Ngelanjutin eksplorasi kita terhadap pertanyaan yang diajukan dalam sesi kita sebelumnya—“Haruskah kita mempersiapkan negara kita menjadi negara militer?”—merupakan usaha yang punya banyak sisi. Telaah ini terjalin erat dengan konteks sejarah, dinamika geopolitik, dan prioritas tatakelola internal. Sementara keamanan nasional tetap menjadi perhatian utama, jalur militerisasi selalu memerlukan pengorbanan ekonomi dan politik substansial, yang tak dapat diabaikan. Menyeimbangkan faktor-faktor ini memerlukan pertimbangan yang cermat dan pemahaman yang mendalam tentang implikasinya bagi masyarakat dan masa depan kita. Secara historis, negara-negara demokrasi telah mempertahankan militer yang kuat tanpa sepenuhnya berubah menjadi negara militer. Negara-negara seperti Amerika Serikat, India, dan Prancis memiliki sektor pertahanan yang kuat sembari tetap memprioritaskan nilai-nilai demokrasi. Kuncinya adalah menyeimbangkan kesiapan keamanan dengan tetap memelihara kebebasan sipil, stabilitas ekonomi, dan keterlibatan diplomatik.
Dalam masyarakat demokratis, menjaga perbedaan yang jelas antara peran militer dan polisi sangat penting guna menegakkan supremasi sipil dan pemerintahan yang demokratis. Militer terutama bertugas membela negara dari ancaman eksternal, sementara polisi bertanggungjawab menjaga ketertiban internal dan menegakkan hukum.
Dalam The Perils of Praetorianism in Latin America (2002, Penn State University Press), Kirk S. Bowman meneliti pengaruh negatif militer terhadap lembaga dan pembangunan demokrasi. Bowman berpendapat bahwa keterlibatan militer yang berlebihan dalam politik mengikis norma-norma demokrasi dengan melemahkan kendali sipil atas pemerintah. Hal ini kerap mengarah pada militerisasi pembuatan kebijakan dan tatakelola, yang membatasi akuntabilitas demokrasi.
Intervensi militer, baik melalui kudeta langsung maupun pengaruh di balik layar, memunculkan siklus ketidakstabilan di mana pemerintah terpilih berjuang agar berfungsi secara efektif. Ketidakstabilan ini menghambat pembangunan demokrasi jangka panjang.
Di bawah rezim yang dipengaruhi militer, kebebasan seperti kebebasan berbicara, pers, dan partisipasi politik selalu dibatasi. Hal ini melemahkan masyarakat sipil dan mempersulit berkembangnya lembaga demokrasi.
Bowman menyoroti bagaimana pemerintah yang dimiliterisasi selalu memprioritaskan pengeluaran keamanan daripada pembangunan ekonomi dan sosial. Hal ini dapat menyebabkan alokasi sumber daya yang tak efisien, stagnasi ekonomi, dan peningkatan ketimpangan. Pengaruh militer dalam politik selalu mengakibatkan impunitas hukum bagi angkatan bersenjata, melemahkan independensi peradilan dan penegakan hukum. Hal ini melemahkan kepercayaan pada pemerintahan yang demokratis.
Bahkan setelah kekuasaan militer berakhir, warisannya dapat bertahan dalam lembaga yang melemah, masyarakat yang terpolarisasi, dan kecenderungan otoriter yang berulang. Bowman berpendapat bahwa negara-negara dengan pengaruh militer yang kuat membutuhkan waktu lebih lama untuk mengembangkan sistem demokrasi yang stabil.
Dalam A Violent Peace: Race, U.S. Militarism, and Cultures of Democratization in Cold War Asia and the Pacific (2020, Stanford University Press), Christine Hong meneliti hubungan rumit antara strategi militer AS pascaperang dan upaya demokratisasi di Asia dan Pasifik. Ia berpendapat bahwa upaya Amerika Serikat mempromosikan demokrasi di kawasan tersebut, sangat terkait erat dengan upaya militeristik, yang selalu menghasilkan hasil yang bertentangan dengan cita-cita demokrasi yang dianut.
