Selasa, 11 Maret 2025

Kampus Baru yang Kosong

Cangik berkomentar, "Maka, kampus baru yang masih sepi itu fungsinya untuk apa? Oh iyaa, untuk pencitraan Fufufafa! Karena kan, lebih baik terlihat hebat daripada sebenarnya hebat!
Indonesia, tempat dimana matahari terbitnya di Konoha dan tempat matahari terbenamnya di Wakanda, utopia ironi bertenaga vibranium, pada Januari 2025 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melaporkan defisit Rp23,5 triliun atau setara dengan 0,10% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini menandai defisit pertama untuk Januari sejak 2021, sebagaimana terungkap dalam laporan yang dirilis Kementerian Keuangan pada 12 Maret 2025, setelah tertunda selama sebulan karena data yang tak stabil.
Total pendapatan negara pada Januari mencapai Rp157,3 triliun, turun signifikan 28,2% dibanding Januari 2024 yang mencapai Rp219,3 triliun. Sementara itu, belanja pemerintah mencapai Rp180,8 triliun, hanya sedikit lebih rendah dibanding belanja tahun sebelumnya yang mencapai Rp184,2 triliun. Neraca primer mencatat surplus Rp10,61 triliun, namun turun 83,7% dibanding tahun sebelumnya yang mencapai Rp65,25 triliun.
Hingga akhir Februari 2025, defisit kumulatif melebar menjadi Rp31,2 triliun atau 0,13% dari PDB, dengan total belanja mencapai Rp348,1 triliun—sekitar 9,6% dari pagu anggaran tahunan. Pemerintah mengaitkan defisit tersebut dengan belanja yang lebih tinggi pada awal 2025 dan penerimaan yang lebih rendah dari yang diharapkan, terutama dari penerimaan pajak.
Keterlambatan penerbitan data APBN menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengamat ekonomi mengenai transparansi dan kepercayaan investor terhadap pengelolaan keuangan Indonesia. Para ahli memperingatkan bahwa penundaan yang berkelanjutan dapat berdampak negatif pada pasar keuangan dan stabilitas ekonomi.

Total belanja pemerintah mencapai Rp180,8 triliun, yang melampaui pendapatan negara sebesar Rp157,3 triliun, sehingga terjadi defisit sebesar Rp23,5 triliun atau 0,10% dari PDB. Angka ini jauh bergeser dari surplus yang tercatat pada Januari 2024. Hal ini menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan defisit anggaran belanja negara (APBN) pada Januari 2025.
Faktor berikutnya ialah penurunan Penerimaan Pajak. Terjadi penurunan penerimaan pajak yang sangat drastis, dengan penurunan penerimaan pajak sekitar 41,9% dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan tajam ini berdampak signifikan terhadap penerimaan pajak secara keseluruhan, yang berkontribusi terhadap defisit yang semakin melebar.
Front-Loading Pengeluaran merupakan faktor berikutnya. Pemerintah melakukan pengeluaran awal tahun yang cukup besar, dengan total pengeluaran untuk bulan Januari dan Februari sebesar Rp. 348,1 triliun, yaitu sekitar 9,6% dari pagu anggaran tahunan. Front-loading ini menunjukkan keputusan strategis untuk mengalokasikan dana di awal tahun anggaran, tetapi juga berkontribusi terhadap defisit langsung.
Dan yang terakhir, Tekanan Ekonomi. Tantangan ekonomi yang sedang berlangsung, termasuk harga komoditas yang lebih rendah yang memengaruhi pendapatan dari ekspor, telah semakin membebani anggaran. Kebutuhan akan peningkatan program sosial dan pangan, juga membatasi kemampuan pemerintah memangkas pengeluaran.
Gabungan seluruh faktor-faktor ini memunculkan lingkungan fiskal yang menantang bagi anggaran Indonesia pada awal tahun 2025, yang menimbulkan kekhawatiran tentang keberlanjutan fiskal jangka panjang dan prospek pertumbuhan ekonomi.
Kendati Presiden Prabowo Subianto menerapkan pemotongan anggaran yang signifikan pada awal tahun 2025, belanja pemerintah tetap tinggi karena beberapa faktor. Sebagian besar anggaran dialokasikan untuk program unggulan Makanan Bergizi Gratis (MBG), yang biayanya telah membengkak dari perkiraan awal Rp 4 triliun menjadi Rp 10,4 triliun. Inisiatif ini bertujuan menyediakan makanan bagi anak-anak dan populasi rentan, yang memerlukan komitmen keuangan yang besar sehingga membebani anggaran keseluruhan.
Pemerintah juga telah memprioritaskan pendidikan, mengalokasikan sekitar Rp 724 triliun untuk sektor ini, menandai peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Pendanaan ini mendukung berbagai inisiatif, termasuk renovasi sekolah dan program beasiswa, yang berkontribusi pada pengeluaran keseluruhan yang lebih tinggi.
Anggaran kesehatan juga signifikan, dengan rencana sekitar Rp 197,8 triliun yang didedikasikan untuk meningkatkan layanan kesehatan, mengatasi masalah semisal stunting, dan menyediakan pemeriksaan kesehatan gratis. Pengeluaran terkait kesehatan ini penting untuk kesejahteraan publik tetapi menambah beban fiskal. Meskipun ada pemotongan belanja infrastruktur, proyek-proyek penting tertentu masih membutuhkan pendanaan. Kementerian Pekerjaan Umum menghadapi pengurangan anggaran bersejarah sebesar 80%, namun proyek-proyek penting harus tetap dipertahankan, yang mengarah pada tindakan penyeimbangan yang rumit antara pemotongan dan pengeluaran yang diperlukan
Pemotongan telah dilakukan di berbagai bidang administratif, termasuk perjalanan dinas dan perlengkapan kantor; namun, pengurangan ini tak sepenuhnya mengimbangi tuntutan keuangan dari program dan proyek yang sedang berlangsung. Hanya kategori tertentu yang dikecualikan dari pemotongan, yang berarti layanan penting masih memerlukan pendanaan yang memadai
Singkatnya, sementara pemerintahan Prabowo bertujuan melakukan penghematan melalui pemotongan anggaran, biaya tinggi yang terkait dengan program sosial, pendidikan, inisiatif kesehatan, dan proyek infrastruktur penting terus mendorong pengeluaran pemerintah yang signifikan.

