"Dahulu kala, di kerajaan Konoha yang gemah ripah loh jinawi, pernah ada seorang raja yang dikenal dengan nama Raja Fibulus. Pemerintahannya berlangsung selama dua periode dimana doi jago banget gedabrus. Salah satunya, yang paling masyhur, ialah soal ijazahnya. Ia sering membanggakan diri sudah lulus dari universitas paling ternama di Konoha—sebuah klaim yang bikin banyak rakyatnya terpesona," Gareng memulai sebuah cerita. "Tapi, enggak semua orang percaya. Ada bisik-bisik di antara alumni universitas itu. 'Siapa sih Raja Fibulus ini?' bisik mereka. 'Kita nggak pernah lihat doi di perkuliahan, apalagi di kantin saat berjuang dengan mie instan!' Bahkan para dosen juga garuk-garuk kepala, bingung karena nggak ingat ada mahasiswa sekarismatik itu.
Suatu hari, seorang pakar informatika dan telematika berani teriak, 'Ijazah sang raja palsu!' Ucapan ini langsung bikin heboh—bukan dari rakyat, tapi dari sekumpulan 'teman kuliah' yang tiba-tiba muncul dan bersumpah bahwa mereka pernah belajar bareng Fibulus. Untuk menambah kredibilitasnya, Raja Fibulus bahkan mengatur pertemuan dengan dosen pembimbing skripsinya. Sayangnya, saat ditanya tentang dosen pembimbing skripsinya, doi dengan percaya diri menyebutkan nama yang berbeda dari yang tertera di dokumennya.
Universitas pun turun tangan membela kehormatannya (mungkin juga demi cuan dan jabatan). 'Ijazahnya asli,' mereka treak keras-keras meski suaranya agak gemeteran. Kritikus yang berani mempertanyakan hal ini langsung mendapatkan hukuman berat; dua orang yang vokal sampai dipenjara karena dituduh 'menyebarkan kebohongan.'
Waktu berlalu, dan kontroversi ini mulai tenggelam—sampai seorang pakar forensik menemukan bukti tak terbantahkan bahwa ijazah sang raja benar-benar palsu. Sang pakar menyajikan argumen yang teliti dan bukti yang jelas untuk mendukung klaimnya. Namun, alih-alih mengakui kesalahan, pihak universitas malah menuduh sang pakar menyesatkan masyarakat.
Sementara itu, Raja Fibulus 'menneng wae'. Doi gak mengonfirmasi atau membantah tuduhan tersebut, memilih membagi-bagikan beras sambil mengabaikan permintaan agar menunjukkan ijazah aslinya. Para pembela setianya terus melanjutkan perjuangan mereka, ada yang benar-benar percaya dan ada juga yang punya alasan lain membela sang raja.
Seiring waktu berjalan, pertanyaan apakah raja mereka benar-benar lulus kuliah tetap tak terjawab, dan yang lebih mengherankan lagi, ternyata sang pangeran pun melakukan hal yang sama. Kisah Raja Fibulus pun menjadi legenda yang dituturkan kepada anak-anak sebagai pelajaran tentang kebenaran dan kekuasaan. Dan satu hal yang pasti di Konoha: dusta bisa membangun kerajaan retak yang terlalu dalam untuk diperbaiki."
"Sekarang mari kita masuk ke topik kita," lanjut Gareng. "Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence, AI) merujuk pada cabang ilmu komputer yang berfokus pada pembuatan sistem yang dapat melakukan tugas-tugas yang biasanya membutuhkan kecerdasan manusia. Tugas-tugas ini meliputi pembelajaran, pemecahan masalah, pengenalan suara, pengenalan gambar, dan pengambilan keputusan. Artificial Intelligence (AI) beroperasi melalui kombinasi algoritma, data, dan daya komputasi untuk mensimulasikan kecerdasan seperti manusia.
