Senin, 03 Maret 2025

Oligarki (10)

"Sritex, raksasa tekstil Indonesia, telah menemukan dirinya bermasalah, bangkrut, dan kolaps pada akhir Desember 2024, usai Mahkamah Agung menolak bandingnya," Limbuk membaca berita. "Tampaknya pengadilan telah menguatkan putusan awal Pengadilan Niaga Semarang yang dikeluarkan pada akhir Oktober 2024, yang mengukuhkan nasib Sritex.
Apa akar dari kemalangan ini? Sritex tak mampu membayar utangnya kepada PT Indo Bharat Rayon (IBR), kreditor, bahkan setelah sebelumnya ada kesepakatan menyelesaikan masalah ini pada Januari 2022. Hal ini juga menyeret anak perusahaan Sritex, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya, ke dalam masalah ini.
Apa saja alasan utama di balik kebangkrutan Sritex? Sritex terlilit utang yang sangat besar, termasuk utang kepada 27 bank senilai Rp14,42 triliun. Hingga semester I-2024, total utang jangka panjang perusahaan mencapai USD 1,47 miliar (Rp22,8 triliun), dengan tambahan utang jangka pendek sebesar USD 131,4 juta (Rp2 triliun), sehingga mengakibatkan defisit modal sebesar USD 980,56 juta (negatif Rp15,2 triliun).
Perusahaan tersebut dinyatakan pailit setelah lalai memenuhi kewajiban pembayaran kepada PT Indo Bharat Rayon, kreditor, berdasarkan Putusan Homologasi tanggal 25 Januari 2022. Masalah internal seperti manajemen utang yang buruk, krisis likuiditas, dan manajemen krisis yang tak efisien juga memainkan peran penting. Pandemi COVID-19, perang Rusia-Ukraina, dan menurunnya permintaan global berdampak negatif pada ekspor tekstil dan garmen, sehingga memperburuk kondisi keuangan Sritex. Industri tekstil Indonesia telah terpuruk sejak 2023 akibat kenaikan suku bunga dan tingginya biaya modal, ditambah membanjirnya barang impor murah, terutama dari China dan Vietnam. Presiden Komisaris Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, mencontohkan peraturan Kementerian Perdagangan yang membuka pintu masuk impor, sehingga melumpuhkan industri tekstil dalam negeri.
Lebih menyakitkan lagi, Sritex telah memecat 2.500 pekerjanya karena kekurangan bahan baku. Presiden Komisaris Sritex, Iwan S. Lukminto, mengisyaratkan akan ada lebih banyak PHK jika mereka tidak bisa memperbaiki keadaan. Ternyata rekening bank mereka dibekukan, yang justru menghambat impor dan ekspor. Hingga September 2024, Sritex terlilit utang sebesar Rp14,64 triliun (US$899,6 juta), termasuk utang sebesar Rp14,42 triliun kepada 27 bank.
Namun, tak semuanya seperti yang terlihat, karena kurator yang ditunjuk menangani kebangkrutan telah menemukan beberapa keanehan. Meskipun bangkrut, beberapa anak perusahaan tetap beroperasi seolah-olah tak terjadi apa-apa, dan tampaknya ada banyak bahan baku, bertentangan dengan klaim sebelumnya. Para kurator juga mengalami kesulitan meminta bank membekukan rekening Sritex dan bertemu dengan pemiliknya.
Pemerintah Indonesia tengah menangani masalah ini, menyiapkan rencana penyelamatan yang melibatkan dana talangan dan insentif. Tujuannya adalah untuk melindungi tenaga kerja dan menjaga komitmen ekspor tersebut tetap pada jalurnya. Maka, Sritex, yang dulunya merupakan contoh cemerlang industri Indonesia, menjadi kisah peringatan tentang tatakelola perusahaan dan manajemen keuangan."

