Bagong dan Gareng, dua warga desa, berada di sebuah hotel mewah, asyik berdiskusi tentang militer Indonesia. Mumpung gratisan, Gareng memanfaatkannya dengan memesan steak daging, sementara Bagong memilih steak lidah. Kemudian, Bagong berkata,"Tatkala sebuah negara dikendalikan oleh polisi dan militernya, negara tersebut menghadapi risiko signifikan yang dapat merusak demokrasi, hak asasi manusia, dan stabilitas masyarakat. Kontrol militer dan polisi selalu mengarah pada otoritarianisme, dimana lembaga-lembaga demokrasi dilemahkan atau dibubarkan. Para pemimpin dapat menggunakan kekerasan untuk menekan oposisi dan perbedaan pendapat politik, mengonsolidasikan kekuasaan dengan cara-cara yang tidak demokratis. Dalam sistem demokrasi, pengawasan sipil memastikan akuntabilitas. Ketika polisi dan militer mendominasi pemerintahan, kontrol sipil berkurang, mengikis pengawasan dan keseimbangan. Pasukan militer dan polisi dapat menggunakan kekerasan, penyiksaan, atau pembunuhan di luar hukum untuk mempertahankan kendali. Hal ini dapat mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia yang meluas. Kebebasan dasar seperti berbicara, berkumpul, dan pers selalu dibatasi di bawah rezim militer untuk membungkam para pengkritik dan mencegah perlawanan.
Personel polisi dan militer yang berkuasa dapat beroperasi tanpa akuntabilitas atas tindakan mereka. Korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan pelanggaran hak asasi selalu tak terkendali. Pemerintah yang dimiliterisasi rentan terhadap korupsi karena kekuasaan terkonsentrasi di antara beberapa individu atau kelompok. Taktik keras yang dilakukan oleh polisi dan militer dapat memicu keresahan publik, protes, dan pemberontakan. Hal ini selalu menyebabkan konfrontasi yang keras antara pemerintah dan warga negaranya. Militerisasi pemerintahan dapat memecah belah masyarakat menjadi mereka yang mendukung rezim dan mereka yang menentangnya, sehingga memperdalam keretakan sosial.
Pemerintah yang dipimpin militer lebih selalu memprioritaskan pengeluaran pertahanan daripada pembangunan sosial dan ekonomi, yang dapat merugikan ekonomi. Ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh pemerintahan yang dimiliterisasi menghambat investasi asing dan pertumbuhan ekonomi.
Organisasi masyarakat sipil yang mengadvokasi hak asasi manusia dan demokrasi selalu ditekan di bawah rezim yang dimiliterisasi. Warga negara mungkin enggan terlibat dalam pemerintahan karena takut akan pembalasan atau penindasan.
Setelah kudeta militer pada tahun 2021, Myanmar telah menghadapi pelanggaran hak asasi manusia yang parah, penindasan gerakan demokrasi, dan tindakan keras terhadap pengunjuk rasa. Dominasi militer telah menyebabkan ketidakstabilan yang meluas, kemerosotan ekonomi, dan kecaman internasional.
Usai militer mengambil alih kekuasaan pada tahun 2013, Mesir mengalami pembatasan kebebasan berekspresi, penangkapan massal aktivis, dan terkikisnya lembaga-lembaga demokrasi.
Di bawah pemerintahan Robert Mugabe dengan dukungan militer yang kuat, Zimbabwe menghadapi pelanggaran hak asasi manusia, salah urus ekonomi, dan penindasan suara oposisi.
Ketika polisi dan militer mendominasi pemerintahan sebuah negara, risikonya meliputi otoritarianisme, pelanggaran hak asasi manusia, kurangnya akuntabilitas, kerusuhan sipil, ketidakstabilan ekonomi, dan penindasan masyarakat sipil. Kontrol semacam itu merusak prinsip-prinsip demokrasi dan selalu menyebabkan ketidakstabilan jangka panjang baik di dalam negeri maupun internasional."