Michael Negnevitsky dalam karyanya Artificial Intelligence: A Guide to Intelligent Systems (2005, Pearson Education) bilang bahwa para filsuf telah berusaha selama lebih dari dua ribu tahun agar memahami dan menjawab dua pertanyaan besar tentang alam semesta: bagaimana cara kerja otak manusia, dan dapatkah makhluk nonmanusia punya 'otak'? Namun, pertanyaan-pertanyaan ini masih belum terjawab. Beberapa filsuf telah mengambil pendekatan komputasional yang berasal dari ilmuwan komputer dan menerima gagasan bahwa mesin dapat melakukan segala sesuatu yang dapat dilakukan manusia. Yang lain secara terbuka menentang gagasan ini, mengklaim bahwa perilaku yang sangat canggih semisal cinta, inovasi kreatif, dan pilihan moral akan selalu berada di luar jangkauan mesin mana pun—dan aku mendukung yang disebutkan terakhir.
Sifat filosofi memungkinkan perselisihan tetap tak terselesaikan. Insinyur dan ilmuwan telah menciptakan mesin yang dapat kita sebut ‘intelijen’. Lantas, apa sih makna kata ‘intelijen’(yang berkaitan dengan kecerdasan)? Menurut kamus, ada dua definisi, pertama intelijen seseorang ialah kemampuannya memahami dan mempelajari sesuatu; dan kedua, intelijen (atau kecerdasan) adalah kemampuan berpikir dan memahami alih-alih melakukan sesuatu berdasarkan naluri atau secara otomatis.
Jadi, kata Negnevitsky, menurut definisi pertama, intelijen itu kualitas yang dimiliki manusia. Namun, definisi kedua menyarankan pendekatan yang sama sekali berbeda dan memberikan fleksibilitas; definisi ini tak menjelaskan secara spesifik apakah seseorang atau sesuatu punya kemampuan berpikir dan memahami. Sekarang kita harus mencari tahu apa arti berpikir. Mari kita tengok kembali kamus kita.
Berpikir adalah aktivitas menggunakan otak untuk mempertimbangkan suatu masalah atau memunculkan ide. Jadi, agar berpikir, seseorang atau sesuatu hendaknya memiliki otak, atau dengan kata lain, organ yang memungkinkan seseorang atau sesuatu belajar dan memahami berbagai hal, memecahkan masalah, dan membuat keputusan. Jadi, kita dapat mendefinisikan intelijen (yang kita terjemahkan sebagai kecerdasan) sebagai 'kemampuan belajar dan memahami, memecahkan masalah, dan membuat keputusan'.
‘Bisakah mesin berpikir?’ Pertanyaan yang menanyakan apakah komputer bisa cerdas, atau bisakah mesin berpikir, muncul dari ‘zaman kegelapan’ kecerdasan buatan (dari akhir 1940-an, tak ada hubungannya dengan masa Renaisans). Tujuan kecerdasan buatan (AI) sebagai ilmu adalah membuat mesin melakukan hal-hal yang membutuhkan kecerdasan jika dilakukan oleh manusia. Oleh karenanya, jawaban atas pertanyaan ini sangat penting bagi disiplin ilmu tersebut. Namun, jawabannya bukanlah ‘Ya’ atau ‘Tidak’ sederhana, melainkan jawaban yang samar atau tak jelas. Pengalaman sehari-hari dan akal sehatmu akan memberi tahumu tentangnya. Beberapa orang lebih pintar dalam beberapa hal daripada yang lain. Terkadang kita membuat keputusan yang sangat cerdas tetapi terkadang kita juga membuat kesalahan yang sangat konyol. Ada dari kita berurusan dengan masalah matematika dan teknik yang rumit tetapi abai dalam filsafat dan sejarah. Ada orang pandai menghasilkan uang, sementara yang lain lebih pandai membelanjakannya. Sebagai manusia, kita semua dapat belajar dan memahami, memecahkan masalah dan membuat keputusan; namun, kemampuan kita tak sama dan terletak di area yang berbeda. Oleh karenanya, kita hendaknya menduga bahwa jika mesin dapat berpikir, ada di antaranya mungkin lebih pandai daripada yang lain dalam beberapa hal.
