Kisahnya begini, ada kejadian aneh. Baru-baru ini, sebuah majalah ternama di Indonesia dapet paket yang super gak biasa: kepala babi! Iya, beneran, kepala babi! Kayaknya ada orang-orang yang pengen "ngasih pesan" dengan cara yang aneh banget yaq. Mereka milih layanan pengiriman yang khusus buat hadiah-hadiah yang... yah, bisa dibilang nyeleneh. Nah, sebagai tanggapan atas tindakan intimidasi yang aneh ini, seorang pejabat tinggi di Kantor Komunikasi Presiden malah bikin heboh dengan saran yang "kreatif" banget. Alih-alih marah-marah atau kasih dukungan ke jurnalis, doi bilang begini, "Ya udah, masak aja tuh kepala babi!" Haha! Gak ada yang lebih menunjukkan "kami dukung kebebasan pers" kayak gitu, kan?
Di media sosial juga rame banget perdebatan. Ada yang bilang ini adalah seni pertunjukan yang inovatif. Para kritikus bilang ini komentar keren tentang keadaan kebebasan pers di Indonesia, sementara yang lain cuma pengen tahu dimana bisa beli kebab kepala babi.
Jadi, saat Indonesia lagi berjuang dengan isu serius tentang kebebasan pers, ada aja orang-orang yang lebih milih intimidasi dengan cara kek gini. Sementara jurnalis terus berjuang dan melaporkan berita penting, satu hal pasti: mereka gak akan pernah lihat kepala babi—atau tikus—dengan cara yang sama lagi.
Mudah-mudahan lain kali, pas terima paket, isinya lebih ramah—semisal pizza atau mungkin bunga! Soalnya, siapa sih yang gak suka sepotong kue perdamaian yang enak?
Lanjut,
Secara global, terdapat kemunduran dalam kualitas demokrasi. Laporan dari Varieties of Democracy Institute menunjukkan bahwa untuk pertama kalinya dalam dua dekade, lebih banyak negara mengalami otokrasi tertutup ketimbang demokrasi liberal. Proses otokratisasi banyak terjadi di negara-negara yang sebelumnya demokratis, semisal India, Hongaria, dan Turki. Pemimpin-pemimpin ini menggunakan retorika populis untuk mengikis nilai-nilai demokrasi dan memperkuat kontrol mereka atas institusi. Banyak pemimpin otoriter memanfaatkan ketidakpuasan masyarakat terhadap elit politik guna melegitimasi tindakan mereka, yang kerap melibatkan represi terhadap oposisi dan kontrol informasi.
Kecenderungan global terhadap "militerisasi" dan "otokrasi" telah menjadi semakin jelas dalam beberapa tahun terakhir, yang berdampak signifikan pada tatanan internasional. Terjadi peningkatan ketegangan yang nyata di antara negara-negara besar semisal Amerika Serikat, Rusia, dan China. Konflik di Eropa dan Timur Tengah menyoroti keterlibatan langsung AS dan Rusia, di samping potensi konflik terbuka di kawasan Asia-Pasifik, khususnya terkait Taiwan dan Laut Cina Selatan. Sebagai respons terhadap pengaruh China yang semakin besar, AS telah membentuk aliansi strategis semisal Quad dan Aukus, yang menunjukkan bahwa negara-negara sedang bersiap menghadapi ancaman militer yang meningkat. Perkembangan teknologi canggih dapat memperburuk keadaan, dengan kelompok teroris juga memanfaatkan kemajuan ini untuk memperkuat posisi mereka.
Kedua kecenderungan ini—militerisasi dan otokratisasi—menunjukkan bahwa dunia saat ini berada dalam fase transisi yang penuh ketidakpastian. Dengan meningkatnya rivalitas antara kekuatan besar dan kemunduran nilai-nilai demokratis di banyak negara, tantangan bagi stabilitas global semakin kompleks. Penyesuaian kebijakan luar negeri dan strategi pertahanan menjadi sangat penting dalam mengatasi dinamika ini.