Besarnya belanja pemerintah untuk gaji kabinet gemoy di bawah Presiden Prabowo Subianto, memang menjadi salah satu faktor 'ndasmu' yang menonjol dalam masalah anggaran Indonesia. Pemerintahan Presiden Prabowo telah menambah jumlah menteri dari 34 menjadi 53 dan menambah 56 wakil menteri, sehingga total personel di posisi kunci menjadi 109 orang. Perluasan ini menimbulkan kekhawatiran tentang implikasi keuangan, termasuk peningkatan pengeluaran gaji dan biaya terkait untuk staf pendukung dan kebutuhan operasional.
Anggaran belanja pegawai dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 dipatok sekitar Rp 513,2 triliun atau sekitar 19,1% dari total anggaran. Angka ini mencerminkan peningkatan belanja pegawai yang signifikan karena bertambahnya jumlah kementerian dan pejabat.
Kabinet yang lebih besar tak hanya meningkatkan biaya gaji, melainkan pula memerlukan biaya operasional tambahan, semisal pengadaan kendaraan dinas, fasilitas kantor, dan biaya administrasi lainnya. Analis memperkirakan bahwa kabinet yang dipergemuk dapat menambah sekitar $125 juta ke anggaran nasional selama lima tahun, yang memperburuk tekanan fiskal.
Gaji menteri dapat berkisar antara Rp 150 juta hingga Rp 200 juta per bulan, sementara wakil menteri memperoleh gaji antara Rp 80 juta hingga Rp 150 juta, tergantung pada tunjangan kinerja. Struktur ini selanjutnya meningkatkan keseluruhan anggaran yang dialokasikan untuk belanja pegawai.
Para kritikus berpendapat bahwa kabinet yang begitu besar dapat menyebabkan inefisiensi birokrasi dan meningkatnya birokrasi, yang berpotensi merusak tatakelola yang efektif dan menyebabkan pemborosan anggaran. Kompleksitas koordinasi program di berbagai kementerian dapat menghambat efisiensi operasional.

