola pemerintahan yang baik. Ini merujuk pada siklus dimana pejabat publik meninggalkan pekerjaan pemerintah untuk bekerja di perusahaan swasta yang berupaya mempengaruhi kebijakan pemerintah—atau sebaliknya. Praktik ini memungkinkan perusahaan dan kelompok kepentingan khusus untuk memberikan pengaruh yang tak semestinya terhadap para pembuat kebijakan dengan memanfaatkan koneksi pribadi dan pengetahuan orang dalam.
Banyak pejabat pemerintah yang sudah pensiun atau mengundurkan diri mengambil pekerjaan bergaji tinggi sebagai pelobi, konsultan, atau eksekutif perusahaan di industri yang pernah mereka atur. Orang-orang ini menggunakan koneksi dan pengetahuan orang dalam mereka untuk mempengaruhi mantan kolega mereka dan mendorong agenda perusahaan. Misalnya, seorang mantan senator bergabung dengan firma lobi farmasi untuk mengadvokasi regulasi harga obat yang menguntungkan perusahaan besar.
Perusahaan sering menempatkan para eksekutifnya pada posisi pemerintahan, memastikan kebijakan yang berpihak pada kepentingan bisnis mereka. Misal, seorang mantan eksekutif perusahaan minyak menjadi kepala Badan Perlindungan Lingkungan (Environmental Protection Agency, EPA) dan melemahkan peraturan tentang polusi.
Karena mantan pejabat pemerintah sering bekerja di industri yang pernah mereka atur, mereka cenderung tak menegakkan aturan ketat atau mendorong reformasi yang merugikan prospek pekerjaan masa depan mereka. Hal ini memunculkan konflik kepentingan, dimana para pembuat keputusan memprioritaskan manfaat karier masa depan daripada layanan publik.
Ketika publik melihat pejabat pemerintah berpindah-pindah antara lembaga regulator dan industri yang mereka awasi, mereka kehilangan kepercayaan pada ketidakberpihakan keputusan pemerintah. Hal ini mengarah pada persepsi bahwa kepentingan perusahaan mengendalikan kebijakan, bukan pemilih.

Fenomena 'politik pintu putar'—dimana individu berpindah antar peran di sektor publik dan industri swasta, yang menimbulkan potensi konflik kepentingan—juga terjadi di Indonesia.
Laporan Greenpeace tahun 2018 menyoroti bagaimana orang-orang yang terekspos secara politik (politically exposed persons, PEP) di Indonesia kerap menduduki posisi kepemimpinan di perusahaan batubara. Tumpang tindih antara peran politik dan kepentingan bisnis ini dapat menyebabkan konflik kepentingan dan keputusan kebijakan yang lebih memihak industri batubara daripada masalah lingkungan.
Transparency International Indonesia telah melaporkan tentang 'fenomena pintu putar' dalam industri minyak kelapa sawit, dimana pejabat yang bertanggungjawab mengatur sektor tersebut beralih ke peran dalam industri tersebut, dan sebaliknya. Pergerakan ini dapat mengakibatkan penangkapan regulasi, dimana kepentingan industri mendominasi keputusan kebijakan, yang berpotensi mengorbankan standar lingkungan dan sosial.

Contoh-contoh ini menggambarkan bagaimana pertukaran personel antara jabatan publik dan industri swasta di Indonesia dapat mengarah pada kebijakan yang mengutamakan kepentingan perusahaan, yang menimbulkan kekhawatiran tentang tatakelola dan kepercayaan publik.
Militer Indonesia secara historis mempertahankan kehadiran yang signifikan dalam urusan negara, warisan dari era Orde Baru (1967-1998) ketika angkatan bersenjata tertanam kuat dalam bidang politik dan sosial. Meskipun ada reformasi yang bertujuan memprofesionalkan militer dan mengurangi keterlibatan langsungnya dalam politik, perwira militer yang sudah pensiun terus menduduki posisi berpengaruh dalam pemerintahan dan partai politik. Misalnya, sejak transisi demokrasi, beberapa tiket presiden telah menampilkan mantan jenderal militer, yang mencerminkan pengaruh abadi tokoh militer dalam politik. Di tingkat lokal, perwira yang sudah pensiun juga mengejar jabatan politik, meskipun dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi. Partai politik sering merekrut para pensiunan ini, mengintegrasikan mereka ke dalam struktur politik sipil.
Pergerakan antara dinas militer dan peran politik ini merupakan contoh politik pintu putar, dimana keahlian dan jaringan perwira yang sudah pensiun dimanfaatkan dalam pemerintahan sipil. Meskipun hal ini dapat meningkatkan wawasan sektor keamanan dalam pembuatan kebijakan, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang potensi konflik kepentingan dan militerisasi lembaga sipil.
Singkatnya, politik pintu putar di Indonesia terwujud melalui interaksi antara perusahaan milik negara dan kepentingan politik, serta transisi perwira militer dan polisi yang sudah pensiun ke peran pemerintahan sipil. Untuk mengatasi dinamika ini diperlukan penguatan kerangka tatakelola, peningkatan transparansi, dan memastikan penggambaran yang jelas antara ranah militer dan sipil guna menegakkan prinsip-prinsip demokrasi."

Senin, 24 Februari 2025

Oligarki (7)