Tren global saat ini lebih condong ke arah militerisasi daripada demokratisasi, meskipun situasinya bervariasi menurut kawasan. Banyak negara meningkatkan pengeluaran militer mereka karena ketegangan geopolitik, semisal perang Rusia-Ukraina, ketegangan di Laut Cina Selatan, dan masalah keamanan di Timur Tengah. Negara-negara besar semisal AS, China, Rusia, dan India berinvestasi besar dalam teknologi militer canggih, termasuk senjata hipersonik, kecerdasan buatan dalam peperangan, dan sistem pertahanan rudal. Perang di Ukraina dan Gaza, bersama dengan ketegangan Cina-Taiwan, menunjukkan meningkatnya ketergantungan pada kekuatan militer dalam diplomasi global.
Beberapa negara mengalami kemunduran demokrasi, dengan meningkatnya kontrol pemerintah atas media, penindasan terhadap oposisi politik, dan erosi kebebasan sipil. Bahkan di negara-negara demokrasi, tantangan seperti populisme, polarisasi politik, dan ketidakpercayaan terhadap lembaga semakin meningkat. Kudeta dan pengambilalihan militer tetap menjadi tantangan di tempat-tempat semisal Myanmar dan beberapa negara Afrika (misalnya, Nigeria, Burkina Faso, Mali).
Di Asia, pengeluaran militer dan ketegangan geopolitik meningkat, dengan otoritarianisme meningkat di beberapa negara. Di China, meningkatnya otoritarianisme di bawah Xi Jinping dan ekspansi militer besar-besaran, khususnya di Laut Cina Selatan dan Selat Taiwan. Di India dan Pakistan, modernisasi militer terus berlanjut, dengan ketegangan perbatasan yang tetap tinggi. Rusia, kekuatan militer global utama, secara aktif terlibat di Ukraina seiring dengan meningkatnya kekuasaan otoriter di bawah Putin. Di Asia Tenggara, tren beragam—Myanmar berada di bawah kekuasaan militer, tetapi Indonesia, Malaysia, dan Filipina mempertahankan demokrasi meskipun menghadapi banyak tantangan. Di Jepang dan Korea Selatan, penguatan militer karena ancaman Korea Utara dan kebangkitan China, tetapi demokrasi masih kuat.
Kendati menghadapi berbagai tantangan, gerakan akar rumput di negara-negara semisal Iran, Hong Kong, dan Belarus terus mendorong reformasi demokrasi. Organisasi global semisal PBB dan kelompok hak asasi manusia mengadvokasi transparansi dan tatakelola demokrasi. Beberapa negara masih menyelenggarakan pemilu, bahkan dalam situasi sulit, semisal Turki, Pakistan, dan Brasil.
Di Afrika, banyak negara yang bergerak menuju pemerintahan militer atau konflik, tetapi perlawanan demokratis tetap ada. Negara-negara semisal Nigeria, Mali, dan Burkina Faso telah mengalami pengambilalihan kekuasaan oleh militer, yang membalikkan kemajuan demokrasi. Beberapa pemimpin tetap berkuasa selama beberapa dekade, seperti di Uganda, Kamerun, dan Guinea Ekuatorial. Perang yang sedang berlangsung di Sudan, Ethiopia, dan wilayah Sahel mendorong militerisasi. Ghana, Afrika Selatan, dan Kenya tetap menjadi negara demokrasi yang relatif stabil.
Di Amerika Utara, demokrasi tetap dominan, tetapi militerisasi meningkat dalam kebijakan terkait keamanan. Di Amerika Serikat, demokrasi tetap kuat, tetapi polarisasi politik dan pengeluaran militer meningkat (terbesar di dunia). Di Kanada, demokrasi kuat tanpa perluasan militer besar-besaran. Meksiko berjuang dengan keterlibatan militer dalam perang narkoba dan keamanan dalam negeri.
Di Amerika Selatan, demokrasi masih dipegang, tetapi ada kecenderungan otoriter dan konflik militer. Di Brasil, Argentina, dan Chili, demokrasi tetap stabil, meskipun ada ketidakstabilan politik. Venezuela dan Nikaragua menjadi lebih otoriter, dengan pemerintahan yang didukung militer. Kolombia dan Peru terus-menerus terlibat konflik bersenjata dengan kelompok gerilya dan kartel narkoba yang membuat militer tetap aktif.
