Jumat, 07 Maret 2025

Kepemimpinan, Taqwa dan Siddiq: Perspektif Islam (1)

"Sebelum menyelami topik utama kita, mari lihat headline berita terbaru," berkata Limbuk, sambil mengetuk layar iPad-nya. "Aduhai, ekonomi Indonesia—sungguh rollercoaster yang mendebarkan dari eksperimen pemerintah, akrobat korporasi, dan sentuhan mantra berlapis nikel!
Bank Dunia, yang selalu menjadi pemandu sorak antusias, memprediksi pertumbuhan 5%. Mengapa tidak? Sedikit inflasi, sedikit deflasi, dan banyaknya pengeluaran domestik membuat ekonomi menari di tepi jurang kemakmuran—atau tebing curamkah? Tak seorang pun tahu yang mana.
Kelas menengah Indonesia menyusut laksana es krim di bawah terik matahari, turun 20% hanya dalam enam tahun semasa Mulyono. Alasannya? Pekerjaan yang gajinya lebih rendah dari bisnis skincare online milik tetanggamu. Lantas, siapa dalang di balik skincare gratisan untuk anak SMA? Engkau dapat menebaknya: Vivivavi. Namun, jangan khawatir—selalu ada harapan menjadi kandidat Presiden di TikTok!
Pemerintah menggelontorkan miliaran untuk kota baru, IKN, PIK 2, lengkap dengan lintasan balap Formula 1. Pertanyaannya, apakah PIK 2 menselebrasikan keIndonesiaan kita, atau sekedar tiruan dari budaya Makau? Sebab terakhir kali kuperhatikan, Prabu Airlangga tak bersisik atau menyemburkan api. Patung-patung itu jelas tak menunjukkan 'Prabu Airlangga', lebih seperti dinasti Ming, yang bakalan mahal bila ditawarkan ke pedagang antik. Dimanakah sukma Indonesia dalam semua ini?

Selanjutnya, beritanya adalah: Dapatkah korupsi yang merajalela menghambat kemajuan ekonomi sebuah bangsa? Atau, dapatkah korupsi ugal-ugalan menghambat pertumbuhan ekonomi sebuah negara?
Nah, pertanyaannya tak lekang oleh waktu! Seolah-olah kleptokrasi bisa jadi resep bagi kemakmuran bangsa! Duh, sungguh mengejutkan!
Tatkala korupsi menjadi hal biasa, setiap sektor industri merasakan benturannya. Bayangkan, jalur produksi yang seharusnya sibuk berubah menjadi cakrawala stagnasi total. Perusahaan berjuang, lapangan kerja menghilang lebih cepat dari donat di acara bukber pak polisi, dan kemiskinan meroket. Ini bagaikan berusaha membuat kue tanpa ada bahan-bahannya—kacau balau!
Jika pajak merupakan darah kehidupan sebuah negara, maka korupsi adalah vampir paling berjaya di dunia. Aliran pendapatan mengering saat pejabat pajak mengisi kantong pribadi mereka. Publik kehilangan kepercayaan, dan seluruh sistem pun hancur berantakan.
Korupsi memperburuk kesehatan finansial negara, meningkatkan utang yang sudah ada. Seolah-olah mereka yang berkuasa berpikir hanya tentang diri sendiri, tanpa menyadari konsekuensi dari tindakan mereka.
Korupsi menakut-nakuti investor asing lebih cepat daripada bau busuk Musang telegu yang muncul saat kita sedang piknik di tepi hutan. Siapa yang mau berinvestasi di tempat dimana aturan bisa berubah dalam sekejap dan suap adalah bagian dari bisnis? Ini jelas menghambat perkembangan ekonomi.
Saat dana dialokasikan untuk memperkaya diri sendiri, kualitas barang dan layanan merosot tajam. Kita berbicara tentang infrastruktur yang bobrok, produk yang tak aman, dan layanan publik yang membuatmu merindukan zaman ketika burung merpati masih digunakan untuk mengirim surat.
Korupsi melumuri tangan birokrat dengan uang, sekaligus meningkatkan biaya transaksi ekonomi. Semuanya jadi lebih mahal! Sumber daya publik yang seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat justru dialokasikan bagi kepentingan pribadi.