"First things first, baca berita dulu," kata Cangik seraya membuka koran. "Politik Indonesia, Menampilkan Plot Twist yang Tak Diinginkan Siapa Pun! Dalam rangkaian peristiwa yang mengejutkan, yang membuat bangsa ini meraih popcorn-nya, sebuah video Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto membocorkan rahasia tentang dugaan manuver Mulyono dalam melumpuhkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), komisi anti-korupsi Indonesia.
Hasto menduga Mulyono tengah memainkan permainan catur strategis untuk melindungi putranya, Gibran Rakabuming Raka, dan menantunya, Bobby Nasution, dari cengkeraman KPK. Itu seperti mengatakan, 'Yuk, mari kita lemahkan badan anti-rasuah sehingga keluargaku dapat bermain SimCity tanpa takut diaudit!' Menurut Hasto, semua ini terjadi sekitar waktu Gibran dan Bobby mengincar kursi walikota. Hasto mengklaim ia telah memperingatkan Mulyono bahwa pencalonan mereka mungkin menarik perhatian yang tak diinginkan dari KPK, yang berpotensi mengarah pada beberapa skenario 'ketangkep basah' yang bikin gagap. Namun, plot twist, Hasto menyebutkan bahwa Mulyono, melalui utusan menteri, memprakarsai revisi undang-undang KPK, bahkan membisikkan tentang anggaran $ 3 juta untuk memperlancar jalannya.
Tentu saja, ada yang mengomentari hal ini. Salah seorang 'Ternak Mulyono' bersikeras bahwa mantan presiden itu sebenarnya menolak beberapa poin revisi yang lebih mengejutkan. Sementara itu, seorang analis politik berpikir video Hasto hanyalah 'gertak sambal'–pepesan kosong–atau desperate counter seusai Hasto sendiri diseret KPK.
Reaksi publik lainnya sangat beragam. Banyak yang menganggapnya sebagai episode terbaru yang wajib ditonton dari "Mulyono vs. Banteng," lengkap dengan ironi dramatis dan jeda iklan.
Sebagian besar masyarakat dilaporkan mencari di Google 'Hasto Kristiyanto' untuk mencari tahu mengapa pendapatnya penting. Beberapa orang mengkritik, menyatakan ini semua hanyalah manuver politik yang disamarkan sebagai keadilan. Nah, pertanyaan yang membara di benak setiap orang: apakah uang $3 juta milik Mulyono itu berasal dari kantong rakyat alias APBN, ataukah mengalir melalui jalur offshore account alias money laundering? Place your bets, ladies and gentlemen!
Seiring berjalannya drama, satu hal yang jelas: politik Indonesia masih lebih menghibur dibanding hiburan yang sebenarnya.
Disclaimer: Ini satire. Segala kemiripan dengan orang sungguhan, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, atau kejadian sebenarnya adalah murni kebetulan... atau, emang iya?"

Sekarang mari kita omon-omon tentang beberapa negara dengan pengaruh Oligarki minimal. Pertama, Norwegia. Kenapa? Norwegia punya transparansi yang tinggi, undang-undang pendanaan kampanye yang ketat, dan sistem kesejahteraan sosial yang kuat, yang mencegah konsentrasi kekayaan berlebihan. Norwegia memiliki lembaga publik yang kuat, perpajakan progresif dan redistribusi kekayaan, serta kebebasan pers yang tinggi.
Dalam "The Nordic Theory of Everything: In Search of a Better Life" (Harper, 2016), Anu Partanen mengeksplorasi struktur masyarakat negara-negara Nordik, menyoroti bagaimana kebijakan mereka mendorong otonomi individu dan meminimalkan pengaruh oligarki. Partanen menekankan bahwa akses universal ke layanan berkualitas tinggi—semisal pendidikan, perawatan kesehatan, dan pengasuhan anak—memastikan kesempatan yang sama bagi seluruh warga negara, mengurangi ketergantungan pada elit yang kuat dan kekuatan pasar. Pendekatan ini mendorong mobilitas sosial dan mengurangi konsentrasi kekayaan dan kekuasaan, sehingga membatasi pengaruh oligarki. Dengan berinvestasi dalam layanan publik yang kuat dan menerapkan kebijakan yang memprioritaskan well-being setiap warga negara, Norwegia mencontohkan masyarakat yang mengutamakan pemberdayaan dan kesetaraan individu.

Kedua, Denmark. Kenapa? Denmark secara konsisten menempati peringkat di antara negara-negara yang paling tidak korup, dengan kerangka hukum yang kuat yang mencegah elit bisnis mendominasi politik. Denmark memiliki undang-undang anti-lobi yang ketat dan tatakelola serta peraturan perusahaan yang transparan.
Viking Economics: How the Scandinavians Got It Right—and How We Can, Too karya George Lakey (2016, Melville House) berpendapat bahwa Denmark, bersama dengan negara-negara Skandinavia lainnya, memiliki pengaruh oligarki yang minimal karena tradisi demokrasi yang kuat, kesetaraan ekonomi, dan welfare state (konsep negara yang berfokus pada kesejahteraan rakyatnya. Dalam konsep ini, pemerintah berperan penting dalam menyediakan layanan publik dan perlindungan sosial) yang kokoh.
Denmark memiliki kebijakan yang mencegah konsentrasi kekayaan yang berlebihan, seperti pajak progresif, serikat pekerja yang kuat, dan jaring pengaman sosial. Kebijakan-kebijakan ini membatasi kekuatan elit kaya.
Para pekerja Denmark berpengaruh signifikan dalam pembuatan kebijakan melalui perundingan bersama dan partisipasi serikat pekerja yang tinggi. Hal ini mencegah perusahaan dan orang kaya mendominasi politik.
Denmark secara konsisten menempati peringkat di antara negara-negara dengan tingkat korupsi paling rendah di dunia, memastikan bahwa keputusan politik melayani publik dan bukan hanya segelintir elit. Negara ini telah mendanai pendidikan, perawatan kesehatan, dan layanan sosial secara publik, sehingga mengurangi ketergantungan pada kekayaan pribadi dan lobi perusahaan. Denmark menyeimbangkan efisiensi pasar dengan intervensi pemerintah, memastikan bahwa bisnis tidak mengumpulkan kekuatan yang tak terkendali atas masyarakat. Lakey membandingkan hal ini dengan sistem yang lebih oligarki, semisal AS, dimana orang kaya berpengaruh yang tak proporsional melalui pendanaan kampanye dan lobi. Ia berpendapat bahwa budaya egaliter dan pilihan kebijakan Denmark menciptakan sistem dimana kekuasaan tetap didistribusikan secara luas di antara rakyat.

Ketiga, Swedia. Kenapa? Sistem politik Swedia didasarkan pada kebijakan egaliter yang membatasi kemampuan kaum elit kaya dalam mengendalikan pengambilan keputusan. Swedia punya mobilitas sosial yang tinggi dan pemilihan umum yang didanai publik.
Dalam The Almost Nearly Perfect People: Behind the Myth of the Scandinavian Utopia (2014, Jonathan Cape), Michael Booth membahas bagaimana Swedia memiliki pengaruh oligarki yang relatif minimal dibanding dengan banyak negara lain. Ia mengaitkan hal ini dengan beberapa faktor utama.
Swedia secara historis telah menerapkan kebijakan yang mengurangi konsentrasi kekayaan, termasuk pajak yang tinggi dan program kesejahteraan sosial yang kuat. Hal ini membatasi kemampuan sekelompok kecil elit mendominasi politik atau ekonomi.
Swedia memiliki kerangka kelembagaan yang kuat yang mempromosikan transparansi dan mengurangi korupsi, sehingga menyulitkan oligarki mempengaruhi yang tak semestinya pada keputusan pemerintah.
Ada penekanan budaya yang mengakar pada egalitarianisme dan pengambilan keputusan yang didorong oleh konsensus, yang menghambat akumulasi kekuasaan di tangan beberapa individu kaya.
Swedia memiliki intervensi negara yang kuat dalam industri-industri utama, yang mencegah pembentukan monopoli dan mengurangi pengaruh perusahaan atas politik.
Booth membandingkan model Swedia dengan sistem yang lebih oligarki, dimana elit yang lebih kaya memiliki kendali yang tak proporsional atas pembuatan kebijakan. Meskipun Swedia tidak sepenuhnya bebas dari pengaruh elit, struktur dan kebijakannya secara signifikan mengurangi kekuatan oligarki dibandingkan dengan negara lain.