Cangik meneruskan, "Mari kita lanjut lagi dengan topik kita. Jeffrey A. Winters membahas pengaruh oligarki terhadap kebijakan pemerintah di Indonesia dalam karyanya Oligarchy (2011, Cambridge University Press), Menurut Winters, Indonesia memperlihatkan bentuk oligarki yang dicirikan oleh mempertahankan harta-kekayaan, dimana elit ekonomi yang kuat menggunakan sumber daya mereka yang besar untuk membentuk sistem politik dan hukum guna melindungi harta-kekayaan mereka. Ia menyoroti bagaimana oligarki Indonesia memengaruhi kebijakan pemerintah. Oligarki membiayai partai politik dan kandidat, memastikan bahwa pejabat terpilih melayani kepentingan mereka. Mereka menggunakan kekayaan mereka memengaruhi peradilan, penegakan hukum, dan badan pengatur guna menghindari akibat hukum. Dengan mengamankan kendali atas sektor-sektor utama (semisal sumber daya alam, infrastruktur, dan perbankan), mereka mendikte kebijakan yang mendukung dominasi ekonomi mereka. Institusi-institusi demokrasi Indonesia berjuang melawan pengaruh oligarki karena korupsi dan klientelisme. Winters berpendapat bahwa meskipun demokratisasi, oligarki tetap menjadi kekuatan dominan dalam membentuk lanskap politik dan ekonomi Indonesia.

'Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression, disunting oleh Thomas Power dan Eve Warburton (2020, ISEAS–Yusof Ishak Institute) mengkaji berbagai tantangan yang dihadapi demokrasi Indonesia, termasuk menguatnya kekuasaan oligarki. Meskipun rincian spesifik karya ini tak tersedia dalam sumber yang disediakan, berbagai penelitian lain telah mendokumentasikan perlawanan terhadap oligarki di Indonesia. Misalnya, sebuah studi kasus dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menyoroti perlawanan akar rumput terhadap kekuatan oligarki. Gerakan anti-pabrik semen memprotes perluasan Indocement Tunggal Prakarsa Ltd di Pegunungan Kendeng. Gerakan ini memperluas pengaruhnya hingga pemilihan kepala daerah 2017, menantang dan 'mengalahkan' kepentingan oligarki di wilayah tersebut. Kasus ini menunjukkan bahwa kekuasaan oligarki dapat ditentang melalui upaya akar rumput yang terorganisasi (organized grassroots efforts).
Selain itu, Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI), sebuah aliansi dari berbagai gerakan sosial dan serikat pekerja, merupakan bentuk perlawanan lainnya. KPRI mencakup para pekerja, petani, nelayan, masyarakat adat, dan kelompok perempuan. Tujuannya untuk menantang dominasi oligarki dengan menyatukan gerakan sosial yang terfragmentasi dan merumuskan kerangka kebijakan alternatif dengan orientasi kiri yang jelas anti-neoliberal. Upaya KPRI merupakan contoh upaya melawan pengaruh oligarki melalui aksi kolektif dan partisipasi politik.
Contoh-contoh ini menggambarkan bahwa perlawanan terhadap oligarki di Indonesia terwujud melalui gerakan akar rumput dan aliansi yang berusaha menantang struktur kekuasaan yang mengakar.

Oligarki ada di seluruh Asia Tenggara, tetapi manifestasinya berbeda-beda berdasarkan konteks sejarah, struktur ekonomi, dan model tatakelola. Berikut ini analisis perbandingan Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia, dan Vietnam, yang menyoroti sistem oligarki mereka yang unik.
Di Indonesia, siapa yang memegang kekuasaan? Para taipan bisnis, dinasti politik, mantan elit militer. Keluarga elit pasca-Soeharto mendominasi partai politik. Para oligarki bisnis mendanai politisi untuk mengamankan kebijakan yang menguntungkan. Media dikendalikan oleh elit politik dan bisnis.

