Kamis, 06 Maret 2025

Oligarki (12)

"Sampaikan tentang kaum Oligark di Singapura!" tanya Limbuk. Cangik menjawab, "Singapura sering dipandang sebagai kisah sukses ekonomi, dikenal karena tatakelola yang efisien, pendapatan per kapita yang tinggi, dan aturan hukum yang ketat. Namun, di balik citranya sebagai negara yang sangat fungsional, para kritikus berpendapat bahwa negara ini beroperasi sebagai bentuk oligarki, dimana kekuatan politik dan ekonomi terpusat di tangan segelintir elit. Tak seperti oligarki tradisional yang didominasi oleh para pembesar bisnis atau elit turun-temurun, oligarki Singapura merupakan gabungan dari teknokrasi politik dan pengaruh perusahaan, yang sangat terkait dengan People's Action Party (Partai Aksi Rakyat), PAP, yang berkuasa.

Dalam karyanya, The Political Economy of Singapore's Industrialization: National State and International Capital (1989, Cambridge University Press), Garry Rodan meneliti bagaimana industrialisasi yang dipimpin negara di Singapura telah menghasilkan ekonomi politik yang dicirikan oleh kontrol negara yang signifikan atas kegiatan ekonomi, yang mengarah pada pemusatan kekuasaan di antara elit politik. Rodan berpendapat bahwa peran aktif negara Singapura dalam mengarahkan kebijakan industri telah menjadi pusat pembangunan ekonominya. Dengan memposisikan diri sebagai pemain kunci dalam proses industrialisasi, negara tak hanya memfasilitasi pertumbuhan ekonomi tetapi juga memastikan bahwa kekuatan politik tetap terkonsentrasi di antara sekelompok elit tertentu. Pendekatan ini telah memungkinkan negara mempertahankan kontrol ketat atas kegiatan ekonomi, yang secara efektif mengaitkan otoritas politik dengan manajemen ekonomi. Keterlibatan negara dalam ekonomi telah memiliki banyak segi, termasuk pendirian perusahaan milik negara dan daya tarik strategis investasi asing dengan persyaratan yang menguntungkan kepentingan nasional. Strategi yang disengaja ini telah memperkuat dominasi politik elit penguasa saat mereka mengawasi dan mendapatkan keuntungan dari kemajuan ekonomi negara. Akibatnya, ekonomi politik Singapura dicirikan oleh hubungan simbiosis antara industrialisasi yang dipimpin negara dan konsolidasi kekuatan elit.

Sejak merdeka pada tahun 1965, Singapura telah diperintah oleh PAP, yang didirikan bersama oleh Lee Kuan Yew, Perdana Menteri pertama negara tersebut. Partai tersebut telah mempertahankan kekuasaan yang hampir tak tertandingi selama beberapa dekade, membentuk sistem politik negara dengan cara yang membatasi oposisi dan memusatkan kekuasaan di dalam elit politik yang kecil. Keluarga Lee tetap menjadi inti dari struktur politik Singapura, dengan putra Lee Kuan Yew, Lee Hsien Loong, menjabat sebagai Perdana Menteri sejak tahun 2004. Sementara Singapura secara teknis menyelenggarakan pemilihan umum, lanskap politik sangat condong ke arah PAP melalui manipulasi daerah pemilihan, gugatan pencemaran nama baik terhadap tokoh oposisi, dan regulasi media yang ketat.
Salah satu tanda terkuat oligarki politik di Singapura ialah bagaimana posisi kepemimpinan utama tetap berada dalam lingkaran elit yang erat. Menteri pemerintah selalu diambil dari sekelompok kecil pegawai negeri sipil, jenderal militer, dan cendekiawan yang dididik melalui program pendidikan yang didanai pemerintah, memastikan bahwa kepemimpinan politik tetap berada dalam jaringan eksklusif. Gaji menteri yang tinggi—salah satu yang tertinggi di dunia—dibenarkan sebagai cara mencegah korupsi, tetapi hal itu juga memperkuat sistem tertutup dimana hanya orang kaya dan berpendidikan tinggi yang dapat memasuki dunia politik.

Dalam Transparency and Authoritarian Rule in Southeast Asia: Singapore and Malaysia (2004, Routledge), Garry Rodan meneliti bagaimana kepemimpinan Singapura menggunakan transparansi selektif untuk mempertahankan kendali elit. Ia berpendapat bahwa, sebagai respons terhadap tekanan eksternal untuk transparansi setelah krisis ekonomi Asia 1997-98, Singapura menerapkan reformasi dalam tatakelola perusahaan dan regulasi keuangan untuk menarik modal internasional tanpa mengorbankan tatakelola otoriternya. Pendekatan ini membedakan antara transparansi ekonomi, yang ditingkatkan untuk memfasilitasi investasi, dan transparansi politik, yang tetap terbatas untuk mencegah tantangan bagi elit penguasa.
Transparansi selektif ini memunculkan paradoks dimana kebijakan ekonomi Singapura yang transparan hidup berdampingan dengan praktik politik yang membatasi. Sementara pemerintah memastikan pengungkapan perusahaan yang jelas dan konsisten untuk mempertahankan daya saing ekonomi, secara bersamaan membatasi kebebasan media dan kegiatan masyarakat sipil guna menekan perbedaan pendapat politik. Strategi ganda ini memungkinkan Singapura memperoleh keuntungan dari keuntungan ekonomi transparansi sambil mempertahankan status quo politik.

Perekonomian Singapura dicirikan oleh perpaduan unik antara kapitalisme negara dan perusahaan swasta, dimana pemerintah secara langsung mengendalikan industri-industri utama melalui dana kekayaan negara semisal Temasek Holdings dan GIC (Government of Singapore Investment Corporation). Banyak perusahaan paling kuat di negara ini, termasuk Singapore Airlines, DBS Bank, dan Singtel, dimiliki oleh negara atau memiliki hubungan yang kuat dengan pemerintah, yang memastikan bahwa kekuatan ekonomi tetap terpusat.
Ciri utama oligarki Singapura adalah bagaimana elit politik seringkali beralih ke peran kepemimpinan perusahaan dan sebaliknya. Misalnya, Temasek Holdings telah dipimpin oleh Ho Ching, istri Perdana Menteri Lee Hsien Loong, yang semakin memperkuat hubungan erat antara kekuatan politik dan ekonomi. Selain itu, banyak pejabat tinggi pemerintah dan perwira militer kemudian mengambil peran eksekutif di perusahaan-perusahaan yang terkait dengan pemerintah (GLC), yang memastikan bahwa kelompok elit yang sama mengendalikan kebijakan negara dan industri-industri besar. Sistem ini digambarkan sebagai 'pintu putar' antara politik dan bisnis, dimana kekuasaan tetap berada dalam jaringan elit kecil. Meskipun terdapat konsentrasi kekuasaan ini, Singapura berbeda dari oligarki yang lebih tradisional karena mempertahankan tingkat efisiensi yang tinggi, stabilitas ekonomi, dan korupsi yang rendah. Pemerintah menggunakan kendalinya atas ekonomi untuk mendorong pembangunan yang cepat, menyediakan layanan publik yang berkualitas tinggi, dan memastikan bahwa dominasi kaum elit tampak berdasarkan prestasi dan bukan semata-mata karena faktor keturunan. Hal ini memungkinkan Singapura menghindari tingkat ketidaksetaraan dan ketidakstabilan politik yang terlihat dalam sistem oligarki yang lebih eksploitatif.

Dalam The Politics of Accountability in Southeast Asia: The Dominance of Moral Ideologies (2014, Oxford University Press), Garry Rodan dan Caroline Hughes meneliti bagaimana ideologi moral digunakan untuk mempertahankan dominasi elit di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Singapura.
Penulis berpendapat bahwa, di Singapura, elit penguasa menggunakan ideologi moral untuk mendefinisikan dan menegakkan perilaku yang dapat diterima di antara pejabat publik dan warga negara. Pendekatan ini menekankan perilaku etis dan nilai-nilai sosial, yang memposisikan pemerintah sebagai penjaga moralitas. Dengan membingkai akuntabilitas dalam istilah moral, elit dapat memenuhi tuntutan tatakelola pemerintahan yang baik tanpa menerapkan reformasi demokrasi liberal yang mungkin menantang otoritas mereka. Strategi ini memungkinkan pemeliharaan struktur kekuasaan yang ada sambil memproyeksikan citra integritas dan tanggungjawab.
Rodan dan Hughes menyoroti bahwa pembingkaian moral ini didukung oleh organisasi-organisasi berpengaruh, seperti lembaga-lembaga keagamaan dan media, yang memperkuat narasi moral negara. Di Singapura, keselarasan antara negara dan organisasi-organisasi ini memperkuat wacana moral, yang selanjutnya memperkuat dominasi elit dengan membatasi ruang lingkup akuntabilitas pada perilaku etis daripada perubahan politik sistemik.
Pemanfaatan ideologi moral ini secara efektif menangkis tekanan untuk reformasi demokratis dengan menyalurkan harapan publik ke area yang tak mengancam hierarki kekuasaan yang ada. Akibatnya, sambil mempromosikan fasad akuntabilitas, elit mempertahankan dominasinya dengan menghindari liberalisasi politik yang substansial.

Dalam "The Hidden Globe: How Wealth Hacks the World (Riverhead Books, 2024), Atossa Araxia Abrahamian meneliti bagaimana zona ekonomi khusus (special economic zones, SEZs) dan ambiguitas teritorial, seperti yang ada di Singapura, memungkinkan kekayaan membentuk kembali lanskap ekonomi dan politik, sehingga memfasilitasi kontrol elit. Abrahamian membahas peran pelabuhan bebas—zona khusus di suatu negara tempat barang dapat disimpan tanpa dikenakan bea cukai. Di Singapura, pengembangan pelabuhan bebas tersebut telah menarik banyak harta-kekayaan dengan menawarkan keuntungan pajak dan kerahasiaan bagi kolektor dan investor seni. Sistem ini memungkinkan orang kaya menyimpan aset berharga seperti seni, permata, dan perhiasan tanpa pengawasan yang umum di yurisdiksi lain, yang secara efektif menciptakan kantong-kantong kegiatan ekonomi yang beroperasi di bawah peraturan hukum dan pajak yang berbeda.
Zona-zona ini menggambarkan bagaimana orang kaya dapat memanfaatkan ambiguitas teritorial demi keuntungan mereka, dengan membangun wilayah yang beroperasi berdasarkan hukum dan peraturan yang dirancang khusus. Penggunaan pengecualian hukum yang strategis ini memungkinkan kaum elit mempertahankan dan mengembangkan kekayaan mereka dengan pengawasan minimal, sehingga memperkuat pengaruh ekonomi dan politiknya. Analisis Abrahamian menyoroti kompleksitas kapitalisme global, dimana zona-zona tersebut berkontribusi pada dunia paralel yang seringkali beroperasi di luar jangkauan tatakelola negara tradisional.
Melalui mekanisme ini, SEZs dan ambiguitas teritorial di tempat-tempat seperti Singapura memfasilitasi kontrol elit dengan menyediakan lingkungan tempat kekayaan dapat diakumulasikan dan dikelola dengan gangguan regulasi yang berkurang. Hal ini berkontribusi pada restrukturisasi lanskap ekonomi dan politik, seringkali dengan cara yang lebih mengutamakan kepentingan orang kaya daripada pertimbangan masyarakat yang lebih luas.

Salah satu ciri khas pemerintahan oligarki di Singapura ialah kontrolnya yang ketat terhadap media dan masyarakat sipil, yang memastikan bahwa suara oposisi sulit mendapatkan dukungan. Sebagian besar media arus utama, termasuk The Straits Times, Channel NewsAsia, dan Mediacorp, secara langsung atau tidak langsung terkait dengan pemerintah, yang menyebabkan penyensoran diri dan kurangnya pelaporan kritis terhadap elite penguasa. Undang-undang seperti Undang-Undang Perlindungan dari Kebohongan dan Manipulasi Daring (Protection from Online Falsehoods and Manipulation Act, POFMA) memungkinkan pemerintah mengambil tindakan hukum terhadap individu atau organisasi media yang menentang narasi resmi.
Selain itu, perbedaan pendapat politik dibatasi melalui gugatan pencemaran nama baik dan undang-undang majelis yang ketat. Politisi oposisi, seperti Chee Soon Juan dan JB Jeyaretnam, dituntut atas pencemaran nama baik oleh para pemimpin pemerintah, yang mengakibatkan kebangkrutan finansial dan didiskualifikasi dari pencalonan dirinya. Strategi hukum ini memastikan bahwa persaingan politik tetap lemah dan bahwa dominasi elite terus berlanjut tanpa tantangan.

Kendati sistem Singapura berkarakteristik yang sama dengan oligarki di tempat lain, sistem ini berbeda dalam beberapa hal utama. Tak seperti oligarki berbasis sumber daya alam Rusia atau oligarki militer-royalis Thailand, elit penguasa Singapura melegitimasi dominasinya melalui keberhasilan ekonomi, tatakelola yang kuat, dan korupsi yang rendah. Pemerintah telah menjaga kepercayaan publik dengan memberikan standar hidup yang tinggi, infrastruktur kelas dunia, dan layanan publik yang efisien, sehingga perlawanan terhadap struktur oligarkinya jarang terjadi dibandingkan dengan negara-negara lain dimana konsentrasi kekayaan menyebabkan ketidakpuasan yang meluas.
Pada saat yang sama, stabilitas ini mengorbankan persaingan politik, kebebasan media, dan mobilitas sosial bagi mereka yang berada di luar lingkaran elit. Meskipun Singapura menampilkan dirinya sebagai negara yang menganut sistem meritokrasi, kenyataannya bahwa akses terhadap kekuasaan sebagian besar terbatas pada mereka yang berlatarbelakang pendidikan elit, layanan pemerintah, atau kepemimpinan perusahaan, yang memperkuat sistem dimana tatakelola tetap berada di tangan sekelompok kecil orang.