Keempat, Selandia Baru. Kenapa? Dengan tingkat akuntabilitas pemerintah yang tinggi dan lingkungan bisnis yang diatur dengan baik, Selandia Baru memiliki tingkat kontrol oligarki yang rendah, peradilan yang independen, dan tak ada budaya lobi politik yang signifikan.
The Open Society and Its Enemies (1945, Routledge) karya Karl Popper mengkritik totalitarianisme dan membela demokrasi liberal sebagai perlindungan terbaik terhadap pemerintahan otoriter, termasuk pengaruh oligarki.
Selandia Baru sering dipandang sebagai negara dengan pengaruh oligarki yang minimal karena negara ini mewujudkan banyak cita-cita demokrasi yang diadvokasikan Popper.
Selandia Baru memiliki demokrasi parlementer yang mapan dengan proses pemilihan yang transparan dan sistem perwakilan proporsional (Mixed-Member Proportional, MMP) yang mencegah dominasi oleh sekelompok kecil elit. Menurut organisasi seperti Transparency International, Selandia Baru secara konsisten menempati peringkat sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi yang paling rendah, yang menunjukkan pengaruh yang tak semestinya oleh kepentingan oligarki yang minimal.
Selandia Baru secara historis telah menjalankan kebijakan yang mempromosikan mobilitas sosial, redistribusi kekayaan, dan layanan publik yang mudah diakses, sehingga mengurangi ketimpangan ekonomi yang kerap memicu kekuatan oligarki. Sistem hukum yang kuat dan independensi media memastikan akuntabilitas, sehingga mencegah elit mengonsolidasikan kekuasaan yang berlebihan. Popper, yang tinggal di Selandia Baru dari tahun 1937 hingga 1945 saat menulis The Open Society and Its Enemies, kemungkinan besar melihat atribut ini secara langsung, memperkuat pandangannya tentang negara tersebut sebagai contoh masyarakat terbuka dengan pengaruh oligarki yang terbatas.

Kelima, Swiss. Kenapa? Swiss memiliki tatakelola yang terdesentralisasi, mekanisme demokrasi langsung, dan kerangka hukum yang kuat, yang mencegah oligarki mendominasi politik nasional. Dapat dikatakan bahwa referendum yang digerakkan oleh warga negara membatasi pengaruh elit dan regulasi keuangan yang kuat sebagai fitur utamanya.
Dalam karyanya 'Why Switzerland?' (2015, Cambridge University Press), Jonathan Steinberg meneliti struktur politik dan sosial unik yang berkontribusi pada pengaruh oligarki minimal di Swiss. Steinberg menyoroti beberapa faktor utama yang membatasi kekuasaan oligarki di Swiss.
Warga negara Swiss berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan melalui referendum dan inisiatif, memastikan bahwa kekuasaan tetap didistribusikan di antara penduduk daripada terpusat pada beberapa orang terpilih.
Sistem politik Swiss memberikan kewenangan yang signifikan kepada pemerintah kanton dan komunal, mendorong struktur kekuasaan terdesentralisasi yang mencegah munculnya oligarki yang dominan.
Swiss menggunakan dewan eksekutif beranggotakan banyak orang di tingkat federal, kanton, dan lokal, yang mempromosikan kepemimpinan kolektif dan mengurangi kemungkinan konsolidasi kekuasaan oleh individu atau kelompok kecil.
Pengaturan kelembagaan ini, sebagaimana dianalisis oleh Steinberg, menciptakan lingkungan politik dimana pengaruh oligarki diminimalkan, dan tatakelola mencerminkan spektrum luas penduduk Swiss.

Meskipun tak ada negara yang sepenuhnya bebas dari pengaruh elit, negara-negara dengan transparansi tinggi, lembaga-lembaga demokrasi yang kuat, dan peraturan ketat tentang akumulasi kekayaan cenderung sangat sedikit dikontrol oleh oligarki. Namun, bahkan di negara-negara ini, elit ekonomi mungkin masih memiliki pengaruh dalam taraf tertentu, khususnya melalui kepemilikan media dan lobi industri. Di Negara Bebas Oligarki, transparansi, pajak progresif, kesejahteraan sosial, dan kebebasan pers diutamakan guna memastikan bahwa kekayaan dan kekuasaan tak terpusat di tangan segelintir orang. Negara-negara yang dikendalikan oligarki mengalami korupsi yang tinggi, kesenjangan kekayaan, dan kontrol elit atas politik dan media, yang menyebabkan terbatasnya demokrasi dan mobilitas sosial.

Banyak pemerintahan di seluruh dunia dipengaruhi oleh oligarki melalui hubungan bisnis langsung, pendanaan politik, atau manipulasi kebijakan. Tingkat pengaruh ini bergantung pada kerangka hukum suatu negara, independensi media, dan kesadaran publik.
Oligarki mempengaruhi kebijakan pemerintah melalui berbagai metode langsung dan tidak langsung, memastikan bahwa keputusan politik selaras dengan kepentingan ekonomi dan pribadi mereka. Kaum oligarki mendanai kampanye pemilu dengan imbalan kebijakan yang menguntungkan, keringanan pajak, dan kontrak pemerintah. Para politisi menjadi tergantung pada para donor elit dan mengutamakan kepentingan mereka sendiri daripada kepentingan publik. Para oligark menyewa pelobi untuk mempengaruhi anggota parlemen dan lembaga regulasi. Mereka mendorong deregulasi, pengurangan pajak, dan undang-undang yang menguntungkan industri mereka.
Dalam Captured Economy: How the Powerful Enrich Themselves, Slow Down Growth, and Increase Inequality karya Brink Lindsey dan Steven M. Teles (2017, Oxford University Press), para penulisnya berpendapat bahwa kebijakan ekonomi di AS telah 'direbut' oleh para elit yang memanipulasi peraturan dan hukum demi keuntungan mereka. Mereka menjelaskan bagaimana penangkapan regulasi ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat, meningkatnya kesenjangan, dan berkurangnya persaingan. Kebijakan yang menguntungkan lembaga keuangan besar, memungkinkan mereka mengambil risiko yang berlebihan sambil terlindungi dari konsekuensinya melalui dana talangan pemerintah. Persyaratan perizinan yang ketat membatasi persaingan dalam berbagai profesi, yang secara tidak proporsional menguntungkan praktisi mapan dengan mengorbankan pendatang baru. Undang-undang paten dan hak cipta yang memperluas monopoli melampaui batas yang wajar, menghambat inovasi sambil menguntungkan perusahaan besar. Undang-undang zonasi dan pembatasan bangunan membatasi pasokan perumahan, meningkatkan harga real estat dan menguntungkan pemilik properti sambil membuat perumahan kurang terjangkau. Para penulis berpendapat bahwa kebijakan ini memunculkan inefisiensi ekonomi dan memperburuk ketimpangan dengan melindungi kepentingan orang kaya alih-alih mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis luas.