Negnevitsky kemudian menuturkan sejarah kecerdasan buatan, dari ‘Abad Kegelapan’ hingga sistem berbasis pengetahuan. Kecerdasan buatan sebagai ilmu didirikan oleh tiga generasi peneliti.
‘Zaman Kegelapan’, atau lahirnya kecerdasan buatan (1943 – 56) dimana karya pertama yang diakui dalam bidang kecerdasan buatan (AI) dipresentasikan oleh Warren McCulloch dan Walter Pitts pada tahun 1943. McCulloch meraih gelar dalam bidang filsafat dan kedokteran dari Universitas Columbia dan menjadi Direktur Laboratorium Riset Dasar di Departemen Psikiatri di Universitas Illinois. Risetnya tentang sistem saraf pusat menghasilkan kontribusi besar pertama bagi AI: model neuron otak.
Munculnya kecerdasan buatan, atau era harapan besar (1956 – akhir 1960-an) ditandai dengan antusiasme yang luar biasa, ide-ide hebat, dan keberhasilan yang sangat terbatas. Hanya beberapa tahun sebelumnya, komputer telah diperkenalkan untuk melakukan perhitungan matematika rutin, tetapi sekarang para peneliti AI menunjukkan bahwa komputer dapat melakukan lebih dari itu. Inilah era harapan besar.
Fase janji-janji yang tak terpenuhi, atau dampak realitas (akhir 1960-an – awal 1970-an) fase. Sejak pertengahan 1950-an, para peneliti AI berjanji membangun mesin cerdas serba guna berdasarkan basis pengetahuan berskala manusia pada 1980-an, dan melampaui kecerdasan manusia pada tahun 2000. Namun, pada 1970, mereka menyadari bahwa klaim tersebut terlalu optimis. Meskipun beberapa program AI dapat menunjukkan beberapa tingkat kecerdasan mesin dalam satu atau dua masalah mainan, hampir tak ada proyek AI yang dapat menangani berbagai pilihan tugas atau masalah dunia nyata yang lebih sulit.
Teknologi sistem pakar, atau fase kunci kesuksesan (awal 1970-an – pertengahan 1980-an). Barangkali, perkembangan terpenting pada tahun 1970-an adalah kesadaran bahwa domain masalah untuk mesin cerdas hendaknya dibatasi secara memadai. Sebelumnya, peneliti AI percaya bahwa algoritma pencarian yang cerdas dan teknik penalaran dapat diciptakan meniru metode pemecahan masalah umum yang mirip manusia. Mekanisme pencarian tujuan umum dapat mengandalkan langkah-langkah penalaran dasar menemukan solusi lengkap dan dapat menggunakan pengetahuan yang lemah tentang domain tersebut. Namun, ketika metode yang lemah gagal, peneliti akhirnya menyadari bahwa satu-satunya cara untuk memberikan hasil praktis adalah dengan memecahkan kasus-kasus umum di area keahlian yang sempit dengan membuat langkah-langkah penalaran yang besar.
Program DENDRAL adalah contoh umum dari teknologi yang sedang berkembang. DENDRAL dikembangkan di Universitas Stanford untuk menganalisis bahan kimia. Proyek ini didukung oleh NASA, karena sebuah wahana antariksa tanpa awak akan diluncurkan ke Mars dan sebuah program diperlukan untuk menentukan struktur molekuler tanah Mars, berdasarkan data spektrum massa yang disediakan oleh spektrometer massa. Edward Feigenbaum (mantan murid Herbert Simon), Bruce Buchanan (seorang ilmuwan komputer) dan Joshua Lederberg (seorang pemenang hadiah Nobel dalam bidang genetika) membentuk sebuah tim untuk memecahkan masalah yang menantang ini.