Death of a Perm Sec karya Wong Souk Yee (2016, Epigram Books) merupakan lakon seru politik yang mengupas dinamika kekuasaan elite penguasa Singapura. Novel mysteri ini mengikuti kematian mencurigakan Chow Sze Teck, mantan sekretaris tetap yang dituduh melakukan korupsi. Bunuh diri karena overdosis menimbulkan keraguan, yang mengarah pada penyelidikan yang mengungkap rahasia terdalam tentang kontrol politik, korupsi sistemik, dan sifat pemerintahan yang tak transparan di Singapura.
Lakonnya berkisar seputar kematian Chow Sze Teck, sekretaris tetap kementerian perumahan di Singapura pada tahun 1980-an, yang dituduh menerima suap jutaan dolar selama kariernya. Pada mulanya, kematiannya tampak sebagai bunuh diri yang disebabkan oleh campuran alkohol, morfin, dan Valium. Namun, saat seorang inspektur Departemen Investigasi Kriminal (Criminal Investigation Department, CID) menyelidiki lebih dalam, keluarga tersebut mengungkap keadaan yang berpotensi lebih menyeramkan, yang dapat melibatkan pejabat tinggi pemerintah. Novel ini mengeksplorasi inti gelap politik kekuasaan, dari masa pascakemerdekaan Singapura yang penuh gejolak hingga lanskap sosial-politik tahun 1980-an.
Novel ini mengkritik struktur oligarki sistem politik Singapura, dimana sekelompok kecil elit memegang pengaruh besar atas negara tersebut. Melalui karakter Chow dan misteri yang terungkap, novel ini mengeksplorasi tema-tema penindasan politik, kurangnya transparansi dalam urusan pemerintah, dan konsekuensi dari kekuasaan absolut. Wong Souk Yee, seorang mantan tahanan politik, menggunakan fiksi untuk menyoroti bagaimana lingkungan politik Singapura yang dikontrol ketat membungkam perbedaan pendapat dan menghargai kesetiaan dalam elit penguasa. Dengan menggambarkan nasib seorang pegawai negeri sipil berpangkat tinggi yang terjerat dalam korupsi dan kerahasiaan, Death of a Perm Sec menawarkan perspektif kritis yang langka tentang oligarki Singapura, menyoroti bagaimana kekuasaan dipertahankan dan tantangan-tantangan ditekan.

Oligarki Singapura unik karena beroperasi dengan kedok efisiensi teknokratis, bukan eksploitasi elit secara langsung. PAP dan keluarga Lee telah memastikan bahwa kekuasaan tetap terpusat dalam kelas penguasa yang kecil sambil menggunakan pertumbuhan ekonomi dan tatakelola yang kuat untuk mempertahankan legitimasi. Hal ini berbeda dari oligarki tradisional, dimana kekuasaan sering dipertahankan melalui korupsi, kapitalisme kroni, atau kekuatan militer.
Meskipun perlawanan terhadap oligarki di Singapura terbatas karena kendali pemerintah atas politik, media, dan masyarakat sipil, tantangan di masa depan mungkin muncul karena generasi muda menuntut kebebasan politik dan akuntabilitas yang lebih besar. Apakah Singapura akan berkembang menjadi sistem politik yang lebih terbuka atau mempertahankan struktur yang didominasi elit, masih menjadi pertanyaan terbuka," Cangik mengakhiri perbincangan.
[Bagian 11]
[Bagian 1]

Rabu, 05 Maret 2025

Konsekuensi Mengolok-olok Rasulullah (ﷺ): Perspektif Al-Quran

Limbuk melanjutkan perbincangan, "Sepanjang sejarah, setiap nabi Allah menghadapi pertentangan dari mereka yang menolak. Rasulullah (ﷺ) tak terkecuali. Beliau (ﷺ) menanggung cemoohan, hinaan, dan bahkan kekerasan fisik dari kaumnya, namun beliau (ﷺ) tetap teguh dalam misinya guna menuntun umat manusia kepada kebenaran. Namun, Al-Quran menjelaskan dengan jelas bahwa mengolok-olok seorang utusan Allah bukanlah tindakan tanpa konsekuensi—hal tersebut merupakan pelanggaran berat yang mengarah pada konsekuensi duniawi dan kekal adanya.
Al-Qur'an mengisahkan nasib bangsa-bangsa di masa lalu yang mencemooh nabi-nabi mereka. Dalam Surat Al-An'am (6:10), Allah berfirman,
وَلَقَدِ اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِّنْ قَبْلِكَ فَحَاقَ بِالَّذِيْنَ سَخِرُوْا مِنْهُمْ مَّا كَانُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ ࣖ
'Sungguh, rasul-rasul sebelum engkau (Nabi Muhammad) benar-benar telah diperolok-olokkan, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemooh mereka (rasul-rasul) apa (azab) yang selalu mereka perolok-olokkan.'
Ayat ini menjadi peringatan bahwa orang-orang yang menolak petunjuk Ilahi dengan sombong pada akhirnya akan menghadapi akibat yang sama seperti yang mereka perolok-olokkan. Kehancuran bangsa-bangsa terdahulu seperti kaum Nuh, Hud, dan Shalih, merupakan bukti akibat serius meremehkan para rasul Allah.

Demikian pula dalam Surat Al-Hijr (15:95-96), Allah meyakinkan Rasulullah (ﷺ),
اِنَّا كَفَيْنٰكَ الْمُسْتَهْزِءِيْنَۙ الَّذِيْنَ يَجْعَلُوْنَ مَعَ اللّٰهِ اِلٰهًا اٰخَرَۚ فَسَوْفَ يَعْلَمُوْنَ وَلَقَدْ نَعْلَمُ اَنَّكَ يَضِيْقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُوْلُوْنَۙ فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِّنَ السّٰجِدِيْنَۙ
'Sesungguhnya cukuplah Kami yang memeliharamu (Nabi Muhammad) dari (kejahatan) orang yang memperolok-olokkan(-mu), (yaitu) orang yang menganggap adanya tuhan selain Allah. Mereka kelak akan mengetahui (akibatnya). Sungguh, Kami benar-benar mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit (gundah dan sedih) disebabkan apa yang mereka ucapkan. Maka, bertasbihlah dengan memuji Rabbmu, jadilah engkau termasuk orang-orang yang sujud (shalat).'
Jaminan Ilahi ini menegaskan bahwa Allah sendiri yang akan berurusan dengan orang-orang yang mengejek Rasulullah (ﷺ) dan penolakan mereka terhadap kebenaran takkan dibiarkan begitu saja.

Mengolok-olok Rasulullah (ﷺ) bukanlah tindakan yang remeh; sebaliknya, hal itu seringkali merupakan gejala kekufuran yang lebih dalam. Al-Quran menyoroti tindakan orang-orang munafik yang mencemooh Rasulullah (ﷺ) dan para sahabat. Dalam Surah At-Taubah (9:64-66), Allah menyingkap kemunafikan mereka, dengan menyatakan,
يَحْذَرُ الْمُنٰفِقُوْنَ اَنْ تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُوْرَةٌ تُنَبِّئُهُمْ بِمَا فِيْ قُلُوْبِهِمْۗ قُلِ اسْتَهْزِءُوْاۚ اِنَّ اللّٰهَ مُخْرِجٌ مَّا تَحْذَرُوْنَ وَلَىِٕنْ سَاَلْتَهُمْ لَيَقُوْلُنَّ اِنَّمَا كُنَّا نَخُوْضُ وَنَلْعَبُۗ قُلْ اَبِاللّٰهِ وَاٰيٰتِهٖ وَرَسُوْلِهٖ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِءُوْنَ لَا تَعْتَذِرُوْا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ اِيْمَانِكُمْ ۗ اِنْ نَّعْفُ عَنْ طَاۤىِٕفَةٍ مِّنْكُمْ نُعَذِّبْ طَاۤىِٕفَةً ۢ بِاَنَّهُمْ كَانُوْا مُجْرِمِيْنَ ࣖ
Orang-orang munafik khawatir jika diturunkan suatu surah yang mengungkapkan apa yang ada dalam hati mereka. Katakanlah (kepada mereka), 'Olok-oloklah (Allah, Rasul-Nya, dan orang beriman sesukamu). Sesungguhnya Allah pasti akan menampakkan apa yang kamu khawatirkan itu.' Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, mereka pasti akan menjawab, 'Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.' Katakanlah, 'Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?' Tidak perlu kamu membuat-buat alasan karena kamu telah kufur sesudah beriman. Jika Kami memaafkan sebagian darimu (karena telah bertobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain), karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berbuat dosa.'
Hal ini menunjukkan bahwa olok-olokan semacam itu bukan saja merupakan penghinaan terhadap Rasulllah (ﷺ), melainkan pula merupakan tindakan yang dapat menyebabkan seseorang keluar dari iman sepenuhnya.

Lebih jauh lagi, Surah Al-Ahzab (33:57) memperingatkan tentang konsekuensi yang berat bagi mereka yang menyakiti atau tak menghormati Rasulullah (ﷺ),
اِنَّ الَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ لَعَنَهُمُ اللّٰهُ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ وَاَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُّهِيْنًا
'Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti (menista) Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat dan menyediakan bagi mereka azab yang menghinakan.'
Beratnya ayat ini menggarisbawahi parahnya penghinaan terhadap Rasulullah (ﷺ), karena dapat berakibat kutukan dan kehinaan Ilahi di dunia dan akhirat.
Meskipun menghadapi ejekan dan pertentangan yang hebat, Rasulullah (ﷺ) tak pernah menanggapi dengan kebencian atau dendam-kesumat. Kesabaran dan kasih-sayangnya terhadap mereka yang menghinanya sudah melegenda. Ketika orang-orang Ta'if melemparinya dengan batu, beliau (ﷺ) tak meminta mereka dihancurkan; sebaliknya, beliau (ﷺ) berdoa bagi tuntunan mereka. Dalam satu kejadian masyhur, ketika seorang lelaki terus-menerus menghinanya, Rasulullah (ﷺ) hanya menanggapi dengan kebaikan, yang membuat lelaki itu akhirnya memeluk Islam. Contoh-contoh ini menyoroti bahwa Islam tak menganjurkan pembalasan-dendam melalui kekerasan atau kebencian, melainkan sebaliknya, menyerukan agar menanggapi dengan kearifan, martabat, dan keteguhan. Pendekatan kenabian ini mengajarkan orang-orang beriman sebuah pelajaran berharga: Tatkala menghadapi ejekan dan pertentangan, seseorang hendaknya tetap tenang dan percaya pada keadilan Allah. Melalui kesabaran dan karakter yang baik, Islam telah menyebar dan memenangkan hati jutaan orang, bukan melalui kemarahan atau balas-dendam.

Sepanjang sejarah manusia, kesombongan dan penolakan terhadap petunjuk hanya akan membawa pada kehancuran, sementara kerendahan hati dan ketulusan akan membawa pada keselamatan. Alih-alih mengolok-olok agama Islam, orang-orang didorong agar mencari pemahaman dan turut dalam wacana yang penuh rasa hormat.
Islam menyerukan refleksi yang bijak daripada penolakan buta. Rasulullah (ﷺ) sendiri menjadi sosok yang sabar dan penyayang, bahkan terhadap mereka yang menghina beliau (ﷺ). Ketika beliau (ﷺ)  diejek di Mekkah, beliau (ﷺ) tak membalas dengan kebencian; sebaliknya, beliau (ﷺ) berdoa agar para penindasnya diberi petunjuk. Karakter beliau (ﷺ) tetap menjadi panutan bagi orang-orang beriman untuk menanggapinya—dengan kearifan, kesabaran, dan martabat.
Di zaman dimana misinformasi dan prasangka tentang Islam tersebar luas, sangatlah penting mendekati agama dan utusannya dengan hati yang terbuka. Alih-alih mengandalkan stereotip atau desas-desus, mereka yang tak terbiasa dengan Islam hendaknya meluangkan waktu untuk memahami ajaran Rasulullah (ﷺ) dari sumber-sumber yang autentik. Banyak orang yang awalnya menentang Islam kemudian menjadi pendukung terkuatnya seusai mereka melihat kebenaran dan keadilan pesannya.
Mereka yang mengolok-olok dan menghina Rasulullah (ﷺ) sering melakukannya karena ketidaktahuan atau kesombongan. Sementara Rasulullah (ﷺ) sendiri pemaaf dan penyayang, Al-Quran memperingatkan bahwa cemoohan dan permusuhan yang terus-menerus terhadap para utusan Allah membawa konsekuensi yang berat. Konsekuensi ini mungkin tak selalu langsung, tapi sejarah telah menunjukkan bahwa mereka yang berperang melawan kebenaran Ilahi pada akhirnya akan menghadapi aib, baik di kehidupan ini maupun di kehidupan selanjutnya.
Al-Quran tak semata memperingatkan tentang konsekuensi spiritual tetapi juga menyoroti kejatuhan masyarakat yang datang dari penolakan terhadap bimbingan Ilahi. Komunitas yang membangun fondasi mereka di atas cemoohan dan ketidakhormatan sering menghadapi kemerosotan moral dan etika, sementara mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilai rasa hormat dan ketulusan berkembang pesat.