Para oligark memiliki atau mendanai media, yang membentuk opini publik dan hasil pemilu. Mereka menekan liputan negatif terhadap politisi yang mendukung mereka dan mendiskreditkan suara oposisi. The Media Monopoly karya Ben Bagdikian (1983, Beacon Press) membahas bagaimana sejumlah kecil perusahaan besar mengendalikan sebagian besar media, membentuk wacana publik, dan membatasi sudut pandang yang beragam. Bagdikian berpendapat bahwa kepemilikan perusahaan menyebabkan beberapa raksasa media mendikte berita apa yang dilaporkan, yang mempengaruhi persepsi publik. Liputan berita memprioritaskan kepentingan komersial daripada kepentingan publik, yang seringkali menguntungkan pengiklan dan pemangku kepentingan perusahaan. Perspektif alternatif, terutama yang kritis terhadap kekuatan perusahaan atau kebijakan pemerintah yang selaras dengan bisnis besar, terpinggirkan. Dengan lebih sedikit pemilik, konten media menjadi seragam, mengurangi jurnalisme investigasi dan pelaporan kritis.
Pada tahun 1983, Bagdikian memperingatkan sekitar 50 perusahaan media besar yang mengendalikan sebagian besar berita AS. Pada tahun 2004, jumlah ini menyusut menjadi hanya lima atau enam perusahaan besar (misalnya, Disney, News Corp, Time Warner, Viacom, dan CBS). Saat ini, segelintir perusahaan (misalnya, Comcast, Disney, Warner Bros. Discovery, dan beberapa lainnya) mendominasi televisi, film, dan media digital.
Meskipun media tradisional masih berpengaruh, perusahaan teknologi besar (Google, Facebook, Amazon, dan Twitter/X) kini mengendalikan arus informasi melalui algoritma. Platform ini menentukan berita apa yang sampai ke pengguna berdasarkan keterlibatan, seringkali memprioritaskan sensasionalisme, clickbait (teknik untuk mendorong orang mengklik tautan, dengan cara memanipulasi judul atau isi konten, biasanya membujuk pengguna agar mengikuti tautan tersebut. Umumnya bercirikan menipu, dibesar-besarkan, atau menyesatkan, menghilangkan informasi penting, membesarkan-besarkan detail cerita, menggunakan judul yang tidak sesuai dengan isi konten), dan pendapatan iklan daripada pelaporan faktual.
Kepemilikan perusahaan memprioritaskan profitabilitas, yang menyebabkan pengurangan jurnalisme investigasi bentuk panjang demi berita yang berfokus pada hiburan. Surat kabar lokal, yang dulunya penting untuk pelaporan investigasi, telah ditutup atau diakuisisi oleh dana lindung nilai yang memangkas biaya dengan mengorbankan jurnalisme berkualitas. Organisasi media yang bergantung pada iklan sering kali menghindari cerita yang dapat menyinggung sponsor utama (misalnya, perusahaan farmasi dan industri minyak). Kemitraan pemerintah dengan media (langsung atau tidak langsung) dapat memengaruhi narasi, khususnya dalam liputan politik, kebijakan luar negeri, dan pelaporan ekonomi.
Internet telah memungkinkan suara-suara independen untuk menantang media arus utama, tetapi juga telah menyebabkan infodemi—banjir informasi yang salah dan pelaporan yang bias. Silo media sayap kanan dan sayap kiri menciptakan ruang gema, yang memperkuat bias ideologis alih-alih memberikan pelaporan yang berimbang. Banyak outlet terkemuka (misalnya, The New York Times, The Washington Post) sekarang beroperasi di balik tembok berbayar, membatasi jurnalisme berkualitas bagi mereka yang mampu membelinya. Sementara itu, berita gratis sering kali terdiri dari konten berkualitas rendah yang didorong oleh iklan.
Peringatan Bagdikian telah terwujud dalam skala yang jauh lebih besar. Kombinasi monopoli media, raksasa teknologi, dan tekanan finansial telah menghasilkan sistem dimana berita seringkali disensasionalisasi, bias, atau dikendalikan oleh beberapa pemain elit.

Para oligarki memastikan bahwa pengadilan, jaksa, dan regulator menutup mata terhadap aktivitas mereka. Mereka menggunakan celah hukum, penyuapan, atau tekanan politik untuk menghindari akuntabilitas. Dalam Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (2012, Crown Publishing), Daron Acemoglu dan James A. Robinson berpendapat bahwa para elit memanipulasi lembaga demi mempertahankan kekuasaan dan keuntungan ekonomi mereka. Para elit merancang lembaga politik dan ekonomi yang memusatkan kekuasaan di tangan mereka sambil mencegah partisipasi yang lebih luas. Lembaga-lembaga ini memastikan kekayaan mengalir ke para elit dengan mengorbankan mayoritas. Ketika ada ancaman perubahan kelembagaan menuju inklusivitas, para elit menolak reformasi dengan menekan perbedaan pendapat, mengatur pemilihan umum, atau menggunakan kerangka hukum demi mempertahankan kendali. Alih-alih membiarkan persaingan, para elit seringkali menyerap penantang potensial ke dalam sistem melalui patronase, hak istimewa, atau korupsi. Para elit dapat menggunakan paksaan, pembatasan hukum, atau bahkan kekuatan militer untuk mencegah munculnya struktur kekuasaan alternatif yang dapat menantang dominasi mereka. Dengan mengendalikan sektor ekonomi utama, para elit mencegah inovasi dan persaingan, memastikan bahwa kekayaan tetap terkonsentrasi.