Singkatnya, walaupun Presiden Prabowo telah menetapkan pendekatan tatakelola yang lebih terfokus melalui perluasan kabinet, peningkatan belanja gaji yang diakibatkannya menimbulkan tantangan signifikan terhadap stabilitas fiskal Indonesia di tengah keterbatasan anggaran yang sedang berlangsung.
Tontonan menggemaskan datang dari Menteri Kehutanan yang mengangkat sesama anggota partai PSI ke posisi kunci dalam program Net Sink 2030 Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Lainnya (FOLU). Sebuah kelas master dalam tatakelola modern—atau bolehlah kita sebut, sebuah tragedi komedi klientelisme, patronase, dan favoritisme.
Dengan mengutamakan loyalitas partai ketimbang kompetensi, dana publik yang dialokasikan untuk program iklim berisiko dihambur-hamburkan. Alih-alih mengatasi deforestasi atau mencapai target penyerapan karbon Indonesia yang ambisius, dana ini mungkin diam-diam lenyap menjadi inefisiensi administratif atau lebih buruk lagi—penyalahgunaan. Hal ini akan berdampak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Norwegia dan Inggris dilaporkan mempertimbangkan kembali pendanaan iklim mereka karena tuduhan nepotisme. Jika para donor ini menarik diri, pemerintah perlu mengisi kesenjangan tersebut dengan dana negara, yang selanjutnya akan membebani APBN. Setiap rupiah yang diarahkan untuk mempertahankan jaringan sekutu politik ini merupakan satu rupiah yang tak dibelanjakan untuk reboisasi, konservasi keanekaragaman hayati, atau pembangunan masyarakat. APBN menjadi korban pemanfaatan politik.
Dari perspektif Dilema Etika, dengan menunjuk anggota PSI untuk jabatan strategis, sang menteri memastikan loyalitas dengan mengorbankan meritokrasi. Praktik ini menumbuhkan budaya dimana jabatan publik diperlakukan sebagai penghargaan atas kesetiaan politik, bukan sebagai platform bagi layanan publik.
Aksi menteri tersebut merupakan contoh politik patronase klasik—dimana sumber daya negara (dalam hal ini, pekerjaan dan pengaruh) didistribusikan untuk mengonsolidasikan kekuasaan. Hal ini merusak integritas kelembagaan dan memunculkan jaringan ketergantungan yang mengutamakan keuntungan pribadi di atas kepentingan nasional. Favoritisme yang mencolok dalam penunjukan ini mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah. Warga negara akan melihat kementerian bukan sebagai pilar pemerintahan, tetapi sebagai arena bermain bagi elit politik dan para kroninya.
Bila penunjukan didasarkan pada loyalitas dan bukan keahlian, mekanisme pengawasan akan melemah. Hal ini membuka pintu bagi korupsi dan inefisiensi. Praktik semacam itu memperdalam kekecewaan publik terhadap demokrasi, memperkuat keyakinan bahwa politik adalah permainan yang diatur untuk orang dalam. Indonesia berisiko dipandang sebagai negara yang pemerintahannya tunduk pada intrik politik, yang berpotensi menghalangi investasi dan kolaborasi asing.
Aksi Menteri Kehutanan memberikan pelajaran serius tentang bagaimana semestinya tak memerintah. Sementara para anggota PSI akan bersukacita dalam peran baru mereka, APBN mengerang di bawah beban inefisiensi, dan fondasi etika Indonesia retak di bawah tekanan favoritisme. Sebuah tragedi Shakespeare sejati—andai saja itu bukan kehidupan nyata!

Defisit anggaran di Indonesia berimplikasi yang signifikan terhadap utang nasional. Dengan proyeksi defisit anggaran yang ditetapkan sebesar Rp 616,2 triliun (sekitar 2,53% dari PDB) untuk tahun 2025, pemerintah perlu meningkatkan pinjaman untuk membiayai kekurangan ini. Hal ini diperkirakan akan menyebabkan peningkatan penerbitan obligasi pemerintah, yang diproyeksikan mencapai Rp 1.442,6 triliun, termasuk Rp 642,6 triliun untuk obligasi baru dan Rp 800 triliun untuk utang yang jatuh tempo.
Inisiatif pengeluaran pemerintahan Prabowo, semisal program makanan dan perumahan gratis, kemungkinan akan mempercepat akumulasi utang. Para ekonom memperkirakan bahwa jika program-program mahal ini terus berlanjut tanpa peningkatan pendapatan yang sesuai, defisit fiskal dapat melampaui batas yang ditetapkan sebesar 3% dari PDB yang ditetapkan pada tahun 2003. Hal ini dapat mengakibatkan rasio utang nasional terhadap PDB yang lebih tinggi, berpotensi mencapai 50%, seperti yang disarankan oleh Presiden.
Meningkatnya tingkat utang menimbulkan kekhawatiran tentang keberlanjutan fiskal. Jika pemerintah terus mempertahankan defisit yang tinggi sambil mengakumulasi utang, pemerintah akan menghadapi tantangan dalam membayar utang ini di masa mendatang. Meningkatnya ketergantungan pada obligasi dan pinjaman dapat menyebabkan pembayaran bunga yang lebih tinggi, yang selanjutnya membebani keuangan publik.
Defisit yang terus-menerus dan meningkatnya tingkat utang dapat berdampak negatif pada kepercayaan investor terhadap pengelolaan fiskal Indonesia. Kekhawatiran tentang kemampuan pemerintah dalam mengelola keuangannya dapat menyebabkan biaya pinjaman yang lebih tinggi dan volatilitas di pasar keuangan. Defisit anggaran terkait erat dengan peningkatan utang nasional, dengan implikasi yang signifikan terhadap kesehatan fiskal dan stabilitas ekonomi Indonesia. Defisit yang berkelanjutan tanpa menghasilkan pendapatan yang memadai dapat menyebabkan tingkat utang yang tak berkelanjutan dan potensi tantangan ekonomi di masa mendatang.