Di Eropa, militerisasi yang lebih besar disebabkan oleh ketegangan geopolitik. Meskipun demokrasi kuat, pembangunan militer meningkat karena masalah keamanan. Negara-negara NATO meningkatkan pengeluaran militer dan mengirim senjata karena Perang Rusia-Ukraina. UE dan NATO memperkuat aliansi militer untuk melawan potensi agresi Rusia. Hongaria dan Polandia menunjukkan kemunduran demokrasi dimana terjadi pergeseran otoriter, tetapi sebagian besar Eropa Barat tetap demokratis. Satu-satunya zona demiliterisasi (netral) adalah Antartika. Diatur oleh Perjanjian Antartika, yang melarang aktivitas militer dan mempromosikan kerja sama ilmiah. Di benua ini, tiada populasi manusia yang permanen, maka tak ada demokrasi atau perebutan kekuasaan militer.
Australia memiliki demokrasi yang kuat, namun sedang memperkuat militernya. Bermitra dengan AS dan Inggris dalam aliansi militer AUKUS, Australia meningkatkan anggaran pertahanan karena pengaruh China di Indo-Pasifik.
Kalau begitu, haruskah kita mempersiapkan negara kita menjadi negara militer?
Dunia saat ini tak sedang bergerak menuju era yang didominasi oleh kekuasaan militer murni, tetapi sebaliknya, dunia terlibat dalam unjuk kekuatan yang diperhitungkan dengan cermat. Negara-negara tak lagi berusaha memperluas perbatasan mereka melalui penaklukan tradisional, mereka juga tak bertujuan mendirikan rezim militer semata-mata demi kendali. Sebaliknya, kekuatan militer telah menjadi sarana—pengungkit yang digunakan untuk mengamankan keuntungan ekonomi, memproyeksikan pengaruh, dan menjaga ketertiban internal di dunia yang semakin tidak stabil.
Sementara itu, ada beberapa pemerintahan yang tak mengandalkan kontrol militer atas warga negaranya sendiri, tapi malah menggunakan tentara mereka sebagai tameng untuk keamanan ekonomi. Peningkatan kekuatan militer China di Laut Cina Selatan bukanlah upaya memulai perang—itu merupakan strategi ekonomi, yang memastikan bahwa jalur pelayaran penting, cadangan minyak, dan rute perdagangan tetap berada di bawah pengaruhnya. Inilah wajah baru kekuatan: negara-negara memamerkan kekuatan militernya bukan untuk menaklukkan, melainkan untuk melindungi bagian mereka dari harta-kekayaan global.
Bahkan di tempat-tempat yang pemerintahannya dikuasai militer, pembenarannya selalu bersifat ekonomi. Di Myanmar, militer tak merebut kekuasaan semata untuk mendominasi, tapi untuk melindungi kepentingan kaum elit, memastikan bahwa ketidakstabilan politik tak mengancam harta-kekayaan dan industri yang mereka kendalikan. Stabilitas politik, atau setidaknya penampakannya, menjadi nilai jual tersendiri, dan ketika pemerintah goyah, militer turun tangan dengan dalih menjaga ketertiban.
Di luar perbatasannya, negara-negara kuat menggunakan kehadiran militer mereka sebagai alat negosiasi, bukan konflik. Aksi Rusia di Ukraina, misalnya, bukan hanya tentang wilayah—tindakan tersebut adalah tentang mengamankan pengaruh di pasar energi, membentuk kembali aliansi global, dan memaksa dunia agar mengakui pengaruh ekonominya. Perang tak lagi semata dilakukan dengan peluru dan bom; perang dilakukan dengan sanksi perdagangan, pangkalan militer di lokasi strategis, dan kemampuan mengendalikan sumber daya yang diandalkan pihak lain.