Salah satu ayat Al-Quran yang amat jelas membela Rasulullah (ﷺ) terhadap tuduhan sebagai orang gila dan menegaskan bahwa beliau adalah seorang Utusan sejati yang menerima wahyu Ilahi adalah Surah At-Takwir (81:22-25):
وَمَا صَاحِبُكُمْ بِمَجْنُوْنٍۚ وَلَقَدْ رَاٰهُ بِالْاُفُقِ الْمُبِيْنِۚ وَمَا هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِيْنٍۚ وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَيْطٰنٍ رَّجِيْمٍۚ
'Temanmu (Nabi Muhammad) itu bukanlah orang gila. Sungguh, ia (Nabi Muhammad) benar-benar telah melihatnya (Jibril) di ufuk yang terang. Ia (Nabi Muhammad) bukanlah seorang yang kikir (enggan) untuk menerangkan yang gaib. (Al-Qur’an) itu bukanlah perkataan setan yang terkutuk.'
Allah secara langsung membantah klaim orang-orang kafir yang menuduh Rasulullah (ﷺ) gila. Rasulullah (ﷺ) menerima wahyu dari Malaikat Jibril, yang membuktikan bahwa pesannya bersifat ilahi dan bukan rekayasa. Beliau (ﷺ) menyampaikan apa yang diwahyukan kepadanya tanpa penyimpangan. Allah menolak klaim bathil bahwa Al-Quran berasal dari syaitan, dan menegaskan bahwa Al-Qur'an adalah wahyu Ilahi. Bagian ini dengan kuat menetapkan bahwa Nabi Muhammad (ﷺ) bukanlah orang gila, melainkan seorang Utusan yang dipilih Allah untuk menyampaikan Al-Quran.

Al-Quran memuat beberapa ayat yang menyebutkan akibat bagi mereka yang menentang, mengejek, atau mencemooh Rasulullah (ﷺ). Al-Quran dengan tegas memperingatkan agar tak mencemooh atau menentang Rasulullah (ﷺ). Sejarah telah menunjukkan bahwa mereka yang mengolok-olok para nabi sebelumnya akan menghadapi kehancuran, dan prinsip ini berlaku pula bagi mereka yang mencemooh Rasuullah (ﷺ). Azab bagi mereka mungkin datang di dunia atau akhirat, tetapi Allah menjamin bahwa keadilan akan ditegakkan.
Pesan Al-Quran jelas: mengolok-olok para utusan Allah bukanlah perbuatan tanpa konsekuensi. Sementara Rasulullah (ﷺ) tetap sabar dan pemaaf, keadilan Ilahi tak dapat dihindari bagi mereka yang terus-menerus bersikap pongah. Daripada mengejek Islam dan utusannya, orang-orang seyogyanya mendekat dengan hati yang terbuka dan berkemauan memahami pesan Islam. Menghormati iman dan berdialog dengan ketulusan merupakan jalan yang mengarah pada pencerahan, sementara cemoohan hanyalah mengarah pada penyesalan. Semoga kita semua berusaha menjunjung tinggi kehormatan Rasulullah (ﷺ) dan mengikuti jalan hikmah dan welas-asih beliau (ﷺ). Dan semoga mereka yang keliru memahami pesan beliau (ﷺ) menemukan petunjuk sebelum terlambat.

Mengirimkan selawat kepada Nabi (ﷺ) merupakan tindakan ketaatan kepada Allah dan cara mengungkapkan cinta, rasa hormat, dan rasa syukur atas peran beliau (ﷺ)  sebagai utusan terakhir. Allah memerintahkannya dalam Al-Quran,
اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
'Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat untuk Nabi (Selawat dari Allah Subhanahu wa Ta'ala bermakna memberi rahmat, dari malaikat bermakna memohonkan ampunan, dan dari orang-orang mukmin bermakna memohonkan agar diberi rahmat, semisal dengan perkataan, 'Allāhumma ṣalli ‘alā Muḥammad). Wahai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya (dengan mengucapkan perkataan seperti, “Assalāmu ‘alaika ayyuhan-nabi”, yang artinya ‘semoga keselamatan terlimpah kepadamu, wahai Nabi’)'
Jadi, mengirim selawat kepada Nabi (ﷺ) merupakan amal yang sangat penting dalam Islam, yang mencerminkan cinta, rasa hormat, dan ketaatan pada perintah Allah sebagaimana dalam Surah Al-Ahzab (33:56). Praktik ini merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, memohon berkah, dan mengakui peran mulia Rasulullah (ﷺ) sebagai utusan terakhir.

Namun, sebagian orang mungkin bertanya-tanya apakah mengirim selawat berperan dalam mencegah  Rasulullah (ﷺ) dipersekutukan dengan Allah dalam beribadah. Jawabannya terletak pada pemahaman tentang keseimbangan yang Islam jaga antara cinta dan penghormatan kepada Rasulullah (ﷺ) sembari memastikan Tauhid (monoteisme murni) tetap utuh. Rasulullah(ﷺ) sendiri sangat khawatir tentang potensi para pengikutnya jatuh ke dalam pujaan yang berlebihan terhadap beliau (ﷺ), sebagaimana yang telah dilakukan oleh umat-umat sebelumnya terhadap para nabi mereka. Beliau (ﷺ) secara eksplisit memperingatkan,
لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
'Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji ‘Isa putera Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah, ‘hamba Allah dan Rasul-Nya'.' [Sahih al-Bukhari] 
Dalam konteks ini, mengirim selawat merupakan cara yang indah bagi umat Islam untuk mengenang status terhormat Rasulullah  (ﷺ) tanpa perlu mengangkatnya ke tingkat Keilahian. Hal ini memperkuat keyakinan bahwa meskipun beliau adalah ciptaan terbaik, beliau (ﷺ) tetaplah seorang utusan manusia. Dengan secara teratur menyampaikan selawat kepada beliau  (ﷺ), umat beriman tetap terhubung dengan ajaran dan teladan beliau  (ﷺ), memastikan mereka mengikuti jalannya tanpa jatuh ke dalam sikap berlebihan atau kesesatan.

Selawat, yang berasal dari kata Arab صَلَوَات, merujuk pada salam dan keberkahan yang dikirimkan kepada Nabi Muhammad (ﷺ) dalam Islam. Membaca Selawat merupakan tindakan pengabdian yang signifikan dan tertanam kuat dalam praktik Islam.
Membaca selawat punya banyak manfaat spiritual. Dipercaya bahwa membaca selawat dapat menyebabkan pengampunan dosa. Literatur hadis menunjukkan bahwa untuk setiap selawat yang dibaca, Allah menganugerahkan sepuluh kebaikan dan menghapus sepuluh dosa. Selain itu, Allah juga membalasnya dengan mengirimkan berkah sepuluh kali lipat. Membaca selawat akan menaikkan derajat seseorang sepuluh derajat.
Banyak ulama menyatakan bahwa memulai dan mengakhiri doa dengan selawat meningkatkan kemungkinan shalat tersebut diterima oleh Allah. Praktik ini menyoroti pentingnya selawat dalam ibadah Islam. Memulai dan mengakhiri doa dengan selawat memastikan doa tersebut diterima oleh Allah. Hal ini karena selawat dipandang sebagai doa yang dikabulkan secara mutlak, yang mencerminkan kemurahan hati Allah.
Membaca selawat secara teratur dipandang dapat meningkatkan status spiritual seseorang dan mendekatkan diri kepada Allah. Selawat berfungsi sebagai pengingat akan ajaran dan karakter Rasulullah  (ﷺ), yang menginspirasi orang beriman meneladani kebajikannya.
Melakukan selawat dapat membawa ketenangan pikiran dan kenyamanan bagi orang beriman. Selawat sering direkomendasikan sebagai obat kecemasan dan kegelisahan, yang meningkatkan rasa tenang dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan mengikuti perintah Allah menyampaikan selawat kepada Nabi (ﷺ), individu akan semakin dekat dengan-Nya. Tindakan ini menunjukkan ketaatan dan meningkatkan kedekatan spiritual. Membaca selawat menumbuhkan rasa kebersamaan dan meningkatkan rasa cinta di antara umat beriman. Hal ini mendorong rasa saling menghormati dan memperkuat ikatan dalam masyarakat Muslim. Setiap kali seorang mukmin mengirimkan selawat, para malaikat membalasnya dengan mengirimkan selawat serupa hingga tindakan tersebut berhenti. Doa kolektif ini menggarisbawahi keterhubungan umat beriman dan dukungan malaikat. Manfaat-manfaat ini secara kolektif menyoroti pentingnya memasukkan selawat ke dalam praktik ibadah sehari-hari, yang menekankan dampak transformatifnya pada spiritualitas individu dan kohesi komunal.

Membaca selawat secara teratur sesungguhnya bermanfaat untuk mengatasi masalah pribadi. Membaca selawat secara teratur dapat menumbuhkan rasa tenang dan landasan emosional. Hal ini memungkinkan seseorang memusatkan pikiran dan perasaannya, sehingga lebih mudah menghadapi tantangan hidup. Keadaan zikir (mengingat) ini membantu menenangkan hati dan pikiran selama masa-masa sulit.
Selawat diyakini dapat menghapus dosa dan meringankan beban, yang dapat berkontribusi pada keadaan emosional yang lebih ringan. Rasulullah (ﷺ) menyatakan bahwa mereka yang sering membaca selawat akan merasa kekhawatirannya berkurang, karena hal itu mengarah pada pengampunan dan belas kasihan Ilahi.
Memulai dan mengakhiri doa dengan selawat sangat dianjurkan. Praktik ini dikatakan dapat meningkatkan kemungkinan doa diterima Allah, memberikan kekuatan dan dukungan yang dibutuhkan orang beriman mengatasi masalah mereka.
Mengucapkan selawat meningkatkan cinta seseorang kepada Rasulullah (ﷺ), yang pada gilirannya memperkuat iman. Hubungan ini dapat memberikan dukungan spiritual selama masa-masa sulit, mengingatkan individu tentang tujuan mereka dan membimbing mereka melalui kesulitan. Membaca Selawat meningkatkan rasa kebersamaan di antara umat Islam, memperkuat ikatan persaudaraan. Aspek komunal ini dapat memberikan dukungan emosional, sehingga lebih mudah menghadapi tantangan pribadi dengan jaringan yang mendukung.
Melakukan Selawat dipandang sebagai sarana meraih cinta dan belas kasihan Allah. Pertumbuhan spiritual ini dapat memberdayakan individu menghadapi perjuangan mereka dengan kekuatan dan ketahanan yang baru.
Singkatnya, membaca Selawat secara teratur tak hanya meningkatkan kehidupan spiritual seseorang tetapi juga memberikan manfaat praktis dalam mengatasi perjuangan pribadi dengan meningkatkan kedamaian batin, memfasilitasi pengampunan, mengangkat doa, memperkuat iman, menumbuhkan dukungan komunitas, dan mendorong pertumbuhan spiritual.

Ada waktu-waktu tertentu ketika membaca Selawat dipandang sangat efektif berdasarkan tradisi Islam dan petunjuk kenabian. Hari Jumat ditekankan sebagai hari terbaik dalam seminggu mengirim Selawat karena sifatnya yang berjamaah dan pengabdian yang tinggi. Secara khusus, waktu antara shalat Ashar dan matahari terbenam (Maghrib) dikenal sebagai Sa'at Al Istijaba, waktu pengabulan, dimana permohonan, termasuk yang melibatkan Selawat, diyakini lebih mudah diterima oleh Allah. Rasulullah (ﷺ) memerintahkan umat Islam mengirim berkah yang melimpah kepada beliau pada hari Jumat karena tindakan seperti itu akan dipersembahkan kepadanya hingga hari Jumat berikutnya.
Dalam setiap siklus shalat, terutama setelah Tasyahhud, dianjurkan menyertakan Selawat. Praktik ini memastikan bahwa rasa hormat dan penghormatan seseorang kepada Rasulullah (ﷺ) secara konsisten diungkapkan melalui kegiatan ibadah sehari-hari.
Mengirim Selawat sebelum mengajukan permohonan dalam doa apa pun meningkatkan kemungkinan doa-doa tersebut diterima. Seperti yang dinyatakan oleh Umar bin Khattab, doa tergantung di antara langit dan bumi sampai Selawat dipanjatkan kepada Nabi (ﷺ). Membaca selawat saat dzikir pagi dan petang melindungi seseorang dari pengaruh buruk dan membawa kedamaian serta ketenangan sepanjang hari. Dianjurkan membaca selawat secara teratur sepanjang hari dan malam, yang mencerminkan rasa hormat dan rasa syukur yang terus-menerus kepada Nabi (ﷺ).

Meskipun ada berbagai bentuk Selawat, salah satu versi yang umum ialah,
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَّجِيدٌ
'Ya Allah, limpahkanlah selawat dan salam kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah melimpahkan selawat dan salam kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Agung.'
Bentuk yang lain,
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
'Ya Allah, limpahkanlah selawat kepada Muhammad.'

Imam at-Tabarani mencatat beberapa versi Selawat, dan salah satunya adalah
اللهم صل وسلم على نبينا محمد
[Allahumma shalli wa sallim ‘ala nabiyyina Muhammad]
'Ya Allah, limpahkanlah selawat dan salam kepada Nabi kami Muhammad.'

Ada pula,
اللهم صل على محمد النبي الأمي
[Allahumma shalli ‘ala Muhammad an-Nabiyyil Ummiy]
'Ya Allah, limpahkanlah selawat kepada Muhammad, Nabi yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis).'

