"Dua orang desa—walau demikian, otak mereka bukan otak ndeso dan juga, gak kurang kerjaan—Bagong dan Gareng, sedang melakukan dialog. Gareng memulai perbincangan dengan berkata, "Reformasi 1998 di Indonesia memunculkan beberapa tuntutan penting terkait peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Salah satu tuntutan utamanya ialah pemisahan Polri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Sebelum reformasi, Polri merupakan bagian dari ABRI yang menyebabkan kurangnya profesionalisme dalam penegakan hukum. Tuntutan ini bertujuan menjadikan Polri sebagai lembaga yang independen dan profesional serta berfokus pada perannya sebagai lembaga penegak hukum.
Ada pula tuntutan agar mengubah UUD 1945, dengan harapan agar pembatasan masa jabatan presiden dan menteri dapat diatur secara jelas. Hal ini bertujuan mencegah terulangnya kekuasaan yang berkepanjangan, seperti yang dialami pada masa Suharto.
Reformasi tersebut juga mencakup demiliterisasi Polri, yaitu mengubahnya dari lembaga militer menjadi lembaga penegak hukum sipil. Hal ini dimaksudkan agar Polri tak lagi terlibat dalam politik praktis dan lebih fokus pada tugas kepolisian.
Tuntutan agar menegakkan supremasi hukum menjadi krusial, mengingat pada masa Orde Baru, hukum seringkali tak diterapkan secara adil. Reformasi bertujuan agar memastikan bahwa semua pihak, termasuk pejabat tinggi, tunduk pada hukum. Overall, tuntutan reformasi 1998 mencerminkan kehendak rakyat membangun sistem pemerintahan dan penegakan hukum yang lebih demokratis, transparan, dan akuntabel di Indonesia."
Bagong berkomentar, "Pasca Reformasi 1998 di Indonesia, adakah kecenderungan TNI dan Polri kembali mendominasi jabatan publik, seperti pada RUU Kepolisian dan TNI?"
Gareng menjawab, "Setelah Reformasi 1998, muncul kekhawatiran mengenai kecenderungan TNI dan Polri kembali mendominasi jabatan publik, terutama dengan adanya pembahasan mengenai revisi UU Kepolisian.
Terdapat indikasi bahwa lebih dari 2.500 personel TNI aktif saat ini menduduki jabatan sipil, melebihi batas yang ditetapkan oleh UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya dominasi militer dalam pemerintahan sipil.
Usulan revisi UU TNI dapat menghapus batasan terhadap lembaga dan kementerian yang dapat diisi oleh personel aktif, sehingga mereka dapat bertugas di berbagai kementerian sesuai dengan kebijakan presiden. Hal ini dipandang berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi ABRI yang selama ini dilarang.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengecam keras perubahan ini, dengan menyatakan bahwa perubahan ini dapat mengancam demokrasi dan melegitimasi kembalinya peran ganda militer dalam politik dan pemerintahan sipil.
Sejak Reformasi, telah ada larangan bagi TNI dan Polri turut dalam politik praktis, yang bertujuan mencegah terulangnya sejarah otoriter. Namun, dengan usulan legislatif saat ini, kekhawatiran tentang pelanggaran prinsip-prinsip demokrasi telah muncul kembali.
Kendati ada upaya memisahkan peran militer dari pemerintahan sipil pasca-Reformasi, situasi saat ini menunjukkan potensi risiko bagi kembalinya TNI dan Polri ke dalam dominasi struktur pemerintahan Indonesia.
Sebelum pemisahan, TNI dan Polri merupakan bagian dari ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), dengan fungsi ganda dalam pertahanan dan pemerintahan. Pemisahan ini bertujuan memprofesionalkan kedua lembaga tersebut dengan membatasi TNI pada pertahanan dan Polri pada keamanan dalam negeri.