Cara membuat mesin belajar, atau fase kelahiran kembali jaringan saraf (pertengahan 1980-an – seterusnya). Pada pertengahan 1980-an, para peneliti, insinyur, dan pakar menemukan bahwa membangun sistem pakar memerlukan lebih dari sekadar membeli sistem penalaran atau kerangka sistem pakar dan memasukkan cukup banyak aturan ke dalamnya. Kekecewaan tentang penerapan teknologi sistem pakar bahkan menyebabkan orang-orang memprediksi 'musim dingin' AI dengan pendanaan yang sangat terbatas bagi proyek-proyek AI. Para peneliti AI memutuskan untuk melihat jaringan saraf dengan cara baru.
Fase komputasi evolusioner, atau belajar sambil melakukan (awal 1970-an–seterusnya). Kecerdasan alami merupakan produk evolusi. Oleh karenanya, dengan mensimulasikan evolusi biologis, kita mungkin berharap menemukan bagaimana sistem kehidupan didorong menuju kecerdasan tingkat tinggi. Alam belajar dengan melakukan; sistem biologis tak diberitahu cara beradaptasi dengan lingkungan tertentu – mereka hanya bersaing untuk bertahan hidup. Spesies yang paling kuat memiliki peluang lebih besar bereproduksi dan dengan demikian mewariskan materi genetik mereka ke generasi berikutnya.
Konsep algoritma genetik diperkenalkan oleh John Holland pada awal tahun 1970-an. Ia mengembangkan algoritma untuk memanipulasi ‘kromosom’ buatan (rangkaian digit biner), menggunakan operasi genetik seperti seleksi, persilangan, dan mutasi. Algoritma genetik didasarkan pada landasan teoritis yang kuat dari Teorema Skema.
Di era baru rekayasa pengetahuan, atau fase komputasi dengan kata-kata (akhir 1980-an – seterusnya), teknologi jaringan saraf menawarkan interaksi yang lebih alami dengan dunia nyata ketimbang sistem yang didasarkan pada penalaran simbolik. Jaringan saraf dapat belajar, beradaptasi dengan perubahan dalam lingkungan masalah, membentuk pola dalam situasi dimana aturan tak diketahui, dan menangani informasi yang tak jelas atau tak lengkap. Namun, mereka tidak memiliki fasilitas penjelasan dan biasanya bertindak sebagai kotak hitam. Proses pelatihan jaringan saraf dengan teknologi saat ini lambat, dan pelatihan ulang yang sering dapat menyebabkan kesulitan serius.
Nah, kemanakah arah knowledge engineering? Sistem pakar, neural, dan fuzzy kini telah matang dan telah diterapkan pada berbagai macam masalah, terutama dalam bidang teknik, kedokteran, keuangan, bisnis, dan manajemen. Setiap teknologi menangani ketidakpastian dan ambiguitas pengetahuan manusia secara berbeda, dan setiap teknologi telah menemukan tempatnya dalam rekayasa pengetahuan. Mereka tak lagi bersaing; sebaliknya mereka saling melengkapi. Sinergi sistem pakar dengan logika fuzzy dan komputasi neural meningkatkan kemampuan beradaptasi, ketahanan, toleransi kesalahan, dan kecepatan sistem berbasis pengetahuan. Selain itu, komputasi dengan kata-kata membuat mereka lebih 'manusiawi'. Sekarang menjadi praktik umum untuk membangun sistem cerdas menggunakan teori yang ada daripada mengusulkan yang baru, dan untuk menerapkan sistem ini pada masalah dunia nyata daripada pada masalah 'mainan'.
Kita hidup di era revolusi pengetahuan ketika kekuatan suatu bangsa tak ditentukan oleh jumlah prajurit dalam angkatan bersenjatanya, melainkan oleh pengetahuan yang dimilikinya. Sains, kedokteran, teknik, dan bisnis mendorong bangsa-bangsa menuju kualitas hidup yang lebih tinggi, tetapi mereka juga membutuhkan orang-orang yang sangat berkualitas dan terampil. Kita sekarang mengadopsi mesin-mesin cerdas yang dapat menangkap keahlian orang-orang yang berpengetahuan tersebut dan bernalar seperti manusia.