Di Filipina, dinasti politik, tokoh bisnis, dan tokoh media memegang kekuasaan (Oligarki Dinasti & Bisnis). Keluarga elit telah mendominasi politik selama beberapa generasi (misalnya, Aquino, Marcos, Duterte, Roxas, Estrada). Kelompok bisnis besar (Ayala, SM Group, San Miguel, Gokongwei) mengendalikan ekonomi dan mendanai pemilihan umum. Media dimiliki secara pribadi tetapi berpihak pada politik (ABS-CBN, GMA Network). Ferdinand Marcos (1965–1986) memusatkan kekuasaan oligarki, yang menguntungkan kapitalis kroni.
Oligarki Filipina lebih bersifat dinasti daripada Indonesia (keluarga politik secara langsung mendominasi pemilihan umum). Mirip dengan Thailand dalam hal kendali elit tetapi tanpa kudeta militer.
Filipina telah lama dicirikan oleh konsentrasi kekuatan politik dan ekonomi di tangan beberapa keluarga elit. Sistem oligarki ini terwujud dalam dua bentuk utama: oligarki dinasti, kekuatan politik diwariskan melalui generasi keluarga, dan oligarki bisnis, dimana beberapa elit bisnis yang berpengaruh mendominasi industri-industri utama.

The Modern Principalia: The Historical Evolution of the Philippine Ruling Oligarchy (2007, University of the Philippines Press) oleh Dante C. Simbulan memberikan analisis historis tentang bagaimana dinasti politik muncul dan bertahan di Filipina. Simbulan menelusuri asal usul dinasti politik kembali ke masa kolonial Spanyol, dimana principalia (kelas penguasa lokal) ditunjuk sebagai perantara antara pemerintah Spanyol dan penduduk asli Filipina. Para elit lokal ini, yang sering terdiri dari keluarga pemilik tanah, mengumpulkan kekayaan dan pengaruh politik dengan mengumpulkan pajak, mengelola tanah, dan mengendalikan perdagangan.
Bahkan setelah kekuasaan Spanyol berakhir, keluarga-keluarga yang berkuasa ini tetap mempertahankan pengaruh mereka di bawah kekuasaan kolonial Amerika. AS memperkenalkan lembaga-lembaga demokrasi, tetapi partisipasi politik tetap dibatasi pada kaum elit karena persyaratan properti dan literasi. Keluarga-keluarga penguasa ini beradaptasi dengan mendominasi politik elektoral, membentuk dinasti-dinasti yang mewariskan kekuasaan dari generasi ke generasi.
Pasca kemerdekaan, dinasti-dinasti ini mengonsolidasikan kendali atas bidang politik dan ekonomi dengan memonopoli posisi-posisi elektoral (anggota-anggota keluarga mencalonkan diri untuk berbagai peran pemerintahan lintas generasi); memanfaatkan patronase dan klientelisme (memberikan manfaat ekonomi guna memastikan loyalitas pemilih); dan mengendalikan bisnis dan kepemilikan tanah (menambah kekayaan untuk mempertahankan dominasi politik).
Simbulan berpendapat bahwa dinasti politik telah menghambat perkembangan demokrasi sejati, karena pemerintahan masih berpusat pada kepentingan elit dan bukan pada kesejahteraan publik. Karyanya menyoroti perlunya reformasi, seperti undang-undang anti-dinasti, untuk memutus siklus kekuasaan elit.