Secara keseluruhan, korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi dengan menakut-nakuti investor, menurunkan kualitas layanan publik, dan membuat ekonomi berjalan seefisien pintu layar di kapal selam. Beberapa orang berpendapat bahwa korupsi bisa mempercepat proses dengan memotong birokrasi, tetapi itu sama saja dengan mengatakan bahwa lebih patah kaki karena akan memberimu tempat parkir yang istimewa.
Jadi, bisakah korupsi besar-besaran menghambat pertumbuhan ekonomi suatu negara? Hanya seaman janji politikus yang tak bisa ditepati!"

"Oke, Limbuk! Mari kita pause dulu beritanya," sela Cangik sambil terkekeh. "Sekarang, bagaimana kalau kita menyelami perbincangan tentang 'Mengapa harus ada pemimpin dan kepemimpinan' dari sudut pandang Islam?"

Dalam Islam, kepemimpinan bukan sekadar hak istimewa, melainkan tanggungjawab, sebuah amanah yang menjamin ketertiban, keadilan, dan penerapan petunjuk Ilahi yang tepat," jawab Limbuk. Kemudian ia meneruskan, "Rasulullah (ﷺ) sendiri menyoroti perlunya kepemimpinan, bahkan dalam kelompok terkecil sekalipun. Beliau (ﷺ) bersabda,
‏ إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ ‏
'Jika tiga orang keluar dalam perjalanan, hendaklah mereka menunjuk salah satu di antara mereka sebagai pemimpin.' [Sunan Abu Daud, Shahih oleh Syekh Al-Albani].
Jika kelompok kecil seperti itu memerlukan kepemimpinan demi ketertiban dan arahan, lalu seberapa pentingkah kepemimpinan bagi seluruh masyarakat? Hadits ini menegaskan pentingnya menunjuk seorang pemimpin ketika bepergian dalam kelompok, meskipun hanya tiga orang, untuk menjaga organisasi dan keharmonisan selama perjalanan.
Tanpa pemimpin, masyarakat akan terjerumus ke dalam kekacauan, dan penindasan akan merajalela, karena berbeda pendapat, berselisih pendapat, dan terkadang bertindak berdasarkan kepentingan pribadi, telah menjadi kodrat manusia. Peran seorang pemimpin bukanlah untuk mencari keuntungan pribadi, melainkan untuk pengabdian dan pertanggungjawaban kepada Allah. Rasulullah (ﷺ) menggambarkan pemimpin sebagai perisai, bersabda,
إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ ‏.
'Sesungguhnya seorang imam (pemimpin Islam) adalah perisai; mereka berperang di belakangnya dan berlindung dengannya (dari para tiran dan penyerang). Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'al, serta berlaku adil, maka ia akan memperoleh pahala karenanya. Namun, jika ia memerintahkan selain itu, maka dosa tersebut akan ditanggung olehnya.' [Shahih Muslim]
Pemimpin yang shalih adalah pembela rakyat, yang menjamin keadilan, keamanan, dan penerapan syariat yang tepat. Tanpa kepemimpinan, ketidakadilan takkan terkendali, perselisihan takkan ada penyelesaiannya, dan yang kuat akan menindas yang lemah.
Para ulama besar Islam, termasuk Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sultaniyyah, menegaskan bahwa kepemimpinan itu ada untuk menjaga keimanan, menegakkan keadilan, dan menjaga persatuan umat Islam. Ibnu Taimiyah, dalam karyanya, menyatakan bahwa pemerintahan merupakan salah satu kewajiban terbesar dalam Islam, karena agama itu sendiri tak dapat sepenuhnya ditegakkan tanpa adanya ketertiban dan otoritas. Konsensus para ulama menegaskan bahwa masyarakat Muslim yang terorganisasi hendaknya memiliki seorang pemimpin untuk membimbingnya.
Namun, kepemimpinan bukanlah tentang ketaatan buta. Rasulullah (ﷺ) memperingatkan agar tak mengikuti para penguasa yang menyimpang dari keadilan, dengan bersabda,
لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
'Tiada ketaatan kepada makhluk dalam ketidaktaatan kepada Sang Pencipta.' [Mishkat al-Masabih, Sahih oleh Syaikh Al-Albani]
Oleh karenanya, Islam menekankan perlunya kepemimpinan untuk membimbing manusia dengan keadilan dan menegakkan hukum-hukum Allah.