Para oligark menempatkan sekutu di posisi pemerintahan untuk mendorong kebijakan yang menguntungkan bisnis mereka. Setelah bertugas di pemerintahan, para pejabat bergabung dengan perusahaan swasta atau dewan penasihat yang dikendalikan oleh para oligark.
Karya David Rothkopf Superclass: The Global Power Elite and the World They Are Making (2008, Farrar, Straus and Giroux) mengeksplorasi bagaimana sekelompok kecil elit yang saling terhubung berpengaruh yang tak proporsional terhadap politik, ekonomi, dan masyarakat global. Menurut Rothkopf, para elit ini—yang terdiri dari sekitar 6.000-an orang—mengendalikan lembaga internasional, perusahaan multinasional, pemerintah, dan jaringan media. Kekuasaan mereka diperkuat melalui pertemuan eksklusif semisal Forum Ekonomi Dunia di Davos, pertemuan Bilderberg, dan acara tertutup lainnya dimana keputusan global utama seringkali dibentuk di luar proses demokrasi. Rothkopf berpendapat bahwa superkelas ini beroperasi di luar batas negara, memprioritaskan kepentingan mereka dan membentuk kebijakan yang menguntungkan kekayaan dan pengaruh mereka, kerap dengan mengorbankan populasi yang lebih luas.
Para oligark menggunakan pengaruh mereka mengamankan monopoli dalam bidang energi, keuangan, telekomunikasi, dan media. Mereka mencegah persaingan dengan menggunakan koneksi politik guna meloloskan peraturan yang membatasi. Capital in the Twenty-First Century (2014, Harvard University Press) karya Thomas Piketty membahas tentang konsentrasi kekayaan dan ketimpangan ekonomi. Piketty menyoroti bagaimana akumulasi kekayaan dan pengaruh politik memungkinkan para elit membentuk kebijakan yang menguntungkan mereka. Menurut Piketty, para oligark dan elit kaya menggunakan beberapa mekanisme mengamankan monopoli. Orang kaya membiayai kampanye politik, melobi para pembuat kebijakan, dan mempengaruhi peraturan untuk mempertahankan dominasi pasar dan mencegah persaingan.
Banyak oligarki di negara-negara pasca-Soviet dan wilayah lain mengumpulkan kekayaan melalui privatisasi aset negara, memperoleh kendali atas industri-industri utama seperti energi dan telekomunikasi. Pengembalian modal yang tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi (return > growth) memungkinkan orang kaya menginvestasikan kembali kekayaan mereka ke dalam usaha-usaha monopoli, sehingga mempersulit pesaing baru untuk memasuki pasar. Para elit kaya kerap memiliki atau memengaruhi outlet media untuk mengendalikan wacana publik, melindungi kepentingan mereka, dan menekan tekanan regulasi. Argumen Piketty yang lebih luas menunjukkan bahwa kekayaan yang diwariskan dan kekuasaan politik menciptakan struktur monopoli yang saling memperkuat dalam ekonomi kapitalis.

Lembaga pemikir, universitas, dan LSM yang didanai oleh para oligark mempromosikan kebijakan yang menguntungkan kepentingan elit. Mereka mempengaruhi penelitian akademis, memastikan teori ekonomi dan politik selaras dengan tujuan mereka.
Dalam Democracy in Chains: The Deep History of the Radical Right’s Stealth Plan for America (2017, Viking), Nancy MacLean berpendapat bahwa oligarki mempengaruhi kebijakan ekonomi melalui akademisi dengan mendanai lembaga penelitian libertarian dan pasar bebas, program universitas, dan lembaga pemikir. Ia menyoroti bagaimana orang kaya, semisal Charles Koch, telah berinvestasi secara strategis dalam jaringan akademis untuk mempromosikan ide-ide yang sejalan dengan kepentingan politik dan ekonominya. MacLean menelusuri strategi ini kembali ke ekonom James Buchanan, yang karyanya dalam teori pilihan publik digunakan menantang intervensi pemerintah dan membenarkan kebijakan yang mendukung privatisasi dan deregulasi. Ia berpendapat bahwa melalui dana abadi, hibah, dan jabatan profesor, oligarki membentuk wacana akademis, memastikan bahwa ideologi pasar bebas memperoleh legitimasi dan pengaruh atas kebijakan publik, seringkali tanpa transparansi mengenai motif pendukung finansial.
Dalam The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism (2007, Metropolitan Books), Naomi Klein berpendapat bahwa kaum elit menggunakan krisis—baik itu keruntuhan ekonomi, bencana alam, atau pergolakan politik—untuk segera menerapkan kebijakan neoliberal yang jika tidak, akan menghadapi perlawanan publik. Ia menggambarkan hal ini sebagai 'disaster capitalism (kapitalisme bencana)', dimana momen-momen guncangan kolektif dieksploitasi untuk mendorong privatisasi, deregulasi, dan langkah-langkah penghematan yang menguntungkan perusahaan dan orang kaya. Klein menelusuri strategi ini hingga ekonom Milton Friedman dan Chicago School of Economics, yang menunjukkan bagaimana ide-ide mereka mempengaruhi perubahan kebijakan di negara-negara seperti Chili di bawah Pinochet, New Orleans pasca-Katrina, dan Rusia pasca-Soviet. Ia berpendapat bahwa krisis memunculkan jendela peluang restrukturisasi ekonomi radikal, yang sering mengorbankan pengambilan keputusan yang demokratis dan kesejahteraan sosial.

Pada bagian selanjutnya kita akan omon-omon soal lobi dalam politik dan hubungannya dengan oligarki, bi'idznillah."