Hong menyoroti bagaimana pendudukan AS di Jepang menjadi contoh utama dari dinamika yang kompleks ini. Sementara pendudukan tersebut bertujuan membangun lembaga-lembaga demokrasi, pada saat yang sama memaksakan kontrol militer, yang mencerminkan sebuah paradoks dimana demokratisasi diupayakan melalui cara-cara otoriter. Pendekatan ini selalu mengutamakan kepentingan strategis daripada pembangunan demokrasi sejati, yang menyebabkan ketegangan antara struktur politik yang dipaksakan dan aspirasi penduduk setempat.
Lebih jauh, Hong mengeksplorasi dimensi rasial dari militerisme AS, yang menggambarkan bagaimana ideologi rasial memengaruhi kebijakan militer dan interaksi dengan masyarakat setempat. Desegregasi militer AS, misalnya, digambarkan sebagai langkah menuju kesetaraan ras dan kemajuan demokrasi. Namun, narasi ini kerap menutupi motif imperialistik yang mendasarinya dan kelanjutan hierarki rasial, baik di luar negeri maupun di dalam Amerika Serikat.
Dalam konteks Perang Korea, Hong membahas bagaimana intervensi militer AS dibingkai sebagai upaya mempertahankan dan mempromosikan demokrasi. Namun, tindakan-tindakan ini sering mengakibatkan banyaknya korban sipil dan penindasan gerakan-gerakan lokal yang mencari jalur politik alternatif, sehingga merusak prinsip-prinsip demokrasi yang diklaim didukung oleh AS. Hong juga membahas implikasi domestik dari strategi-strategi militer ini, dengan mencatat bahwa taktik-taktik yang digunakan untuk mengendalikan populasi di luar negeri tercermin dalam penindasan perbedaan pendapat di Amerika Serikat. Militerisasi pasukan polisi dan pengawasan terhadap aktivis hak-hak sipil mencerminkan pola yang lebih luas dimana pendekatan-pendekatan militeristik terhadap pemerintahan berdampak pada kebijakan-kebijakan dalam dan luar negeri. Singkatnya, A Violent Peace mengungkap bahwa strategi-strategi militer AS pascaperang di Asia dan Pasifik sering mengorbankan upaya-upaya demokratisasi, karena tujuan-tujuan militer lebih diutamakan daripada pembentukan lembaga-lembaga demokrasi sejati. Interaksi antara militerisasi dan demokratisasi ini menyoroti kontradiksi-kontradiksi yang melekat dalam kebijakan-kebijakan luar negeri AS selama era Perang Dingin.
Dalam Hegemony or Survival: America's Quest for Global Dominance (2024, Haymarket Books), Noam Chomsky secara kritis meneliti bagaimana upaya Amerika Serikat untuk mencapai hegemoni global melalui cara-cara militer telah membentuk hubungan internasional dan memengaruhi gerakan-gerakan demokrasi di seluruh dunia. Chomsky berpendapat bahwa strategi agresif pemerintah AS untuk mempertahankan dominasi sering merusak hukum internasional, mengganggu stabilitas kawasan, dan menekan aspirasi demokrasi. Chomsky menyoroti contoh-contoh ketika AS mengabaikan badan-badan internasional ketika mereka menentang tujuannya. Misalnya, seusai Mahkamah Internasional mengutuk tindakan AS di Nikaragua, AS menolak putusan tersebut, dengan melabeling pengadilan tersebut sebagai "hostile forum." Perilaku ini, menurut Chomsky, mengikis kredibilitas lembaga-lembaga internasional dan menjadi preseden bagi tindakan-tindakan sepihak. Ia mengkritik penerapan perang preventif oleh AS—suatu strategi memulai konflik guna menghilangkan ancaman-ancaman yang dianggap akan terjadi di masa mendatang—sebagai pelanggaran norma-norma internasional. Chomsky berpendapat bahwa tindakan tersebut, yang dicontohkan oleh invasi Irak tahun 2003, merupakan kejahatan perang dan mengganggu tatanan global dengan mempromosikan penggunaan kekuatan daripada diplomasi.