Utang nasional berimplikasi yang signifikan bagi kemerdekaan suatu negara, khususnya dalam konteks Indonesia. Tingkat utang nasional yang tinggi dapat mengurangi kemandirian ekonomi karena pemerintah menjadi bergantung pada pemberi pinjaman asing atau lembaga keuangan internasional. Ketergantungan ini dapat menyebabkan pengaruh eksternal terhadap keputusan kebijakan dalam negeri, termasuk kebijakan fiskal dan moneter, karena kreditor sering mengenakan persyaratan pada pinjaman.
Sebagian besar anggaran Indonesia dialokasikan untuk membayar utang (membayar bunga dan pokok), yang membatasi sumber daya yang tersedia bagi proyek pembangunan, program sosial, dan infrastruktur. Hal ini mengurangi kemampuan pemerintah agar secara independen menangani prioritas nasional dan mencapai tujuan ekonomi jangka panjang.
Ketergantungan pada utang berdenominasi asing membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi mata uang dan perubahan ekonomi global. Misalnya, depresiasi rupiah meningkatkan biaya pembayaran utang luar negeri, yang berpotensi menyebabkan ketidakstabilan keuangan dan mengurangi ketahanan ekonomi negara. Tingkat utang yang tinggi dapat membatasi kemampuan pemerintah menerapkan kebijakan independen. Misalnya, selama periode tekanan fiskal, pemerintah mungkin perlu memprioritaskan langkah-langkah penghematan atau kenaikan pajak alih-alih mengejar strategi yang berorientasi pada pertumbuhan. Meningkatnya utang juga dapat memengaruhi kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah mengelola keuangan secara efektif. Hal ini dapat menyebabkan tekanan politik dan tantangan dalam menjaga persatuan nasional dan kepercayaan pada kepemimpinan. Meskipun utang nasional dapat menjadi alat yang berguna membiayai pembangunan, pinjaman yang berlebihan berisiko merusak kedaulatan ekonomi negara, membatasi kemampuannya bertindak secara independen di arena domestik dan internasional. Pengelolaan utang yang cermat sangat penting dalam menjaga kemandirian dan stabilitas jangka panjang Indonesia.