Allah memerintahkan dalam Al-Qur'an,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ
'Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad (ﷺ)) serta Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kalian. Jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kalian beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagi kalian) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).' [QS. An-Nisa (4):59]
Ayat ini menetapkan hierarki ketaatan: pertama kepada Allah, kemudian kepada Rasul-Nya (ﷺ), dan terakhir kepada mereka yang diberi kepercayaan untuk memerintah (Ulil Amri). Ini menandakan bahwa kepemimpinan dalam Islam tak bersifat absolut atau independen, melainkan terikat oleh tuntunan Ilahi. Para Ulama telah membahas ayat ini secara mendalam, menekankan pentingnya setiap tingkat ketaatan. Ketaatan kepada Allah bermakna mematuhi perintah-perintah Ilahi-Nya sebagaimana yang diwahyukan dalam Al-Qur'an. Ketaatan kepada Rasulullah (ﷺ) terpisah namun sama-sama mengikat karena Rasulullah (ﷺ) diutus untuk menjelaskan dan menerapkan hukum Allah. Sunnahnya merupakan sumber petunjuk yang penting, dan mengikutinya merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah.
Kemudian, ayat tersebut menyebutkan ketaatan kepada Ulil Amri—mereka yang berwenang. Para ulama telah memperdebatkan siapa sebenarnya yang dimaksud dengan ayat ini. Sebagian, semisal Ibnu Katsir, menjelaskan bahwa ayat ini terutama bermakna para penguasa dan pemimpin yang bertanggungjawab untuk mengatur urusan umat Islam. Sebagian lainnya, semisal Al-Qurtubi, memasukkan ulama dan ahli hukum di antara Ulil Amri, sebab mereka dipercayakan untuk membimbing umat dalam masalah agama. At-Tabari dan komentator lainnya juga menyoroti bahwa ini dapat mencakup komandan militer dan hakim, sebab mereka memegang otoritas dalam aspek-aspek tertentu pemerintahan.
Akan tetapi, para ulama Sunni menjelaskan bahwa ketaatan kepada Ulil-Amri bersifat bersyarat. Rasulullah (ﷺ) sendiri memperingatkan agar tak menaati seseorang yang memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam. Beliau (ﷺ) bersabda,
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
'Seorang Muslim wajib mendengar dan taat (kepada pemimpin) dalam hal yang ia sukai atau benci, kecuali jika diperintahkan berbuat maksiat. Jika ia diperintahkan berbuat maksiat, maka tiada kewajiban mendengar dan taat.' [Sunan Ibnu Majah; Shahih]
Hadits ini menegaskan kewajiban umat Islam agar menaati pemimpin mereka dalam segala hal, kecuali ketika diperintahkan berbuat dosa atau melakukan kemaksiatan kepada Allah. Jika seorang pemimpin memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah, umat Islam tak wajib mengikutinya. Pemahaman ini melindungi masyarakat dari para penguasa yang zalim dan memastikan bahwa pemerintahan Islam tetap berada dalam batasan-batasan Ilahi.
Ayat tersebut berlanjut, "Jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunahnya) jika kalian beriman kepada Allah dan hari Akhir." Bagian ini memperkuat gagasan bahwa otoritas tertinggi tidak terletak pada penguasa atau ulama manusia, tetapi pada Tuntunan Ilahi. Setiap kali perselisihan muncul—baik dalam masalah iman, hukum, atau pemerintahan—umat Islam diperintahkan agar mencari solusi dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Imam As-Syafi'i menggunakan ayat ini untuk membuktikan bahwa Sunnah hendaknya selalu dimusyawarahkan, karena perintah untuk menaati Rasulullah (ﷺ) dinyatakan terpisah dari perintah untuk menaati Allah.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini berfungsi sebagai perlindungan terhadap salah tafsir dan penyimpangan. Walaupun jika seorang penguasa atau ulama mengeluarkan keputusan, keputusan itu hendaknya selalu diperiksa berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah. Jika bertentangan dengan ajaran Islam, maka keputusan itu tak punya otoritas. Prinsip ini memastikan bahwa kepemimpinan Islam tetap bertanggungjawab dan bahwa hukum yang mengatur umat Islam selalu berakar pada wahyu Ilahi.
