"Sampaikan tentang kaum Oligark di Singapura!" tanya Limbuk. Cangik menjawab, "Singapura sering dipandang sebagai kisah sukses ekonomi, dikenal karena tatakelola yang efisien, pendapatan per kapita yang tinggi, dan aturan hukum yang ketat. Namun, di balik citranya sebagai negara yang sangat fungsional, para kritikus berpendapat bahwa negara ini beroperasi sebagai bentuk oligarki, dimana kekuatan politik dan ekonomi terpusat di tangan segelintir elit. Tak seperti oligarki tradisional yang didominasi oleh para pembesar bisnis atau elit turun-temurun, oligarki Singapura merupakan gabungan dari teknokrasi politik dan pengaruh perusahaan, yang sangat terkait dengan People's Action Party (Partai Aksi Rakyat), PAP, yang berkuasa.[Bagian 11]
Dalam karyanya, The Political Economy of Singapore's Industrialization: National State and International Capital (1989, Cambridge University Press), Garry Rodan meneliti bagaimana industrialisasi yang dipimpin negara di Singapura telah menghasilkan ekonomi politik yang dicirikan oleh kontrol negara yang signifikan atas kegiatan ekonomi, yang mengarah pada pemusatan kekuasaan di antara elit politik. Rodan berpendapat bahwa peran aktif negara Singapura dalam mengarahkan kebijakan industri telah menjadi pusat pembangunan ekonominya. Dengan memposisikan diri sebagai pemain kunci dalam proses industrialisasi, negara tak hanya memfasilitasi pertumbuhan ekonomi tetapi juga memastikan bahwa kekuatan politik tetap terkonsentrasi di antara sekelompok elit tertentu. Pendekatan ini telah memungkinkan negara mempertahankan kontrol ketat atas kegiatan ekonomi, yang secara efektif mengaitkan otoritas politik dengan manajemen ekonomi. Keterlibatan negara dalam ekonomi telah memiliki banyak segi, termasuk pendirian perusahaan milik negara dan daya tarik strategis investasi asing dengan persyaratan yang menguntungkan kepentingan nasional. Strategi yang disengaja ini telah memperkuat dominasi politik elit penguasa saat mereka mengawasi dan mendapatkan keuntungan dari kemajuan ekonomi negara. Akibatnya, ekonomi politik Singapura dicirikan oleh hubungan simbiosis antara industrialisasi yang dipimpin negara dan konsolidasi kekuatan elit.
Sejak merdeka pada tahun 1965, Singapura telah diperintah oleh PAP, yang didirikan bersama oleh Lee Kuan Yew, Perdana Menteri pertama negara tersebut. Partai tersebut telah mempertahankan kekuasaan yang hampir tak tertandingi selama beberapa dekade, membentuk sistem politik negara dengan cara yang membatasi oposisi dan memusatkan kekuasaan di dalam elit politik yang kecil. Keluarga Lee tetap menjadi inti dari struktur politik Singapura, dengan putra Lee Kuan Yew, Lee Hsien Loong, menjabat sebagai Perdana Menteri sejak tahun 2004. Sementara Singapura secara teknis menyelenggarakan pemilihan umum, lanskap politik sangat condong ke arah PAP melalui manipulasi daerah pemilihan, gugatan pencemaran nama baik terhadap tokoh oposisi, dan regulasi media yang ketat.
Salah satu tanda terkuat oligarki politik di Singapura ialah bagaimana posisi kepemimpinan utama tetap berada dalam lingkaran elit yang erat. Menteri pemerintah selalu diambil dari sekelompok kecil pegawai negeri sipil, jenderal militer, dan cendekiawan yang dididik melalui program pendidikan yang didanai pemerintah, memastikan bahwa kepemimpinan politik tetap berada dalam jaringan eksklusif. Gaji menteri yang tinggi—salah satu yang tertinggi di dunia—dibenarkan sebagai cara mencegah korupsi, tetapi hal itu juga memperkuat sistem tertutup dimana hanya orang kaya dan berpendidikan tinggi yang dapat memasuki dunia politik.