Berikut ini adalah selawat pendek yang disebut Selawat Jibril,
صلى الله على محمد
[Shallallahu ‘ala Muhammad]
'Semoga Allah mencurahkan selawat kepada Muhammad.'
Usai membaca selawat Jibril, dianjurkan juga untuk memanjatkan doa untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan pribadi. Rasulullah (ﷺ) menyarankan agar seseorang memilih doa apa pun yang mereka inginkan setelah mengirimkan selawat kepada beliau (ﷺ). Membaca selawat, termasuk selawat Jibril, diyakini memiliki berbagai manfaat spiritual, termasuk potensi meningkatkan kekayaan atau rezeki. Membaca selawat sering dikaitkan dengan pemberantasan kemiskinan dan kelaparan. Dikatakan bahwa pembacaan selawat yang sering dapat menyebabkan peningkatan rezeki dan berkah finansial seseorang. Membaca selawat secara teratur diyakini dapat membuka jalan bagi syafaat Nabi Muhammad (ﷺ) pada Hari Pengadilan, yang dapat mengarah pada kebaikan Ilahi yang lebih besar dalam kehidupan ini, termasuk stabilitas finansial.
Setiap pembacaan selawat dikatakan dapat mengampuni dosa dan meningkatkan status spiritual seseorang. Pemurnian ini dapat menciptakan lingkungan yang lebih baik untuk menerima berkah, termasuk kekayaan. Praktik membaca selawat seringkali mendorong perilaku beramal, yang merupakan faktor kunci dalam meningkatkan rizki. Amal-shalih ditekankan dalam ajaran Islam sebagai sarana menarik lebih banyak berkah. Membaca selawat sebelum memanjatkan doa pribadi diyakini dapat meningkatkan penerimaan doa tersebut oleh Allah, sehingga meningkatkan kemungkinan terpenuhinya permintaan finansial dan materi.
Singkatnya, membaca selawat, termasuk selawat Jibril, dikaitkan dengan banyak manfaat spiritual yang dapat menciptakan lingkungan yang mendukung keberkahan finansial dan kesejahteraan secara keseluruhan..

Pada akhirnya, perlindungan sejati terhadap syirik (menyekutukan Allah) adalah Tauhid yang benar, yang berarti menyembah Allah semata dan mengikuti petunjuk Rasulullah (ﷺ) dalam cara yang diajarkannya. Selawat berfungsi sebagai pengingat akan peran mulianya, tetapi melalui pemahaman dan kepatuhan yang benar terhadap tauhid, seseorang memastikan bahwa Nabi (ﷺ) tak secara keliru dikaitkan dengan Allah dalam pengertian Keilahian apa pun. Wallahu a'lam."

English 

Selasa, 04 Maret 2025

Oligarki (11)

"Di sebuah negeri bernama Republik Seribu Janji, pemimpin tertingginya dikenal sebagai Bapak Ngibul Jaya. Ia punya keahlian hebat: setiap kali ia mgomong, rakyatnya merasa seperti mendengar simfoni yang indah, meskipun isinya seringkali kebalik-balik," Limbuk memulai dengan sebuah cerita.
"Pada suatu hari, Pak Ngibul Jaya mengumumkan proyek besar bernama 'Langit Emas 2045', yang katanya akan membawa Republik Seribu Janji menjadi negara adidaya. Proyek ini mencakup pembangunan jembatan di atas awan, kereta api bawah laut, dan pabrik penghasil kebahagiaan. Namun, masalahnya, anggaran negara sudah habis untuk membeli kursi-kursi mewah di kantor pemerintahan.
Rakyat mulai gelisah. Di media sosial, meme tentang 'Langit Emas' bertebaran. Salah satu meme paling populer menampilkan gambar seekor domba terbang dengan tulisan, 'Kalau jembatan di atas awan gagal, setidaknya domba bisa belajar terbang.' Hal ini menandai dengan apa yang disebut era 'Lahirnya Oposisi Kreatif.' Semacam Masa Renaisans usai masa Kegelapan di Abad Pertengahan periode sejarah Eropa.
Seorang seniman jalanan bernama Bung Karikatur mulai menggambar mural satire di dinding kota. Salah satu karyanya menampilkan Pak Ngibul Jaya sedang memanjat tangga menuju awan, sementara rakyat di bawahnya sibuk mengais-ngais tanah mencari makan. Tulisan di mural itu berbunyi, 'Yang di awan sibuk ngimpi, yang di bumi sibuk lapar.'
Mural ini menjadi viral. Bahkan anak-anak kecil mulai menyanyikan lagu parodi tentang janji-janji Pak Ngibul Jaya saat bermain lompat tali.
Ketika proyek 'Langit Emas' akhirnya dimulai, pemerintah mengadakan upacara besar-besaran. Namun, saat pita dipotong, ternyata yang muncul hanyalah balon udara berbentuk awan dengan tulisan besar: 'Coming Soon!' Rakyat yang sudah lelah dengan janji kosong langsung tertawa terbahak-bahak.
Protes damai pun muncul dimana-mana. Para petani membawa hasil panen mereka ke depan istana sambil berteriak, 'Kami butuh nasi, bukan mimpi!' Sementara itu, para mahasiswa membuat aplikasi game bernama 'Janji Simulator,' dimana pemain harus menghindari janji-janji kosong untuk memenangkan permainan.
Akhirnya, sampai masa jabatan Pak Ngibul Jaya berakhir, rakyatnya semakin kreatif dalam menyindir pemerintah, Ia berkata dalam pidato terakhirnya, 'Saya mungkin tak bisa membangun Langit Emas, tapi setidaknya saya berhasil membuat kalian tertawa.'
Rakyat pun bersorak. Republik Seribu Janji akhirnya belajar bahwa humor adalah senjata paling ampuh untuk melawan ketidakadilan—dan bahwa pemimpin yang baik bukanlah yang pandai berjanji, tapi yang berani menepatinya.
Kadang-kadang, ngakak lebih kuat ketimbang ngamuk dalam menghadapi absurditas politik. Dan mungkin, mungkin aja, para politisi sebaiknya mempertimbangkan agar memenuhi janji mereka dalam melakukan perubahan. Bukankah itu sebuah konsep kekinian?"

Cangik kemudian melanjutkan, "Keterlibatan oligarki dalam mendukung presiden mulai sejak pencalonan hingga pemerintahan punya kelebihan dan kekurangan.
Di satu sisi, Oligarki menyediakan dana penting bagi kampanye politik, yang memungkinkan kandidat menjalankan promosi yang efektif, menyelenggarakan pertemuan besar-besaran, dan menjangkau lebih banyak pemilih. Dark Money: The Hidden History of the Billionaires Behind the Rise of the Radical Right karya Jane Mayer (2016, Doubleday) meneliti bagaimana elit kaya, khususnya jaringan miliarder konservatif yang dipimpin oleh Charles dan David Koch, memengaruhi pemilihan umum di Amerika Serikat.
Individu dan korporasi kaya mendanai kampanye politik, seringkali melalui Super PAC dan kelompok 'dark money' yang tak mengungkapkan donor mereka. Hal ini memungkinkan mereka mendorong kandidat pilihan tanpa pengawasan publik.
Miliarder berinvestasi di lembaga pemikir dan lembaga akademis untuk mempromosikan kebijakan yang selaras dengan kepentingan mereka, memengaruhi opini publik dan prioritas legislatif. Mereka mendanai outlet media konservatif dan kampanye propaganda untuk membentuk narasi dan memengaruhi pemilih.
Jika para oligark mendukung seorang kandidat, mereka dapat berinvestasi dalam proyek-proyek ekonomi, yang mengarah pada penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan industri. Menurut Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (2012, Crown Publishing), kaum elit membentuk kebijakan ekonomi terutama melalui pembentukan dan pemeliharaan lembaga-lembaga ekstraktif, yang memusatkan kekuasaan dan kekayaan di tangan mereka sambil menekan pertumbuhan ekonomi yang luas. Para penulis berpendapat bahwa kaum elit selalu menolak lembaga-lembaga inklusif—seperti hak milik yang aman, pasar bebas, dan partisipasi politik—lantaran reformasi semacam itu mengancam posisi istimewa mereka. Dengan memonopoli lembaga-lembaga politik, kaum elit dapat memberlakukan undang-undang dan kebijakan yang melayani kepentingan mereka, memastikan bahwa manfaat ekonomi mengalir kepada mereka daripada kepada masyarakat luas. Kaum elit akan menentang teknologi, industri, atau struktur ekonomi baru yang dapat merusak dominasi ekonomi mereka. Misalnya, di Rusia abad ke-19, rezim Tsar menolak industrialisasi untuk mempertahankan kendali atas kaum tani. Kebijakan seperti pajak tinggi, monopoli, dan kerja paksa (terlihat di Amerika Latin kolonial dan Uni Soviet) memungkinkan kaum elit mengekstrak kekayaan dari mayoritas sambil menghambat kemajuan ekonomi. Bahkan ketika menghadapi krisis ekonomi atau revolusi, kaum elit sering beradaptasi dengan memodifikasi lembaga dengan cara yang mempertahankan kekuasaan mereka, seperti yang terlihat di Afrika pasca-kolonial, dimana kelas penguasa baru mempertahankan institusi ekstraktif.

Banyak kaum oligark memiliki kecerdasan bisnis dan koneksi yang dapat membantu pemerintah berjalan lebih efisien, memastikan implementasi kebijakan selaras dengan realitas ekonomi.
Dalam The Road to Serfdom (1944, Routledge), Friedrich Hayek mengkritik perencanaan ekonomi terpusat tetapi mengakui bahwa bentuk-bentuk perencanaan terbatas oleh elit terkadang dapat berkontribusi pada tatakelola yang efisien. Hayek berpendapat bahwa sementara perencanaan terpusat yang komprehensif mengarah pada totalitarianisme, jenis tatakelola berbasis aturan tertentu—semisal menyiapkan kerangka hukum untuk persaingan, melindungi hak milik, dan mempertahankan kebijakan moneter yang stabil—dapat meningkatkan efisiensi ekonomi.
Ia membedakan antara 'perencanaan untuk persaingan' dan 'perencanaan melawan persaingan.' Yang pertama melibatkan pemerintah menetapkan aturan umum yang memungkinkan pasar berfungsi secara efisien, sedangkan yang kedua melibatkan kontrol langsung atas produksi dan distribusi, yang sangat ditentangnya. Ia mengakui bahwa elit (seperti ekonom, pembuat kebijakan, dan ahli hukum) dapat berperan dalam merancang kerangka kerja yang mencegah kegagalan pasar, memastikan stabilitas sosial, dan menyediakan barang publik seperti infrastruktur dan pertahanan nasional.
Kaum Oligark sering memiliki ikatan internasional yang dapat dimanfaatkan bagi keuntungan diplomatik dan ekonomi. Karya David Rothkopf Superclass: The Global Power Elite and the World They Are Making (2008, Farrar, Straus and Giroux) mengeksplorasi bagaimana jaringan elit membentuk politik global dengan menganalisis kelompok kecil yang saling terhubung, yang terdiri dari sekitar 6.000 individu berpengaruh pemegang kekuasaan yang tak proporsional atas urusan internasional. Para elit ini termasuk para pemimpin perusahaan, politisi, pemodal, tokoh media, dan intelektual yang beroperasi lintas batas.
Superclass terhubung melalui organisasi eksklusif (misalnya, Forum Ekonomi Dunia, Bilderberg Group, Komisi Trilateral) dan jaringan informal yang memungkinkan mereka mengonsolidasikan kekuasaan dan menetapkan agenda global.
Para elit ini memegang posisi kunci di perusahaan multinasional, pemerintah, lembaga keuangan (misalnya, IMF, Bank Dunia), dan LSM, yang memungkinkan mereka membentuk keputusan ekonomi dan politik di seluruh dunia. Mereka mempengaruhi kebijakan global melalui lobi, lembaga pemikir, dan peran penasihat, yang sering kali memprioritaskan kepentingan perusahaan dan liberalisasi ekonomi.
Kelas atas menggunakan media dan lembaga akademis membentuk wacana publik, menggalakkan globalisasi, kapitalisme pasar bebas, dan deregulasi sebagai ideologi dominan.
Selama krisis ekonomi atau politik, para elit ini mengoordinasikan tanggapan melalui kerjasama transnasional, terkadang memperkuat struktur kekuasaan yang ada daripada mengatasi akar permasalahan.
Rothkopf berpendapat bahwa meskipun para elit ini mendorong globalisasi dan pertumbuhan ekonomi, dominasi mereka juga dapat menyebabkan kesenjangan yang semakin lebar, kurangnya akuntabilitas, dan defisit demokrasi, sebab keputusan yang memengaruhi miliaran orang dibuat oleh kelompok kecil yang tidak dipilih.

Di sisi lain, kaum Oligark mengharapkan keuntungan atas investasi mereka, yang mengarah pada kebijakan yang lebih memihak orang kaya daripada masyarakat umum. The Captured Economy: How the Powerful Enrich Themselves, Slow Down Growth, and Increase Inequality oleh Brink Lindsey dan Steven M. Teles (2017, Oxford University Press) berpendapat bahwa orang kaya dan berkuasa memanipulasi aturan demi keuntungan mereka, menciptakan sistem 'pencarian keuntungan yang regresif.' Hal ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat, meningkatnya kesenjangan, dan kurangnya peluang inovasi dan persaingan. Mereka berfokus pada bidang-bidang seperti keuangan, kekayaan intelektual, perizinan pekerjaan, dan peraturan penggunaan lahan, yang menunjukkan bagaimana kebijakan-kebijakan ini menguntungkan kaum elit sekaligus merugikan kemajuan ekonomi yang lebih luas.