AI dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan kemampuannya. Pertama, Narrow AI (Weak AI), dirancang untuk tugas tertentu, seperti asisten virtual semisal Siri atau Alexa, yang dapat melakukan fungsi terbatas namun tak memiliki kecerdasan umum. Kedua, General AI (Strong AI), bentuk teoritis AI yang berkemampuan memahami, mempelajari, dan menerapkan pengetahuan di berbagai domain, mirip dengan kecerdasan manusia. General AI sebagian besar masih berupa konsep dan belum tercapai. Ketiga, Superintelligent AI. Mengacu pada AI yang melampaui kecerdasan manusia dalam segala aspek. Meskipun menjadi topik spekulasi dan perdebatan, AI superintelijen saat ini belum ada.
Bagaimana cara kerja AI? Menurut Michael Negnevitsky, AI adalah bidang menarik yang berupaya meniru kecerdasan manusia pada mesin dengan memanfaatkan daya komputasi, algoritma, dan pengetahuan terstruktur. Menurut Michael Negnevitsky, sistem AI dibangun di atas tiga pilar fundamental: representasi pengetahuan, penalaran, dan pembelajaran.
Perjalanan dimulai dengan representasi pengetahuan, dimana sistem AI mengatur informasi dalam format terstruktur yang dapat dipahami oleh mesin. Pengetahuan ini dapat direpresentasikan menggunakan metode semisal jaringan semantik, pohon keputusan, atau sistem berbasis aturan. Struktur ini memungkinkan AI untuk menyimpan dan mengakses informasi secara efisien, membentuk dasar pengambilan keputusan yang cerdas.
Setelah pengetahuan direpresentasikan, sistem menggunakan mekanisme penalaran untuk menarik kesimpulan atau membuat keputusan berdasarkan data yang dimilikinya. Penalaran logis memungkinkan AI mensimulasikan proses berpikir yang mirip dengan manusia. Misalnya, sistem AI dapat menganalisis serangkaian aturan dan menyimpulkan fakta baru atau memecahkan masalah dengan menerapkan deduksi logis.
Namun, penalaran saja tak cukup menciptakan sistem yang benar-benar cerdas. Di sinilah model pembelajaran berperan. Pembelajaran memungkinkan sistem AI beradaptasi dan berkembang seiring waktu dengan menganalisis pola dalam data. Negnevitsky menyoroti tiga jenis pembelajaran utama: Pembelajaran Terbimbing (sistem dilatih menggunakan contoh berlabel, di mana ia belajar untuk mengaitkan masukan dengan keluaran yang diinginkan); Pembelajaran Tanpa Pengawasan (sistem mengidentifikasi pola dan hubungan dalam data yang tidak berlabel, memungkinkannya untuk mengelompokkan atau mengelompokkan informasi); Pembelajaran Penguatan (sistem belajar melalui coba-coba dengan berinteraksi dengan lingkungan dan menerima umpan balik dalam bentuk hadiah atau hukuman).
Metode pembelajaran ini memungkinkan sistem AI berkembang secara dinamis, meningkatkan akurasi dan efektivitasnya saat memproses lebih banyak data.
Negnevitsky juga menekankan bahwa sistem AI tak statis; mereka terus menyempurnakan basis pengetahuan mereka dengan menggabungkan informasi baru dan mengadaptasi proses penalaran mereka. Kemampuan belajar dan berkembang inilah yang membuat AI begitu hebat—memungkinkannya memecahkan masalah kompleks di berbagai domain, mulai dari diagnostik perawatan kesehatan hingga kendaraan otonom.