Dalam The Conjugal Dictatorship of Ferdinand and Imelda Marcos (1976, Ateneo de Manila University Press), Primitivo Mijares mengungkap bagaimana keluarga Marcos dan rekan-rekan dekatnya menggunakan kekuatan politik untuk membangun kerajaan bisnis di Filipina melalui kapitalisme kroni, monopoli industri, dan penyalahgunaan sumber daya negara. Ferdinand Marcos membangun sistem dimana peluang bisnis disediakan untuk para loyalis dan rekan-rekan dekatnya (kroni). Ia memberi mereka kendali atas industri-industri utama, semisal perbankan, energi, dan media, sebagai imbalan atas dukungan politik dan finansial mereka. Kroni-kroni utama termasuk pengusaha seperti Eduardo Cojuangco Jr. dan Roberto Benedicto, yang mengumpulkan kekayaan melalui monopoli yang didukung pemerintah. Kontrak-kontrak pemerintah dan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan diberikan kepada para kroni ini, yang memungkinkan mereka mendominasi perekonomian.
Rezim Marcos memastikan bahwa hanya sekutu tepercaya yang mengendalikan industri penting, mengurangi persaingan dan meningkatkan kekayaan keluarga. Roberto Benedicto mengendalikan perdagangan gula, menghasilkan miliaran dolar dalam pendapatan ekspor. Eduardo Cojuangco Jr. memimpin monopoli melalui United Coconut Planters Bank, yang didanai oleh pungutan paksa terhadap petani kelapa. Pemerintah menyita perusahaan-perusahaan TV dan surat kabar besar untuk mencegah perbedaan pendapat dan mempromosikan propaganda mereka.
Marcos dan rekan-rekannya mengalihkan miliaran dolar dari dana pemerintah untuk keuntungan pribadi. Proyek infrastruktur publik dinilai terlalu tinggi, dengan sebagian besar dana disalurkan ke rekening pribadi. Rekening bank Swiss di luar negeri diam-diam digunakan untuk menyimpan kekayaan yang diperoleh secara tidak sah, yang kemudian terungkap setelah jatuhnya Marcos. Pengeluaran boros yang didorong oleh Imelda Marcos (misalnya, gedung-gedung mewah, pesta belanja) dibiayai menggunakan uang pemerintah.
Karya Mijares mengungkap bahwa kediktatoran Marcosbukan hanya tentang penindasan politik tetapi juga tentang penjarahan ekonomi. Dengan menggunakan pemerintah sebagai alat untuk akumulasi kekayaan, keluarga Marcos dan sekutu mereka memperkuat diri secara ekonomi, yang menyebabkan efek jangka panjang pada ekonomi Filipina. Jatuhnya rezim pada tahun 1986 mengungkap tingkat korupsi mereka, tetapi warisan kekayaan dan pengaruh mereka masih ada hingga kini.

Dalam Cacique Democracy in the Philippines: Origins and Dreams (1988, Cornell University Press), Benedict Anderson menjelaskan bagaimana kekuatan ekonomi dan politik saling terkait erat, yang memungkinkan sekelompok kecil elit (caciques, atau bos politik) mendominasi kedua sektor di Filipina.
Anderson berpendapat bahwa kekuasaan elit di Filipina bermula pada masa penjajahan Spanyol, ketika keluarga pemilik tanah (caciques) memperoleh kendali atas perkebunan pertanian yang luas. Keluarga-keluarga ini mempertahankan kekuasaan mereka bahkan setelah kekuasaan Spanyol berakhir, beralih dari tuan tanah menjadi pemimpin politik di bawah pemerintahan kolonial Amerika. AS memperkenalkan pemilihan umum, tetapi sistem tersebut lebih memihak elit kaya, yang mengendalikan politik dan ekonomi lokal. Jabatan politik menjadi aset keluarga, diwariskan dari generasi ke generasi.
Keluarga elit yang sama yang mendominasi politik juga mengendalikan industri-industri utama, yang memungkinkan mereka menggunakan kekayaan untuk mengamankan kemenangan pemilu. Monopoli bisnis dan penguasaan lahan memastikan bahwa masyarakat tetap bergantung secara ekonomi kepada mereka. Kampanye pemilu didanai oleh kaum oligarki, sehingga hampir mustahil bagi pihak luar untuk bersaing. Para politisi memberi penghargaan kepada sekutu bisnis mereka dengan kontrak pemerintah dan kebijakan yang menguntungkan, yang memperkuat siklus kendali elit.
Keluarga politik mendistribusikan sumber daya pemerintah, pekerjaan, dan bantuan untuk mempertahankan loyalitas pemilih. Para pemilih, terutama di daerah pedesaan, menjadi tergantung pada elit ini agar bertahan hidup, yang menjamin dukungan yang berkelanjutan. Sistem ini mencegah persaingan demokrasi yang sesungguhnya, karena kekuasaan tetap terpusat di tangan beberapa orang. Anderson menggambarkan Filipina sebagai 'demokrasi cacique', dimana pemilihan umum ada tetapi hanya berfungsi melegitimasi kekuasaan elit. Dinasti politik dan oligarki bisnis bekerjasama guna memastikan bahwa kekayaan dan kekuasaan tetap berada dalam lingkaran eksklusif mereka, yang membatasi partisipasi demokrasi sejati dan mobilitas ekonomi.