Terdapat perdebatan yang sedang berlangsung tentang revisi undang-undang yang memungkinkan personel TNI atau Polri aktif menduduki peran pegawai negeri, yang menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya praktik pra-reformasi dimana pengaruh militer mendominasi pemerintahan sipil. Meskipun pemisahan telah memperjelas peran mereka, kolaborasi yang efektif tetap menjadi tantangan bagi sistem pertahanan dan keamanan Indonesia.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menghadapi sejumlah tantangan besar dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara. TNI dan Polri punya tanggungjawab yang berbeda, tetapi peran keduanya dapat tumpang tindih, terutama dalam bidang-bidang seperti penanggulangan terorisme dan keamanan dalam negeri. Hal ini dapat menyebabkan konflik yurisdiksi dan kewenangan, yang mempersulit kolaborasi yang efektif. Seringkali terjadi keengganan untuk berbagi informasi antarlembaga karena perbedaan kepentingan dan prioritas, yang menghambat upaya koordinasi. Ego sektoral ini dapat mengakibatkan respons yang terfragmentasi terhadap ancaman keamanan. Penyatuan fungsi pertahanan dan keamanan dalam RUU Keamanan Nasional telah menciptakan ambiguitas mengenai peran TNI dan Polri. Kurangnya kejelasan ini dapat menyebabkan gesekan dan respons yang tak efektif terhadap tantangan keamanan. Keterlibatan TNI dan Polri dalam keamanan dalam negeri memerlukan peraturan yang lebih jelas untuk menggambarkan tanggungjawab mereka, terutama selama krisis atau keadaan darurat. Kegiatan yang tumpang tindih antara TNI, Polri, dan lembaga lain dapat menyebabkan inefisiensi anggaran, dimana sumber daya terbuang untuk operasi yang berlebihan. Hal ini memengaruhi efektivitas keseluruhan inisiatif keamanan nasional. Koordinasi yang buruk antara badan intelijen, semisal Badan Intelijen Negara (BIN) dan Unit Intelijen Kriminal Polri, mengakibatkan informasi yang terfragmentasi sehingga menghambat deteksi dan respons ancaman yang tepat waktu. Mandat yang tumpang tindih dapat menyebabkan konflik operasional, khususnya di bidang seperti intelijen siber, dimana kedua lembaga mungkin memiliki kepentingan yang saling bertentangan. Baik TNI maupun Polri hendaknya terus beradaptasi dengan ancaman yang terus berkembang seperti kejahatan siber, terorisme, dan kejahatan transnasional. Hal ini memerlukan pelatihan berkelanjutan, alokasi sumber daya, dan perencanaan strategis agar tetap efektif. Kedua lembaga perlu menumbuhkan kepercayaan publik melalui transparansi dan akuntabilitas dalam operasi mereka. Keterlibatan dengan masyarakat sangat penting untuk strategi kepolisian dan pertahanan yang efektif. Meskipun TNI dan Polri memiliki peran yang berbeda dalam menjaga pertahanan dan keamanan nasional Indonesia, tantangan yang terkait dengan koordinasi, kerangka hukum, alokasi sumber daya, operasi intelijen, ancaman yang terus berkembang, dan kepercayaan publik berdampak signifikan terhadap efektivitas mereka. Mengatasi tantangan ini memerlukan reformasi yang komprehensif dan komitmen berkolaborasi antara kedua lembaga.
Terdapat kecenderungan 'politik pintu putar' dalam kasus jabatan TNI dan Polri di Indonesia, terutama dengan rencana pemerintah yang memungkinkan anggota aktif TNI dan Polri menduduki jabatan sipil.
Pemerintah sedang merancang peraturan yang memungkinkan prajurit TNI dan Polri aktif mengisi jabatan di berbagai lembaga sipil, seperti di bidang politik dan keamanan negara. Ini mengingatkan pada praktik dwifungsi ABRI pada era Orde Baru, dimana militer dan polisi mendominasi birokrasi sipil.
Banyak pengamat dan aktivis menganggap langkah ini sebagai kemunduran dalam reformasi, yang seharusnya menghapuskan peran ganda TNI dan Polri dalam politik. Mereka khawatir bahwa ini akan membuka jalan bagi dominasi militer dan polisi dalam kehidupan politik, yang dapat mengancam prinsip-prinsip demokrasi
Keterlibatan anggota aktif TNI dan Polri dalam jabatan sipil dapat menjadikan mereka alat politik bagi rezim baru, yang berpotensi mengembalikan praktik otoritarianisme seperti di masa lalu.
Setelah reformasi, terdapat beberapa contoh di mana anggota TNI dan Polri menduduki jabatan sipil, meskipun hal ini sering kali menuai kontroversi. Anggota TNI dan Polri diperbolehkan menduduki jabatan sebagai penjabat kepala daerah. Hal ini terjadi karena banyaknya posisi kepala daerah yang kosong menjelang Pemilu 2024.
Penunjukan Mayor Jenderal Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama Perum Bulog dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang melarang prajurit aktif menduduki jabatan sipil. Kasus ini menimbulkan kritik dari berbagai kalangan yang menilai bahwa hal ini tidak sesuai dengan regulasi yang ada.