Sabtu, 22 Februari 2025

Oligarki (6)

"Meskipun Amerika Serikat mempertahankan lembaga-lembaga demokrasi, akan tetapi, kebijakan, pemilihan umum, dan ekonominya, sangat dipengaruhi oleh elit-elit perusahaan, miliarder, dan lembaga-lembaga keuangan. Banyak akademisi berpendapat bahwa AS beroperasi sebagai 'oligarki plutokratik', dimana uang mendikte kekuasaan, bukan kehendak demokratis rakyat," kata Cangik melanjutkan.
"Dalam Winners Take All: The Elite Charade of Changing the World (2018, Knopf), Anand Giridharadas mengungkap bagaimana elit kaya mempertahankan dan memperkuat kendali oligarki sambil berpura-pura membantu masyarakat. Ia berpendapat bahwa elit ini melibatkan diri dalam filantropi, kewirausahaan sosial, dan investasi berdampak agar tampak baik hati, tetapi tindakan mereka pada akhirnya berfungsi untuk melindungi dan memperluas kekuasaan dan kekayaan mereka.
Kaum elit lebih mengutamakan solusi sektor swasta untuk masalah sosial daripada perubahan sistemik, dengan memastikan bahwa struktur yang menguntungkan mereka tetap utuh. Mereka menolak kebijakan seperti pajak progresif, hak buruh, atau pembubaran monopoli. Ketimbang mengatasi akar permasalahan, mereka mendanai inisiatif amal yang membuat mereka tampak murah hati sambil menghindari pengorbanan yang nyata. Hal ini memungkinkan mereka mempertahankan pengaruh atas cara penyelesaian masalah sosial. Mereka mengintegrasikan para reformis ke dalam ruang-ruang elit, seperti TED Talks, Davos, dan beasiswa yang disponsori perusahaan, tempat ide-ide radikal dilunakkan atau didepolitisasi.
Dengan mendanai lembaga pemikir, universitas, dan media, mereka membentuk wacana publik untuk memastikan bahwa reformasi struktural yang bermakna—seperti redistribusi kekayaan—ditolak karena dianggap tidak realistis atau ekstrem. Mereka mendorong gagasan bahwa berbuat baik dan menghasilkan uang dapat berjalan beriringan, mengabaikan bagaimana motif yang didorong oleh keuntungan seringkali melanggengkan ketimpangan daripada menyelesaikannya. Giridharas berpendapat bahwa perubahan sejati membutuhkan perlawanan terhadap struktur kekuasaan daripada bergantung pada kebajikan orang-orang yang amat sangat kaya.

Di Rusia, oligarki merujuk pada elit bisnis kaya yang memperoleh kekuasaan ekonomi dan politik yang besar setelah jatuhnya Uni Soviet. Para oligarki ini mengendalikan industri besar seperti minyak, gas, dan perbankan dan seringkali memiliki hubungan langsung dengan Kremlin.
Buku karya Catherine Belton 'Putin’s People: How the KGB Took Back Russia and Then Took On the West' (2020, William Collins) merinci bagaimana mantan agen KGB, termasuk Vladimir Putin, memanfaatkan kekuatan negara dalam membangun oligarki politik-bisnis di Rusia. Ia berpendapat bahwa setelah runtuhnya Uni Soviet, mantan perwira KGB berkumpul kembali untuk mendapatkan kembali kendali, menyusup ke lembaga dan industri utama. Tak seperti oligarki tahun 1990-an yang mengumpulkan kekayaan secara mandiri, sekutu Putin, yang banyak di antaranya berasal dari lingkaran KGB St. Petersburg-nya, menggunakan mekanisme negara untuk mengumpulkan dan mendistribusikan kembali kekayaan.
Putin memberdayakan siloviki (elit dinas keamanan) mengelola industri negara, memastikan loyalitas dan menyingkirkan para pesaing. Industri utama, terutama minyak dan gas (seperti Gazprom dan Rosneft), dibawa ke bawah kendali Kremlin, yang mendanai ambisi geopolitik. Jaringan keuangan lepas pantai dan pendukung Barat membantu mencuci uang, yang memungkinkan elit Rusia mempengaruhi politik global.
Belton menyajikan transformasi ini sebagai proyek yang digerakkan KGB untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, membalikkan liberalisasi pasca-Soviet, dan memperluas pengaruh Rusia di luar negeri.

Seusai kolapsnya Uni Soviet, Presiden Boris Yeltsin memprivatisasi industri-industri negara, yang menyebabkan sekelompok kecil orang dalam memperoleh kekayaan yang sangat besar. Para oligarki semisal Mikhail Khodorkovsky, Roman Abramovich, dan Boris Berezovsky menjadi miliarder dalam semalam dengan mengambil alih aset-aset bekas Uni Soviet. Banyak dari para oligarki ini membiayai pemilihan kembali Yeltsin pada tahun 1996, yang memperkuat pengaruh mereka dalam politik.
Buku karya David E. Hoffman berjudul The Oligarchs: Wealth and Power in the New Russia diterbitkan pada tahun 2011 oleh PublicAffairs. Hoffman mengeksplorasi bagaimana oligarki Rusia muncul dari perebutan kekuasaan di era Soviet, khususnya selama transisi dari ekonomi yang dikendalikan negara ke privatisasi pada tahun 1990-an. Ia merinci bagaimana sekelompok kecil individu yang ounya koneksi memanfaatkan reformasi ekonomi di bawah kebijakan perestroika Mikhail Gorbachev dan privatisasi Boris Yeltsin.
Pergeseran mendadak ke ekonomi pasar menciptakan peluang bagi orang dalam untuk memperoleh aset negara dengan harga yang sangat rendah. Kebijakan kontroversial dimana perusahaan milik negara secara efektif diserahkan kepada investor swasta dengan imbalan pinjaman kepada pemerintah Rusia yang kekurangan uang.
Banyak oligarki memiliki hubungan dengan birokrat Soviet, yang memungkinkan mereka memanipulasi sistem demi keuntungan pribadi. Pengusaha kaya memperoleh pengaruh dengan mengendalikan jaringan televisi dan surat kabar, yang seringkali membentuk opini publik yang menguntungkan mereka. Kurangnya hukum dan peraturan yang kuat memungkinkan para oligarki beroperasi dengan pengawasan yang minim.
Hoffman memberikan profil mendalam tokoh-tokoh seperti Boris Berezovsky, Mikhail Khodorkovsky, dan Roman Abramovich, yang menunjukkan bagaimana mereka memanfaatkan kekayaan mereka untuk memegang kekuasaan politik yang sangat besar di Rusia pasca-Soviet.