Rasio utang terhadap PDB yang ideal bervariasi di antara berbagai penelitian dan konteks, tetapi beberapa temuan utama muncul dari beberapa literatur. Penelitian menunjukkan bahwa tingkat utang publik yang moderat dapat merangsang pertumbuhan ekonomi. Misalnya, penelitian menunjukkan bahwa rasio utang terhadap PDB sekitar 60% hingga 90% umumnya dianggap berkelanjutan dan tak berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi. Secara khusus, rasio di atas 90% dikaitkan dengan tingkat pertumbuhan yang lebih rendah, seperti yang disorot oleh temuan Reinhart dan Rogoff. Beberapa penelitian mengusulkan ambang batas utang optimal yang lebih tinggi. Misalnya, satu penelitian menunjukkan rasio utang terhadap PDB yang optimal sekitar 129,55%, sementara yang lain menunjukkan bahwa rasio antara 85% dan 100% lebih baik dalam menjaga stabilitas ekonomi tanpa menghambat pertumbuhan.
Rasio yang melebihi 77% sering dipandang berisiko, berpotensi menyebabkan stagnasi ekonomi atau peningkatan kerentanan terhadap krisis keuangan. Negara-negara dengan tingkat utang di atas ambang batas ini mungkin menghadapi tantangan dalam membayar utang dan menjaga kesehatan fiskal. Keberlanjutan utang nasional juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, suku bunga, dan kebijakan fiskal. Selisih pertumbuhan bunga jangka panjang yang positif dapat membantu mengelola tingkat utang yang lebih tinggi, sementara selisih negatif dapat memperburuk risiko yang terkait dengan utang yang tinggi.
Jadi, meskipun batas hukum yang ditetapkan oleh Indonesia adalah 60%, kerangka teoritis menunjukkan bahwa rasio utang terhadap PDB yang optimal dapat berkisar antara 60% hingga lebih dari 100%, tergantung pada berbagai kondisi ekonomi dan dinamika pertumbuhan. Kuncinya adalah menyeimbangkan pinjaman dengan pertumbuhan yang berkelanjutan guna memastikan kesehatan fiskal jangka panjang.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga 28 Februari 2025 mencatat defisit sebesar Rp 31,2 triliun atau setara dengan 0,13% Produk Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam jumpa pers pada 13 Maret 2025.
Total pendapatan negara mencapai Rp 316,9 triliun atau 10,5% dari target tahunan. Pendapatan ini terdiri dari penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak. Total belanja pemerintah tercatat sebesar Rp 348,1 triliun atau 9,6% dari total alokasi anggaran tahun ini. Belanja tersebut mencakup belanja dari kementerian pusat dan transfer ke daerah. Meskipun secara keseluruhan defisit, namun keseimbangan primer menunjukkan surplus sebesar Rp 48,1 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa ketika pembayaran bunga utang, penerimaan melebihi pengeluaran. Defisit yang dilaporkan masih dalam target yang ditetapkan dalam rancangan anggaran 2025, yang mengantisipasi total defisit sebesar Rp 616,2 triliun atau 2,53% dari PDB untuk tahun ini.
Pada tanggal yang ditentukan, angka utang nasional Indonesia adalah sebagai berikut:
Per 31 Desember 2024, total utang pemerintah dilaporkan sekitar Rp8.444,87 triliun. Angka ini menunjukkan peningkatan dari bulan-bulan sebelumnya dan mencerminkan kebijakan fiskal yang sedang berlangsung.
31 Januari 2025: Angka utang nasional yang tepat untuk tanggal ini tak disebutkan secara eksplisit dalam hasil pencarian. Namun, dapat disimpulkan bahwa utang tersebut kemungkinan terus meningkat karena pengeluaran yang sedang berlangsung dan kebutuhan pembiayaan yang terkait dengan defisit anggaran.
28 Februari 2025: Posisi utang nasional masih belum disebutkan dalam data yang tersedia untuk tanggal ini. Namun, penting dicatat bahwa saat ini, anggaran negara (APBN) mencatat defisit sebesar Rp31,2 triliun, yang menunjukkan ketergantungan yang berkelanjutan pada pinjaman untuk membiayai operasi pemerintah.
Secara keseluruhan, meskipun angka utang spesifik untuk Januari dan Februari tak dirinci dalam hasil, tren tersebut menunjukkan peningkatan yang konsisten dalam utang nasional yang sejalan dengan strategi fiskal dan tantangan anggaran pemerintah.