"Bagaimana kontrol negara oleh polisi dan militernya sendiri mempengaruhi warga negaranya?" Gareng kepo. Bagong menjawab, "Pengendalian negara oleh polisi dan militernya sendiri berdampak mendalam pada warga negaranya, yang berimpek pula pada berbagai aspek kehidupan mereka.
Warga negara selalu mengalami pembatasan hak-hak fundamental semisal kebebasan berbicara, berkumpul, dan pers. Perbedaan pendapat selalu ditanggapi dengan intimidasi atau kekerasan, yang menghambat ekspresi pendapat publik. Media dapat disensor atau dikendalikan oleh negara, yang membatasi akses terhadap informasi dan menghambat wacana publik.
Kehadiran pasukan militer dan polisi dapat membuat suasana ketakutan. Warga negara akan merasa tidak aman dalam mengekspresikan pandangan mereka atau berpartisipasi dalam protes karena ancaman penangkapan atau kekerasan. Laporan penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, dan penahanan sewenang-wenang menjadi lebih umum di lingkungan tempat militer dan polisi mendominasi pemerintahan, menyebabkan ketakutan yang meluas di antara penduduk.
Ketika personel polisi dan militer beroperasi tanpa pengawasan, warga negara dapat menderita pelanggaran tanpa adanya jalan keluar bagi keadilan. Kurangnya akuntabilitas ini dapat menyebabkan budaya korupsi dan pelanggaran hukum. Warga negara akan kehilangan kepercayaan terhadap lembaga pemerintah yang seharusnya melindungi hak dan kepentingan mereka, yang menyebabkan kekecewaan terhadap negara.
Kontrol militer kerap memprioritaskan pengeluaran pertahanan ketimbang program sosial, yang berdampak negatif pada pembangunan ekonomi. Warga negara mungkin menghadapi tingkat pengangguran yang lebih tinggi dan berkurangnya akses ke layanan penting. Ketidakstabilan politik dapat menghalangi investasi asing, yang menyebabkan kemerosotan ekonomi yang memengaruhi peluang kerja dan standar hidup warga negara.
Prospek kendali militer di sebuah negara dapat menimbulkan reaksi negatif di 'pasar' dan berdampak buruk pada perekonomian. Potensi kekuasaan militer menimbulkan ketidakpastian tentang lanskap politik. Investor biasanya lebih menyukai lingkungan yang stabil, dan ketakutan akan intervensi militer dapat menyebabkan pelarian modal dan berkurangnya investasi asing.
Kendali militer 'selalu' menandakan potensi ketidakstabilan, termasuk kerusuhan sipil, pelanggaran hak asasi manusia, dan kurangnya pemerintahan yang demokratis. Ketidakstabilan tersebut dapat menghalangi bisnis beroperasi atau berinvestasi di negara tersebut.
Dikala rezim militer dipandang otoriter atau represif, hal itu dapat mengikis kepercayaan investor. Perusahaan akan khawatir bahwa investasi mereka akan berisiko karena tindakan pemerintah yang sewenang-wenang atau perubahan kebijakan.
Rezim militer lebih memprioritaskan pengeluaran pertahanan daripada pembangunan sosial dan ekonomi, yang mengarah pada ekonomi yang tidak seimbang, tak cukup memenuhi kebutuhan publik. Hal ini dapat mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dan meningkatnya kemiskinan.
Negara-negara yang berada di bawah kekuasaan militer dapat menghadapi sanksi internasional atau pembatasan perdagangan, yang semakin mengisolasi mereka secara ekonomi dan berdampak negatif pada kinerja pasar.
Maka, prospek kendali militer dapat menyebabkan reaksi pasar yang 'negatif' karena meningkatnya ketidakpastian, ketidakstabilan yang dirasakan, hilangnya kepercayaan investor, kebijakan ekonomi yang tak seimbang, dan potensi sanksi internasional. Kita akan perbincangkan soal 'pasar' ini nanti, Insya Allah.
