[Bagian 1]"Kepemimpinan Islam tak terbatas pada politik atau pemerintahan—ia berlaku dalam bisnis, pendidikan, kehidupan keluarga, dan kepemimpinan masyarakat. Di setiap bidang, seorang pemimpin hendaknya bertindak dengan keadilan, akuntabilitas, kerendahan hati, dan pelayanan kepada orang lain. Mari kita telusuri bagaimana kepemimpinan Islam dapat diterapkan dalam berbagai bidang," lanjut Limbuk."Seorang pemimpin bisnis bertanggungjawab terhadap para pekerja, pelanggan, dan masyarakat. Kejujuran dan keadilan hendaknya menjadi dasar kepemimpinan. Tak boleh ada penipuan, kecurangan, atau eksploitasi yang tidak adil.Seorang pemimpin bisnis harus membayar upah yang adil kepada karyawannya tepat waktu. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda:أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ'Berikanlah kepada pekerja itu upahnya sebelum keringatnya mengering.' [Sunan Ibnu Majah; Sahih]Seorang pemimpin bisnis menghindari riba dan keuntungan yang tidak etis. Allah berfirman,اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ يَمْحَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ ۗ وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ اَثِيْمٍ اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ لَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَذَرُوْا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبٰوٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۚ وَاِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ اَمْوَالِكُمْۚ لَا تَظْلِمُوْنَ وَلَا تُظْلَمُوْنَ'Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual-beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Siapa pun yang telah sampai kepadanya peringatan dari Rabbnya (menyangkut riba), lalu ia berhenti sehingga apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (transaksi riba), mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya. Allah menghilangkan (keberkahan dari) riba dan menyuburkan sedekah. Allah tak menyukai setiap orang yang sangat kufur lagi bergelimang dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, beramal shalih, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. Tiada rasa takut pada mereka dan tak (pula) mereka bersedih. Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang mukmin. Jika kamu tak melaksanakannya, ketahuilah akan terjadi perang (dahsyat) dari Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi, jika kamu bertobat, kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tak berbuat zalim (merugikan) dan tak dizalimi (dirugikan).' [Surah Al-Baqarah 2:275-279]Seorang pemimpin bisnis menjaga transparansi dan keadilan dalam kontrak. Ia menyediakan lingkungan kerja yang sehat dan adil. Allah berfirman,وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِيْنَۙ الَّذِيْنَ اِذَا اكْتَالُوْا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُوْنَۖ وَاِذَا كَالُوْهُمْ اَوْ وَّزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَۗ'Celakalah orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)! (Merekalah) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. (Sebaliknya,) apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka kurangi.' [QS. Al-Mutaffifin (83):1-3]Sebagai contoh, Abdul Rahman bin Auf (radhiyallahu 'anhu), menjadi kaya tanpa perlu turut dalam perdagangan yang tidak jujur. Ia berbagi kekayaannya dengan masyarakat, mendanai proyek-proyek Islam. Ia tetap rendah hati meskipun ia sukses. Ini membuktikan bahwa kepemimpinan Islam dalam bisnis mengarah pada kesuksesan tanpa mengorbankan nilai-nilai.Dalam bidang