Per 31 Desember 2024, utang nasional Indonesia mencapai Rp8.444,87 triliun yang berimplikasi signifikan terhadap stabilitas ekonomi dan kesehatan fiskal negara. Apa implikasi dari Utang Rp8.444,87 Triliun?
Tingkat utang tersebut setara dengan sekitar 39,13% dari PDB Indonesia per pertengahan 2024, yang masih di bawah batas legal 60% yang ditetapkan oleh hukum Indonesia. Namun, hal ini menunjukkan tren peningkatan pinjaman yang dapat memengaruhi keberlanjutan fiskal jika tak dikelola dengan hati-hati.
Tingkat utang yang tinggi memerlukan alokasi anggaran yang besar untuk pembayaran bunga dan pembayaran utang, yang dapat membatasi dana yang tersedia bagi layanan publik yang penting dan proyek pembangunan. Hal ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur.
Dengan sebagian besar anggaran terikat pada pembayaran utang, Indonesia mungkin menghadapi tantangan selama penurunan ekonomi atau krisis keuangan global. Tingkat utang yang tinggi dapat meningkatkan kerentanan terhadap guncangan eksternal, yang berpotensi menyebabkan biaya pinjaman yang lebih tinggi dan mengurangi kepercayaan investor. Pada bulan Juni 2024, utang nasional dilaporkan sebesar Rp8.353,02 triliun, menunjukkan peningkatan sekitar Rp91,85 triliun selama sebulan. Lintasan peningkatan ini mencerminkan pinjaman pemerintah yang sedang berlangsung untuk membiayai defisit anggaran dan inisiatif ekonomi. Utang nasional telah mengalami peningkatan yang konsisten dari tingkat yang lebih rendah pada tahun-tahun sebelumnya. Misalnya, pada bulan Juni 2023, utang tersebut secara signifikan lebih rendah yaitu sekitar Rp7.779 triliun. Ini menunjukkan peningkatan lebih dari Rp665 triliun dalam setahun. Rasio utang terhadap PDB telah berfluktuasi selama bertahun-tahun tetapi secara umum cenderung meningkat sejak mencapai titik terendah sekitar 25,9% pada bulan Juni 2015. Rasio terkini menunjukkan peningkatan bertahap dari sekitar 38,71% pada pertengahan tahun 2024 ke level saat ini sekitar 39,13%. Tingkat utang nasional saat ini sebesar Rp8.444,87 triliun menimbulkan tantangan sekaligus peluang bagi pengelolaan ekonomi Indonesia. Meskipun masih dalam batas hukum, peningkatan utang yang berkelanjutan dapat menyebabkan kendala dan kerentanan fiskal jika tak ditangani melalui strategi pengelolaan pendapatan dan pengeluaran yang efektif. Pemerintah perlu menyeimbangkan pinjamannya dengan inisiatif pertumbuhan berkelanjutan agar stabilitas dan kemandirian ekonomi tetap terjaga.

Indonesia—negeri dengan keanekaragaman yang menakjubkan, hamparan sawah yang tak berujung, dan ironisnya, jutaan orang kelaparan di negara yang bangga menjadi produsen pertanian terkemuka. Lebih dari 23 juta orang Indonesia tak dapat memenuhi kebutuhan makanan mereka, sementara 20% anak di bawah lima tahun mengalami pertumbuhan terhambat, cara yang sopan untuk mengatakan bahwa usia mereka terlalu pendek lantaran kekurangan gizi. Namun jangan khawatir, pemerintah punya rencana: lebih banyak pertemuan dan bagan berwarna-warni dalam Peta Keamanan dan Kerentanan Pangan mereka
Tingkat pengangguran sebesar 5,6%, yang kedengarannya lumayan sampai engkau menyadari bahwa banyak yang setengah menganggur, penghasilannya hampir tak cukup untuk membeli mi instan. Sementara itu, 9,5% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, yang didefinisikan sebagai penghasilan kurang dari $1,90 per hari. Apakah ini ekstrem? Okelah, katakan saja itu tak sampai 'sedang' disaat hampir 40% anak di Nusa Tenggara Timur mengalami pertumbuhan lambat.

Mau ngebandingin dengan Amrik? Ya, kelaparan merupakan masalah yang signifikan di Amerika Serikat. Sekitar 13,5% rumah tangga (1 dari 7) mengalami kerawanan pangan pada tahun 2023, yang berdampak pada 47,4 juta orang Amerika, termasuk 13,8 juta anak-anak. Kerawanan pangan yang parah, dimana makanan tak tersedia karena kurangnya keterjangkauan, memengaruhi 5,1% rumah tangga.
Tingkat pengangguran di AS sekitar 3,9% pada akhir tahun 2024, yang dianggap rendah. Tingkat kemiskinan mencapai 12,9%, yang memengaruhi 43 juta orang, termasuk 10 juta anak-anak. Meskipun tingkat pengangguran relatif rendah, tingkat kemiskinan dan kerawanan pangan menunjukkan tantangan sosial ekonomi yang moderat, terutama bagi kelompok rentan.
Nah, balik ke Indonesia. Kerawanan pangan Indonesia bagaikan komedi tragis dimana petani menanam padi tetapi tak mampu memakannya. Perubahan iklim dan inflasi berperan sebagai penjahat, sementara para pembuat kebijakan bertindak sebagai pahlawan letoi dipersenjatai dengan dekrit yang tampak bagus di atas kertas, namun tak banyak membuahkan hasil di lapangan.