Pengaruh yang berlebihan dari kaum oligark dapat merusak lembaga demokrasi, mengubah pemerintah menjadi alat bagi kepentingan elit. Dalam Democracy in Chains: The Deep History of the Radical Right’s Stealth Plan for America (2017, Viking), Nancy MacLean berpendapat bahwa pengaruh yang berlebihan dari kaum oligark dapat merusak lembaga demokrasi dengan mengubah pemerintah menjadi alat bagi kepentingan elit. Ia mengeksplorasi bagaimana karya ekonom James M. Buchanan meletakkan dasar intelektual bagi gerakan libertarian radikal yang berupaya membatasi pemerintahan demokratis demi kebijakan yang menguntungkan kaum elit kaya.
Menurut MacLean, kaum oligarki mencapai hal ini dengan menerapkan hambatan konstitusional dan hukum (misalnya, persyaratan mayoritas super dan pembatasan hak suara), yang mempersulit mayoritas memberlakukan kebijakan yang mengatur kekayaan dan kekuasaan perusahaan. Melalui privatisasi dan pemotongan anggaran, mereka melemahkan layanan publik seperti pendidikan dan perawatan kesehatan, mengalihkan kekuasaan ke entitas swasta.
Kaum elit kaya mendanai lembaga pemikir libertarian dan program akademis guna menyebarkan ideologi antipemerintah dan memengaruhi persepsi publik. Jaringan pendanaan rahasia memungkinkan oligarki memengaruhi pemilihan umum dan pembuatan kebijakan tanpa transparansi. Dengan menempatkan hakim yang berpikiran sama di pengadilan, mereka memastikan bahwa hukum yang berpihak pada kepentingan elit ditegakkan, sementara reformasi progresif dihambat.
MacLean berpendapat bahwa taktik ini telah secara bertahap mengalihkan kekuatan politik dari partisipasi demokratis ke arah segelintir elit yang kaya, yang merusak prinsip-prinsip dasar pemerintahan perwakilan.

Ketika para oligark mengendalikan kebijakan, kesenjangan pendapatan melebar, yang menyebabkan ketidakpuasan publik dan potensi protes. Dalam Capital in the Twenty-First Century (2014, Harvard University Press), Thomas Piketty berpendapat bahwa konsentrasi kekayaan yang berlebihan, merusak stabilitas sosial dalam beberapa cara. Dikala tingkat pengembalian modal (r) melebihi tingkat pertumbuhan ekonomi (g) yakni r>g, kekayaan terakumulasi lebih cepat bagi mereka yang sudah memiliki aset, yang memperburuk ketimpangan. Hal ini dapat menyebabkan masyarakat dimana kekayaan warisan lebih penting daripada usaha dan bakat.
Konsentrasi kekayaan yang ekstrem mengalihkan kekuatan ekonomi ke elit kecil, mengurangi peluang mobilitas sosial dan merusak prinsip-prinsip meritokrasi. Orang kaya dapat memengaruhi kebijakan yang menguntungkan mereka, seperti pengurangan pajak dan deregulasi, yang mengarah pada siklus yang memperkuat diri dimana kekuatan ekonomi diterjemahkan menjadi dominasi politik.
Disaat kesenjangan kekayaan dan pendapatan melebar, kebencian tumbuh di antara kelas bawah dan menengah, yang mendorong keresahan sosial dan mengurangi kepercayaan pada institusi. Ketimpangan ekonomi dapat berubah menjadi pengaruh politik yang tak setara, sebab orang kaya mendanai kampanye, membentuk narasi media, dan melobi kebijakan yang melindungi kepentingan mereka daripada masyarakat luas.
Piketty menyarankan perpajakan progresif dan redistribusi kekayaan sebagai solusi utama menangkal dampak destabilisasi ini dan mempertahankan masyarakat yang lebih adil dan lebih kohesif.

Pemerintah yang terlalu bergantung pada oligarki akan terpaksa memprioritaskan kepentingan mereka di atas kepentingan nasional. C. Wright Mills dalam The Power Elite (1956, Oxford University Press) berpendapat bahwa segelintir elit—yang terdiri dari para pemimpin dari sektor politik, militer, dan korporat—mendominasi pengambilan keputusan di Amerika Serikat. Ia menjelaskan bagaimana para elit ini memegang kekuasaan yang terkonsentrasi, membuat keputusan politik dan ekonomi yang penting, dan beroperasi dengan cara yang melayani kepentingan mereka sendiri daripada kepentingan masyarakat umum. Mills menyoroti bahwa para elit ini saling berhubungan, kerap berpindah-pindah peran dalam pemerintahan, bisnis besar, dan militer, memperkuat dominasi mereka sembari membatasi pengaruh demokratis dari warga negara biasa.

Mills mengidentifikasi tiga lembaga utama yang membentuk inti kekuasaan elit di AS: Elit Korporat (para pemimpin perusahaan besar dan lembaga keuangan yang mengendalikan sumber daya ekonomi); Elit Politik (pejabat tinggi pemerintah, termasuk Presiden, anggota kabinet, dan pembuat kebijakan utama); dan Elit Militer (para pemimpin militer teratas, terutama mereka yang memengaruhi kebijakan keamanan nasional). Kelompok-kelompok ini, menurut Mills, beroperasi dalam struktur segitiga, dimana kepentingan mereka kerap selaras, dan berkolaborasi untuk mempertahankan dominasi mereka.
Elite yang berkuasa membuat keputusan, yang membentuk perekonomian, kebijakan luar negeri, dan hukum dengan masukan minimal dari masyarakat umum. Kebijakan kerapkali dibuat secara tertutup, dengan keputusan yang menguntungkan kepentingan perusahaan dan militer. Opini publik dimanipulasi melalui media massa, yang sering dikendalikan oleh kepentingan korporasi. Individu dalam elite yang berkuasa berpindah-pindah antara posisi kepemimpinan di pemerintahan, perusahaan, dan militer. Misalnya, mantan pejabat militer menjadi kontraktor pertahanan, dan eksekutif perusahaan mengambil peran penasihat pemerintah.
Hal ini memastikan keberlanjutan dalam kendali elit, mencegah orang luar mendapatkan pengaruh.
Mills berpendapat bahwa warga negara biasa dan lembaga seperti Kongres menjadi semakin tidak berdaya dalam memengaruhi keputusan-keputusan besar. Para pemilih diberi ilusi partisipasi melalui pemilihan umum, tetapi pengambilan keputusan yang sebenarnya terjadi di antara para elit. Partai politik melayani kepentingan elit daripada benar-benar mewakili rakyat.
Media, yang dikendalikan oleh perusahaan, memainkan peran penting dalam membentuk persepsi publik. Alih-alih menantang kekuasaan elit, media kerap memperkuat status quo dengan mengalihkan perhatian dari isu-isu kritis.

Mills menyoroti bagaimana perluasan militer dan kontrak pertahanan menguntungkan elit korporat dan militer. Era Perang Dingin (ketika ia menulis karyanya) melihat pengeluaran militer dibenarkan oleh kepentingan elit daripada kebutuhan keamanan yang sesungguhnya.
Pemusatan kekuasaan mengarah pada kebijakan yang mendukung ketimpangan ekonomi. Terjadi kesenjangan yang semakin besar antara warga biasa dan mereka yang memerintah. Keterlibatan politik publik melemah karena orang merasa tak berdaya untuk memengaruhi keputusan.
Presiden yang didukung oligarki akan memperoleh keuntungan dari stabilitas keuangan dan efisiensi administratif, tetapi selalu mengorbankan integritas demokrasi dan kesetaraan sosial. Tingkat pengaruh mereka bergantung pada struktur hukum, transparansi, dan akuntabilitas publik.

Sepanjang sejarah, oligarki telah mempertahankan dominasinya dengan memusatkan kekayaan, memengaruhi sistem politik, dan mengendalikan industri-industri utama. Meskipun tak ada masyarakat yang dapat sepenuhnya menghilangkan pengaruh elit yang berkuasa, berbagai reformasi dapat melemahkan kendali oligarki dan memulihkan akuntabilitas demokratis. Reformasi ini hendaknya mengatasi ketimpangan ekonomi, pengaruh politik, monopoli media, dan praktik keuangan transnasional yang memungkinkan oligarki menghindari tanggungjawab.
Salah satu bidang yang paling penting direformasi ialah kebijakan ekonomi, karena konsentrasi kekayaan yang ekstrem merupakan fondasi kekuatan para oligark. Untuk mencegah segelintir elit mengumpulkan pengaruh yang tak proporsional, banyak akademisi dan pembuat kebijakan telah menganjurkan perpajakan progresif, khususnya pada kekayaan dan warisan. Dengan mengenakan pajak yang lebih tinggi pada miliarder dan harta warisan yang besar, pemerintah dapat mendistribusikan kembali kekuatan ekonomi, memastikan bahwa kekayaan tidak tetap terkonsentrasi pada segelintir keluarga selama beberapa generasi. Demikian pula, undang-undang antimonopoli yang lebih kuat diperlukan untuk memecah monopoli yang mendominasi industri dan menghambat persaingan. Perusahaan-perusahaan besar, khususnya di sektor teknologi, keuangan, dan energi, memberikan pengaruh politik yang sangat besar karena kekuatan ekonomi mereka memungkinkan mereka membentuk kebijakan yang menguntungkan mereka. Menegakkan peraturan yang membatasi monopoli dapat menciptakan lapangan bermain yang lebih setara dan mencegah oligarki perusahaan mendikte keputusan pemerintah.
Selain pajak dan langkah-langkah antimonopoli, reformasi hak buruh juga penting. Kaum oligark selalu menekan gerakan buruh untuk mempertahankan upah rendah dan memaksimalkan kendali mereka atas tenaga kerja. Memperkuat serikat buruh, menegakkan kebijakan upah yang adil, dan memastikan pekerja bersuara dalam pengambilan keputusan ekonomi dapat mengimbangi kekuatan korporasi. Negara-negara seperti Swedia dan Denmark, yang memiliki perlindungan tenaga kerja dan perjanjian tawar-menawar kolektif yang kuat, menunjukkan bagaimana hak buruh dapat mencegah munculnya oligarki perusahaan yang tak terkendali sekaligus memastikan kemakmuran ekonomi.

Sementara reformasi ekonomi menargetkan akar kekayaan oligarki, reformasi politik diperlukan untuk mengurangi kemampuan elit memanipulasi pemerintahan. Salah satu ancaman paling signifikan terhadap demokrasi adalah pengaruh uang yang sangat besar dalam politik, khususnya dalam kampanye pemilu. Undang-undang pendanaan kampanye yang ketat, seperti pelarangan atau pembatasan sumbangan perusahaan, dapat membatasi kemampuan individu dan bisnis kaya untuk 'membeli' politisi. Dalam banyak sistem demokrasi, pendanaan publik untuk pemilu telah terbukti menjadi alternatif yang efektif, memastikan bahwa kandidat politik mengandalkan dukungan pemilih daripada patronase elit.
Selain reformasi pendanaan kampanye, peraturan lobi dan undang-undang transparansi hendaknya diperkuat guna mengurangi pengaruh di balik layar dari para pembesar bisnis terhadap legislasi. Di banyak negara, kebijakan dibuat dalam pertemuan rahasia antara politisi dan pelobi perusahaan, yang menghasilkan undang-undang yang menguntungkan orang kaya sambil mengabaikan kebutuhan warga negara biasa. Dengan mensyaratkan transparansi penuh dalam sumbangan politik dan kegiatan lobi, pemerintah dapat memulihkan kepercayaan publik dan melemahkan pengaruh oligarki secara diam-diam. Lebih jauh, membatasi jumlah masa jabatan politisi dapat membantu mencegah terbentuknya dinasti politik yang sering bertindak sebagai perpanjangan tangan para elit ekonomi.

Bidang reformasi utama lainnya ialah regulasi media. Di banyak negara, kepemilikan media terpusat di tangan beberapa individu atau perusahaan kaya, yang memungkinkan mereka membentuk opini publik dan menekan narasi yang menantang kekuasaan. Mematahkan monopoli media dan memastikan keberagaman dalam kepemilikan berita dapat mencegah oligarki menggunakan komunikasi massa sebagai alat manipulasi politik dan ekonomi. Pendanaan publik untuk jurnalisme independen, mirip dengan model BBC di Inggris, dapat lebih melindungi media agar tidak menjadi instrumen kepentingan elit. Selain itu, dengan maraknya kampanye misinformasi digital, regulasi yang lebih kuat pada platform media sosial diperlukan untuk mencegah propaganda yang didukung oligarki menyesatkan pemilih dan mendistorsi demokrasi.

Dalam skala global, oligarki mengeksploitasi sistem keuangan transnasional untuk mempertahankan dominasi mereka, sering dengan menyembunyikan kekayaan di surga pajak lepas pantai atau memengaruhi kebijakan perdagangan internasional. Upaya global yang terkoordinasi untuk menutup celah pajak dan menegakkan transparansi keuangan sangat penting dalam mencegah para miliarder menghindari pajak dan akuntabilitas. Perjanjian internasional terkini, seperti reformasi pajak perusahaan global OECD, merupakan langkah ke arah yang benar, tetapi penegakannya tetap menjadi tantangan. Demikian pula, mengatur kekuatan perusahaan multinasional, khususnya di sektor digital dan keuangan, dapat mencegah mereka memberikan pengaruh yang tak terkendali di berbagai negara.