pendidikan, para pemimpin pendidikan (guru, ulama, dan mentor) hendaknya mengajar dengan ikhlas, bukan untuk kepentingan pribadi; mendorong pemikiran kritis dan bijak; menjadi panutan yang berkarakter Islami; dan membimbing peserta didik agar mengamalkan ilmu pengetahuan demi kemaslahatan masyarakat. Ulama adalah pemimpin dalam membimbing masyarakat berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Mereka tak boleh terpengaruh oleh uang, kekuasaan, atau tekanan politik. Imam Abu Hanifah, misalnya, menolak jabatan tinggi di pemerintahan agar tetap independen dalam fatwa-fatwanya. Seorang ulama sejati mengajar dengan hikmah, kesabaran, dan keikhlasan.Kepemimpinan politik seyogyanya berlandaskan etika syariah. Seorang pemimpin pemerintahan hendaknya memerintah dengan adil. Allah berfirman,اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا'Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.' [QS An-Nisa (4):58]Kepemimpinan Politik hendaknya bermusyawarah dengan rakyat (sistem Syura). Allah berfirman,وَالَّذِيْنَ اسْتَجَابُوْا لِرَبِّهِمْ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَۖ وَاَمْرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْۖ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۚ'(Juga lebih baik dan lebih kekal bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabbnya dan melaksanakan shalat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka. Mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.' [Ash-Shura (42):38]Kepemimpinan Politik hendaknya dapat diakses oleh warga negara, semisal Umar bin Khattab (radhiyallahu 'anhu). Ia hendaknya memerangi korupsi dan menegakkan akhlak Islam. Umar bin Abdul Aziz memangkas pengeluaran pemerintah yang tak perlu untuk melayani kaum miskin. Ia menyingkirkan gubernur yang korup dari jabatannya. Ia memerintah dengan adil dan memastikan distribusi kekayaan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintahan Islam mengutamakan keadilan, bukan keuntungan pribadi. Rasulullah ﷺ memperingatkan,مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ'Sesiapa hamba yang Allah tugaskan mengurusi urusan manusia, lalu ia meninggal dunia dalam keadaan memperdaya orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya, maka Allah mengharamkan surga baginya.' [Sahih Muslim]Hadits ini merupakan peringatan keras terhadap pengkhianatan terhadap tanggungjawab kepemimpinan. Hadits ini menekankan bahwa mereka yang berwenang hendaknya memerintah dengan ketulusan, keadilan, dan integritas. Penipuan dan pengabaian terhadap rakyat akan berakibat buruk di akhirat kelak.Takwa merupakan inti kepemimpinan dalam Islam karena ia menjaga pemimpin agar tetap sejalan dengan kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Seorang pemimpin yang tak memiliki takwa dapat dengan mudah terpengaruh oleh keinginan pribadi, tekanan eksternal, atau penyelewengan. Ketika seorang pemimpin memiliki takwa, mereka mengutamakan keadilan di atas keuntungan pribadi atau politik, takut akan penghakiman Allah di atas segalanya.Ketika kepemimpinan berlepas diri dari takwa—kesadaran dan rasa takut kepada Allah—ia menjadi hampa, didorong oleh hasrat pribadi dan bukan oleh tuntunan Ilahi. Kepemimpinan dalam Islam bukan hanya tentang kekuasaan atau pemerintahan; ia adalah tanggungjawab, amanah, yang diamanahkan oleh Allah. Tanpa takwa, kepercayaan ini akan cepat dikhianati, dan akibatnya akan menyebar ke seluruh masyarakat, tak semata mempengaruhi mereka yang berkuasa tetapi juga setiap jiwa yang berada di bawah kekuasaan mereka.Pemimpin yang tak