Dalam buku teksnya yang berpengaruh Economics (yang ditulis bersama William Nordhaus dalam edisi-edisi berikutnya), Paul Samuelson membahas ketenagakerjaan, pertumbuhan ekonomi, dan distribusi pendapatan sebagai aspek-aspek fundamental ekonomi makro. Mari kita analisis lanskap ekonomi makro Indonesia, sebagaimana dianalisis melalui lensa pilar-pilar ekonomi fundamental Paul Samuelson.
Pasar tenaga kerja Indonesia tengah mengalami pergeseran besar ke arah keterampilan digital. Sektor teknologi (e-commerce, fintech, dan IT) diproyeksikan akan mendorong ekonomi digital senilai $109 miliar pada tahun 2025, yang menciptakan permintaan untuk peran seperti pengembang perangkat lunak, pakar keamanan siber, dan analis data. Platform utama seperti Tokopedia dan Shopee tengah memperluas tim logistik dan pemasaran digital, yang mencerminkan potensi penciptaan lapangan kerja di sektor ini.
Meskipun jumlah tenaga kerja mencapai 141,3 juta (2023), masalah struktural masih ada. Mobilitas geografis yang terbatas dan kesenjangan keterampilan menghambat keselarasan tenaga kerja dengan peluang kerja, terutama di sektor-sektor dengan pertumbuhan tinggi. Bank Dunia menyoroti pertumbuhan upah yang lemah dan kesenjangan regional, dengan wilayah perkotaan yang diuntungkan secara tak proporsional dari pekerjaan yang digerakkan oleh teknologi.
Sementara permintaan untuk keterampilan digital melonjak, program pelatihan masih tertinggal. Misalnya, Indonesia menghadapi proyeksi kekurangan 100.000 pakar keamanan siber pada tahun 2025, yang menggarisbawahi urgensi dalam inisiatif peningkatan keterampilan.
PDB Indonesia diperkirakan tumbuh sebesar 5,1% per tahun (2024–2026), didukung oleh investasi publik, permintaan konsumen, dan pemulihan aktivitas bisnis. IMF menggaungkan optimisme ini, dengan memproyeksikan pertumbuhan sebesar 5,0% pada tahun 2024 dan 5,1% pada tahun 2025. Ekonomi digital, yang bernilai $32 miliar pada tahun 2023, diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat menjadi $83 miliar pada tahun 2025, didorong oleh fintech dan pinjaman peer-to-peer. Pertumbuhan tetap rentan terhadap harga komoditas yang tak stabil (misalnya, minyak sawit, batu bara), yang dapat melemahkan pendapatan ekspor dan stabilitas fiskal.
Bank Dunia menekankan perlunya reformasi regulasi untuk meningkatkan investasi dan produktivitas swasta, khususnya di bidang manufaktur dan jasa. Tanpa mengatasi inefisiensi birokrasi, target pertumbuhan jangka panjang (misalnya, status negara berpendapatan tinggi pada tahun 2045) dapat terhenti.

Meski terjadi kenaikan pendapatan per kapita yang dapat dibelanjakan sebesar 4,7% (2023), ketimpangan tetap mencolok: 10% rumah tangga teratas menguasai 30% dari total pendapatan. Pemulihan pascapandemi telah memperburuk kesenjangan, dengan pertumbuhan upah yang tertinggal dari peningkatan produktivitas.
Kegiatan ekonomi terpusat di Jawa dan Sumatera, sehingga Indonesia Timur menjadi terbelakang. Bank Dunia mencatat adanya perlambatan dalam mengurangi kesenjangan pendapatan regional, yang melanggengkan ketimpangan spasial
Meskipun program sosial (misalnya, belanja pendidikan dan infrastruktur) bertujuan menjembatani kesenjangan, akses terbatas ke pembiayaan formal untuk 63 juta UMKM (kebanyakan informal) menghambat pertumbuhan yang inklusif.