Intinya, AI bekerja dengan menggabungkan representasi pengetahuan terstruktur dengan penalaran logis dan pembelajaran adaptif. Komponen-komponen ini berinteraksi dengan lancar membangun sistem cerdas yang mampu memecahkan masalah, membuat keputusan, dan meningkatkan diri dari waktu ke waktu. Narasi ini menangkap esensi cara kerja AI sebagaimana dijelaskan dalam karya Negnevitsky sambil mempertahankan alur yang jelas dan menarik!
Menurut Goodfellow, Bengio, dan Courville’s Deep Learning (seri Adaptive Computation and Machine Learning, 2016, MIT Press), AI bekerja dengan memanfaatkan jaringan saraf dalam yang belajar dari sejumlah besar data melalui proses pelatihan terstruktur. Dengan meniru fungsi kognitif manusia, sistem ini dapat mengenali pola, membuat prediksi, dan beradaptasi dari waktu ke waktu. Pendekatan yang hebat ini telah mengubah industri dan terus mendorong batasan tentang apa yang dapat dicapai mesin.
Menurut David L. Poole dan Alan K. Mackworth, dalm Artificial Intelligence: Foundations of Computational Agents, 2017, Cambridge University Press), AI bekerja dengan mengintegrasikan persepsi, penalaran, dan tindakan ke dalam agen yang berorientasi pada tujuan. Agen-agen ini belajar secara berulang, beradaptasi dengan informasi baru, dan beroperasi secara mandiri—mencerminkan fleksibilitas dan kemampuan memecahkan masalah dari kecerdasan manusia, tetapi didasarkan pada prinsip-prinsip komputasi.
Jadi, AI bekerja dengan memanfaatkan kumpulan data besar, algoritma canggih, dan daya komputasi untuk meniru kecerdasan manusia dalam berbagai tugas. Memahami cara kerja AI sangat penting untuk menerapkannya secara efektif dalam berbagai aplikasi sekaligus mengatasi tantangan terkait etika, bias, dan transparansi.
Kendati berkemampuan hebat, AI tetap bergantung pada manusia dalam beberapa hal penting. Sistem AI dibuat dan diprogram oleh manusia, ilmuwan komputer, dan insinyur yang merancang algoritme, model, dan sistem yang memungkinkan AI belajar dan beroperasi. Tanpa campur tangan manusia, AI tak dapat berkembang atau berfungsi secara efektif. AI membutuhkan data untuk belajar dan membuat keputusan, manusia bertanggungjawab untuk mengumpulkan, membersihkan, dan mengatur data ini. Kualitas dan keragaman data secara langsung memengaruhi kinerja sistem AI. Jika data tersebut bias atau tidak lengkap, hasil yang dihasilkan oleh AI juga akan cacat.
Meskipun AI dapat melakukan banyak tugas secara mandiri, pengawasan manusia sangat penting untuk memastikan bahwa sistem beroperasi dengan benar. Manusia diperlukan untuk menyesuaikan model AI jika hasilnya tak memuaskan atau jika ada perubahan dalam konteks atau lingkungan.
Keputusan tentang bagaimana dan dimana menggunakan AI seringkali melibatkan pertimbangan etika dan kebijakan yang harus dibuat oleh manusia. Ini termasuk menangani masalah yang terkait dengan privasi, keamanan, dan dampak sosial dari aplikasi AI.
AI sering dirancang untuk berinteraksi dengan pengguna manusia, seperti asisten virtual, chatbot, atau sistem rekomendasi. Interaksi ini memerlukan pemahaman konteks dan nuansa yang diberikan manusia selama pengembangan.
Meskipun AI dapat mengotomatiskan banyak tugas dan membuat keputusan berdasarkan data, AI tetap bergantung pada manusia untuk pengembangan, pengawasan, pertimbangan etika, dan interaksi. Keterlibatan manusia sangat penting guna memastikan bahwa AI digunakan secara efektif dan bertanggungjawab. Melalui kolaborasi antara manusia dan AI, kita dapat mencapai hasil yang lebih baik dan solusi inovatif.