memiliki taqwa tak lagi melihat jabatannya sebagai amanah dari Allah, melainkan sebagai hak istimewa untuk dieksploitasi. Keadilan tak lagi ditegakkan demi kebenaran, melainkan demi keuntungan pribadi atau politik. Kaum tertindas berteriak, tetapi suara mereka tenggelam oleh ambisi penguasa.Memperdaya, ketidakjujuran, dan tirani tak dapat dihindari ketika seorang pemimpin tidak memiliki dasar ketakwaan. Tanpa rasa takut kepada Allah, akuntabilitas akan memudar. Pemimpin mulai percaya bahwa keputusannya tak dapat dicela, bahwa kekuasaan adalah haknya, bukan ujiannya. Ia mengelilingi dirinya dengan orang-orang yang menyanjungnya, bukan orang-orang yang menasihatinya dengan tulus, dan dengan melakukan itu, ia menjauhkan diri dari kebenaran.Namun, seorang pemimpin tanpa ketakwaan tak hanya merugikan dirinya sendiri—ia juga menghancurkan orang-orang yang seharusnya ia layani. Ketidakadilan menyebar seperti api, korupsi menjadi norma, dan kepercayaan antara yang diperintah dan yang memerintah pun terkikis.Masyarakat yang dipimpin oleh seorang pemimpin tanpa takwa menderita dalam berbagai hal, baik yang kasat mata maupun yang tak kasat mata. Penindasan menjadi hal yang biasa, kekayaan ditimbun alih-alih didistribusikan secara adil, dan mereka yang mengatakan kebenaran dibungkam. Pengetahuan tergantikan oleh kedunguan, dan petunjuk hilang dalam bayang-bayang tipu daya. Masyarakat mulai putus asa, karena mereka tak lagi melihat keadilan ditegakkan, dan mereka juga tak merasa terlindungi di bawah kepemimpinan mereka.Sejarah menjadi saksi kejatuhan bangsa-bangsa yang dipimpin oleh para penguasa yang tak memiliki takwa. Dari para tiran di masa lalu hingga rezim-rezim korup saat ini, kepemimpinan tanpa kesadaran akan Allah hanya akan membawa kehancuran. Sebaliknya, ketika para penguasa memerintah dengan takwa, keadilan akan menang, belas-kasihan akan dilimpahkan, dan masyarakat akan makmur.Pada hakikatnya, kepemimpinan bukanlah tentang kekuasaan, melainkan tentang tanggungjawab. Seorang pemimpin yang tak memiliki takwa lupa bahwa ia akan berdiri di hadapan Allah, dimana kekayaan, status, dan wewenangnya takkan berarti apa-apa. Ia akan ditanya tentang setiap keputusan yang diambilnya, setiap ketidakadilan yang dibiarkannya, dan setiap orang yang dizaliminya. Pada Hari itu, tiada alasan yang cukup, dan tiada kekuatan yang akan menyelamatkannya dari penghakiman Yang Maha Adil.Jadi, ketika kepemimpinan tak punya taqwa, bukan hanya pemimpinnya yang menderita—tetapi seluruh umat. Solusinya jelas: seorang pemimpin hendaknya memerintah dengan rasa takut kepada Allah di dalam hatinya, menegakkan kebenaran dengan ketulusan yang tak tergoyahkan, dan mengingat bahwa pertanggungjawaban yang sebenarnya bukanlah kepada rakyat, melainkan kepada Dia yang menciptakannya.Seorang pemimpin yang dituntun oleh takwa menegakkan kebenaran (haqq), walaupun ketika hal itu sulit atau tidak populer. Islam memperingatkan terhadap para pemimpin yang memutarbalikkan kebenaran demi keuntungan pribadi atau pembenaran masyarakat.Kebenaran dalam Islam bukan sekadar konsep; kebenaran merupakan hakikat keberadaan, cahaya penuntun yang membedakan yang benar dari yang batil, dan fondasi yang kokoh dimana iman dibangun. Dalam Al-Qur'an, Allah berulangkali menekankan Kebenaran sebagai sesuatu yang mutlak, tak tunduk pada interpretasi pribadi atau manipulasi duniawi. Kebenaran adalah apa yang diwahyukan kepada Rasulullah (ﷺ) sebagai petunjuk Ilahi, jalan lurus yang mengarah pada keselamatan."Allah berfirman dalam Al-Qur'an,وَقُلْ جَاۤءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۖاِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا'Dan katakanlah, 'Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.' Sesungguhnya yang batil itu pasti lenyap.' [QS. Al-Isra (17):81]Ayat ini menjadi pengingat kuat bahwa Kebenaran tidaklah rapuh, dan tak memerlukan validasi dari manusia. Kebenaran berdiri kokoh, menang atas kebatilan seperti matahari yang mengalahkan kegelapan. Kebenaran adalah apa yang dibawa oleh para Nabi—suci, tak berubah, dan dimaksudkan untuk menuntun manusia menuju kebenaran.Rasulullah (ﷺ) sendiri merupakan perwujudan Kebenaran, baik dalam ucapan maupun tindakan. Sebelum menjadi nabi, beliau (ﷺ) sudah dikenal di kalangan umatnya sebagai Al-Shadiq (Yang Jujur) dan Al-Amin (Yang Dapat Dipercaya). Kata-katanya tak pernah memperdaya, dan janji-janjinya tak pernah diingkari. Setiap wahyu yang beliau (ﷺ) sampaikan adalah Kebenaran hakiki, bebas dari keraguan atau kekeliruan.Salah satu sabda Rasulullah (ﷺ) yang paling mendalam tentang Kebenaran ialah:عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا 'Berpeganglah pada kejujuran, karena sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke Surga. Seorang hamba akan senantiasa berkata jujur dan berusaha untuk jujur hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah kebohongan, karena sesungguhnya kebohongan membawa kepada kejahatan, dan kejahatan membawa ke Neraka. Seorang hamba akan terus berbohong dan berusaha dalam kebohongan hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.' [Sahih Muslim]Hadits ini menyingkapkan hubungan erat antara Kebenaran dan Kebaikan. Siddiq tak semata tentang mengucapkan kebenaran; kejujuran adalah cara hidup, keadaan ketulusan batin yang tercermin dalam tindakan, keputusan, dan karakter seseorang. Semakin seseorang berpegang teguh pada Kebenaran, semakin dekat seseorang dengan Allah dan kesuksesan hakiki di Akhirat.Kebenaran dalam Islam juga tak cuma sekadar kata-kata—kebenaran adalah keadilan, kejujuran, dan pemenuhan tugas tanpa tipu daya. Kebenaran adalah standar penilaian para pemimpin, landasan bagi bisnis untuk beroperasi, dan prinsip yang semestinya memandu hubungan pribadi. Masyarakat yang dibangun di atas Kebenaran akan berkembang pesat, sementara masyarakat yang memeluk kebatilan pada akhirnya akan remuk.Namun, menegakkan Kebenaran tak selalu mudah. Sepanjang sejarah, mereka yang menegakkan Kebenaran menghadapi pertentangan, penolakan, dan kesulitan. Rasulullah ﷺ sendiri mengalami cobaan besar, bukan karena beliau (ﷺ) seorang pembohong—umatnya tahu bahwa beliau (ﷺ) orang yang jujur—tetapi karena beliau (ﷺ) menantang kebatilan yang sudah mengakar kuat dalam cara hidup mereka. Namun, beliau (ﷺ) tak pernah goyah, karena beliau (ﷺ) tahu bahwa Kebenaran tak ditentukan oleh pendapat mayoritas atau kenyamanan, tetapi oleh wahyu Ilahi.Dalam setiap aspek kehidupan, orang beriman terpanggil untuk menegakkan Kebenaran, baik dalam hal keimanan, pemerintahan, bisnis, maupun perilaku pribadi. Itulah amanah dari Allah, kualitas yang menentukan orang-orang yang bertakwa, dan jalan menuju kesuksesan sejati. Dan pada akhirnya, ketika semua ilusi memudar, ketika kepalsuan terungkap, dan ketika setiap jiwa berdiri di hadapan Sang Pencipta, hanya Kebenaran yang akan tetap ada,وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ'Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (jangan pula) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahui(-nya).' [QS. Al-Baqarah (2):42]Memeluk Kebenaran berarti