Intinya, ayat ini merangkum keseimbangan antara kepemimpinan dan akuntabilitas dalam Islam. Ayat ini mengakui perlunya pemerintahan tetapi memberikan batasan yang jelas untuk mencegah tirani. Ayat ini mendorong persatuan dengan mendesak umat Islam agar menyelesaikan konflik melalui Tuntunan Ilahi daripada pendapat pribadi atau perebutan kekuasaan. Dan akhirnya, ayat ini menekankan bahwa keimanan sejati kepada Allah dan Hari Akhir mengharuskan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah dalam segala urusan.

Dalam Islam, kepemimpinan bukan tentang keuntungan atau kekuasaan pribadi, melainkan tanggungjawab dan kepercayaan (Amanah) yang diberikan Allah. Rasulullah (ﷺ) menekankan bahwa kepemimpinan hendaknya diberikan kepada mereka yang paling mampu dan bertakwa, bukan mereka yang mencarinya demi ambisi pribadi. Beliau ﷺ bersabda,
إِذَا وُلِّيَ الأَمْرَ رَجُلٌ وَفِي الْقَوْمِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ فَقَدْ خَانَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالْمُؤْمِنِينَ
'Apabila seseorang diangkat sebagai pemimpin sementara di tengah kaumnya ada yang lebih layak darinya, maka sungguh ia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin.” [al-Mustadrak 7022, dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ 6015]
Hadits ini menyoroti tanggungjawab besar kepemimpinan dalam Islam dan memperingatkan agar tidak mengangkat pemimpin yang tak memenuhi syarat sementara masih ada individu yang lebih mampu. Hadits ini menekankan bahwa kepemimpinan merupakan amanah (kepercayaan) yang semestinya diberikan kepada yang paling berhak, bukan berdasarkan favoritisme, status, atau keuntungan pribadi. Pemimpin sejati bukanlah orang yang mencari kepemimpinan, melainkan orang yang takut kepada Allah dan mengambil peran demi keadilan dan melayani rakyat.

Kepemimpinan dalam Islam bukanlah posisi yang hendaknya dicari bagi keuntungan pribadi, atau gelar yang mengangkat seseorang di atas orang lain dalam kesombongan dan keangkuhan. Kepemimpinan merupakan amanah—tanggungjawab berat yang menempatkan pemimpin dalam pertanggungjawaban langsung di hadapan Allah. Tak seperti konsep kepemimpinan duniawi yang sering mengutamakan kekuasaan, pengaruh, dan kendali, kepemimpinan Islam berakar kuat pada pengabdian, keadilan, dan rasa takut kepada Allah. Kepemimpinan Islam bukan tentang memerintah orang lain, tetapi lebih tentang menuntun mereka dengan kearifan, belas-kasih, dan integritas yang tak tergoyahkan.
Rasulullah (ﷺ), pemimpin terhebat yang pernah ada di muka bumi ini, tak memerintah dengan tirani atau penindasan, dan beliau (ﷺ) juga tak mencari kepemimpinan demi keuntungan sendiri. Beliau (ﷺ) memimpin dengan cinta, pengorbanan, dan komitmen yang teguh terhadap kebenaran. Kepemimpinan beliau (ﷺ) adalah kepemimpinan yang melayani—ketika para sahabat membangun masjid, beliau (ﷺ) membawa batubata bersama mereka; ketika mereka menggali parit dalam pertempuran, beliau (ﷺ) menggali bersama mereka. Hatinya bersama rakyat, dan beliau (ﷺ) memerintah bukan sebagai raja, melainkan sebagai gembala yang merawat kawanannya.
Beban kepemimpinan begitu berat sehingga Rasulullah (ﷺ) memperingatkan agar tak mencarinya dengan alasan yang keliru. Telah diriwayatkan dari Abu Dzar, ia berkata kepada Rasulullah (ﷺ), "Wahai Rasulullah, maukah engkau mengangkatku ke suatu jabatan publik?" Beliau membelai bahuku dengan tangannya dan berkata,
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
'Duhai Abu Dzar, engkau lemah dan kekuasaan itu amanah. dan pada hari kiamat, ia menimbulkan kehinaan dan pertobatan kecuali bagi orang yang menunaikan kewajibannya dan (dengan baik) menjalankan kewajiban-kewajiban yang menyertainya.' [Sahih Muslim 1825]
Pernyataan ini saja mengungkapkan bahwa kepemimpinan bukanlah suatu kehormatan yang diinginkan, melainkan ujian yang membutuhkan ketulusan, kearifan, dan pengabdian yang teguh pada keadilan.