Ketika Vladimir Putin berkuasa pada tahun 2000, ia memaksa para oligarki menyatakan kesetiaan kepada pemerintahannya. Para oligarki yang menolak—seperti Mikhail Khodorkovsky (Yukos Oil)—dipenjara atau diasingkan. Putin mengganti oligarki independen dengan oligarki yang berpihak pada negara (misalnya, Igor Sechin, Gennady Timchenko, Alisher Usmanov).
Dalam "Kremlin Winter: Russia and the Second Coming of Vladimir Putin," (2019, Pan Macmillan), sejarawan Robert Service meneliti bagaimana Vladimir Putin mengubah sistem oligarki Rusia untuk mengonsolidasikan kekuasaan politiknya. Setelah memangku jabatan presiden pada tahun 2000, Putin berupaya menegaskan kembali kendali negara atas ekonomi dan mengurangi pengaruh politik oligarki yang telah mengumpulkan kekayaan dan kekuasaan yang signifikan selama tahun 1990-an.
Service merinci bagaimana Putin menerapkan strategi untuk membawa oligarki ini di bawah pengawasan Kremlin. Hal ini melibatkan tindakan hukum dan, dalam beberapa kasus, pemenjaraan tokoh-tokoh terkemuka yang menentang kendali negara, dengan demikian mengirimkan pesan jelas kepada yang lain. Dengan secara selektif menargetkan oligarki yang tak patuh dan membina aliansi dengan mereka yang bersedia bersekutu dengan pemerintahannya, Putin secara efektif merestrukturisasi sistem oligarki. Penataan ulang ini memastikan bahwa elit ekonomi tetap tunduk pada tujuan politik negara, dengan demikian memperkuat otoritasnya dan memusatkan kekuasaan di dalam Kremlin. Pendekatan ini tak semata membatasi otonomi individu-individu terkaya Rusia tetapi juga mengintegrasikan sumber daya ekonomi mereka ke dalam kerangka strategis negara, menyelaraskan kepentingan bisnis dengan kebijakan nasional dan visi Putin bagi kebangkitan Rusia di panggung global.
Kaum elit kaya masih mengendalikan industri-industri besar, tetapi kekuasaan mereka bergantung pada kesetiaan mereka kepada Putin. Sanksi setelah invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022 menargetkan kaum oligarki, yang menyingkapkan hubungan mendalam mereka dengan Kremlin.
Dalam Putin’s Kleptocracy: Who Owns Russia? (2014, Simon & Schuster), Karen Dawisha berpendapat bahwa naiknya Vladimir Putin ke tampuk kekuasaan bukanlah sebuah kebetulan, melainkan sebuah rencana yang diatur dengan baik oleh jaringan agen KGB, penjahat, dan oligarki yang berusaha mengendalikan sistem politik dan ekonomi Rusia untuk memperkaya diri sendiri.
Ia merinci bagaimana kelompok ini telah menggunakan lembaga-lembaga negara, pasukan keamanan, dan tuas-tuas ekonomi memperkaya diri mereka sendiri sambil menekan oposisi politik. Alih-alih Rusia dimiliki oleh warga negaranya atau diperintah secara demokratis, Dawisha menyajikan bukti bahwa sekelompok kecil elit di sekitar Putin mengendalikan negara, sumber dayanya, dan kebijakan ekonominya. Sistem kleptokrasi ini memastikan bahwa kekayaan dan pengaruh tetap terkonsentrasi di antara para loyalis Putin, khususnya mereka yang berlatarbelakang dinas intelijen dan keamanan.
Jadi, terma Kleptokrasi Putin merujuk pada sistem dimana kekuasaan negara digunakan untuk korupsi skala besar dan memperkaya diri sendiri oleh Putin dan lingkaran dalamnya. Dawisha menjelaskan bagaimana jaringan mantan pejabat keamanan dan elit bisnis ini mengumpulkan kekayaan dengan mengendalikan industri-industri utama, memanipulasi lembaga-lembaga negara, dan menyingkirkan oposisi politik. Ia menggambarkan Rusia sebagai negara dimana kesetiaan pribadi kepada Putin menentukan nasib ekonomi dan politik, alih-alih aturan hukum atau prinsip-prinsip demokrasi.

Oligarki China disetir oleh negara, bukan oleh bisnis. Communist Party of China (CPC) mengendalikan pemerintahan, ekonomi, dan militer, sementara keluarga elit dan sekutu perusahaan mendominasi sektor bisnis. Dalam 'The Party: The Secret World of China's Communist Rulers' (2010, Harper Perennial), Richard McGregor meneliti bagaimana Chinese Communist Party (CCP) atau Communist Party of China (CPC) mempertahankan cengkeramannya pada kekuasaan melalui kontrol dan sensor ekonomi. McGregor mengungkapkan bahwa, meskipun terjadi liberalisasi ekonomi, CPC tetap memegang kendali kuat atas lembaga-lembaga utama, termasuk kementerian pemerintah, militer, media, dan perusahaan-perusahaan besar. Kontrol ini memastikan bahwa kegiatan ekonomi selaras dengan tujuan partai, mencegah munculnya pusat-pusat kekuasaan alternatif. Selain itu, Departemen Propaganda CPC mengawasi media publik dan swasta, mengatur penyebaran informasi untuk membentuk persepsi publik dan menekan perbedaan pendapat. Dengan menanamkan komite-komite partai dalam perusahaan-perusahaan swasta dan mempertahankan pengaruh atas peradilan dan penegakan hukum, CPC mengintegrasikan dirinya ke dalam tatanan masyarakat China, secara efektif mengendalikan bidang-bidang ekonomi dan informasi guna mempertahankan otoritasnya.