memeluk pesan Islam itu sendiri—pesan yang tak berubah, tak goyah, dan selalu relevan. Pesan inilah cahaya bagi mereka yang mencari petunjuk, perisai terhadap tipu daya, dan kunci menuju kesuksesan abadi.As-Siddiq merupakan salah satu keutamaan teragung dalam Islam. Lebih dari sekadar mengatakan kebenaran—siddiq mencakup ketulusan dalam beribadah, kejujuran dalam bertindak, dan tetap teguh di jalan kebenaran. Dalam konteks etika Islam, 'siddiq' (صِدْق) bermakna kejujuran atau menjadi benar, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Ia merupakan prinsip dasar yang menekankan pentingnya menyelaraskan batin seseorang dengan perilaku lahiriah dan menjalani kehidupan yang lurus sesuai dengan kehendak Allah. Siddiq berarti pikiran yang benar, perkataan yang benar, dan perbuatan yang benar. Siddiq tercermin dalam kehidupan seorang musafir di jalan menuju Allah sebagai berikut: ia tak berbohong atau mengatakan yang batil (yang dimaksud dengan kebatilan ialah kesalahan, kepalsuan, kejahatan, kemungkaran, dan sejenisnya.), hidup sesuai dengan kejujuran, dan berusaha menjadi wakil kesetiaan yang dapat dipercaya kepada Allah.Jadi, Siddiq adalah kebajikan mendasar dalam Islam, yang tertanam kuat dalam ajaran Al-Qur'an dan Sunnah Rasul (ﷺ). Ia bukan cuma tentang mengatakan kebenaran, melainkan meluas hingga ketulusan dalam niat, kejujuran dalam tindakan, dan integritas dalam berurusan dengan orang lain. Seseorang yang mewujudkan Siddiq dalam segala aspek kehidupan mencapai derajat tertinggi di hadapan Allah.Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menjunjung tinggi sifat kebenaran, dengan firman-Nya,يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّٰدِقِيْنَ'Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tetaplah bersama orang-orang yang benar!' [QS. At-Tawbah (9):119]Ayat ini menegaskan bahwa sifat kebenaran tak semata bersifat individu, melainkan kualitas yang hendaknya menentukan pergaulan seseorang. Orang-orang yang benar (as-shiddiqun) adalah mereka yang ucapan, hati, dan tindakannya selaras dengan ketulusan. Merekalah orang-orang yang menjalani hidup dengan kejujuran dan akan dimuliakan oleh Allah pada Hari Kiamat.Ayat ini tak hanya memerintahkan tentang kebenaran atau kejujuran, melainkan memerintahkan orang-orang beriman agar bergaul dengan orang-orang yang benar, yang menunjukkan bahwa sifat siddiq merupakan sifat dasar orang-orang takwa. Orang-orang yang menaatinya akan dimuliakan di dunia dan akhirat.Siddiq bukan sekadar kebiasaan, melainkan jalan menuju kesuksesan sejati—Jannah. Sebaliknya, kebatilan menuntun pada kehancuran dan neraka. Hal ini menegaskan bahwa siddiq bukanlah tindakan sekali, tetapi upaya berkelanjutan yang membentuk takdir seseorang.Sebuah hadis meriwayatkan bagaimana kejujuran merupakan kualitas yang menentukan bahkan di antara para Sahabat (radhiyallahu 'anhum). Ka'b bin Malik (radhiyallahu 'anhu), salah satu dari tiga Sahabat yang tetap tinggal selama Perang Tabuk (ketiga orang itu adalah Ka‘b bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Mararah bin Rabi‘. Mereka disalahkan karena tak mau ikut serta dalam Perang Tabuk), kemudian diampuni oleh Allah karena ia memilih kejujuran daripada alasan palsu. Ia bisa saja berbohong untuk mendapatkan pengampunan dari Rasulullah (ﷺ), tetapi ia tetap jujur, dan Allah menurunkan ayat yang mengakui kejujurannya dalam Surah At-Tawbah (9) ayat 117-118,لَقَدْ تَّابَ اللّٰهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهٰجِرِيْنَ وَالْاَنْصَارِ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُ فِيْ سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْۢ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيْغُ قُلُوْبُ فَرِيْقٍ مِّنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْۗ اِنَّهٗ بِهِمْ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ۙ وَّعَلَى الثَّلٰثَةِ الَّذِيْنَ خُلِّفُوْاۗ حَتّٰٓى اِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْاَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ اَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوْٓا اَنْ لَّا مَلْجَاَ مِنَ اللّٰهِ اِلَّآ اِلَيْهِۗ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوْبُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ ࣖ'Sungguh, Allah benar-benar telah menerima tobat Nabi serta orang-orang Muhajirin [umat Islam awal yang berhijrah dari Mekkah ke Madinah, sebuah peristiwa penting dalam sejarah Islam yang dikenal sebagai Hijrah, dan juga dikenal sebagai 'para imigran'] dan orang-orang Ansar [Para Penolong' atau 'Mereka yang membawa kemenangan', juga dieja Ansaar atau Ansari, adalah penduduk lokal Madinah (kebanyakan Muslim) yang mendukung Rasulullah (ﷺ), dan para pengikutnya (Muhajirin), ketika mereka melarikan diri dari Mekkah ke Madinah selama hijrah. Kaum Anshar termasuk suku-suku Arab Bani Khazraj dan Bani Aws] yang mengikutinya pada masa-masa sulit setelah hati sekelompok dari mereka hampir berpaling (namun) kemudian Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka.'Terhadap tiga orang yang ditinggalkan (dan ditangguhkan penerimaan tobatnya) hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun (terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tiada tempat lari dari (siksaan) Allah melainkan kepada-Nya saja, kemudian (setelah itu semua) Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.'Peristiwa ini menunjukkan bahwa meskipun kejujuran terkadang membawa kesulitan, pada akhirnya kejujuran akan mendatangkan rahmat dan kemuliaan Allah. Ka'b bin Malik (radiyallahu 'anhu) adalah salah satu dari tiga sahabat yang tetap tinggal selama Perang Tabuk. Ketika Rasulullah (ﷺ) kembali, banyak orang yang tak ikut memberikan alasan-alasan palsu, dan Rasulullah (ﷺ) menerima mereka secara lahiriah, menyerahkan keputusan yang sebenarnya kepada Allah. Akan tetapi, Ka'b memilih berkata jujur dan mengakui bahwa ia tak punya alasan. Alhasil, Allah menurunkan ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang menghargai kejujurannya dan akhirnya memaafkannya.Siddiq juga penting dalam bisnis dan interaksi sosial. Siddiq dalam perdagangan dan transaksi mendatangkan pahala yang besar, mengangkat seseorang ke derajat tertinggi di akhirat.Selain itu, keikhlasan dalam beribadah merupakan salah satu bentuk siddiq. Seseorang yang benar-benar beriman kepada Allah dan berserah diri kepada-Nya berarti benar dalam keimanannya. Sebaliknya, orang-orang munafik dikutuk dalam Al-Qur'an karena mereka mengaku beriman dengan lidahnya sementara hatinya menyimpan kekufuran.Siddiq merupakan komitmen seumur hidup, bukan sekadar tindakan sesaat. Seseorang yang senantiasa berkata dan bertindak jujur akan dimuliakan dengan gelar siddiq, sebagaimana Abu Bakar (radhiyallahu 'anhu) yang diberi gelar ini karena keimanannya yang teguh dan kejujurannya dalam mendukung Rasulullah (ﷺ).Siddiq tak terbatas pada ucapan; namun meluas ke setiap aspek kehidupan. Seseorang hendaknya benar dalam niatnya, memastikan bahwa ibadahnya tulus karena Allah. Orang-orang munafik dikutuk dalam Al-Qur'an justru karena mereka tak punya sifat siddiq. Perkataan mereka bertentangan dengan