Interaksi manusia dengan AI dapat dimulai pada usia yang bervariasi, tergantung pada konteks dan tujuan penggunaan teknologi tersebut. Penggunaan AI dalam pendidikan dapat dimulai sejak anak usia dini. AI dapat membantu anak-anak belajar dengan cara yang disesuaikan, seperti melalui aplikasi pembelajaran yang interaktif. Namun, penting untuk memastikan bahwa interaksi ini tetap seimbang dengan pengalaman sosial dan emosional yang diperoleh dari interaksi manusia
Remaja (usia 13-18 Tahun), terutama generasi Z (lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an), cenderung lebih nyaman berinteraksi dengan sistem AI. Mereka melihat AI sebagai alat yang efisien dalam menyelesaikan tugas-tugas tertentu, baik dalam konteks pendidikan maupun hiburan. Namun, ada risiko ketergantungan pada teknologi yang perlu diwaspadai
Di usia dewasa muda (usia 18-30 tahun), individu seringkali mulai berinteraksi dengan AI dalam konteks profesional. Mereka perlu memahami cara menggunakan AI untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi di tempat kerja. Sikap positif terhadap AI di kalangan generasi ini dapat memfasilitasi adopsi teknologi yang lebih luas
Penting agar memperhatikan benturan etika dan sosial dari penggunaan AI pada seluruh kelompok usia. Meskipun AI menawarkan banyak manfaat, interaksi manusia yang empatik dan responsif tetap diperlukan agar memenuhi kebutuhan emosional individu
Interaksi dengan AI sebaiknya dimulai pada usia dini, tetapi hendaknya disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan masing-masing individu. Pengawasan orangtua dan pendidik sangat penting untuk memastikan bahwa penggunaan AI memberikan manfaat tanpa mengurangi interaksi sosial dan emosional yang vital bagi perkembangan anak dan remaja.
Bagaimana jika AI digunakan di sekolah? Integrasi AI dalam lingkungan pendidikan menghadirkan beberapa tantangan yang perlu dipertimbangkan secara saksama.
Siswa akan menjadi terlalu bergantung pada AI guna memperoleh jawaban, yang dapat menghambat kemampuan mereka berpikir kritis dan memecahkan masalah. Ketergantungan ini dapat menyebabkan pemahaman yang dangkal tentang mata pelajaran, karena siswa akan menggunakan konten yang dihasilkan AI tanpa benar-benar terlibat dengan materi tersebut. Akibatnya, hal ini dapat berdampak negatif pada kinerja akademis dan kemajuan pembelajaran mereka.
Penggunaan AI menimbulkan berbagai masalah etika, termasuk:
- Bias: Sistem AI boleh jadi tak mewakili seluruh kelompok secara berimbang, yang berpotensi menyebabkan hasil yang bias.
- Plagiarisme: Siswa akan mengakui konten yang dihasilkan AI sebagai miliknya sendiri, yang merusak integritas akademis.
- Masalah Hak Cipta: Ada risiko yang terkait dengan penggunaan konten yang disalin AI dari sumber lain tanpa atribusi yang tepat.
- Akses yang tak setara: Tak semua siswa punya akses yang sama ke perangkat AI, yang dapat memperburuk ketidaksetaraan yang ada dalam pendidikan.