Dengan demikian, dunia tak bergerak menuju kekuasaan militer, tapi menuju unjuk kekuatan, dimana negara-negara tak mencari gara-gara untuk perang, melainkan menggunakan ancaman perang untuk membentuk hasil ekonomi dan politik. Kekuatan militer saat ini bukanlah tujuan akhir—ia semata alat mengamankan kekuasaan di dunia dimana kelangsungan hidup ekonomi merupakan medan perang yang sama sengitnya dengan zona perang mana pun.
Dunia terus-menerus berjuang antara mencari perluasan ekonomi dan mempertahankan kekuatan ekonomi yang ada. Setiap tindakan besar yang diambil oleh pemerintah—baik melalui diplomasi, kekuatan militer, perjanjian perdagangan, atau kemajuan teknologi—pada akhirnya terkait dengan ekonomi. Beberapa negara, terutama negara berkembang, secara agresif mencari pertumbuhan ekonomi. Mereka memperluas pengaruhnya dengan mengamankan sumber daya alam, mendominasi rute perdagangan, dan berinvestasi di pasar luar negeri. China, misalnya, tak semata membangun pangkalan militer—tapi membangun pula jalan raya, rel kereta api, dan pelabuhan di seluruh Afrika dan Asia melalui Belt and Road Initiative-nya. Kendati semua ini tampak seperti proyek ekonomi, juga membangun kendali jangka panjang atas pasar utama dan rantai pasokan.
Di sisi lain, negara-negara mapan semisal Amerika Serikat dan Eropa, berfokus pada upaya mempertahankan supremasi ekonominya. Mereka memberlakukan pembatasan perdagangan, membentuk aliansi militer, dan mengatur keuangan global guna memastikan mereka mempertahankan kendali. AS tak hanya khawatir tentang militer China—AS lebih khawatir tentang kemampuan China mendominasi teknologi, manufaktur, dan perdagangan. Itulah sebabnya kita melihat perang ekonomi terjadi melalui sanksi, tarif, dan pembatasan ekspor teknologi daripada melalui konfrontasi militer langsung.
Sementara itu, negara-negara yang kaya sumber daya, namun tak stabil secara politik, semisal negara-negara di Afrika dan Timur Tengah, terjebak di tengah-tengah. Ekonomi mereka sering menjadi sasaran kekuatan asing—baik melalui intervensi militer, kemitraan ekonomi, atau pengaruh perusahaan. Perang di wilayah-wilayah ini jarang hanya tentang ideologi—perang adalah tentang siapa yang mengendalikan minyak, gas, mineral, dan rute perdagangan.
Dengan demikian, tatanan dunia modern dibangun atas dinamika berikut: negara-negara berkembang berupaya mendominasi ekonomi; negara-negara adikuasa mempertahankan kekuatan ekonomi yang ada; negara-negara kecil berjuang melawan eksploitasi. Dan, sementara militer digunakan sebagai alat dalam proses ini, perang yang sesungguhnya sedang terjadi ialah untuk memperebutkan siapa yang mengendalikan ekonomi global.
Jika kita menganalisis tren global terkini secara objektif, kita dapat melihat bahwa militerisasi tak selalu menjadi tujuan tatanan dunia yang sedang berkembang—tetapi militerisasi menjadi alat yang dominan untuk membentuk dinamika kekuatan internasional. Meskipun ekspansi militer dan unjuk kekuatan tentu saja merupakan ciri utama hubungan internasional, hal itu tak selalu menjadi tujuan akhir tatakelola global. Sebaliknya, militerisasi tampaknya menjadi alat—sarana yang digunakan negara untuk mengamankan dominasi ekonomi, mempertahankan pengaruh strategis, dan menegaskan kendali atas sumber daya global.
Secara historis, kekuatan militer selalu memainkan peran dalam membentuk tatanan dunia, tetapi di zaman modern, peran ini telah berkembang. Era Perang Dingin melihat peningkatan kekuatan militer sebagai cara memproyeksikan supremasi ideologis, sedangkan saat ini, militerisasi sering dikaitkan dengan kepentingan ekonomi, kemajuan teknologi, dan posisi geopolitik. Negara-negara berinvestasi besar dalam kemampuan militernya, tak semata untuk konflik langsung, melainkan pula untuk mengamankan rute perdagangan, melindungi sumber daya energi, dan memengaruhi struktur tatakelola global.