Dalam Transparency and Authoritarian Rule in Southeast Asia: Singapore and Malaysia (2004, Routledge), Garry Rodan meneliti bagaimana kepemimpinan Singapura menggunakan transparansi selektif untuk mempertahankan kendali elit. Ia berpendapat bahwa, sebagai respons terhadap tekanan eksternal untuk transparansi setelah krisis ekonomi Asia 1997-98, Singapura menerapkan reformasi dalam tatakelola perusahaan dan regulasi keuangan untuk menarik modal internasional tanpa mengorbankan tatakelola otoriternya. Pendekatan ini membedakan antara transparansi ekonomi, yang ditingkatkan untuk memfasilitasi investasi, dan transparansi politik, yang tetap terbatas untuk mencegah tantangan bagi elit penguasa.
Transparansi selektif ini memunculkan paradoks dimana kebijakan ekonomi Singapura yang transparan hidup berdampingan dengan praktik politik yang membatasi. Sementara pemerintah memastikan pengungkapan perusahaan yang jelas dan konsisten untuk mempertahankan daya saing ekonomi, secara bersamaan membatasi kebebasan media dan kegiatan masyarakat sipil guna menekan perbedaan pendapat politik. Strategi ganda ini memungkinkan Singapura memperoleh keuntungan dari keuntungan ekonomi transparansi sambil mempertahankan status quo politik.
Perekonomian Singapura dicirikan oleh perpaduan unik antara kapitalisme negara dan perusahaan swasta, dimana pemerintah secara langsung mengendalikan industri-industri utama melalui dana kekayaan negara semisal Temasek Holdings dan GIC (Government of Singapore Investment Corporation). Banyak perusahaan paling kuat di negara ini, termasuk Singapore Airlines, DBS Bank, dan Singtel, dimiliki oleh negara atau memiliki hubungan yang kuat dengan pemerintah, yang memastikan bahwa kekuatan ekonomi tetap terpusat.
Ciri utama oligarki Singapura adalah bagaimana elit politik seringkali beralih ke peran kepemimpinan perusahaan dan sebaliknya. Misalnya, Temasek Holdings telah dipimpin oleh Ho Ching, istri Perdana Menteri Lee Hsien Loong, yang semakin memperkuat hubungan erat antara kekuatan politik dan ekonomi. Selain itu, banyak pejabat tinggi pemerintah dan perwira militer kemudian mengambil peran eksekutif di perusahaan-perusahaan yang terkait dengan pemerintah (GLC), yang memastikan bahwa kelompok elit yang sama mengendalikan kebijakan negara dan industri-industri besar. Sistem ini digambarkan sebagai 'pintu putar' antara politik dan bisnis, dimana kekuasaan tetap berada dalam jaringan elit kecil. Meskipun terdapat konsentrasi kekuasaan ini, Singapura berbeda dari oligarki yang lebih tradisional karena mempertahankan tingkat efisiensi yang tinggi, stabilitas ekonomi, dan korupsi yang rendah. Pemerintah menggunakan kendalinya atas ekonomi untuk mendorong pembangunan yang cepat, menyediakan layanan publik yang berkualitas tinggi, dan memastikan bahwa dominasi kaum elit tampak berdasarkan prestasi dan bukan semata-mata karena faktor keturunan. Hal ini memungkinkan Singapura menghindari tingkat ketidaksetaraan dan ketidakstabilan politik yang terlihat dalam sistem oligarki yang lebih eksploitatif.
Dalam The Politics of Accountability in Southeast Asia: The Dominance of Moral Ideologies (2014, Oxford University Press), Garry Rodan dan Caroline Hughes meneliti bagaimana ideologi moral digunakan untuk mempertahankan dominasi elit di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Singapura.
Penulis berpendapat bahwa, di Singapura, elit penguasa menggunakan ideologi moral untuk mendefinisikan dan menegakkan perilaku yang dapat diterima di antara pejabat publik dan warga negara. Pendekatan ini menekankan perilaku etis dan nilai-nilai sosial, yang memposisikan pemerintah sebagai penjaga moralitas. Dengan membingkai akuntabilitas dalam istilah moral, elit dapat memenuhi tuntutan tatakelola pemerintahan yang baik tanpa menerapkan reformasi demokrasi liberal yang mungkin menantang otoritas mereka. Strategi ini memungkinkan pemeliharaan struktur kekuasaan yang ada sambil memproyeksikan citra integritas dan tanggungjawab.