Di antara Khulafaur Rasyidin, Abu Bakar (radhiyallahu 'anhu) mencontohkan kerendahan hati dalam kepemimpinan. Ketika ia dipilih sebagai khalifah pertama, ia berdiri di hadapan rakyat dan menyatakan: 'Wahai manusia! Diriku telah ditunjuk untuk memimpin kalian, meskipun daku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Jika daku berbuat baik, bantulah daku; dan jika daku berbuat salah, tegurlah daku.' Ini bukanlah kata-kata seorang lelaki yang mencari kekuasaan tetapi takut akan beratnya tanggungjawab di hadapan Allah. Kepemimpinannya dibangun atas ketakwaan, keadilan, dan akuntabilitas, karena ia tahu bahwa keberhasilan kepemimpinan sejati bukanlah pada berapa banyak orang yang mengikutinya tetapi pada seberapa tulus ia melayani mereka.
Umar bin Khattab (radhiyallahu 'anhu), yang dikenal karena keadilannya, akan berpatroli di jalan-jalan pada malam hari guna memastikan tiada yang berkekurangan. Ia khawatir bahwa bahkan jika seekor hewan pun di bawah kekuasaannya menderita, ia akan bertanggungjawab kepada Allah. Kepemimpinannya tak ditentukan oleh keinginan pribadi melainkan oleh rasa tanggungjawab yang mendalam. Ia menetapkan prinsip-prinsip pemerintahan yang menekankan keadilan, musyawarah (syura), dan perlindungan terhadap yang lemah.
Seorang pemimpin sejati dalam Islam tak mencari kekuasaan, melainkan orang yang mengemban beban kepemimpinan dengan kerendahan hati dan ketulusan. Ia tak memerintah dengan arogansi, dan tak pula melayani kepentingannya. Ia memahami bahwa setiap keputusan yang dibuat memengaruhi orang-orang yang berada di bawah tanggungjawabnya dan bahwa pada Hari Pengadilan, ia akan ditanya tentang setiap jiwa yang dipercayakan kepadanya. Kepemimpinan bukanlah tentang keunggulan—melainkan tentang tanggungjawab, pengorbanan, dan menegakkan kebenaran walau ketika itu sulit.
Seorang pemimpin hendaknya memerintah dengan adil, karena ketidakadilan merupakan salah satu penyebab terbesar kehancuran. Rasulullah (ﷺ) memperingatkan bahwa para pemimpin yang tidak adil akan menjadi orang-orang yang menghadapi hukuman paling berat di Hari Pembalasan. Kepemimpinan bukanlah tentang menguntungkan diri sendiri, melainkan tentang mendatangkan manfaat bagi orang banyak.

Di setiap era, kepemimpinan menentukan berhasil atau gagalnya sebuah bangsa. Ketika para pemimpin bertindak dengan takwa, keadilan menang, dan masyarakat pun makmur. Namun, ketika kepemimpinan didorong oleh keserakahan, penindasan, dan keegoisan, korupsi menyebar, maka rakyat pun menderita. Rasulullah (ﷺ) menubuatkan bahwa akan datang pemimpin yang akan mengkhianati rakyatnya dan memerintah dengan tirani. Namun, ia juga meyakinkan orang-orang beriman bahwa pemimpin terbaik itu, mereka yang mencintai rakyatnya dan dicintai oleh mereka, yang mendoakan rakyatnya dan didoakan sebagai balasannya.
Dalam Islam, seorang pemimpin hendaknya terlebih dahulu mendoakan rakyatnya sebelum mengharapkan balasan karena kepemimpinan pada dasarnya adalah tanggungjawab dan tindakan pengabdian, bukan hak istimewa. Seorang pemimpin sejati dipercayakan bagi well-being setiap rakyatnya, dan perannya adalah memastikan keadilan, memberikan bimbingan, dan merawat mereka dengan ketulusan dan pengabdian.