Akan tetapi, militerisasi bukanlah satu-satunya ciri yang menentukan tatanan dunia yang sedang berkembang. Kekuatan ekonomi, inovasi teknologi, dan kendali informasi dapat dikatakan sama berpengaruhnya, jika tidak lebih. Negara-negara semisal China dan Amerika Serikat, misalnya, menggunakan kekuatan militer sebagai bagian dari strategi yang lebih luas, yang mencakup diplomasi ekonomi, kemampuan siber, dan proyek pembangunan infrastruktur semisal Belt and Road Initiative-nya China. Dalam konteks ini, militer berfungsi sebagai instrumen kekuasaan negara, bukan tujuan akhir.
Selain itu, keterhubungan ekonomi global menghambat konflik militer skala penuh. Sebaliknya, negara-negara turut dalam persaingan strategis melalui pengaruh ekonomi, sanksi, dan supremasi teknologi. Meningkatnya kecerdasan buatan, perang siber, dan militerisasi ruang angkasa semakin menunjukkan bahwa konflik di masa depan mungkin tak hanya dapat diatasi dengan tentara konvensional, tetapi melalui kendali atas infrastruktur digital, rantai pasokan, dan sumber daya penting semisal mineral tanah jarang.
Jadi, meskipun militerisasi tetap menjadi aspek penting dari dinamika kekuatan global, hal itu belum tentu menjadi tujuan utama tatanan dunia baru atau the world's new order. Sebaliknya, fokusnya adalah mempertahankan kendali—atas ekonomi, teknologi, dan struktur pemerintahan—dimana kekuatan militer hanyalah salah satu dari banyak alat yang digunakan untuk membentuk masa depan. Pertanyaan sebenarnya ialah apakah keseimbangan ini akan mengarah pada tatanan global yang lebih stabil atau tatanan yang ditandai oleh meningkatnya ketegangan dan konflik yang didorong oleh pengejaran kekuasaan.
Perjuangan antara mencari kekuatan ekonomi dan mempertahankannya, membentuk dunia dengan cara yang melampaui peperangan tradisional. Medan perang telah bergeser dari parit dan garis depan ke ruang rapat, pasar keuangan, rute perdagangan, dan dunia maya. Negara-negara tak perlu lagi menginvasi untuk mengendalikan—mereka memanipulasi ekonomi, cawe-cawe atas rantai pasokan, dan menjadikan perdagangan sebagai senjata untuk mencapai tujuan mereka.
Bagi negara-negara yang hendak meningkatkan pengaruh globalnya, strateginya adalah perluasan, investasi, dan kontrol sumber daya. Pemain paling agresif dalam permainan ini pada masa sekarang ialah China. China tak hendak mendominasi melalui perang, tetapi melalui kolonisasi ekonomi, membangun proyek infrastruktur di seluruh Asia, Afrika, dan Amerika Latin di bawah the Belt and Road Initiative. Hal ini memungkinkan China mengendalikan rute perdagangan utama, memperoleh pengaruh atas pasar yang sedang berkembang, dan mengamankan akses jangka panjang ke bahan baku.
Negara-negara ekonomi berkembang lainnya, semisal India dan Brasil, juga memainkan permainan jangka panjang. Kehadiran militer mereka tak begitu dominan, tetapi mereka menggunakan teknologi, perjanjian perdagangan, dan pengaruh regional guna mengukir pangsa pasar global mereka. Tujuannya jelas: kekuatan ekonomi setara dengan kekuatan politik, dan mereka yang mengendalikan rantai pasokan global akan menentukan masa depan.
Bahkan Rusia, meskipun bergantung pada kekuatan militer di Ukraina, sangat berfokus pada daya ungkit ekonomi. Dominasinya dalam ekspor energi memberinya alat yang ampuh—ketika Eropa memberlakukan sanksi, Rusia membalas dengan memutus pasokan gas, mengirimkan gelombang kejut melalui pasar energi global. Ini bukan sekadar agresi militer; inilah perang ekonomi yang dirancang untuk memaksa dunia mengakui relevansi Rusia.
Sementara negara-negara berkembang terus maju, negara-negara mapan semisal Amerika Serikat dan Uni Eropa bersikap defensif. Kontrol ekonomi mereka telah menjadi fondasi tatanan dunia modern, dan setiap tantangan terhadapnya selalu ditanggapi dengan perlawanan sengit.
AS tetap menjadi ekonomi dominan di dunia, tetapi kini AS berusaha melalui sanksi, pembatasan teknologi, dan sistem keuangan, alih-alih perang terbuka. AS telah memblokir akses China ke teknologi semikonduktor canggih, melumpuhkan ekonomi Rusia dengan pembatasan keuangan, dan menggunakan dominasi dolar AS sebagai alat mempertahankan kendali. Itulah sebabnya mengapa negara-negara seperti China dan Rusia kini berupaya membuat sistem perdagangan alternatif yang mengabaikan dolar—lantaran siapa pun yang mengendalikan keuangan global memegang kekuasaan yang sesungguhnya.
Di sisi lain, Eropa berusaha mempertahankan ekonominya dari ancaman eksternal dan internal. Ketergantungan Uni Eropa pada energi Rusia menunjukkan kerentanannya, yang memaksanya mengubah kebijakan dengan cepat. Sementara itu, AS berjuang melawan keretakan internal, sebab kesenjangan ekonomi antara negara-negara Uni Eropa yang kaya dan miskin menimbulkan ketegangan.
Ketika negara-negara terus berjuang antara ekspansi ekonomi dan pertahanan ekonomi, dunia bergeser ke arah tatanan multipolar, dimana tiada satu negara pun yang akan mendominasi seperti yang dilakukan AS seusai Perang Dingin. Sebaliknya, kekuasaan akan dibagi di antara beberapa pusat—China, AS, Uni Eropa, Rusia, dan kekuatan regional yang sedang naik daun semisal India dan Brasil.
Namun, persaingan ini takkan dilakukan hanya dengan kekuatan militer. Negara-negara yang paling kuat ialah negara-negara yang mengendalikan teknologi canggih (AI, semikonduktor, dan keamanan siber); mendominasi sistem keuangan (pengaruh mata uang dan jaringan perdagangan); mengamankan pasokan energi dan pangan untuk masa depan.
Militerisasi akan tetap menjadi alat, tetapi perang yang sebenarnya adalah tentang siapa yang mengendalikan ekonomi global. Negara-negara akan terus membangun pasukan, tak harus berperang, tapi untuk memastikan mereka dapat melindungi kepentingan ekonomi mereka di era dimana kekuasaan bergeser lebih cepat dari sebelumnya.
Kita akan lanjutkan perbincangan ini, tapi daku hendak mengingatkan diriku sendiri, dan sebagai masukan bagi dirimu, bahwa perlagaan untuk menguasai ekonomi tak lagi terbatas pada satu industri—teknologi, keuangan, dan energi bergabung menjadi satu perjuangan global. Barangsiapa yang mendominasi AI akan mengendalikan otomatisasi, keamanan siber, dan teknologi militer. Sesiapa yang mengendalikan keuangan bakalan bisa mendikte perdagangan global dan stabilitas ekonomi. Siapa pun yang memimpin dalam produksi energi bakal menentukan negara mana yang maju dan mana yang tertinggal.
Kendati militer tetap menjadi sarana yang penting, perang sesungguhnya di abad ke-21 akan dimenangkan di laboratorium-laboratorium, pasar keuangan, dan pembangkit-pembangkit energi, bukan di medan perang tradisional. Negara-negara tak lagi sekadar membangun pasukan—mereka membentuk kerajaan ekonomi dan teknologi, dan tanpa mengurangi rasa hormat, kekuatan militer hanya sebagai 'show of force' guna melindungi aset-aset ini.