Dalam Electoral Dynamics in the Philippines: Money Politics, Patronage and Clientelism at the Grassroots (2019, National University of Singapore Press), editor Allen Hicken, Edward Aspinall, dan Meredith Weiss menganalisis bagaimana dinasti politik mempertahankan kendali atas politik elektoral melalui politik uang, patronase, dan klientelisme. Dinasti politik menggunakan sumber daya keuangan yang besar untuk mengamankan kemenangan elektoral. Kampanye mahal, dan keluarga politik kaya mendominasi dengan membeli suara (menawarkan pembayaran tunai langsung atau barang, misalnya, beras, obat-obatan) kepada pemilih); Mendanai kampanye besar-besaran (pengeluaran untuk iklan, rapat umum, dan pengaruh media); mempertahankan aliansi lokal (memberikan insentif keuangan kepada para pemimpin lokal yang memobilisasi pemilih). Patronase mengacu pada distribusi sumber daya pemerintah untuk menghargai kesetiaan. Dinasti menggunakan posisi mereka untuk menunjuk sekutu ke posisi kunci pemerintah (misalnya, pemimpin barangay, polisi, birokrat); menyediakan pekerjaan dan kontrak kepada para pendukung dengan imbalan suara, dan mengendalikan dana publik (misalnya, proyek-proyek yang tak menguntungkan) guna memperkuat ketergantungan pemilih.
Klienisme adalah sistem timbal balik dimana politisi memberikan keuntungan pribadi kepada para pemilih sebagai imbalan atas dukungan elektoral. Ini termasuk menawarkan bantuan langsung (misalnya, menanggung biaya pengobatan, biaya sekolah); memprioritaskan layanan untuk para loyalis sambil mengabaikan para pendukung oposisi; membangun budaya ketergantungan, dimana para pemilih merasa berkewajiban untuk mendukung keluarga-keluarga tertentu.
Karya ini merangkum bahwa politik uang, patronase, dan klientelisme memperkuat dominasi dinasti politik, sehingga menyulitkan kandidat baru atau independen dalam bersaing. Sistem ini melemahkan lembaga-lembaga demokrasi, karena pemilihan umum sering diputuskan oleh kekuatan finansial daripada kebijakan atau prestasi. Para penulis menyarankan bahwa reformasi elektoral, undang-undang pendanaan kampanye yang lebih ketat, dan undang-undang anti-dinasti diperlukan untuk memutus siklus ini.