Militerisasi pemerintahan dapat memunculkan perpecahan dalam masyarakat, yang mengadu domba pendukung rezim dengan para pembangkang. Polarisasi ini dapat menyebabkan keresahan dan konflik sosial. Aktivis dan kelompok oposisi sering menjadi sasaran penindasan, yang menyebabkan kurangnya representasi bagi berbagai suara dalam masyarakat. Warga negara akan hidup di bawah pengawasan terus-menerus oleh polisi dan pasukan militer, yang memengaruhi rutinitas harian dan rasa privasi mereka. Kepolisian yang dimiliterisasi dapat mengganggu kohesi masyarakat karena kepercayaan terkikis antara warga negara dan lembaga penegak hukum yang seharusnya melindungi mereka.
Kontrol sebuah negara oleh polisi dan militer secara mendalam mempengaruhi warganya dengan merusak kebebasan sipil, meningkatkan ketakutan dan ketidakamanan, menjadikan kurangnya akuntabilitas, menyebabkan ketidakstabilan ekonomi, mempolarisasikan masyarakat, dan mengganggu kehidupan sehari-hari. Dampak-dampak ini berkontribusi pada lingkungan yang sulit bagi individu untuk menjalankan haknya dan berpartisipasi sepenuhnya dalam komunitas mereka.
Myanmar telah mengalami periode panjang pemerintahan militer sejak tahun 1962, ketika Jenderal Ne Win merebut kekuasaan melalui kudeta. Militer yang dikenal sebagai Tatmadaw telah mempertahankan kontrol signifikan atas pemerintah, yang menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia dan penindasan demokrasi. Kudeta terbaru terjadi pada Februari 2021, ketika militer menggulingkan pemerintahan yang terpilih secara demokratis.
Dari tahun 1976 hingga 1983, Argentina diperintah oleh junta militer selama apa yang dikenal sebagai 'Perang Kotor.' Pemerintah melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara luas, termasuk penghilangan paksa terhadap lawan politik yang dicurigai. Kekuasaan junta berakhir dengan kembalinya pemerintahan sipil setelah kalah dalam Perang Falkland.
Di Chili, Jenderal Augusto Pinochet memimpin kudeta militer pada tahun 1973 yang menggulingkan Presiden Salvador Allende. Rezim Pinochet ditandai oleh penindasan yang parah, pelanggaran hak asasi manusia, dan reformasi ekonomi yang mendukung kebijakan neoliberal. Militer berkuasa hingga tahun 1990 ketika Chili bertransisi kembali ke demokrasi.
Di Mesir, setelah penggulingan Presiden Hosni Mubarak pada tahun 2011 selama Arab Spring, Mesir diperintah secara singkat oleh militer. Pada tahun 2013, Jenderal Abdel Fattah el-Sisi memimpin kudeta melawan Presiden Mohamed Morsi dan menetapkan kontrol militer atas pemerintah, yang terus berlanjut hingga saat ini dengan penindasan signifikan terhadap perbedaan pendapat.
Yunani mengalami kediktatoran militer dari tahun 1967 hingga 1974 yang dikenal sebagai "Rezim Kolonel." Periode ini ditandai oleh sensor, penindasan politik, dan pelanggaran hak asasi manusia hingga berakhir dengan kembalinya pemerintahan demokratis setelah protes publik.
Pada Oktober 2021, militer Sudan yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan melakukan kudeta yang membubarkan pemerintahan transisi yang dibentuk setelah penggulingan penguasa lama Omar al-Bashir pada tahun 2019. Militer mengambil alih di tengah meningkatnya ketegangan antara pemimpin sipil dan militer.
Usai kudeta, terjadi protes besar-besaran menentang kekuasaan militer, dan pasukan keamanan merespons dengan kekerasan. Situasi tetap tidak stabil, dengan seruan berkelanjutan untuk kembali ke pemerintahan sipil.
Pada Januari 2022, militer Burkina Faso melakukan kudeta yang menggulingkan Presiden Roch Marc Christian Kaboré. Militer mengklaim bahwa tindakan tersebut disebabkan oleh kegagalan pemerintah dalam menangani meningkatnya kekerasan Islamis dan ketidakamanan di negara itu.
Setelah kudeta, Letnan Kolonel Paul-Henri Sandaogo Damiba diangkat sebagai pemimpin baru. Situasi di Burkina Faso tetap tegang karena warga menuntut perbaikan dalam keamanan dan pemerintahan.