nurani mereka, dan tindakan mereka mengkhianati pernyataan iman mereka yang palsu. Ini menunjukkan bahwa iman yang sejati bukan hanya pernyataan lisan tetapi keyakinan batin yang terwujud dalam kejujuran dan ketulusan.Bila seorang pemimpin atau kepemimpinan tak memiliki sifat Siddiq, akibatnya bisa sangat buruk, baik bagi pemimpin itu sendiri maupun bagi rakyat yang dipimpinnya. Kepemimpinan dalam Islam adalah amanah (kepercayaan), dan siddiq merupakan salah satu sifat terpentingnya. Seorang pemimpin yang tak memiliki sifat siddiq berarti mengkhianati amanahnya, yang berujung pada kerusakan, ketidakadilan, dan akhirnya kehancuran.Pemimpin yang tak siddiq akan dengan cepat kehilangan kepercayaan rakyatnya. Ketika janji diingkari, kelancungan terbongkar, dan tipu daya mulai terlihat, rakyat tak lagi percaya pada perkataan dan keputusan pemimpinnya. Rasulullah (ﷺ) bersabda,أَمْقَتُ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الْكَذَّابُ'Sifat terburuk dalam diri seseorang adalah al-kadzdzāb.' [Musnad Ahmad; Shahih oleh Syu'aib al-Arna'ut dalam pembuktian Musnad Ahmad]Kata الْكَذَّابُ (al-kadzdzāb) berasal dari akar kata كَذَبَ (kadzaba) yang berarti 'berbohong' atau 'berkata dusta.' Namun, bentuk الْكَذَّابُ adalah bentuk mubālaghah (superlatif) dari كَاذِب (kādzib), yang maknanya 'pendusta' atau 'pembohong'. Dengan kata lain, الْكَذَّابُ bermakna 'orang yang terus-menerus berdusta' atau 'pembohong besar' yang menjadikan dusta sebagai kebiasaannya. Dalam konteks hadits ini, maknanya bahwa orang yang paling dibenci Allah ialah orang yang selalu berdusta dan menjadikan kebohongan sebagai sifatnya.Pemimpin yang tak jujur memunculkan suasana skeptisisme dan keraguan, sehingga sulit memerintah secara efektif. Kepercayaan, jika sudah rusak, akan sulit dipulihkan.Kepemimpinan adalah tanggungjawab besar, bukan hak istimewa. Seorang pemimpin dipercayakan agar mensejahterakan rakyatnya, dan ketidakjujuran berarti mengkhianati amanah. Rasulullah (ﷺ) telah memperingatkan tentang hal ini. Dalam Sahih al-Bukhari, dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah (ﷺ) sedang menyampaikan sesuatu di tengah-tengah suatu majelis, seorang Badui datang dan bertanya kepada beliau, 'Kapan As-Sa'ah (Kiamat) akan terjadi?' Rasulullah (ﷺ) melanjutkan pembicaraannya, sehingga sebagian orang berkata bahwa Rasulullah (ﷺ) telah mendengar pertanyaan tersebut, tetapi tak menyukai apa yang ditanyakan orang Badui itu. Sebagian dari mereka berkata bahwa Rasulullah (ﷺ) tak mendengarnya. Usai Rasulullah (ﷺ) berbicara, beliau bersabda, 'Dimanakah orang yang bertanya tentang as-Sa'ah?' Orang Badui itu berkata, "Aku di sini, wahai Rasulullah.' Kemudian Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah as-Sa'ah (yakni Hari Kiamat). Orang Badui itu berkata, 'Bagaimana amanah itu bisa hilang?' Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Jika amanah itu diberikan kepada mereka yang tak memenuhi syarat, maka tunggulah as-Sa'ah.'Hal ini menunjukkan bahwa ketidakjujuran dalam kepemimpinan merupakan tanda kerusakan masyarakat dan salah satu indikasi dekatnya Hari Akhir. Kata 'Amanah' dalam hadits ini merujuk pada tanggungjawab, termasuk dalam kepemimpinan. Jika kepemimpinan diserahkan kepada orang yang tidak jujur, tidak memiliki integritas, atau tidak kompeten, maka kehancuran suatu masyarakat akan terjadi.Dalam riwayat yang lebih lengkap, Rasulullah (ﷺ) menjelaskan bahwa ketika kekuasaan diberikan kepada orang yang tidak pantas dan tidak memenuhi syarat, maka itulah pertanda dekatnya Hari Kiamat.Hadits