Rodan dan Hughes menyoroti bahwa pembingkaian moral ini didukung oleh organisasi-organisasi berpengaruh, seperti lembaga-lembaga keagamaan dan media, yang memperkuat narasi moral negara. Di Singapura, keselarasan antara negara dan organisasi-organisasi ini memperkuat wacana moral, yang selanjutnya memperkuat dominasi elit dengan membatasi ruang lingkup akuntabilitas pada perilaku etis daripada perubahan politik sistemik.
Pemanfaatan ideologi moral ini secara efektif menangkis tekanan untuk reformasi demokratis dengan menyalurkan harapan publik ke area yang tak mengancam hierarki kekuasaan yang ada. Akibatnya, sambil mempromosikan fasad akuntabilitas, elit mempertahankan dominasinya dengan menghindari liberalisasi politik yang substansial.
Dalam "The Hidden Globe: How Wealth Hacks the World (Riverhead Books, 2024), Atossa Araxia Abrahamian meneliti bagaimana zona ekonomi khusus (special economic zones, SEZs) dan ambiguitas teritorial, seperti yang ada di Singapura, memungkinkan kekayaan membentuk kembali lanskap ekonomi dan politik, sehingga memfasilitasi kontrol elit. Abrahamian membahas peran pelabuhan bebas—zona khusus di suatu negara tempat barang dapat disimpan tanpa dikenakan bea cukai. Di Singapura, pengembangan pelabuhan bebas tersebut telah menarik banyak harta-kekayaan dengan menawarkan keuntungan pajak dan kerahasiaan bagi kolektor dan investor seni. Sistem ini memungkinkan orang kaya menyimpan aset berharga seperti seni, permata, dan perhiasan tanpa pengawasan yang umum di yurisdiksi lain, yang secara efektif menciptakan kantong-kantong kegiatan ekonomi yang beroperasi di bawah peraturan hukum dan pajak yang berbeda.
Zona-zona ini menggambarkan bagaimana orang kaya dapat memanfaatkan ambiguitas teritorial demi keuntungan mereka, dengan membangun wilayah yang beroperasi berdasarkan hukum dan peraturan yang dirancang khusus. Penggunaan pengecualian hukum yang strategis ini memungkinkan kaum elit mempertahankan dan mengembangkan kekayaan mereka dengan pengawasan minimal, sehingga memperkuat pengaruh ekonomi dan politiknya. Analisis Abrahamian menyoroti kompleksitas kapitalisme global, dimana zona-zona tersebut berkontribusi pada dunia paralel yang seringkali beroperasi di luar jangkauan tatakelola negara tradisional.
Melalui mekanisme ini, SEZs dan ambiguitas teritorial di tempat-tempat seperti Singapura memfasilitasi kontrol elit dengan menyediakan lingkungan tempat kekayaan dapat diakumulasikan dan dikelola dengan gangguan regulasi yang berkurang. Hal ini berkontribusi pada restrukturisasi lanskap ekonomi dan politik, seringkali dengan cara yang lebih mengutamakan kepentingan orang kaya daripada pertimbangan masyarakat yang lebih luas.
Salah satu ciri khas pemerintahan oligarki di Singapura ialah kontrolnya yang ketat terhadap media dan masyarakat sipil, yang memastikan bahwa suara oposisi sulit mendapatkan dukungan. Sebagian besar media arus utama, termasuk The Straits Times, Channel NewsAsia, dan Mediacorp, secara langsung atau tidak langsung terkait dengan pemerintah, yang menyebabkan penyensoran diri dan kurangnya pelaporan kritis terhadap elite penguasa. Undang-undang seperti Undang-Undang Perlindungan dari Kebohongan dan Manipulasi Daring (Protection from Online Falsehoods and Manipulation Act, POFMA) memungkinkan pemerintah mengambil tindakan hukum terhadap individu atau organisasi media yang menentang narasi resmi.