Meskipun reformasi yang diusulkan ini efektif, kaum oligark takkan menyerahkan kekuasaan mereka tanpa perlawanan. Mereka sering menggunakan sumber daya mereka untuk melobi perubahan kebijakan, mendanai kandidat politik yang melindungi kepentingan mereka, dan mengendalikan narasi media yang menghambat upaya reformasi. Oleh karenanya, mempertahankan reformasi ini memerlukan aktivisme publik yang berkelanjutan, penegakan hukum, dan independensi kelembagaan. Masyarakat sipil yang kuat, peradilan yang independen, dan keturutsertaan warga negara, amatlah penting untuk memastikan bahwa reformasi tak dibatalkan seiring berjalannya waktu.
Kendati menghilangkan oligarki sepenuhnya mungkin tak realistis, sejarah telah menunjukkan bahwa masyarakat dapat membatasi dominasi elit melalui regulasi ekonomi, transparansi politik, independensi media, dan kerjasama internasional. Tantangannya bukan hanya dalam merancang reformasi yang efektif, tetapi juga dalam memastikan implementasinya terhadap perlawanan yang tak terelakkan dari elit yang berkuasa. Dengan mengatasi masalah sistemik ini, demokrasi dapat menegaskan kembali prinsip bahwa pemerintah hendaknya melayani banyak orang, bukan segelintir orang yang memiliki hak istimewa.

Sejarah mencatat berbagai gerakan telah berhasil menantang kekuasaan oligarki, membuktikan bahwa kekuasaan yang terpusat bukanlah kekuatan yang tak tergoyahkan. Keberhasilan ini sering berasal dari kombinasi perlawanan rakyat, reformasi kelembagaan, dan pergeseran dinamika kekuatan ekonomi. Meskipun setiap kasus punya keadaan yang unik, semuanya memiliki tema yang sama, yakni aktivisme akar rumput, perlawanan hukum, dan intervensi pemerintah untuk mematahkan cengkeraman kaum elit yang mengakar.
Salah satu contoh perlawanan yang paling dikenal terhadap oligarki ialah Era Progresif di Amerika Serikat (akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20). Selama masa ini, para taipan industri seperti John D. Rockefeller, Andrew Carnegie, dan J.P. Morgan memegang pengaruh yang sangat besar baik terhadap ekonomi maupun politik. Para elit bisnis ini mengendalikan industri-industri besar, memanipulasi kebijakan pemerintah demi kepentingan mereka, dan mengeksploitasi pekerja tanpa memperhatikan kesejahteraan mereka. Namun, protes publik terhadap ketimpangan ekonomi dan korupsi politik menyebabkan serangkaian reformasi progresif yang bertujuan mengurangi kekuatan monopoli dan mesin politik. Tokoh-tokoh penting semisal Theodore Roosevelt dan Woodrow Wilson mempelopori upaya mengatur industri, memecah monopoli melalui undang-undang antimonopoli, dan memperkenalkan reformasi demokratis seperti pemilihan senator secara langsung dan peraturan pendanaan kampanye. Langkah-langkah ini secara signifikan melemahkan pengaruh oligarki ekonomi dan menegaskan kembali pemerintahan yang demokratis di AS.
Contoh serupa dapat ditemukan di Jepang pasca-Perang Dunia II, dimana reformasi besar-besaran membongkar struktur oligarki yang mengakar. Sebelum perang, Jepang didominasi oleh zaibatsu, konglomerat milik keluarga yang kuat yang mengendalikan sebagian besar ekonomi dan mempertahankan hubungan dekat dengan pemerintah. Setelah kekalahan Jepang, pasukan pendudukan yang dipimpin Amerika membongkar dinasti perusahaan ini melalui kebijakan anti-monopoli yang ketat, yang memaksa pembubaran zaibatsu menjadi perusahaan-perusahaan yang lebih kecil dan independen. Upaya ini membantu menciptakan sistem ekonomi yang lebih kompetitif dan adil, mengurangi kekuatan oligarki bisnis, dan mendorong periode pertumbuhan ekonomi yang cepat di bawah model yang lebih inklusif. Sementara Jepang kemudian melihat kebangkitan konglomerat perusahaan baru (keiretsu), restrukturisasi pasca-perang menunjukkan bahwa kekuatan oligarki dapat ditantang melalui intervensi hukum dan ekonomi.
Contoh penting lain dari perlawanan terhadap oligarki terjadi di Korea Selatan selama tahun 1980-an. Selama beberapa dekade, negara itu telah diperintah oleh rezim yang didukung militer yang mempertahankan aliansi dekat dengan chaebol—konglomerat industri besar yang dikendalikan keluarga seperti Samsung, Hyundai, dan LG. Kebijakan ekonomi pemerintah sebagian besar menguntungkan perusahaan-perusahaan ini sambil menekan hak-hak buruh dan membatasi partisipasi demokratis. Namun, rakyat Korea Selatan, khususnya mahasiswa dan pekerja, memimpin protes dan pemogokan massal yang menuntut demokratisasi. Pada tahun 1987, tekanan ini memuncak dengan diperkenalkannya pemilihan umum yang bebas dan adil, yang menandai dimulainya transisi demokrasi. Meskipun chaebol masih memegang kekuatan ekonomi yang signifikan saat ini, gerakan perlawanan Korea Selatan menunjukkan bahwa mobilisasi rakyat dapat membongkar sistem politik oligarki dan memaksa pemerintah agar menjadi lebih bertanggungjawab kepada warganya.
Amerika Latin juga menjadi contoh masyarakat yang melawan kendali oligarki. Pada awal tahun 2000-an, Bolivia mengalami pemberontakan besar terhadap elit ekonomi dan perusahaan asing. Selama bertahun-tahun, sumber daya alam Bolivia, khususnya pasokan gas dan airnya, dikuasai oleh perusahaan asing dan segelintir elit domestik, yang menyebabkan meluasnya kemiskinan dan ketimpangan. Ketika pemerintah berupaya memprivatisasi air, gerakan massa yang dikenal sebagai 'Perang Air' tahun 2000 meletus, yang menyebabkan protes keras, yang akhirnya memaksa pemerintah membatalkan rencana privatisasi. Beberapa tahun kemudian, gerakan serupa berujung pada terpilihnya Evo Morales, presiden Pribumi pertama Bolivia, yang menasionalisasi industri-industri utama dan mengalihkan kekayaan untuk program-program sosial bagi masyarakat termiskin di negara itu. Meskipun Bolivia telah menghadapi pergolakan politik sejak saat itu, periode ini tetap menjadi contoh kuat perlawanan akar rumput yang berhasil menantang oligarki ekonomi yang mengakar.
Kasus lain yang menarik ialah gerakan kemerdekaan India melawan penjajahan Inggris, yang bukan sekadar perjuangan kedaulatan nasional, melainkan pula perlawanan terhadap oligarki ekonomi dan politik. Kekuasaan Inggris berfungsi sebagai sistem oligarki, dimana elit Inggris dan sekelompok kecil kolaborator India mengendalikan perdagangan, lahan, dan keputusan politik sambil mengeksploitasi mayoritas penduduk. Melalui perlawanan tanpa kekerasan, pembangkangan sipil, dan gerakan swasembada ekonomi yang dipimpin oleh Mahatma Gandhi dan yang lainnya, India secara bertahap melemahkan kendali Inggris. Pawai Garam yang terkenal pada tahun 1930 merupakan tantangan langsung terhadap monopoli Inggris atas produksi garam, yang melambangkan kekuatan mobilisasi massa melawan kelas penguasa elit. Kemerdekaan India pada tahun 1947 bukan sekadar kemenangan politik, tetapi juga kemenangan atas oligarki ekonomi yang mengakar, yang telah mendominasi negara tersebut selama berabad-abad.
Meskipun contoh-contoh ini menunjukkan bahwa perlawanan terhadap oligarki itu memungkinkan, contoh-contoh ini juga mengungkap pelajaran penting: reformasi jarang bersifat permanen kecuali lembaga-lembaga terus diperkuat guna mencegah kebangkitan oligarki. Banyak negara yang berhasil menantang kekuasaan oligarki kemudian melihat kembalinya dominasi elit dalam bentuk-bentuk baru, baik melalui konsolidasi perusahaan, dinasti politik, atau pengaruh militer. Realitas ini menyoroti pentingnya keterlibatan masyarakat yang berkelanjutan, kerangka hukum yang mencegah penangkapan elit, dan kerjasama internasional untuk mengatur kekuatan ekonomi dan politik.
Pada akhirnya, perlawanan yang berhasil terhadap oligarki membutuhkan kombinasi mobilisasi publik, tindakan hukum, dan restrukturisasi ekonomi. Baik melalui upaya pendobrakan kepercayaan di Era Progresif, pemberontakan demokrasi di Korea Selatan, atau nasionalisme ekonomi Bolivia, sejarah menunjukkan bahwa kekuasaan yang terkonsentrasi dapat ditentang ketika masyarakat berkomitmen pada kesetaraan, akuntabilitas, dan pemerintahan yang demokratis," pungkas Cangik.

Senin, 03 Maret 2025

Oligarki (10)

"Sritex, raksasa tekstil Indonesia, telah menemukan dirinya bermasalah, bangkrut, dan kolaps pada akhir Desember 2024, usai Mahkamah Agung menolak bandingnya," Limbuk membaca berita. "Tampaknya pengadilan telah menguatkan putusan awal Pengadilan Niaga Semarang yang dikeluarkan pada akhir Oktober 2024, yang mengukuhkan nasib Sritex.
Apa akar dari kemalangan ini? Sritex tak mampu membayar utangnya kepada PT Indo Bharat Rayon (IBR), kreditor, bahkan setelah sebelumnya ada kesepakatan menyelesaikan masalah ini pada Januari 2022. Hal ini juga menyeret anak perusahaan Sritex, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya, ke dalam masalah ini.
Apa saja alasan utama di balik kebangkrutan Sritex? Sritex terlilit utang yang sangat besar, termasuk utang kepada 27 bank senilai Rp14,42 triliun. Hingga semester I-2024, total utang jangka panjang perusahaan mencapai USD 1,47 miliar (Rp22,8 triliun), dengan tambahan utang jangka pendek sebesar USD 131,4 juta (Rp2 triliun), sehingga mengakibatkan defisit modal sebesar USD 980,56 juta (negatif Rp15,2 triliun).
Perusahaan tersebut dinyatakan pailit setelah lalai memenuhi kewajiban pembayaran kepada PT Indo Bharat Rayon, kreditor, berdasarkan Putusan Homologasi tanggal 25 Januari 2022. Masalah internal seperti manajemen utang yang buruk, krisis likuiditas, dan manajemen krisis yang tak efisien juga memainkan peran penting. Pandemi COVID-19, perang Rusia-Ukraina, dan menurunnya permintaan global berdampak negatif pada ekspor tekstil dan garmen, sehingga memperburuk kondisi keuangan Sritex. Industri tekstil Indonesia telah terpuruk sejak 2023 akibat kenaikan suku bunga dan tingginya biaya modal, ditambah membanjirnya barang impor murah, terutama dari China dan Vietnam. Presiden Komisaris Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, mencontohkan peraturan Kementerian Perdagangan yang membuka pintu masuk impor, sehingga melumpuhkan industri tekstil dalam negeri.
Lebih menyakitkan lagi, Sritex telah memecat 2.500 pekerjanya karena kekurangan bahan baku. Presiden Komisaris Sritex, Iwan S. Lukminto, mengisyaratkan akan ada lebih banyak PHK jika mereka tidak bisa memperbaiki keadaan. Ternyata rekening bank mereka dibekukan, yang justru menghambat impor dan ekspor. Hingga September 2024, Sritex terlilit utang sebesar Rp14,64 triliun (US$899,6 juta), termasuk utang sebesar Rp14,42 triliun kepada 27 bank.
Namun, tak semuanya seperti yang terlihat, karena kurator yang ditunjuk menangani kebangkrutan telah menemukan beberapa keanehan. Meskipun bangkrut, beberapa anak perusahaan tetap beroperasi seolah-olah tak terjadi apa-apa, dan tampaknya ada banyak bahan baku, bertentangan dengan klaim sebelumnya. Para kurator juga mengalami kesulitan meminta bank membekukan rekening Sritex dan bertemu dengan pemiliknya.
Pemerintah Indonesia tengah menangani masalah ini, menyiapkan rencana penyelamatan yang melibatkan dana talangan dan insentif. Tujuannya adalah untuk melindungi tenaga kerja dan menjaga komitmen ekspor tersebut tetap pada jalurnya. Maka, Sritex, yang dulunya merupakan contoh cemerlang industri Indonesia, menjadi kisah peringatan tentang tatakelola perusahaan dan manajemen keuangan."

Cangik meneruskan, "Mari kita lanjut lagi dengan topik kita. Jeffrey A. Winters membahas pengaruh oligarki terhadap kebijakan pemerintah di Indonesia dalam karyanya Oligarchy (2011, Cambridge University Press), Menurut Winters, Indonesia memperlihatkan bentuk oligarki yang dicirikan oleh mempertahankan harta-kekayaan, dimana elit ekonomi yang kuat menggunakan sumber daya mereka yang besar untuk membentuk sistem politik dan hukum guna melindungi harta-kekayaan mereka. Ia menyoroti bagaimana oligarki Indonesia memengaruhi kebijakan pemerintah. Oligarki membiayai partai politik dan kandidat, memastikan bahwa pejabat terpilih melayani kepentingan mereka. Mereka menggunakan kekayaan mereka memengaruhi peradilan, penegakan hukum, dan badan pengatur guna menghindari akibat hukum. Dengan mengamankan kendali atas sektor-sektor utama (semisal sumber daya alam, infrastruktur, dan perbankan), mereka mendikte kebijakan yang mendukung dominasi ekonomi mereka. Institusi-institusi demokrasi Indonesia berjuang melawan pengaruh oligarki karena korupsi dan klientelisme. Winters berpendapat bahwa meskipun demokratisasi, oligarki tetap menjadi kekuatan dominan dalam membentuk lanskap politik dan ekonomi Indonesia.

'Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression, disunting oleh Thomas Power dan Eve Warburton (2020, ISEAS–Yusof Ishak Institute) mengkaji berbagai tantangan yang dihadapi demokrasi Indonesia, termasuk menguatnya kekuasaan oligarki. Meskipun rincian spesifik karya ini tak tersedia dalam sumber yang disediakan, berbagai penelitian lain telah mendokumentasikan perlawanan terhadap oligarki di Indonesia. Misalnya, sebuah studi kasus dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menyoroti perlawanan akar rumput terhadap kekuatan oligarki. Gerakan anti-pabrik semen memprotes perluasan Indocement Tunggal Prakarsa Ltd di Pegunungan Kendeng. Gerakan ini memperluas pengaruhnya hingga pemilihan kepala daerah 2017, menantang dan 'mengalahkan' kepentingan oligarki di wilayah tersebut. Kasus ini menunjukkan bahwa kekuasaan oligarki dapat ditentang melalui upaya akar rumput yang terorganisasi (organized grassroots efforts).
Selain itu, Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI), sebuah aliansi dari berbagai gerakan sosial dan serikat pekerja, merupakan bentuk perlawanan lainnya. KPRI mencakup para pekerja, petani, nelayan, masyarakat adat, dan kelompok perempuan. Tujuannya untuk menantang dominasi oligarki dengan menyatukan gerakan sosial yang terfragmentasi dan merumuskan kerangka kebijakan alternatif dengan orientasi kiri yang jelas anti-neoliberal. Upaya KPRI merupakan contoh upaya melawan pengaruh oligarki melalui aksi kolektif dan partisipasi politik.
Contoh-contoh ini menggambarkan bahwa perlawanan terhadap oligarki di Indonesia terwujud melalui gerakan akar rumput dan aliansi yang berusaha menantang struktur kekuasaan yang mengakar.

Oligarki ada di seluruh Asia Tenggara, tetapi manifestasinya berbeda-beda berdasarkan konteks sejarah, struktur ekonomi, dan model tatakelola. Berikut ini analisis perbandingan Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia, dan Vietnam, yang menyoroti sistem oligarki mereka yang unik.
Di Indonesia, siapa yang memegang kekuasaan? Para taipan bisnis, dinasti politik, mantan elit militer. Keluarga elit pasca-Soeharto mendominasi partai politik. Para oligarki bisnis mendanai politisi untuk mengamankan kebijakan yang menguntungkan. Media dikendalikan oleh elit politik dan bisnis.

Di Filipina, dinasti politik, tokoh bisnis, dan tokoh media memegang kekuasaan (Oligarki Dinasti & Bisnis). Keluarga elit telah mendominasi politik selama beberapa generasi (misalnya, Aquino, Marcos, Duterte, Roxas, Estrada). Kelompok bisnis besar (Ayala, SM Group, San Miguel, Gokongwei) mengendalikan ekonomi dan mendanai pemilihan umum. Media dimiliki secara pribadi tetapi berpihak pada politik (ABS-CBN, GMA Network). Ferdinand Marcos (1965–1986) memusatkan kekuasaan oligarki, yang menguntungkan kapitalis kroni.
Oligarki Filipina lebih bersifat dinasti daripada Indonesia (keluarga politik secara langsung mendominasi pemilihan umum). Mirip dengan Thailand dalam hal kendali elit tetapi tanpa kudeta militer.
Filipina telah lama dicirikan oleh konsentrasi kekuatan politik dan ekonomi di tangan beberapa keluarga elit. Sistem oligarki ini terwujud dalam dua bentuk utama: oligarki dinasti, kekuatan politik diwariskan melalui generasi keluarga, dan oligarki bisnis, dimana beberapa elit bisnis yang berpengaruh mendominasi industri-industri utama.

The Modern Principalia: The Historical Evolution of the Philippine Ruling Oligarchy (2007, University of the Philippines Press) oleh Dante C. Simbulan memberikan analisis historis tentang bagaimana dinasti politik muncul dan bertahan di Filipina. Simbulan menelusuri asal usul dinasti politik kembali ke masa kolonial Spanyol, dimana principalia (kelas penguasa lokal) ditunjuk sebagai perantara antara pemerintah Spanyol dan penduduk asli Filipina. Para elit lokal ini, yang sering terdiri dari keluarga pemilik tanah, mengumpulkan kekayaan dan pengaruh politik dengan mengumpulkan pajak, mengelola tanah, dan mengendalikan perdagangan.
Bahkan setelah kekuasaan Spanyol berakhir, keluarga-keluarga yang berkuasa ini tetap mempertahankan pengaruh mereka di bawah kekuasaan kolonial Amerika. AS memperkenalkan lembaga-lembaga demokrasi, tetapi partisipasi politik tetap dibatasi pada kaum elit karena persyaratan properti dan literasi. Keluarga-keluarga penguasa ini beradaptasi dengan mendominasi politik elektoral, membentuk dinasti-dinasti yang mewariskan kekuasaan dari generasi ke generasi.
Pasca kemerdekaan, dinasti-dinasti ini mengonsolidasikan kendali atas bidang politik dan ekonomi dengan memonopoli posisi-posisi elektoral (anggota-anggota keluarga mencalonkan diri untuk berbagai peran pemerintahan lintas generasi); memanfaatkan patronase dan klientelisme (memberikan manfaat ekonomi guna memastikan loyalitas pemilih); dan mengendalikan bisnis dan kepemilikan tanah (menambah kekayaan untuk mempertahankan dominasi politik).
Simbulan berpendapat bahwa dinasti politik telah menghambat perkembangan demokrasi sejati, karena pemerintahan masih berpusat pada kepentingan elit dan bukan pada kesejahteraan publik. Karyanya menyoroti perlunya reformasi, seperti undang-undang anti-dinasti, untuk memutus siklus kekuasaan elit.

Dalam The Conjugal Dictatorship of Ferdinand and Imelda Marcos (1976, Ateneo de Manila University Press), Primitivo Mijares mengungkap bagaimana keluarga Marcos dan rekan-rekan dekatnya menggunakan kekuatan politik untuk membangun kerajaan bisnis di Filipina melalui kapitalisme kroni, monopoli industri, dan penyalahgunaan sumber daya negara. Ferdinand Marcos membangun sistem dimana peluang bisnis disediakan untuk para loyalis dan rekan-rekan dekatnya (kroni). Ia memberi mereka kendali atas industri-industri utama, semisal perbankan, energi, dan media, sebagai imbalan atas dukungan politik dan finansial mereka. Kroni-kroni utama termasuk pengusaha seperti Eduardo Cojuangco Jr. dan Roberto Benedicto, yang mengumpulkan kekayaan melalui monopoli yang didukung pemerintah. Kontrak-kontrak pemerintah dan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan diberikan kepada para kroni ini, yang memungkinkan mereka mendominasi perekonomian.
Rezim Marcos memastikan bahwa hanya sekutu tepercaya yang mengendalikan industri penting, mengurangi persaingan dan meningkatkan kekayaan keluarga. Roberto Benedicto mengendalikan perdagangan gula, menghasilkan miliaran dolar dalam pendapatan ekspor. Eduardo Cojuangco Jr. memimpin monopoli melalui United Coconut Planters Bank, yang didanai oleh pungutan paksa terhadap petani kelapa. Pemerintah menyita perusahaan-perusahaan TV dan surat kabar besar untuk mencegah perbedaan pendapat dan mempromosikan propaganda mereka.
Marcos dan rekan-rekannya mengalihkan miliaran dolar dari dana pemerintah untuk keuntungan pribadi. Proyek infrastruktur publik dinilai terlalu tinggi, dengan sebagian besar dana disalurkan ke rekening pribadi. Rekening bank Swiss di luar negeri diam-diam digunakan untuk menyimpan kekayaan yang diperoleh secara tidak sah, yang kemudian terungkap setelah jatuhnya Marcos. Pengeluaran boros yang didorong oleh Imelda Marcos (misalnya, gedung-gedung mewah, pesta belanja) dibiayai menggunakan uang pemerintah.
Karya Mijares mengungkap bahwa kediktatoran Marcosbukan hanya tentang penindasan politik tetapi juga tentang penjarahan ekonomi. Dengan menggunakan pemerintah sebagai alat untuk akumulasi kekayaan, keluarga Marcos dan sekutu mereka memperkuat diri secara ekonomi, yang menyebabkan efek jangka panjang pada ekonomi Filipina. Jatuhnya rezim pada tahun 1986 mengungkap tingkat korupsi mereka, tetapi warisan kekayaan dan pengaruh mereka masih ada hingga kini.

Dalam Cacique Democracy in the Philippines: Origins and Dreams (1988, Cornell University Press), Benedict Anderson menjelaskan bagaimana kekuatan ekonomi dan politik saling terkait erat, yang memungkinkan sekelompok kecil elit (caciques, atau bos politik) mendominasi kedua sektor di Filipina.
Anderson berpendapat bahwa kekuasaan elit di Filipina bermula pada masa penjajahan Spanyol, ketika keluarga pemilik tanah (caciques) memperoleh kendali atas perkebunan pertanian yang luas. Keluarga-keluarga ini mempertahankan kekuasaan mereka bahkan setelah kekuasaan Spanyol berakhir, beralih dari tuan tanah menjadi pemimpin politik di bawah pemerintahan kolonial Amerika. AS memperkenalkan pemilihan umum, tetapi sistem tersebut lebih memihak elit kaya, yang mengendalikan politik dan ekonomi lokal. Jabatan politik menjadi aset keluarga, diwariskan dari generasi ke generasi.
Keluarga elit yang sama yang mendominasi politik juga mengendalikan industri-industri utama, yang memungkinkan mereka menggunakan kekayaan untuk mengamankan kemenangan pemilu. Monopoli bisnis dan penguasaan lahan memastikan bahwa masyarakat tetap bergantung secara ekonomi kepada mereka. Kampanye pemilu didanai oleh kaum oligarki, sehingga hampir mustahil bagi pihak luar untuk bersaing. Para politisi memberi penghargaan kepada sekutu bisnis mereka dengan kontrak pemerintah dan kebijakan yang menguntungkan, yang memperkuat siklus kendali elit.
Keluarga politik mendistribusikan sumber daya pemerintah, pekerjaan, dan bantuan untuk mempertahankan loyalitas pemilih. Para pemilih, terutama di daerah pedesaan, menjadi tergantung pada elit ini agar bertahan hidup, yang menjamin dukungan yang berkelanjutan. Sistem ini mencegah persaingan demokrasi yang sesungguhnya, karena kekuasaan tetap terpusat di tangan beberapa orang. Anderson menggambarkan Filipina sebagai 'demokrasi cacique', dimana pemilihan umum ada tetapi hanya berfungsi melegitimasi kekuasaan elit. Dinasti politik dan oligarki bisnis bekerjasama guna memastikan bahwa kekayaan dan kekuasaan tetap berada dalam lingkaran eksklusif mereka, yang membatasi partisipasi demokrasi sejati dan mobilitas ekonomi.

Dalam Electoral Dynamics in the Philippines: Money Politics, Patronage and Clientelism at the Grassroots (2019, National University of Singapore Press), editor Allen Hicken, Edward Aspinall, dan Meredith Weiss menganalisis bagaimana dinasti politik mempertahankan kendali atas politik elektoral melalui politik uang, patronase, dan klientelisme. Dinasti politik menggunakan sumber daya keuangan yang besar untuk mengamankan kemenangan elektoral. Kampanye mahal, dan keluarga politik kaya mendominasi dengan membeli suara (menawarkan pembayaran tunai langsung atau barang, misalnya, beras, obat-obatan) kepada pemilih); Mendanai kampanye besar-besaran (pengeluaran untuk iklan, rapat umum, dan pengaruh media); mempertahankan aliansi lokal (memberikan insentif keuangan kepada para pemimpin lokal yang memobilisasi pemilih). Patronase mengacu pada distribusi sumber daya pemerintah untuk menghargai kesetiaan. Dinasti menggunakan posisi mereka untuk menunjuk sekutu ke posisi kunci pemerintah (misalnya, pemimpin barangay, polisi, birokrat); menyediakan pekerjaan dan kontrak kepada para pendukung dengan imbalan suara, dan mengendalikan dana publik (misalnya, proyek-proyek yang tak menguntungkan) guna memperkuat ketergantungan pemilih.
Klienisme adalah sistem timbal balik dimana politisi memberikan keuntungan pribadi kepada para pemilih sebagai imbalan atas dukungan elektoral. Ini termasuk menawarkan bantuan langsung (misalnya, menanggung biaya pengobatan, biaya sekolah); memprioritaskan layanan untuk para loyalis sambil mengabaikan para pendukung oposisi; membangun budaya ketergantungan, dimana para pemilih merasa berkewajiban untuk mendukung keluarga-keluarga tertentu.
Karya ini merangkum bahwa politik uang, patronase, dan klientelisme memperkuat dominasi dinasti politik, sehingga menyulitkan kandidat baru atau independen dalam bersaing. Sistem ini melemahkan lembaga-lembaga demokrasi, karena pemilihan umum sering diputuskan oleh kekuatan finansial daripada kebijakan atau prestasi. Para penulis menyarankan bahwa reformasi elektoral, undang-undang pendanaan kampanye yang lebih ketat, dan undang-undang anti-dinasti diperlukan untuk memutus siklus ini.