Pengejaran dominasi militer, termasuk inisiatif semisal militerisasi ruang angkasa dan penentangan terhadap perjanjian pengendalian senjata, dipandang oleh Chomsky sebagai hal yang memperburuk ketegangan global dan memicu perlombaan senjata. Kebijakan-kebijakan ini, menurutnya, memprioritaskan proyeksi kekuatan daripada langkah-langkah keamanan kooperatif, yang meningkatkan risiko konflik.
Chomsky mendokumentasikan contoh-contoh dimana AS telah mendukung pemerintah otoriter yang sejalan dengan kepentingan strategisnya, kerap dengan mengorbankan gerakan-gerakan demokrasi. Dengan memberikan bantuan militer dan dukungan politik kepada rezim-rezim tersebut, AS menghambat perkembangan lembaga-lembaga demokrasi dan menekan gerakan-gerakan akar rumput yang mengadvokasi perubahan.
Intervensi langsung, baik yang terbuka maupun yang terselubung, telah digunakan untuk menggulingkan pemerintah yang dipilih secara demokratis yang dianggap sebagai ancaman terhadap hegemoni AS. Tindakan-tindakan ini tak hanya mengganggu kedaulatan politik suatu negara, tetapi juga menjadi peringatan bagi negara-negara lain yang mempertimbangkan kebijakan yang terlepas dari pengaruh AS. Penekanan global pada solusi militer dan perang melawan teror, sebagaimana dibahas oleh Chomsky, telah menyebabkan pembatasan kebebasan sipil baik di dalam negeri maupun internasional. Pemerintah, dengan kedok keamanan, menerapkan langkah-langkah yang membatasi kebebasan, sehingga melemahkan tatanan demokrasi masyarakat. Analisis Chomsky menunjukkan bahwa upaya militeristik AS untuk mendominasi tak semata membebani hubungan internasional, melainkan pula menimbulkan hambatan signifikan bagi pertumbuhan dan keberlanjutan gerakan demokrasi di seluruh dunia.
Dalam masyarakat demokratis, menjaga perbedaan yang jelas antara peran militer dan polisi sangat penting menegakkan supremasi sipil dan pemerintahan yang demokratis. Militer terutama bertugas membela negara dari ancaman eksternal, sementara polisi bertanggungjawab menjaga ketertiban internal dan menegakkan hukum.
Militer hendaknya fokus pada pertahanan nasional dan beroperasi di bawah arahan otoritas sipil. Keterlibatan mereka dalam pemerintahan sipil seyogyanya minimal guna mencegah terkikisnya lembaga-lembaga demokrasi. Menurut Handbook on Civil-Military Relations and Democratic Control of the Security Sector (2003, Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces), kontrol demokrasi yang efektif mengharuskan angkatan bersenjata tetap berada di bawah otoritas pejabat sipil terpilih, yang memastikan bahwa pengaruh militer tak mengaburkan pemerintahan sipil.
Perkembangan terkini di Indonesia menyoroti pentingnya mempertahankan perbedaan ini. Disahkannya undang-undang yang membolehkan personel militer menduduki berbagai jabatan sipil telah menimbulkan kekhawatiran tentang potensi kebangkitan kembali pengaruh militer dalam pemerintahan, yang mengingatkan pada pemerintahan otoriter di masa lalu. Para kritikus berpendapat bahwa langkah-langkah tersebut dapat merusak lembaga-lembaga demokrasi dan supremasi sipil.
Untuk menjaga demokrasi dan memastikan supremasi sipil, militer hendaknya dibatasi pada peran yang berkaitan langsung dengan pertahanan nasional di bawah pengawasan sipil, sementara kepolisian seyogyanya fokus pada pemeliharaan ketertiban internal dan penegakan hukum dengan komitmen pada prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Polisi berperan sebagai penghubung utama antara pemerintah dan warga negaranya, bertugas menegakkan supremasi hukum dan melindungi hak-hak individu. Mereka hendaknya beroperasi dengan transparansi, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sebagaimana dicatat dalam The Role of Police in a Democratic Society (1969, Northwestern University School of Law), polisi bertanggungjawab membuat kebijakan dan tak boleh sekadar mengikuti perintah tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap proses demokrasi.