Pada tahun 1949, Mao Zedong mendirikan the People’s Republic of China (PRC) di bawah kendali Komunis yang ketat. Pada tahun 1980-an, Deng Xiaoping memperkenalkan reformasi pasar, yang memungkinkan munculnya bisnis swasta sementara CPC mempertahankan kendali politik.
Deng Xiaoping and the Transformation of China (2011, Belknap Press dari Harvard University Press) karya Ezra Vogel mengeksplorasi bagaimana reformasi ekonomi Deng Xiaoping menyebabkan munculnya kelas baru miliarder yang punya koneksi politik di China. Reformasi Deng, khususnya gerakan menuju 'ekonomi pasar sosialis,' memungkinkan perusahaan swasta dan investasi asing berkembang pesat, tetapi dalam sistem dimana Partai Komunis mempertahankan kendali. Vogel menjelaskan bahwa ketika perusahaan milik negara direstrukturisasi, pejabat dan keluarga mereka memanfaatkan posisi mereka untuk mendapatkan saham di industri yang baru diprivatisasi, seringkali mengamankan kontrak pemerintah dan transaksi tanah yang menguntungkan. Pengenalan Zona Ekonomi Khusus (Special Economic Zones, SEZ) selanjutnya memungkinkan elit partai mengumpulkan kekayaan melalui kemitraan asing, kerap mengaburkan batas antara kekuatan politik dan hak istimewa ekonomi. Meskipun Deng tak bermaksud menciptakan kelas kapitalis kroni, Vogel berpendapat bahwa kurangnya pemeriksaan kelembagaan terhadap korupsi dan nepotisme berkontribusi pada munculnya pengusaha miliarder dengan koneksi politik yang mendalam.
Red Roulette: An Insider’s Story of Wealth, Power, Corruption, and Vengeance in Today’s China oleh Desmond Shum (2021, Scribner) memberikan kisah langsung tentang bagaimana oligarki bisnis China menavigasi kerangka kerja Communist Party of China (CPC). Ia menjelaskan bahwa elit bisnis berkembang dengan menjaga hubungan dekat dengan pejabat Partai. Mereka bertindak sebagai perantara antara kekuasaan negara dan kekuatan pasar, mengamankan kesepakatan yang menguntungkan melalui hubungan pribadi (guanxi). Pengusaha bergantung pada patron politik untuk mendapatkan akses ke sumber daya, izin, dan kontrak. Namun, hubungan ini tidak pasti—ketika patron tak lagi disukai, sekutu bisnis mereka juga menjadi rentan.
Partai memegang kendali atas kekayaan pribadi, memastikan bahwa para pemimpin bisnis tetap setia. Bahkan pengusaha yang sukses dapat menjadi sasaran karena alasan politik jika mereka dianggap sebagai ancaman atau menjadi terlalu independen.
Meskipun disajikan sebagai upaya reformasi, tindakan keras seringkali berfungsi untuk mengonsolidasikan kekuasaan. Pengusaha yang dekat dengan faksi lawan berisiko kehilangan bisnis dan kebebasan mereka. CPC semakin mendorong perusahaan swasta agar menyelaraskan diri dengan tujuan nasional, termasuk pengembangan teknologi dan ekspansi global, sehingga memperkuat dominasi Partai. CPC mengendalikan militer, bank, dan industri-industri besar (energi, teknologi, real estat). Bisnis-bisnis swasta dapat tumbuh, tetapi hanya jika mereka melayani kepentingan Partai. Kampanye antikorupsi Xi Jinping (2013-sekarang) menyingkirkan para oligarki yang menjadi ancaman bagi kekuasaan Partai.
Dalam China’s Gilded Age: The Paradox of Economic Boom and Vast Corruption (2020, Cambridge University Press), Yuen Yuen Ang mengeksplorasi bagaimana korupsi dalam sistem oligarki China secara paradoks mendorong pertumbuhan ekonomi. Ia berpendapat bahwa tak semua korupsi sama-sama merusak—sistem China sebagian besar menampilkan 'access money', suatu bentuk korupsi transaksional dimana bisnis membayar pejabat untuk akses ke peluang yang menguntungkan, seperti tanah, kontrak, dan keuntungan kebijakan. Tak seperti korupsi predator (yang menghambat pertumbuhan dengan memeras bisnis), jenis korupsi ini memberi insentif kepada pejabat untuk memfasilitasi ekspansi ekonomi, menciptakan lingkungan dimana pertumbuhan dan korupsi hidup berdampingan. [mohon jangan membaca hanya sampai disini, teruskan hingga paragraf berikut]
Ang membandingkan model China dengan negara-negara lain dimana korupsi lebih ekstraktif, menunjukkan bagaimana struktur insentif politik dalam sistem otoriter dan terdesentralisasi memungkinkan pertumbuhan tinggi dan korupsi tinggi. Namun, ia memperingatkan bahwa model ini tak berkelanjutan dalam jangka panjang, karena korupsi yang tak terkendali menyebabkan ketidaksetaraan, inefisiensi, dan risiko keruntuhan sistemik.

Jadi, siapa dong yang punya Sistem Oligarki teramat besar? Amerika Serikatkah? Oligarki beroperasi secara tak langsung melalui pengaruh perusahaan, lobi, dan pendanaan kampanye. Atau Rusia? Oligarki lebih tersentralisasi, dengan kendali langsung oleh Putin dan Kremlin. Atau mungkin China? Oligarki yang paling dikendalikan negara, dimana elit bisnis melayani Partai Komunis, atau jika tidak mau, mereka bakal disingkirkan.
Buku karya Michael Lind, The New Class War: Saving Democracy from the Managerial Elite, (2020, Portfolio/Penguin) berpendapat bahwa oligarki modern—terutama elit manajerial—membentuk politik global dengan memusatkan kekuasaan di lembaga teknokratis, perusahaan multinasional, dan organisasi budaya, yang secara efektif menyingkirkan kelas pekerja dan kelas menengah dari partisipasi politik yang bermakna.
Pengambilan keputusan semakin dialihkan dari perwakilan terpilih ke birokrat, hakim, dan organisasi internasional yang tak dipilih, sehingga mengurangi akuntabilitas demokratis. Elit manajerial mendukung perdagangan bebas, deregulasi, dan alih daya, yang diuntungkan oleh pasar global sambil membiarkan populasi kelas pekerja domestik rentan secara ekonomi.
Elit mengendalikan media besar, lembaga akademis, dan perusahaan, membentuk wacana publik dan menekan sudut pandang yang berbeda melalui penjagaan ideologis. Serikat pekerja, organisasi keagamaan, dan lembaga masyarakat yang pernah mengimbangi pengaruh elit telah dilemahkan atau dikooptasi, sehingga mengurangi kemampuan masyarakat biasa berorganisasi secara politik.
Lind tak secara eksplisit menggolongkan negara-negara dalam hal oligarki, tetapi ia menyiratkan bahwa demokrasi liberal Barat, khususnya AS dan beberapa bagian Eropa, telah menjadi sangat oligarki. Ia mengkritik AS sebagai contoh utama dimana elit perusahaan dan manajerial menjalankan pengaruh yang tak proporsional terhadap kebijakan pemerintah, hubungan ketenagakerjaan, dan narasi budaya, yang menjadikannya pesaing utama bagi sistem yang paling oligarki.

Memang sulit sih nemuin negara yang sepenuhnya bebas dari pengaruh oligarki, sebab kekayaan dan kekuasaan cenderung terpusat di kalangan elit di hampir setiap masyarakat. Namun, beberapa negara memiliki perlindungan yang lebih kuat terhadap pengaruh oligarki karena peraturan yang ketat, transparansi, dan lembaga demokrasi yang berfungsi dengan baik. Di bagian selanjutnya, kita akan obrolin beberapa negara dengan pengaruh Oligarki minimal. Bi'idznillah"