Ledakan digital berisiko memperlebar ketimpangan jika penduduk pedesaan dan pekerja informal tak memiliki akses ke pelatihan dan pembiayaan. Belanja publik yang tinggi (misalnya, program sosial Presiden Prabowo) berisiko terhadap keberlanjutan fiskal, yang berpotensi mengalihkan sumber daya dari investasi modal manusia yang penting bagi pertumbuhan yang adil.
Ketegangan geopolitik dan volatilitas komoditas mengancam melemahkan pertumbuhan sekaligus memperburuk biaya hidup bagi rumah tangga berpenghasilan rendah.
Agar menyelaraskan dengan penekanan Samuelson pada pertumbuhan yang seimbang, Indonesia hendaknya berinvestasi dalam Modal Manusia. Meningkatkan pelatihan digital dan program kejuruan guna memenuhi permintaan sektoral. Berikutnya adalah memperkuat Jaring Pengaman Sosial. Menargetkan subsidi dan memperluas inklusi keuangan bagi UMKM untuk mengurangi ketimpangan Juga dengan meningkatkan kerangka regulasi untuk menyederhanakan perizinan bisnis dan menarik FDI untuk melakukan diversifikasi di luar komoditas.
Meskipun fundamental ekonomi makro Indonesia tetap kuat, mengatasi ketidakadilan struktural dan mendorong pertumbuhan inklusif akan menentukan keberhasilannya dalam bertransisi dari ekonomi berpenghasilan menengah ke ekonomi berpenghasilan tinggi.
Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam mengatasi kesenjangan pendapatan. Rumah tangga pedesaan dan berpendapatan rendah berjuang mengakses pendidikan bermutu, yang melanggengkan kemiskinan antargenerasi. Misalnya, seorang pekerja rumah tangga terpaksa putus sekolah pada usia 15 tahun karena kendala keuangan, yang membatasi prospek pekerjaannya di sektor informal. Kendati permintaan keterampilan digital tinggi, program pelatihan tertinggal, yang menyebabkan 63 juta UMKM (kebanyakan informal) tak memiliki jalur menuju pekerjaan formal. Ketimpangan pendidikan berdampak tertinggi pada ketimpangan secara keseluruhan, namun program-program yang ditargetkan (misalnya, beasiswa bagi orang miskin) memerlukan perluasan dan implementasi yang lebih baik. Program-program seperti Raskin (subsidi beras) menunjukkan dampak minimal pada ketimpangan, sementara transfer tunai (BLSM) memerlukan peningkatan anggaran 15 kali lipat untuk mengurangi indeks Gini secara signifikan. Bantuan sosial seringkali tak berhasil menjangkau kelompok yang paling rentan, semisal pekerja informal dan penduduk pedesaan. Contohnya, seorang penjual tahu, berpenghasilan kurang dari $4 setiap hari meskipun telah bekerja selama puluhan tahun, tanpa akses ke jaring pengaman. Kemiskinan masih terkonsentrasi di Indonesia Timur, dimana infrastruktur dan aksesibilitas program tertinggal dari Jawa dan Sumatera.

1% orang terkaya menguasai 46% kekayaan nasional, sementara empat orang terkaya Indonesia memiliki aset lebih banyak daripada 100 juta orang termiskin. Monopoli korporasi dan elit atas tanah membatasi peluang ekonomi bagi petani kecil dan masyarakat pedesaan, memperburuk ketimpangan spasial. Lebih dari 70% pekerja bekerja di pekerjaan informal dengan upah rendah dan tiada jaminan sosial. Kaum perempuan menghadapi hambatan sistemik, berpenghasilan 30% lebih rendah daripada laki-laki dalam peran yang sama. Migrasi dari desa ke kota membebani pasar kerja, dengan terbatasnya peluang keterampilan tinggi bagi para migran yang kurang berpendidikan.
Pemerintah daerah kurang jelas tentang metrik ketimpangan, yang mengarah pada program 'pro-kesetaraan' yang dirancang dengan buruk. Subsidi bahan bakar dan energi secara tidak proporsional menguntungkan orang kaya, mengalihkan dana dari investasi pro-masyarakat miskin. Kebijakan anti-kemiskinan membutuhkan kolaborasi multisektoral tetapi sering kali beroperasi secara terpisah
Harga ekspor yang tak stabil seperti minyak sawit dan batu bara mengancam stabilitas fiskal, secara tidak proporsional memengaruhi rumah tangga berpenghasilan rendah. Sekalipun dapat meningkatkan PDB, globalisasi berisiko memperlebar kesenjangan jika tak diimbangi dengan pengembangan tenaga kerja yang merata.
Kemajuan Indonesia dalam mengurangi kemiskinan menunjukkan harapan, tetapi reformasi sistemik sangat penting untuk menghilangkan kesenjangan yang mengakar. Tanpa mengatasi hambatan struktural ini, rasio Gini—yang stagnan di angka 0,38—akan tetap menjadi hambatan yang terus-menerus terhadap pertumbuhan yang inklusif," pungkas Cangik.

[English]