Rasulullah (ﷺ) mencontohkan prinsip ini, karena beliau (ﷺ) senantiasa berdoa bagi umatnya, memohon rahmat, ampunan, dan berkah Allah bagi mereka. Kepemimpinan beliau (ﷺ) berakar pada kepedulian terhadap para pengikutnya, bukan pada keuntungan pribadi. Demikian pula, seorang pemimpin yang shalih dalam Islam seyogyanya mengutamakan kebutuhan dan well-being setiap umatnya, memohon kepada Allah agar memberikan mereka kesuksesan, petunjuk, dan perlindungan.
Lebih jauh, Rasulullah (ﷺ) memperingatkan tentang bahaya pemimpin yang egois dan menindas. Seorang pemimpin yang mengabaikan rakyatnya dan hanya meminta doa mereka tanpa terlebih dahulu memenuhi kewajibannya terhadap mereka, berarti telah gagal dalam tanggungjawabnya. Sebaliknya, ketika seorang pemimpin benar-benar peduli terhadap rakyatnya dan mendoakan mereka, mereka akan mengakui ketulusannya dan, pada gilirannya, mendoakan keberhasilan dan well-being setiap rakyatnya. Dalam Sahih Muslim, 'Awf bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ
'Pemimpin terbaik di antara kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, yang mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Dan pemimpin terburuk di antara kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, yang kalian laknat dan mereka pun melaknat kalian.'
Hadits ini menekankan rasa saling sayang dan doa antara pemimpin yang shalih dan rakyatnya, menyoroti kualitas kepemimpinan dalam Islam.

Dalam Islam, doa merupakan cerminan ketulusan dan rasa syukur. Seorang pemimpin yang mendoakan rakyatnya mengakui tugasnya terhadap rakyatnya dan memohon pertolongan Ilahi dalam menjalankan perannya dengan adil. Ketika rakyat melihat ketulusan tersebut, hati mereka pun cenderung membalasnya, berdoa memohon bimbingan, kekuatan, dan kebenaran dari pemimpin mereka.
Maka, dalam Islam, seorang pemimpin seyogyanya terlebih dahulu mendoakan rakyatnya karena kepemimpinan adalah tentang pengabdian, tanggungjawab, dan akuntabilitas di hadapan Allah. Ketika seorang pemimpin melaksanakan tugasnya dengan ikhlas dan mendoakan rakyatnya, maka doa rakyat akan menjadi respons yang wajar dan tulus, sehingga mempererat ikatan antara pemimpin dan rakyatnya.
Kepemimpinan dalam Islam merupakan sarana untuk memelihara keimanan, menegakkan keadilan, dan memastikan keharmonisan dalam masyarakat. Kepemimpinan bukanlah pengejaran kekuasaan, melainkan amanah berat yang disertai tanggungjawab besar. Tanpa kepemimpinan, kekacauan akan merajalela, pertikaian akan meningkat, dan yang lemah akan menderita. Itulah sebabnya Islam mengamanatkan kepemimpinan—bukan sebagai sarana kontrol, melainkan sebagai kebutuhan untuk stabilitas, keadilan, dan memelihara hukum Ilahi.
Kepemimpinan dalam Islam pada hakikatnya tentang pelayanan, akuntabilitas, dan keadilan. Kepemimpinan merupakan jalan yang membutuhkan ketulusan yang mendalam dan kesadaran bahwa setiap tindakan yang diambil sebagai pemimpin akan dinilai oleh Allah. Pemimpin sejati tak ingin diikuti, tetapi orang yang berjalan di jalan keadilan dan kemuliaan, orang akan memilih mengikutinya. Ia tak memerintah dengan arogansi, melainkan memimpin dengan rasa takut kepada Allah di dalam hatinya, mengetahui bahwa kesuksesan terbesar bukanlah dalam kekuatan duniawi, tetapi dalam berdiri di hadapan Allah setelah memenuhi tugasnya dengan kejujuran dan ketulusan. Semoga Allah menganugerahkan kepada kita pemimpin yang shalih yang memerintah dengan adil, bijak, dan takwa, dan semoga Dia melindungi kita dari cobaan kepemimpinan yang tidak adil. Amin.
[Bagian 2]