Di Indonesia, Rancangan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan organisasi masyarakat sipil dan pakar hukum, terutama karena potensinya mengubah Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menjadi "superbody" dengan kekuasaan yang teramat besar.
RUU tersebut memberikan kewenangan kepada Polri atas dunia siber, termasuk kewenangan melakukan pengawasan, memberikan sanksi, memblokir atau memperlambat akses internet, dan menegakkan langkah-langkah keamanan siber. Kewenangan yang luas ini tak memiliki parameter dan mekanisme pengawasan yang jelas, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan untuk menekan kebebasan berekspresi dan mengendalikan arus informasi.
Polri akan diberi kewenangan melakukan operasi intelijen, termasuk mengumpulkan data dari badan intelijen lain seperti Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia (BAIS). Hal ini dapat menyebabkan terjadinya tumpang tindih fungsi dan potensi penyalahgunaan intelijen untuk tujuan di luar kepentingan keamanan nasional.
RUU tersebut memberikan Polri kemampuan penyadapan tanpa kerangka regulasi atau pengawasan yang jelas, sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang pelanggaran hak privasi. Tak seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang memerlukan persetujuan dari dewan pengawasnya untuk melakukan penyadapan, kewenangan Polri di bidang ini takkan terkendali.
Polri akan punya kewenangan mengawasi dan merekomendasikan pengangkatan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dan penyidik lainnya, yang berpotensi merusak independensi lembaga seperti KPK.
RUU ini mengusulkan pembentukan pasukan keamanan masyarakat di bawah arahan Polri, mengingatkan pada praktik masa lalu yang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang potensi penyalahgunaan dan munculnya kembali praktik keamanan yang kontroversial.
Para kritikus memperingatkan bahwa kewenangan yang diperluas ini dapat merusak prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan sipil. Kewenangan yang luas yang diberikan kepada Polri, khususnya dalam pengawasan dan pengendalian siber, menimbulkan ancaman terhadap kebebasan berekspresi, pers, dan privasi. Tindakan-tindakan tersebut dapat menekan perbedaan pendapat dan membatasi kemampuan warga negara dalam mengakses dan berbagi informasi secara bebas.
RUU tersebut tak memiliki mekanisme pengawasan yang kuat terhadap kewenangan Polri yang diperluas, sehingga meningkatkan risiko penyalahgunaan dan impunitas. Hal ini merusak prinsip-prinsip demokrasi yang mengandalkan checks and balances guna mencegah pemusatan kekuasaan.
Potensi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang diakibatkan oleh kewenangan polisi yang tak terkendali dapat merusak reputasi internasional Indonesia. Negara-negara dan organisasi internasional dapat memandang perkembangan ini sebagai kemunduran dalam tatakelola demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia, yang memengaruhi hubungan diplomatik dan investasi asing.
Meskipun RUU Polri bertujuan meningkatkan keamanan nasional, ketentuan-ketentuannya berisiko merusak kebebasan sipil, pengawasan demokratis, dan reputasi internasional Indonesia. Para pembuat undang-undang seyogyanya mempertimbangkan kembali isi RUU tersebut, memastikan bahwa setiap perluasan kewenangan polisi disertai dengan pengawasan yang ketat dan tindakan akuntabilitas untuk melindungi hak dan kebebasan warga negara Indonesia.
Pemberlakuan Rancangan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri), yang secara signifikan memperluas kewenangan kepolisian, dapat berdampak negatif pada kepercayaan internasional dan iklim investasi di Indonesia.
Perluasan kewenangan kepolisian, yang dapat menjadikan Polri sebagai "superbody," menimbulkan kekhawatiran tentang komitmen Indonesia terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Kewenangan seperti pengawasan siber, pembatasan internet, dan penyadapan—tanpa pengawasan yang jelas—dapat dipandang sebagai tindakan represif yang membatasi kebebasan berekspresi dan privasi individu. Hal ini dapat merusak reputasi Indonesia di mata masyarakat internasional dan organisasi hak asasi manusia, yang berujung pada meningkatnya kritik dan tekanan diplomatik.
Investor asing biasanya menginginkan lingkungan yang stabil, transparan, dan aman secara hukum. Penerapan RUU Polri, dengan kewenangannya yang luas dan tak terkendali, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan meningkatkan risiko investasi. Kekhawatiran tentang potensi penyalahgunaan wewenang, pelanggaran hak asasi manusia, dan kurangnya akuntabilitas dapat menyebabkan investor mempertimbangkan kembali keputusan mereka berinvestasi di Indonesia. Selain itu, persepsi negatif terhadap situasi politik dan hukum Indonesia dapat menurunkan daya saing negara ini di pasar investasi global.
Perluasan kewenangan Polri dalam RUU tersebut dapat menimbulkan tanggungjawab yang tumpang tindih antarlembaga dan memicu konflik kekuasaan yang tak diinginkan, sehingga menimbulkan kesan pembentukan kepolisian yang superkuat. Penerapan RUU Polri tanpa mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang kuat dapat merusak reputasi internasional Indonesia dan melemahkan kepercayaan investor. Oleh karenanya, pemerintah dan legislatif hendaknya mempertimbangkan dengan cermat dampak yang lebih luas ini dan memastikan bahwa setiap perubahan hukum selaras dengan prinsip-prinsip demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, dan kepastian hukum untuk mendukung iklim investasi yang kondusif.
Jika sebuah negara demokrasi hendak mempersiapkan diri bersikap lebih termiliterisasi, beberapa faktor hendaknya dipertimbangkan. Pembangunan militer semestinya didorong oleh ancaman keamanan yang nyata, bukan konsolidasi kekuatan internal. Ketika militerisasi menjadi berlebihan, hal itu berisiko merusak lembaga-lembaga demokrasi, seperti yang terlihat di negara-negara tempat pengaruh militer meluas ke pemerintahan sipil. Negara yang sangat termiliterisasi selalu mengalihkan sumber daya yang penting untuk pertahanan dengan mengorbankan pendidikan, perawatan kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Sementara investasi militer dapat memacu inovasi teknologi (seperti yang terlihat di AS), penekanan yang berlebihan dapat menyebabkan inefisiensi ekonomi dan ketidakpuasan publik.
Negara-negara yang menghadapi ancaman eksternal akan merasa perlu memperkuat militer mereka. Namun, perlombaan senjata atau postur militer yang agresif dapat meningkatkan ketegangan daripada memastikan keamanan jangka panjang. Pendekatan diplomatik—sambil mempertahankan kekuatan pertahanan yang mumpuni—seringkali terbukti lebih berkelanjutan.
Demokrasi yang bersiap untuk militerisasi hendaknya membangun perlindungan untuk mencegah erosi hak-hak sipil. Jika otoritas militer mulai lebih besar daripada pemerintahan yang dipilih, sebuah negara dapat tergelincir ke dalam otoritarianisme, yang mengurangi kebebasan demokrasi. Pada akhirnya, negara demokrasi hendaknya memastikan keamanan nasional tanpa mengorbankan nilai-nilai intinya. Berinvestasi dalam militer yang kuat merupakan pilihan bijaksa, tetapi hendaknya dilengkapi dengan keterlibatan diplomatik, kemajuan teknologi, dan ketahanan ekonomi. Militerisasi seyogyanya berfungsi sebagai alat pertahanan, bukan alat untuk dominasi politik.
Kita tengah memasuki periode transformasi besar. Kekuatan tak lagi diukur semata dari kekuatan militer, melainkan siapa yang mengendalikan rantai pasokan global, siapa yang punya teknologi tercanggih, dan siapa yang mendominasi jaringan keuangan masa depan.