ini menegaskan bahwa pemimpin yang tidak memiliki Siddiq akan membawa kehancuran bagi umat. Jika kejujuran dan tanggungjawab diabaikan, maka kezaliman, korusakan, dan kekacauan akan merajalela. Hal ini merupakan tanda-tanda kehancuran suatu peradaban yang pada akhirnya menjadi bagian dari tanda-tanda dekatnya Hari Kiamat.Bila pemimpin tak memiliki sifat siddiq, maka kerusakan akan merajalela. Kebohongan menutupi penindasan, ketidakadilan merajalela, dan yang lemah dan rentan menderita. Allah memperingatkan terhadap para penguasa yang zalim, 'Janganlah kamu mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (jangan pula) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahui(-nya).' Seorang pemimpin yang tak jujur bisa memanipulasi hukum, menindas rakyat demi keuntungan pribadi, dan menipu massa guna mempertahankan kekuasaan. Alih-alih memimpin dengan integritas, kepemimpinan seperti ini justru memunculkan lingkungan dimana ketidakjujuran menjadi norma di setiap lapisan masyarakat.Pemimpin yang benar mempersatukan rakyat, sedangkan pemimpin yang tak benar memunculkan perpecahan dan konflik. Ketika rakyat melihat pemimpin mereka melakukan penipuan, hal itu akan menimbulkan perselisihan, pemberontakan, dan bahkan kerusuhan sipil. Rasulullah (ﷺ) memperingatkan, 'Seorang pemimpin yang berbohong dan menipu rakyatnya, takkan mencium aroma surga.' Tanpa kejujuran, rakyat kehilangan kepercayaan pada pemimpin mereka, dan perpecahan muncul ketika individu dan kelompok mencari sumber keadilan dan kepemimpinan alternatif.Pemimpin yang tak memiliki sifat Siddiq akan mendapat kehinaan di dunia dan siksa yang pedih di akhirat. Rasulullah (ﷺ) bersabda,مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ'Tidak seorang hamba pun yang dipercayakan mengurusi urusan rakyatnya, lalu ia meninggal dalam keadaan tidak jujur dalam bergaul dengan orang-orang yang diperintahnya, kecuali surga diharamkan baginya." [Sahih Muslim]Inilah peringatan keras bahwa pemimpin yang suka menipu dan tak menegakkan kebenaran akan menghadapi azab ilahi. Dalam sejarah, banyak penguasa yang memerintah dengan tidak jujur menemui ajal yang hina, karena Allah mencabut berkah dari kepemimpinan mereka.Sebaliknya, seorang pemimpin yang jujur akan mendapatkan cinta dari rakyatnya dan keridhaan Allah. Al-Quran menggambarkan pemimpin yang shalih,وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ اَىِٕمَّةً يَّهْدُوْنَ بِاَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوْاۗ وَكَانُوْا بِاٰيٰتِنَا يُوْقِنُوْنَ'Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka bersabar. Mereka selalu meyakini ayat-ayat Kami.' [QS. As-Sajdah (32):24]Seorang pemimpin yang siddiq memerintah dengan adil, tulus, dan bijaksana.Bila seorang pemimpin tak memiliki sifat Siddiq, seluruh rakyatnya akan menderita—kepercayaan hilang, kecurangan merajalela, dan perpecahan muncul. Lebih buruk lagi, para pemimpin seperti itu menghadapi aib di dunia ini dan hukuman berat di akhirat. Kepemimpinan adalah tanggungjawab yang menuntut kejujuran mutlak. Seorang pemimpin hendaknya melayani dengan integritas, ketulusan, dan kebenaran, karena hanya dengan begitu mereka dapat mencapai kesuksesan dalam kehidupan ini dan akhirat. Semoga Allah membimbing seluruh pemimpin kita agar bersikap jujur dan adil. Amin," pungkas Limbuk.Sebagai penutup Cangik dan Limbuk menyanyikan tembangnya Ustads Derry Sulaiman,Orang kaya matiOrang miskin matiRaja-raja matiRakyat biasa matiSemua pergi mnghadap IlahiDunia yang dicariTak ada yang berartiTakkan dibawa mati
[Bagian 2]