Di Thailand, monarki, elit militer, dan elit bisnis memegang kekuasaan (Oligarki Militer-Royalis). Monarki Thailand (Raja Rama X) memegang kekuasaan tertinggi dengan dukungan militer. Kudeta militer (misalnya, 2014, 2006) digunakan untuk mengatur ulang sistem politik demi kepentingan elit. Oligarki bisnis seperti keluarga Chearavanont (CP Group) diuntungkan oleh hubungan dekat dengan negara. Media dikontrol ketat, terutama oleh monarki dan militer. Thailand lebih tersentralisasi daripada Indonesia & Filipina (kontrol militer-monarki). Thailand lebih dekat dengan Vietnam dalam hal kontrol negara tetapi dengan ekonomi kapitalis.
B.J. Terwiel dalam 'Thailand's Political History: From the 13th Century to Recent Times (2005, River Books)' meneliti evolusi struktur kekuasaan elit Thailand, dengan menyoroti karakteristik oligarki mereka. Pada Periode Ayutthaya (1351–1767), kerajaan tersebut diperintah oleh monarki terpusat, dengan kekuasaan terpusat di antara raja dan sekelompok kecil bangsawan dan pejabat. Kelas elit ini menguasai lahan dan sumber daya, sehingga membentuk masyarakat hierarkis.
Pada Periode Bangkok dan Dinasti Chakri (1782–sekarang), usai jatuhnya Ayutthaya, Dinasti Chakri naik ke tampuk kekuasaan, mempertahankan otoritas terpusat. Monarki terus bergantung pada jaringan elit, termasuk bangsawan dan birokrat, untuk mengelola kerajaan.
Pada Reformasi Abad ke-19, di bawah Raja Chulalongkorn (Rama V), reformasi signifikan memodernisasi administrasi dan mengurangi kekuasaan bangsawan, tetapi kelas elit beradaptasi, mempertahankan pengaruh dalam struktur birokrasi baru. Dalam Revolusi 1932, kudeta yang dipimpin oleh elit militer dan sipil mengubah Thailand menjadi monarki konstitusional. Meskipun terjadi perubahan ini, kekuasaan tetap berada di tangan kelompok tertentu, karena elit militer dan birokrasi mendominasi politik.
Pada Era Pasca-Perang Dunia II, militer muncul sebagai kekuatan dominan, dengan tokoh-tokoh seperti Marsekal Lapangan Sarit Thanarat mengonsolidasikan kekuasaan melalui kudeta. Periode ini menyaksikan terjalinnya elit militer dan ekonomi, yang memperkuat kecenderungan oligarki.
Pada akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21, elit bisnis memperoleh keunggulan politik, yang dicontohkan oleh kebangkitan Thaksin Shinawatra. Masa jabatannya menyoroti ketegangan antara elit bisnis yang baru muncul dan faksi-faksi militer-royalis tradisional, yang menyebabkan ketidakstabilan politik.
Analisis Terwiel menggarisbawahi kemampuan adaptasi struktur kekuasaan elit Thailand, yang telah berevolusi namun secara konsisten mempertahankan karakteristik oligarki sepanjang sejarah bangsa tersebut.

'A History of Thailand' (2005, Cambridge University Press), Chris Baker dan Pasuk Phongpaichit mengeksplorasi evolusi struktur kekuasaan elit Thailand, menyoroti karakteristik oligarki mereka melalui berbagai periode sejarah. Pada akhir abad ke-19, Siam mengalami transformasi signifikan untuk membangun dirinya sebagai negara-bangsa. Proses ini melibatkan integrasi berbagai wilayah dengan sejarah, bahasa, dan budaya yang berbeda menjadi satu kesatuan. Pemusatan kekuasaan selama periode ini meletakkan dasar bagi elit yang terkonsolidasi.
Pasca-1976, birokrasi senior, bersama dengan istana dan militer, terus menegakkan model masyarakat pedesaan pasif yang menerima tatanan sosial dan politik hierarkis. Mereka bertujuan merekayasa harmoni sosial dan membimbing 'demokrasi' dari atas, yang mencerminkan pengaruh abadi elit birokrasi.
Jalinan elit politik dan ekonomi telah bertahan hingga zaman modern (Dinamika Elit Kontemporer). Kebangkitan dinasti keluarga politik, seperti keluarga Shinawatra, menggambarkan sifat abadi struktur oligarki dalam lanskap politik Thailand. Selama periode ini, struktur kekuasaan elit Thailand telah beradaptasi dengan perubahan lanskap politik dan sosial, mempertahankan pengaruhnya, dan menunjukkan karakteristik oligarki.

Dalam 'Dynastic Democracy: Political Families of Thailand,' Yoshinori Nishizaki (2023, University of Wisconsin Press) mengeksplorasi konsep 'demokrasi dinasti', yang dicirikan oleh transmisi kekuasaan politik dalam keluarga penguasa tertentu.
Sejak penggulingan monarki absolut tahun 1932, lanskap politik Thailand telah dipengaruhi secara signifikan oleh keluarga politik elit. Keluarga-keluarga ini terbagi dalam dua kategori utama: rakyat jelata berpengaruh yang telah menduduki kursi parlemen sejak 1932, yang membentuk inti demokrasi dinasti Thailand, dan warga kelas atas yang terkait dengan keluarga kerajaan baik melalui kekerabatan atau keselarasan ideologis, yang telah berulangkali menentang transisi politik melalui kudeta dan perubahan konstitusional.
Analisis Nishizaki menggambarkan bagaimana pluralisme demokrasi di Thailand secara konsisten dikekang oleh struktur dinasti ini, yang sering merugikan warga biasa. Hal ini menggarisbawahi pentingnya hubungan kekeluargaan yang abadi dalam politik Thailand, dimana otoritas dan pengaruh politik selalu diwariskan lintas generasi.

Di Malaysia, elite politik-bisnis dan perusahaan-perusahaan yang terkait dengan negara memegang kekuasaan (Oligarki Korporat-Politik dengan Pengaruh Etnis). Partai UMNO yang berkuasa (hingga 2018) mengendalikan politik selama beberapa dekade, yang menguntungkan elite bisnis. Skandal 1MDB (Najib Razak) menunjukkan korupsi yang parah dalam jaringan elite. Perusahaan-perusahaan yang terkait dengan negara seperti Petronas dan Khazanah Nasional mendominasi industri-industri utama. Favoritisme bisnis berbasis etnis (kebijakan Bumiputera mendukung elite Melayu). Kontrol negara lebih besar daripada Indonesia dan Filipina, tetapi lebih sedikit daripada Thailand atau Vietnam. Favoritisme ekonomi-ras lebih besar daripada negara-negara ASEAN lainnya.
Dalam Malaysia's Political Economy: Politics, Patronage and Profits, penulis Edmund Terence Gomez dan Jomo K. S (2007, Cambridge University Press) menganalisis hubungan rumit antara politik dan bisnis di Malaysia, dengan mengilustrasikan bagaimana politik partai dan pembangunan ekonomi telah mendorong oligarki politik-korporat. Karya ini menelaah mekanisme yang melaluinya patronase politik telah memengaruhi akumulasi dan konsentrasi kekayaan di negara tersebut.
Penulis menggunakan konsep sewa dan pencarian sewa untuk mengeksplorasi bagaimana patronase politik berperan penting dalam akumulasi kekayaan. Mereka berpendapat bahwa ekonomi politik Malaysia dicirikan oleh distribusi hak istimewa ekonomi kepada individu dan entitas yang berhubungan politik, yang mengarah pada munculnya kelas bisnis terkait erat dengan elit politik yang berkuasa.
Jalinan kekuatan politik dan kepentingan bisnis telah menghasilkan oligarki politik-korporat, dimana sumber daya ekonomi dikendalikan oleh kelompok tertentu dengan afiliasi politik yang kuat. Hubungan ini telah melanggengkan sistem dimana pertimbangan politik sangat memengaruhi keputusan ekonomi, kerap dengan mengorbankan efisiensi dan ekuitas ekonomi yang lebih luas.
Karya ini membahas bagaimana sistem patronase ini telah membentuk pembangunan ekonomi Malaysia, yang memengaruhi pembuatan kebijakan dan distribusi peluang ekonomi. Keselarasan antara tujuan politik dan kepentingan bisnis telah mengarah pada prioritas proyek-proyek yang melayani kepentingan elit politik-korporat, yang berpotensi mengesampingkan inisiatif ekonomi yang lebih inklusif atau berbasis prestasi.