Ini berarti bahwa negara, perusahaan, dan bahkan individu perlu beradaptasi dengan cepat. Pemerintah akan berinvestasi besar dalam AI, keamanan siber, dan kemandirian energi. Bisnis akan mengalihkan fokus mereka pada keuangan digital dan otomatisasi. Rakyat jelata hendaknya menavigasi dunia dimana pekerjaan tradisional menghilang, kekuatan ekonomi bergeser dengan cepat, dan sistem keuangan berevolusi dengan cara yang tak dapat diprediksi.
Masa depan takkan menjadi tentang negara mana yang memiliki tentara terbanyak, tetapi tentang siapa yang punya kendali paling besar atas infrastruktur kekuatan global. Tatanan dunia baru bukanlah kembalinya kerajaan militer, melainkan kebangkitan kerajaan berbasis teknologi, keuangan, dan energi.
Dalam "Power Shift: The Global Political Economy of Energy Transitions" (2021, Cambridge University Press), Peter Newell meneliti bagaimana perubahan dalam produksi dan konsumsi energi membentuk kembali kekuatan ekonomi dan politik secara global. Ia menekankan bahwa transisi energi bukan hanya pergeseran teknologi, tapi juga melibatkan transformasi politik dan ekonomi yang amat berarti. Transisi ini dapat mengubah distribusi kekuatan di antara negara-negara, berimplikasi pada pola perdagangan global, dan memengaruhi kebijakan domestik. Newell berpendapat bahwa memahami dinamika ini sangat penting untuk menavigasi kompleksitas dalam bergerak menuju sistem energi yang berkelanjutan.
Analisis Newell menyoroti bahwa transisi energi sangat terkait erat dengan isu tatakelola, kesetaraan, dan keadilan. Ia berpendapat bahwa peralihan ke sumber energi terbarukan menghadirkan peluang dan tantangan, khususnya terkait siapa yang diuntungkan dari perubahan ini dan siapa yang mungkin dirugikan. Dengan menelaah aspek-aspek ini, Newell memberikan pemahaman yang komprehensif tentang dampak multifaset dari transisi energi pada struktur politik dan ekonomi global.
Dalam "The World Under Pressure: How China and India Are Influencing the Global Economy and Environment" (2012, Stanford University Press), Carl J. Dahlman meneliti dampak mendalam dari pertumbuhan ekonomi China dan India yang pesat pada berbagai dimensi global, termasuk perdagangan, teknologi, lingkungan, keamanan, dan struktur tatakelola.
Kebangkitan China dan India telah mengubah dinamika perdagangan global secara berarti. Ekonomi mereka yang terus berkembang telah meningkatkan permintaan akan sumber daya dan pasar ekspor yang beragam, yang menyebabkan pergeseran dalam neraca perdagangan dan munculnya aliansi ekonomi baru. Transformasi ini menantang hubungan perdagangan yang sudah mapan dan memerlukan penyesuaian dalam kebijakan perdagangan global.
Kedua negara memprioritaskan kemajuan teknologi sebagai landasan strategi pembangunan mereka. Dengan berinvestasi besar dalam penelitian dan pengembangan, mereka tak hanya meningkatkan industri dalam negeri tetapi juga berkontribusi pada inovasi teknologi global. Kemajuan ini mendorong persaingan dan kolaborasi di panggung internasional, yang memengaruhi standar dan praktik teknologi global.
Dampak lingkungan dari pesatnya industrialisasi di China dan India sangat besar. Meningkatnya aktivitas industri dan konsumsi energi telah meningkatkan tingkat polusi dan mengintensifkan penipisan sumber daya. Tantangan lingkungan ini punya konsekuensi yang luas, yang memengaruhi pola iklim global dan mendorong diskusi internasional tentang pembangunan berkelanjutan dan tanggungjawab lingkungan.
Meningkatnya pengaruh ekonomi dan politik China dan India berimplikasi bagi keamanan global. Meningkatnya kepentingan mereka mengharuskan adanya evaluasi ulang terhadap pengaturan keamanan regional dan internasional. Pergeseran ini dapat mengarah pada kerjasama dan persaingan, yang memengaruhi strategi dan aliansi geopolitik di seluruh dunia.