Di Thailand, monarki, elit militer, dan elit bisnis memegang kekuasaan (Oligarki Militer-Royalis). Monarki Thailand (Raja Rama X) memegang kekuasaan tertinggi dengan dukungan militer. Kudeta militer (misalnya, 2014, 2006) digunakan untuk mengatur ulang sistem politik demi kepentingan elit. Oligarki bisnis seperti keluarga Chearavanont (CP Group) diuntungkan oleh hubungan dekat dengan negara. Media dikontrol ketat, terutama oleh monarki dan militer. Thailand lebih tersentralisasi daripada Indonesia & Filipina (kontrol militer-monarki). Thailand lebih dekat dengan Vietnam dalam hal kontrol negara tetapi dengan ekonomi kapitalis.
B.J. Terwiel dalam 'Thailand's Political History: From the 13th Century to Recent Times (2005, River Books)' meneliti evolusi struktur kekuasaan elit Thailand, dengan menyoroti karakteristik oligarki mereka. Pada Periode Ayutthaya (1351–1767), kerajaan tersebut diperintah oleh monarki terpusat, dengan kekuasaan terpusat di antara raja dan sekelompok kecil bangsawan dan pejabat. Kelas elit ini menguasai lahan dan sumber daya, sehingga membentuk masyarakat hierarkis.
Pada Periode Bangkok dan Dinasti Chakri (1782–sekarang), usai jatuhnya Ayutthaya, Dinasti Chakri naik ke tampuk kekuasaan, mempertahankan otoritas terpusat. Monarki terus bergantung pada jaringan elit, termasuk bangsawan dan birokrat, untuk mengelola kerajaan.
Pada Reformasi Abad ke-19, di bawah Raja Chulalongkorn (Rama V), reformasi signifikan memodernisasi administrasi dan mengurangi kekuasaan bangsawan, tetapi kelas elit beradaptasi, mempertahankan pengaruh dalam struktur birokrasi baru. Dalam Revolusi 1932, kudeta yang dipimpin oleh elit militer dan sipil mengubah Thailand menjadi monarki konstitusional. Meskipun terjadi perubahan ini, kekuasaan tetap berada di tangan kelompok tertentu, karena elit militer dan birokrasi mendominasi politik.
Pada Era Pasca-Perang Dunia II, militer muncul sebagai kekuatan dominan, dengan tokoh-tokoh seperti Marsekal Lapangan Sarit Thanarat mengonsolidasikan kekuasaan melalui kudeta. Periode ini menyaksikan terjalinnya elit militer dan ekonomi, yang memperkuat kecenderungan oligarki.
Pada akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21, elit bisnis memperoleh keunggulan politik, yang dicontohkan oleh kebangkitan Thaksin Shinawatra. Masa jabatannya menyoroti ketegangan antara elit bisnis yang baru muncul dan faksi-faksi militer-royalis tradisional, yang menyebabkan ketidakstabilan politik.
Analisis Terwiel menggarisbawahi kemampuan adaptasi struktur kekuasaan elit Thailand, yang telah berevolusi namun secara konsisten mempertahankan karakteristik oligarki sepanjang sejarah bangsa tersebut.

'A History of Thailand' (2005, Cambridge University Press), Chris Baker dan Pasuk Phongpaichit mengeksplorasi evolusi struktur kekuasaan elit Thailand, menyoroti karakteristik oligarki mereka melalui berbagai periode sejarah. Pada akhir abad ke-19, Siam mengalami transformasi signifikan untuk membangun dirinya sebagai negara-bangsa. Proses ini melibatkan integrasi berbagai wilayah dengan sejarah, bahasa, dan budaya yang berbeda menjadi satu kesatuan. Pemusatan kekuasaan selama periode ini meletakkan dasar bagi elit yang terkonsolidasi.
Pasca-1976, birokrasi senior, bersama dengan istana dan militer, terus menegakkan model masyarakat pedesaan pasif yang menerima tatanan sosial dan politik hierarkis. Mereka bertujuan merekayasa harmoni sosial dan membimbing 'demokrasi' dari atas, yang mencerminkan pengaruh abadi elit birokrasi.
Jalinan elit politik dan ekonomi telah bertahan hingga zaman modern (Dinamika Elit Kontemporer). Kebangkitan dinasti keluarga politik, seperti keluarga Shinawatra, menggambarkan sifat abadi struktur oligarki dalam lanskap politik Thailand. Selama periode ini, struktur kekuasaan elit Thailand telah beradaptasi dengan perubahan lanskap politik dan sosial, mempertahankan pengaruhnya, dan menunjukkan karakteristik oligarki.

Dalam 'Dynastic Democracy: Political Families of Thailand,' Yoshinori Nishizaki (2023, University of Wisconsin Press) mengeksplorasi konsep 'demokrasi dinasti', yang dicirikan oleh transmisi kekuasaan politik dalam keluarga penguasa tertentu.
Sejak penggulingan monarki absolut tahun 1932, lanskap politik Thailand telah dipengaruhi secara signifikan oleh keluarga politik elit. Keluarga-keluarga ini terbagi dalam dua kategori utama: rakyat jelata berpengaruh yang telah menduduki kursi parlemen sejak 1932, yang membentuk inti demokrasi dinasti Thailand, dan warga kelas atas yang terkait dengan keluarga kerajaan baik melalui kekerabatan atau keselarasan ideologis, yang telah berulangkali menentang transisi politik melalui kudeta dan perubahan konstitusional.
Analisis Nishizaki menggambarkan bagaimana pluralisme demokrasi di Thailand secara konsisten dikekang oleh struktur dinasti ini, yang sering merugikan warga biasa. Hal ini menggarisbawahi pentingnya hubungan kekeluargaan yang abadi dalam politik Thailand, dimana otoritas dan pengaruh politik selalu diwariskan lintas generasi.

Di Malaysia, elite politik-bisnis dan perusahaan-perusahaan yang terkait dengan negara memegang kekuasaan (Oligarki Korporat-Politik dengan Pengaruh Etnis). Partai UMNO yang berkuasa (hingga 2018) mengendalikan politik selama beberapa dekade, yang menguntungkan elite bisnis. Skandal 1MDB (Najib Razak) menunjukkan korupsi yang parah dalam jaringan elite. Perusahaan-perusahaan yang terkait dengan negara seperti Petronas dan Khazanah Nasional mendominasi industri-industri utama. Favoritisme bisnis berbasis etnis (kebijakan Bumiputera mendukung elite Melayu). Kontrol negara lebih besar daripada Indonesia dan Filipina, tetapi lebih sedikit daripada Thailand atau Vietnam. Favoritisme ekonomi-ras lebih besar daripada negara-negara ASEAN lainnya.
Dalam Malaysia's Political Economy: Politics, Patronage and Profits, penulis Edmund Terence Gomez dan Jomo K. S (2007, Cambridge University Press) menganalisis hubungan rumit antara politik dan bisnis di Malaysia, dengan mengilustrasikan bagaimana politik partai dan pembangunan ekonomi telah mendorong oligarki politik-korporat. Karya ini menelaah mekanisme yang melaluinya patronase politik telah memengaruhi akumulasi dan konsentrasi kekayaan di negara tersebut.
Penulis menggunakan konsep sewa dan pencarian sewa untuk mengeksplorasi bagaimana patronase politik berperan penting dalam akumulasi kekayaan. Mereka berpendapat bahwa ekonomi politik Malaysia dicirikan oleh distribusi hak istimewa ekonomi kepada individu dan entitas yang berhubungan politik, yang mengarah pada munculnya kelas bisnis terkait erat dengan elit politik yang berkuasa.
Jalinan kekuatan politik dan kepentingan bisnis telah menghasilkan oligarki politik-korporat, dimana sumber daya ekonomi dikendalikan oleh kelompok tertentu dengan afiliasi politik yang kuat. Hubungan ini telah melanggengkan sistem dimana pertimbangan politik sangat memengaruhi keputusan ekonomi, kerap dengan mengorbankan efisiensi dan ekuitas ekonomi yang lebih luas.
Karya ini membahas bagaimana sistem patronase ini telah membentuk pembangunan ekonomi Malaysia, yang memengaruhi pembuatan kebijakan dan distribusi peluang ekonomi. Keselarasan antara tujuan politik dan kepentingan bisnis telah mengarah pada prioritas proyek-proyek yang melayani kepentingan elit politik-korporat, yang berpotensi mengesampingkan inisiatif ekonomi yang lebih inklusif atau berbasis prestasi.

Di Vietnam, elit Partai Komunis dan eksekutif perusahaan milik negara memegang kekuasaan (Oligarki yang Dikendalikan Negara atau Elit yang terkait dengan Komunis). Pemerintahan satu partai memastikan dominasi Partai Komunis atas bisnis dan politik. Pengusaha kaya harus punya hubungan dekat dengan partai agar bisa sukses. Perusahaan milik negara mengendalikan sektor-sektor utama (PetroVietnam, VinGroup, Viettel). Media sepenuhnya dikendalikan oleh negara (tiada pers independen seperti di Indonesia atau Filipina) dan lebih tersentralisasi daripada di Indonesia, Filipina, dan Thailand (yang dikendalikan oleh partai). Model oligarki di negara ini lebih mirip dengan model oligarki China dibanding negara-negara ASEAN lainnya.
Penulis Bill Hayton dalam 'Vietnam: Rising Dragon' (Yale University Press, 2010), meneliti kemunculan struktur oligarki dalam sistem politik dan ekonomi Vietnam. Ia menyoroti bagaimana jalinan kekuatan politik dan kepentingan bisnis telah menyebabkan munculnya kelas elit baru, yang sering terhubung melalui ikatan kekeluargaan dengan pimpinan Partai Komunis. Ia menjelaskan bagaimana anggota Partai Komunis yang berkuasa dan kerabat mereka telah memanfaatkan posisi mereka dalam mendominasi perusahaan milik negara dan sektor bisnis swasta, sehingga memunculkan bentuk oligarki.
Partai Komunis Vietnam (CPV) telah mempertahankan kendali atas sektor-sektor ekonomi utama, memastikan bahwa koneksi politik diperlukan untuk keberhasilan bisnis. Perusahaan milik negara menerima akses istimewa ke sumber daya, modal, dan kontrak pemerintah, yang sering menguntungkan individu yang berafiliasi dengan Partai.
Hayton memperkenalkan istilah seperti 'COCC' (Con Ông Cháu Cha) dan '5C' (Con Cháu Các Cụ Cả) untuk menggambarkan jaringan ini. 'COCC', yang berarti 'putra dari ayah, cucu dari kakek', merujuk pada lapisan bawah elit bisnis-Partai yang baru, yang meliputi para bos provinsi dan pejabat Partai dan pemerintah nasional tingkat bawah. '5C', yang berarti 'semua anak dan cucu dari kakek buyut', menunjukkan elit yang sebenarnya, termasuk keturunan langsung dan anggota keluarga besar dari pejabat tinggi. Orang-orang ini memanfaatkan koneksi mereka untuk mengamankan peluang bisnis dan melindungi kepentingan mereka, yang sering beroperasi di luar jangkauan akuntabilitas hukum.
Penggabungan otoritas politik dan hak istimewa ekonomi ini telah mendorong sistem dimana perusahaan milik negara dan perusahaan swasta selalu dikendalikan oleh anggota Partai atau kerabat mereka. Entitas semacam ini mendapat keuntungan dari kebijakan yang menguntungkan, akses ke modal, dan keringanan peraturan, yang mengabadikan siklus kekayaan dan konsentrasi kekuasaan. Hayton berpendapat bahwa struktur oligarki ini merusak pemerataan pembangunan ekonomi dan menimbulkan tantangan bagi pemerintahan dan stabilitas sosial di Vietnam.

Jadi, di antara negara-negara ASEAN tersebut, negara mana yang memiliki tingkat pengaruh oligarki tertinggi?
Vietnam memiliki tingkat pengaruh oligarki yang sangat ekstrem dimana Partai mengendalikan seluruh aktivitas ekonomi dan politik (oligarki yang dikendalikan negara).
Thailand memiliki tingkat pengaruh oligarki yang sangat tinggi dimana militer dan monarki mengendalikan kekuasaan negara (oligarki militer-royalis).
Indonesia memiliki tingkat pengaruh oligarki yang sangat tinggi dimana Dinasti politik dan kelompok bisnis membentuk kebijakan (oligarki bisnis dan politik).
Filipina memiliki tingkat pengaruh oligarki yang sangat tinggi, dimana pemilihan umum didominasi oleh dinasti keluarga (oligarki dinasti dan bisnis).
Malaysia memiliki tingkat pengaruh oligarki yang moderat hingga tinggi, kuat tetapi dengan pergeseran politik belakangan ini (oligarki korporat-politik).
Indonesia dan Filipina adalah negara yang paling demokratis tetapi sangat oligarkis (elit politik-bisnis mendominasi). Thailand adalah oligarki yang sangat dikendalikan militer (sering terjadi kudeta). Malaysia adalah oligarki yang terkait dengan negara dengan favoritisme etnis (lebih sedikit kekuasaan untuk taipan swasta). Vietnam adalah oligarki yang sepenuhnya dikendalikan negara (seperti China). Oligarki Indonesia lebih dikendalikan oleh bisnis, sedangkan Thailand didominasi oleh monarki-militer. Filipina adalah model yang mirip-mirip dengan Indonesia, tetapi lebih berbasis keluarga dalam pemilihan umum.
[Bagian 11]
[Bagian 9]