Di Vietnam, elit Partai Komunis dan eksekutif perusahaan milik negara memegang kekuasaan (Oligarki yang Dikendalikan Negara atau Elit yang terkait dengan Komunis). Pemerintahan satu partai memastikan dominasi Partai Komunis atas bisnis dan politik. Pengusaha kaya harus punya hubungan dekat dengan partai agar bisa sukses. Perusahaan milik negara mengendalikan sektor-sektor utama (PetroVietnam, VinGroup, Viettel). Media sepenuhnya dikendalikan oleh negara (tiada pers independen seperti di Indonesia atau Filipina) dan lebih tersentralisasi daripada di Indonesia, Filipina, dan Thailand (yang dikendalikan oleh partai). Model oligarki di negara ini lebih mirip dengan model oligarki China dibanding negara-negara ASEAN lainnya.
Penulis Bill Hayton dalam 'Vietnam: Rising Dragon' (Yale University Press, 2010), meneliti kemunculan struktur oligarki dalam sistem politik dan ekonomi Vietnam. Ia menyoroti bagaimana jalinan kekuatan politik dan kepentingan bisnis telah menyebabkan munculnya kelas elit baru, yang sering terhubung melalui ikatan kekeluargaan dengan pimpinan Partai Komunis. Ia menjelaskan bagaimana anggota Partai Komunis yang berkuasa dan kerabat mereka telah memanfaatkan posisi mereka dalam mendominasi perusahaan milik negara dan sektor bisnis swasta, sehingga memunculkan bentuk oligarki.
Partai Komunis Vietnam (CPV) telah mempertahankan kendali atas sektor-sektor ekonomi utama, memastikan bahwa koneksi politik diperlukan untuk keberhasilan bisnis. Perusahaan milik negara menerima akses istimewa ke sumber daya, modal, dan kontrak pemerintah, yang sering menguntungkan individu yang berafiliasi dengan Partai.
Hayton memperkenalkan istilah seperti 'COCC' (Con Ông Cháu Cha) dan '5C' (Con Cháu Các Cụ Cả) untuk menggambarkan jaringan ini. 'COCC', yang berarti 'putra dari ayah, cucu dari kakek', merujuk pada lapisan bawah elit bisnis-Partai yang baru, yang meliputi para bos provinsi dan pejabat Partai dan pemerintah nasional tingkat bawah. '5C', yang berarti 'semua anak dan cucu dari kakek buyut', menunjukkan elit yang sebenarnya, termasuk keturunan langsung dan anggota keluarga besar dari pejabat tinggi. Orang-orang ini memanfaatkan koneksi mereka untuk mengamankan peluang bisnis dan melindungi kepentingan mereka, yang sering beroperasi di luar jangkauan akuntabilitas hukum.
Penggabungan otoritas politik dan hak istimewa ekonomi ini telah mendorong sistem dimana perusahaan milik negara dan perusahaan swasta selalu dikendalikan oleh anggota Partai atau kerabat mereka. Entitas semacam ini mendapat keuntungan dari kebijakan yang menguntungkan, akses ke modal, dan keringanan peraturan, yang mengabadikan siklus kekayaan dan konsentrasi kekuasaan. Hayton berpendapat bahwa struktur oligarki ini merusak pemerataan pembangunan ekonomi dan menimbulkan tantangan bagi pemerintahan dan stabilitas sosial di Vietnam.

Jadi, di antara negara-negara ASEAN tersebut, negara mana yang memiliki tingkat pengaruh oligarki tertinggi?
Vietnam memiliki tingkat pengaruh oligarki yang sangat ekstrem dimana Partai mengendalikan seluruh aktivitas ekonomi dan politik (oligarki yang dikendalikan negara).
Thailand memiliki tingkat pengaruh oligarki yang sangat tinggi dimana militer dan monarki mengendalikan kekuasaan negara (oligarki militer-royalis).
Indonesia memiliki tingkat pengaruh oligarki yang sangat tinggi dimana Dinasti politik dan kelompok bisnis membentuk kebijakan (oligarki bisnis dan politik).
Filipina memiliki tingkat pengaruh oligarki yang sangat tinggi, dimana pemilihan umum didominasi oleh dinasti keluarga (oligarki dinasti dan bisnis).
Malaysia memiliki tingkat pengaruh oligarki yang moderat hingga tinggi, kuat tetapi dengan pergeseran politik belakangan ini (oligarki korporat-politik).
Indonesia dan Filipina adalah negara yang paling demokratis tetapi sangat oligarkis (elit politik-bisnis mendominasi). Thailand adalah oligarki yang sangat dikendalikan militer (sering terjadi kudeta). Malaysia adalah oligarki yang terkait dengan negara dengan favoritisme etnis (lebih sedikit kekuasaan untuk taipan swasta). Vietnam adalah oligarki yang sepenuhnya dikendalikan negara (seperti China). Oligarki Indonesia lebih dikendalikan oleh bisnis, sedangkan Thailand didominasi oleh monarki-militer. Filipina adalah model yang mirip-mirip dengan Indonesia, tetapi lebih berbasis keluarga dalam pemilihan umum.
[Bagian 11]
[Bagian 9]