Dahlman menyoroti bahwa kebangkitan kedua negara ini memberikan tekanan yang cukup besar pada kerangka tatakelola global yang ada. Sistem internasional saat ini menghadapi tantangan dalam mengakomodasi kepentingan dan pengaruh kekuatan-kekuatan yang sedang berkembang, yang mengarah pada seruan reformasi di lembaga-lembaga seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, Organisasi Perdagangan Dunia, dan Dana Moneter Internasional agar lebih mencerminkan distribusi kekuatan global kontemporer.
Dahlman menggarisbawahi bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat di China dan India tengah membentuk kembali sistem global, yang menghadirkan peluang dan tantangan di berbagai sektor. Ia menganjurkan penyesuaian proaktif dalam kebijakan internasional dan struktur tatakelola agar mengelola perubahan ini secara efektif dan mendorong stabilitas dan keberlanjutan global.
Dalam dunia yang semakin condong ke arah militerisme, seperti yang telah kita bahas, masih diperlukankah pemimpin sipil, atau haruskah mereka digantikan oleh komandan militer?
Sementara para pemimpin militer membawa keahlian dalam strategi, disiplin, dan manajemen krisis, sistem demokrasi pada dasarnya bergantung pada kepemimpinan sipil guna memastikan akuntabilitas, inklusivitas, dan kepatuhan terhadap aturan hukum.
Pemimpin sipil sangat penting dalam menjaga kontrol demokratis atas militer. Seperti yang disorot dalam teori hubungan sipil-militer, supremasi sipil memastikan bahwa militer tetap menjadi abdi negara dan bukan kekuatan dominan yang mampu mengesampingkan lembaga-lembaga demokratis. Pemimpin sipil bertugas menyeimbangkan sarana militer dengan pertimbangan masyarakat yang lebih luas, termasuk kebijakan ekonomi, hak asasi manusia, dan upaya diplomatik. Peran mereka sangat penting dalam mencegah militerisasi pemerintahan, yang dapat menyebabkan otoritarianisme atau fokus yang sempit pada keamanan dengan mengorbankan prioritas lainnya.
Namun, seiring berkembangnya militerisme, para pemimpin sipil menghadapi tantangan dalam mempertahankan kontrol yang efektif. Berbagai studi menunjukkan bahwa para pemimpin sipil sering berjuang dengan kesenjangan keahlian dalam kebijakan keamanan nasional, yang menyebabkan ketergantungan yang besar pada elit militer. Ketergantungan ini berisiko melemahkan otoritas sipil dan memungkinkan perspektif militer mendominasi pengambilan keputusan strategis. Misalnya, teknologi modern semisal kecerdasan buatan dan senjata hipersonik mengaburkan batas antara pengawasan sipil dan operasi militer, yang membutuhkan kolaborasi erat tetapi juga mengungkap kerentanan dalam kerangka kerja kontrol sipil tradisional.
Mengganti pemimpin sipil dengan pemimpin militer dapat memperburuk masalah ini dengan memusatkan kekuasaan dalam satu lembaga. Kepemimpinan militer cenderung mengutamakan efisiensi dan ketertiban tetapi tak memiliki perspektif yang lebih luas yang dibutuhkan untuk pemerintahan yang demokratis. Contoh sejarah menunjukkan bahwa ketika pemimpin militer mengambilalih kendali politik, norma-norma demokrasi seringkali terkikis, seperti yang terlihat dalam rezim militer yang menekan perbedaan pendapat dan membatasi kebebasan politik. Meskipun pemimpin militer unggul dalam konteks operasional, mereka akan terkendala oleh kompleksitas dalam menyeimbangkan berbagai kebutuhan masyarakat.
Sementara militerisme menimbulkan tantangan berarti bagi pemerintahan yang demokratis, kepemimpinan sipil tetap diperlukan untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi dan memastikan pengambilan keputusan yang seimbang. Solusinya bukan dengan mengganti pemimpin sipil, tetapi dengan membina hubungan sipil-militer yang lebih kuat dimana kepercayaan, berbagi keahlian, dan saling menghormati memungkinkan pemerintahan yang efektif di dunia yang semakin termiliterisasi.