Kenaikan pangkat Sekretaris Kabinet Mayor Teddy Indra Wijaya menjadi Letnan Kolonel telah memicu perdebatan mengenai legitimasi dan kepatuhannya terhadap peraturan militer. Kenaikan pangkat Mayor Teddy dari Mayor menjadi Letkol menuai kritik karena dianggap lebih bersifat politis daripada berdasarkan prestasi. Kritikus, termasuk lembaga Imparsial dan SETARA Institute, berpendapat bahwa promosi ini merusak prinsip meritokrasi di tubuh militer, karena tak menunjukkan kinerja atau prestasi yang diperlukan bagi pangkat tersebut. Mereka berargumen bahwa banyak prajurit yang mempertaruhkan nyawa di lapangan dan bahwa promosi seharusnya mencerminkan pelayanan dan pencapaian nyata, bukan hubungan politik
Pendukung promosi ini, termasuk Menko Polhukam Budi Gunawan, menegaskan bahwa prosesnya telah sesuai dengan prosedur yang berlaku di TNI. Mereka mengklaim bahwa promosi ini merupakan pengakuan atas dedikasi dan kinerja Teddy dalam tugasnya sebagai Sekretaris Kabinet, yang sekarang dianggap sebagai bagian dari Sekretariat Militer Presiden. Namun, para kritikus tetap berpendapat bahwa keterlibatan Teddy dalam aktivitas politik selama pemilu 2024 menimbulkan pertanyaan tentang kesesuaian promosi ini saat ia masih menjabat di posisi sipil.
Anggota TNI juga terlibat dalam berbagai program pemerintah, seperti penertiban kawasan hutan dan program Makan Bergizi Gratis. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada larangan formal, praktik penempatan anggota TNI di ranah sipil masih berlangsung.
Beberapa anggota TNI yang berlatarbelakang pendidikan tertentu, seperti lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB), dapat ditempatkan di kementerian terkait, seperti Kementerian Pertanian. Namun, hal ini semestinya dilakukan secara selektif gunamemastikan bahwa mereka punya kompetensi yang sesuai.
Kendati ada aturan yang mengatur bahwa anggota TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah pensiun atau mengundurkan diri, praktik penempatan anggota aktif di posisi sipil tetap terjadi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya praktik dwifungsi ABRI dan potensi dominasi militer dalam pemerintahan. Banyak pihak berpandangan bahwa penempatan anggota TNI dalam jabatan sipil hendaknya dilakukan dengan hati-hati dan tidak sembarangan, agar tak mengancam profesionalisme militer dan prinsip-prinsip demokrasi.
Meskipun ada regulasi yang membatasi peran aktif TNI dan Polri dalam jabatan sipil, praktik tersebut masih berlangsung dan menjadi bahan perdebatan di masyarakat.
Kebijakan pemerintah berdampak signifikan terhadap karier anggota TNI dan Polri, khususnya terkait keterlibatan mereka dalam jabatan sipil. Pemerintah tengah menyusun regulasi yang memperbolehkan personel TNI dan Polri mengisi jabatan pegawai negeri sipil (ASN) dan sebaliknya. Kebijakan timbal balik ini bertujuan memanfaatkan talenta terbaik dari kedua sektor bagi kepentingan sipil, yang dapat berujung pada perluasan kesempatan karier bagi personel militer dan polisi. Pemerintah berencana menerapkan prosedur rekrutmen ASN yang lebih fleksibel, yang dapat mencakup kriteria seleksi yang lebih ketat bagi anggota TNI dan Polri yang melamar peran tersebut. Fleksibilitas ini dapat meningkatkan jalur karier bagi mereka yang beralih dari dinas militer atau kepolisian ke peran sipil. Undang-undang saat ini membatasi anggota TNI dan Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil kecuali mereka pensiun. Namun, diskusi terkini seputar reformasi kebijakan telah menimbulkan kekhawatiran tentang potensi pelanggaran undang-undang ini, yang mengarah pada perdebatan tentang kelayakan memperbolehkan personel aktif menduduki jabatan sipil. Kebijakan yang diusulkan dapat merusak sistem meritokratis dalam jabatan sipil dengan memprioritaskan personel militer dan polisi daripada warga sipil yang memenuhi syarat. Hal ini dapat menurunkan motivasi pegawai negeri sipil yang telah lama mengabdi dan memunculkan persepsi pilih kasih terhadap anggota TNI dan Polri Kontroversi terkini, seperti kasus korupsi yang melibatkan perwira militer aktif dalam peran sipil, telah mendorong seruan mengevaluasi pengangkatan mereka. Pengawasan ini bertujuan memastikan akuntabilitas dan meningkatkan sistem meritokrasi dalam jabatan pemerintah, yang dapat memengaruhi lintasan karier anggota TNI dan Polri yang terlibat dalam layanan sipil
Perluasan peran yang dapat diemban anggota TNI dan Polri aktif menimbulkan kekhawatiran tentang kembalinya doktrin dwifungsi ABRI (peran militer dalam pemerintahan). Hal ini dapat menyebabkan konflik kepentingan dan dilema etika, yang berdampak pada integritas profesional dan kepercayaan publik mereka Meskipun kebijakan pemerintah dapat membuka peluang karier baru bagi anggota TNI dan Polri dalam peran sipil, kebijakan tersebut juga menimbulkan tantangan signifikan terkait kepatuhan hukum, meritokrasi, akuntabilitas, dan standar etika dalam kerangka tatakelola pemerintahan Indonesia.