Pada September 2021, militer Guinea merebut kekuasaan dalam kudeta yang menggulingkan Presiden Alpha Condé. Kudeta ini dipimpin oleh Kolonel Mamady Doumbouya, yang menuduh Condé bersikap otoriter dan mengelola negara dengan buruk.
Setelah kudeta, militer membentuk pemerintahan transisi dan berjanji untuk kembali ke pemerintahan sipil. Namun, ada kekhawatiran tentang berapa lama transisi ini akan berlangsung dan apakah itu akan dilakukan secara nyata.
Pada April 2021, setelah kematian Presiden Idriss Déby di medan perang, sebuah dewan militer transisi yang dipimpin oleh putranya Mahamat Idriss Déby mengambil alih kendali negara. Dewan tersebut mengumumkan bahwa mereka akan memerintah selama 18 bulan sambil mengorganisir pemilihan.
Pemerintahan dewan militer telah menghadapi kritik dari kelompok oposisi dan masyarakat sipil karena kurangnya legitimasi dan gagal melibatkan berbagai faksi politik.
Contoh-contoh terbaru ini menunjukkan bagaimana kontrol militer dapat muncul dalam berbagai konteks, sering kali dibenarkan dengan klaim untuk memulihkan ketertiban atau menangani krisis nasional. Namun, transisi semacam itu sering kali menyebabkan ketidakstabilan dan tantangan dalam kembali ke pemerintahan demokratis.
Beberapa pengamat di Indonesia berpendapat bahwa isu militer dan polisi yang menempati posisi sipil tak seburuk yang dikhawatirkan. Mereka berargumen bahwa pengalaman dan disiplin yang dimiliki oleh anggota militer dan polisi dapat membawa stabilitas dan keamanan dalam pemerintahan sipil. Namun, pandangan ini dapat disanggah dengan menyatakan bahwa pasar tak bisa berbohong.
Ketika ada isu tentang militer dan polisi yang mengambil alih posisi sipil, pasar cenderung bereaksi negatif karena ketidakpastian yang ditimbulkan. Investor selalu menghindari risiko, dan ketakutan akan otoritarianisme atau pelanggaran hak asasi manusia dapat menyebabkan penurunan kepercayaan di pasar.
Data ekonomi dan indikator pasar, semisal indeks saham, nilai tukar mata uang, dan arus investasi asing, sering mencerminkan persepsi masyarakat tentang stabilitas politik. Jika masyarakat merasa bahwa kontrol militer atau polisi akan mengganggu demokrasi atau kebebasan sipil, maka pasar akan merespons dengan penurunan nilai.
Meskipun mungkin ada argumen bahwa posisi militer dan polisi dalam pemerintahan sipil dapat memberikan stabilitas jangka pendek, dampak jangka panjangnya terhadap pertumbuhan ekonomi, hak asasi manusia, dan kepercayaan publik bisa sangat merugikan. Pasar cenderung memperhitungkan risiko jangka panjang ini dalam keputusan investasinya.
Kendati pandangan yang menafikan bahwa kekhawatiran tentang militer dan polisi di posisi sipil, realitas pasar menunjukkan bahwa investor sangat peka terhadap isu-isu ini. Ketidakpastian yang ditimbulkan oleh dominasi militer dan polisi dapat berdampak negatif pada perekonomian, membuktikan bahwa 'pasar gak bisa dikibulin.'
Dalam episode berikutnya, kita akan lanjut dengan pembahasan 'Market Behaviour.' Bi'idznillah."
Sebelum beranjak, Bagong melagukan kembali Paradise-nya Coldplay,
Life goes on, it gets so heavy
[Hidup terus berjalan, terasa begitu berat]
The wheel breaks the butterfly
[The Wheel (alat penyiksa semasa Renaisans) melumat sang kupu-kupu]
Every tear, a waterfall
[Setiap air mata, sebuah jeram]
In the night, the stormy night, she'd close her eyes
[Di malam yang penuh badai, doi pun menutup matanya]