Sistem AI kerap memerlukan akses ke data pribadi, yang menimbulkan kekhawatiran tentang privasi dan keamanan data. Sekolah harus memastikan bahwa mereka melindungi informasi siswa saat menggunakan perangkat AI, karena pelanggaran dapat berdampak serius
Ketergantungan yang meningkat pada AI dapat mengurangi interaksi tatap muka antara siswa dan guru. Kurangnya keterlibatan manusia ini dapat menyebabkan perasaan terisolasi di antara siswa dan menghambat pengembangan keterampilan sosial dan kecerdasan emosional
Konten yang dihasilkan AI hanya sebaik data yang digunakan untuk melatihnya. Memastikan bahwa materi pendidikan yang disediakan oleh AI akurat, terkini, dan relevan merupakan tantangan yang signifikan. Ada juga risiko homogenisasi, dimana konten yang distandarisasi dapat mengabaikan berbagai perspektif dan pemikiran kritis
Penerapan AI di sekolah dapat memperluas permukaan serangan terhadap ancaman siber, membuat lembaga pendidikan lebih rentan terhadap serangan semisal phishing atau penyuntikan malware. Boleh jadi, Sekolah kekurangan sumber daya atau keahlian dalam mengatasi tantangan keamanan siber ini secara memadai
Karena siswa lebih mengandalkan AI untuk mencari solusi, kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah mereka dapat berkurang. Tren ini dapat menyebabkan generasi yang kurang siap mengatasi masalah kompleks secara mandiri
Jika manusia berhenti berpikir, berinovasi, dan menulis—sehingga tak bisa menyediakan data bagi AI—beberapa konsekuensi penting dapat muncul. AI sangat bergantung pada data bagi pelatihan dan peningkatan. Tanpa masukan data baru dari kreativitas dan inovasi manusia, sistem AI akan mandek. Sistem tersebut takkan dapat belajar dari pengalaman baru atau beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, yang mengarah pada model yang ketinggalan zaman yang mungkin tak berfungsi secara efektif dalam skenario dunia nyata.
Sistem AI menghasilkan output berdasarkan data dan pola yang ada. Jika manusia berhenti membuat ide atau konten baru, AI akan kekurangan materi dasar yang dibutuhkan untuk menghasilkan karya yang inovatif atau unik. Hal ini dapat mengakibatkan homogenisasi ide, dimana AI hanya mereplikasi konsep yang ada tanpa percikan kreativitas manusia.
Seiring dengan meningkatnya ketergantungan pada AI, keterampilan yang diperlukan untuk berpikir kritis, memecahkan masalah, dan kreativitas dapat menurun pada manusia. Jika manusia berhenti terlibat dalam proses kognitif ini, generasi mendatang akan merasa kesulitan berpikir secara mandiri atau berinovasi, yang akan menyebabkan masyarakat menjadi kurang adaptif dan dinamis.
Ketiadaan masukan manusia dapat menyebabkan dilema etika dalam aplikasi AI. Misalnya, keputusan yang dibuat oleh AI tanpa pengawasan manusia takkan sejalan dengan nilai-nilai sosial atau standar etika. Hal ini dapat memperburuk masalah seperti bias dalam algoritma atau penyalahgunaan teknologi.
Tanpa data dan ide baru, masyarakat akan menjadi terlalu bergantung pada sistem dan algoritma AI yang ada, sehingga dapat menyebabkan kerentanan. Misalnya, jika sistem ini terkendala atau terganggu, kurangnya solusi alternatif dapat menimbulkan tantangan yang berarti.
Konten yang dihasilkan AI bergantung pada kualitas data yang diprosesnya. Jika manusia berhenti memproduksi konten yang akurat dan bijak, AI akan secara tak sengaja menyebarkan informasi yang keliru atau ilmu yang ketinggalan zaman, yang selanjutnya mempersulit wacana dan pemahaman publik.
Penghentian inovasi dan penyediaan data manusia tak hanya akan menghambat kemajuan AI, melainkan pula berimplikasi yang mendalam bagi kreativitas masyarakat, kemampuan berpikir kritis, dan standar etika.
Dalam ranah pemikiran, AI seharusnya digunakan oleh manusia hanya sebagai alat, tempat pikiran manusia berada, untuk menumbuhkan pemikiran kritis, berinovasi, dan berkreasi, dengan merangkul sifat kita sebagai pembelajar.
Dan dari siapa kita, manusia, belajar? Jawabannya jelas, kita mengambil hikmah dari Sang Pencipta, Yang kebijaksanaan-Nya sangatlah dekat. Dengan Al-Qalam, Pena, anugerah suci yang dilimpahkan, mengajarkan manusia apa yang tak diketahuinya, di sepanjang jalan yang kita lalui," pungkas Gareng.