"Apa saja masalah etika yang berkaitan dengan rangkap jabatan anggota TNI dan Polri?" tanya Gareng. Bagong menjawab, "Masalah etika yang berkaitan dengan rangkap jabatan anggota TNI dan Polri itu penting dan multifaset.
Rangkap jabatan dapat menimbulkan konflik kepentingan, karena individu dapat menghadapi situasi dimana tanggungjawab mereka dalam satu peran dapat membahayakan tugas mereka di peran lain. Misalnya, anggota TNI atau Polri yang menjabat sebagai komisaris di badan usaha milik negara (BUMN) mungkin harus membuat keputusan yang menguntungkan BUMN tetapi bertentangan dengan kewajiban mereka menegakkan hukum dan kepentingan umum.
Fenomena rangkap jabatan dapat menimbulkan pelanggaran etika, khususnya dalam bentuk 'soft corruption'. Hal ini terjadi ketika individu memanfaatkan jabatan mereka demi keuntungan pribadi atau demi kepentingan tertentu, yang merusak kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah. Kehadiran personel militer atau polisi aktif dalam peran sipil dapat melanggengkan sistem patronase yang membatasi kesempatan bagi kandidat yang lebih berkualitas.
'Soft corruption' mengacu pada praktik soft corruption yang tak melibatkan transaksi keuangan langsung tetapi mengorbankan standar etika dan integritas. Korupsi seringkali terwujud melalui perilaku semisal pilih kasih, pengaruh yang tak semestinya, atau keramahtamahan yang berlebihan, yang memunulkan lingkungan yang mendukung korupsi tanpa melanggar hukum secara terang-terangan.
Tak seperti dengan 'hard corruption', yang biasanya melibatkan penyuapan atau penggelapan yang jelas, soft corruption dapat melibatkan tindakan yang memfasilitasi perlakuan yang menguntungkan atau akses istimewa tanpa pertukaran uang secara eksplisit. Dalam banyak kasus, soft corruption dinormalisasi dalam budaya organisasi, sehingga sulit diidentifikasi dan diberantas. Hal ini dapat mencakup praktik seperti menyelenggarakan acara mewah bagi para pemangku kepentingan atau memberikan hadiah berlebihan, yang dapat menekan si penerima agar membalas dengan cara yang menguntungkan sang pemberi.
Soft corruption dapat memengaruhi kebijakan pemerintah secara signifikan. Bila pejabat pemerintah terlibat dalam soft corruption, mereka dapat lebih mengutamakan keuntungan bagi anggota keluarga, teman, atau rekan bisnis daripada masyarakat umum. Hal ini dapat menyebabkan kebijakan yang tak adil yang tidak melayani kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Kebijakan yang dibentuk oleh koneksi pribadi atau tekanan dari kelompok tertentu dapat tidak memiliki analisis objektif atau data yang valid. Hal ini dapat mengakibatkan keputusan yang tidak efektif yang tak memenuhi kebutuhan masyarakat.
Soft corruption kerap terwujud dalam proses pengadaan umum, dimana pejabat memberikan kontrak kepada perusahaan tertentu dengan imbalan dukungan atau bantuan politik. Hal ini dapat menyebabkan proyeknya berkualitas rendah dan pemborosan anggaran.
Soft corruption dapat mengurangi transparansi dalam proses pengambilan keputusan, sehingga menyulitkan warga negara mengakses informasi tentang kebijakan dan proyek pemerintah. Hal ini melemahkan akuntabilitas di antara pejabat publik.
Pejabat yang terlibat dalam soft corruption akan lebih fokus pada kepentingan pribadi mereka atau kepentingan kelompok tertentu daripada memenuhi kebutuhan masyarakat yang lebih luas. Hal ini dapat mengalihkan prioritas kebijakan dari isu-isu kritis yang memengaruhi kesejahteraan publik. Di beberapa negara, soft corruption telah diamati dalam kebijakan pembangunan infrastruktur, dimana proyek diberikan kepada kontraktor berdasarkan hubungan pribadi, bukan kualifikasi teknis atau harga yang kompetitif.
Jadi, soft corruption dapat berdampak buruk pada kebijakan pemerintah dengan memunculkan ketidakadilan, menurunkan kualitas keputusan, mengurangi transparansi, dan memprioritaskan kepentingan pribadi di atas kesejahteraan publik. Memerangi praktik ini sangat penting guna memastikan bahwa kebijakan pemerintah benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Di Indonesia, beberapa contoh nyata menggambarkan konsep 'soft corruption', dimana praktik korupsi terjadi tanpa transaksi keuangan langsung, tapi melibatkan perilaku tidak etis dan pilih kasih.
Perusahaan sering menghadapi tuntutan biaya atau konsesi yang tak teratur berdasarkan hubungan pribadi saat memperoleh lisensi dan izin. Praktik ini membuat lingkungan dimana pejabat mengharapkan hadiah atau perlakuan khusus sebagai imbalan untuk memfasilitasi operasi bisnis, yang mencerminkan soft corruption dalam proses birokrasi. Sektor peradilan di Indonesia telah diganggu oleh wabah soft corruption, dimana hakim dan pejabat pengadilan dapat menerima pembayaran tidak resmi untuk memengaruhi keputusan atau mempercepat kasus. Hal ini merusak supremasi hukum dan kepercayaan publik terhadap integritas peradilan.
Survei-survei menunjukkan bahwa hampir setengah dari pegawai negeri mengakui telah menerima suap. Penerimaan yang meluas terhadap praktik korupsi ini mencerminkan budaya dimana 'soft corruption' menjadi hal yang lumrah, yang berdampak pada efektivitas dan integritas layanan publik.
Contoh-contoh kasus dimana tokoh politik terlibat dalam praktik korupsi untuk mendapatkan keuntungan elektoral, menggambarkan soft corruption. Misalnya, mantan Ketua Mahkamah Agung ditangkap karena menerima suap untuk memengaruhi sengketa pemilu lokal, yang menyoroti bagaimana kekuasaan politik dapat disalahgunakan tanpa transaksi keuangan langsung.
Kasus-kasus ini menunjukkan bagaimana korupsi ringan merasuki berbagai sektor di Indonesia, yang memengaruhi tatakelola pemerintahan, kepercayaan publik, dan integritas lembaga secara keseluruhan. Normalisasi praktik semacam itu menimbulkan tantangan signifikan terhadap upaya yang bertujuan memerangi korupsi dan mempromosikan transparansi di dalam negeri.
Dwifungsi jabatan dapat membahayakan profesionalisme dan kinerja anggota TNI dan Polri. Menyeimbangkan tanggungjawab di berbagai posisi dapat menghambat kemampuan mereka mencurahkan waktu dan perhatian yang memadai pada setiap peran, yang berpotensi menyebabkan kinerja yang buruk baik dalam tugas militer/kepolisian maupun tanggungjawab sipil.
Praktik dwifungsi jabatan seringkali melanggar undang-undang yang berlaku, seperti Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, yang mengatur bahwa anggota aktif hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah pensiun. Ketidakkonsistenan hukum ini menimbulkan pertanyaan etika tentang akuntabilitas dan kepatuhan terhadap aturan hukum.
Keterlibatan anggota TNI dan Polri yang aktif bertugas dalam peran sipil dapat mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga ini. Warga negara dapat menganggap pengangkatan tersebut sebagai indikasi kembalinya praktik masa lalu dimana pengaruh militer terhadap pemerintahan sipil lazim terjadi, mengingatkan pada era Orde Baru. Persepsi ini dapat menghambat upaya untuk mempromosikan transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan.
Membiarkan anggota TNI dan Polri memegang jabatan rangkap menimbulkan risiko terhadap pemerintahan yang demokratis dengan mengaburkan batas antara fungsi militer/kepolisian dan pengawasan sipil. Hal ini dapat menyebabkan militerisasi pemerintahan sipil, yang mengancam prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan sipil.
Jadi, masalah etika yang dihadapi anggota TNI dan Polri yang memegang jabatan rangkap mencakup konflik kepentingan, potensi korupsi, profesionalisme yang terganggu, pelanggaran hukum, menurunnya kepercayaan publik, dan ancaman terhadap pemerintahan yang demokratis. Mengatasi masalah-masalah ini sangat penting dalam menjaga integritas dalam kerangka keamanan dan pemerintahan Indonesia."
"Apa risikonya jika sebuah negara dikendalikan oleh polisi dan militernya sendiri?" tanya Gareng.
Bagong menjawab, "Kita bahas di episode berikutnya!"