Selain itu, perbedaan pendapat politik dibatasi melalui gugatan pencemaran nama baik dan undang-undang majelis yang ketat. Politisi oposisi, seperti Chee Soon Juan dan JB Jeyaretnam, dituntut atas pencemaran nama baik oleh para pemimpin pemerintah, yang mengakibatkan kebangkrutan finansial dan didiskualifikasi dari pencalonan dirinya. Strategi hukum ini memastikan bahwa persaingan politik tetap lemah dan bahwa dominasi elite terus berlanjut tanpa tantangan.
Kendati sistem Singapura berkarakteristik yang sama dengan oligarki di tempat lain, sistem ini berbeda dalam beberapa hal utama. Tak seperti oligarki berbasis sumber daya alam Rusia atau oligarki militer-royalis Thailand, elit penguasa Singapura melegitimasi dominasinya melalui keberhasilan ekonomi, tatakelola yang kuat, dan korupsi yang rendah. Pemerintah telah menjaga kepercayaan publik dengan memberikan standar hidup yang tinggi, infrastruktur kelas dunia, dan layanan publik yang efisien, sehingga perlawanan terhadap struktur oligarkinya jarang terjadi dibandingkan dengan negara-negara lain dimana konsentrasi kekayaan menyebabkan ketidakpuasan yang meluas.
Pada saat yang sama, stabilitas ini mengorbankan persaingan politik, kebebasan media, dan mobilitas sosial bagi mereka yang berada di luar lingkaran elit. Meskipun Singapura menampilkan dirinya sebagai negara yang menganut sistem meritokrasi, kenyataannya bahwa akses terhadap kekuasaan sebagian besar terbatas pada mereka yang berlatarbelakang pendidikan elit, layanan pemerintah, atau kepemimpinan perusahaan, yang memperkuat sistem dimana tatakelola tetap berada di tangan sekelompok kecil orang.
Death of a Perm Sec karya Wong Souk Yee (2016, Epigram Books) merupakan lakon seru politik yang mengupas dinamika kekuasaan elite penguasa Singapura. Novel mysteri ini mengikuti kematian mencurigakan Chow Sze Teck, mantan sekretaris tetap yang dituduh melakukan korupsi. Bunuh diri karena overdosis menimbulkan keraguan, yang mengarah pada penyelidikan yang mengungkap rahasia terdalam tentang kontrol politik, korupsi sistemik, dan sifat pemerintahan yang tak transparan di Singapura.
Lakonnya berkisar seputar kematian Chow Sze Teck, sekretaris tetap kementerian perumahan di Singapura pada tahun 1980-an, yang dituduh menerima suap jutaan dolar selama kariernya. Pada mulanya, kematiannya tampak sebagai bunuh diri yang disebabkan oleh campuran alkohol, morfin, dan Valium. Namun, saat seorang inspektur Departemen Investigasi Kriminal (Criminal Investigation Department, CID) menyelidiki lebih dalam, keluarga tersebut mengungkap keadaan yang berpotensi lebih menyeramkan, yang dapat melibatkan pejabat tinggi pemerintah. Novel ini mengeksplorasi inti gelap politik kekuasaan, dari masa pascakemerdekaan Singapura yang penuh gejolak hingga lanskap sosial-politik tahun 1980-an.
Novel ini mengkritik struktur oligarki sistem politik Singapura, dimana sekelompok kecil elit memegang pengaruh besar atas negara tersebut. Melalui karakter Chow dan misteri yang terungkap, novel ini mengeksplorasi tema-tema penindasan politik, kurangnya transparansi dalam urusan pemerintah, dan konsekuensi dari kekuasaan absolut. Wong Souk Yee, seorang mantan tahanan politik, menggunakan fiksi untuk menyoroti bagaimana lingkungan politik Singapura yang dikontrol ketat membungkam perbedaan pendapat dan menghargai kesetiaan dalam elit penguasa. Dengan menggambarkan nasib seorang pegawai negeri sipil berpangkat tinggi yang terjerat dalam korupsi dan kerahasiaan, Death of a Perm Sec menawarkan perspektif kritis yang langka tentang oligarki Singapura, menyoroti bagaimana kekuasaan dipertahankan dan tantangan-tantangan ditekan.
Oligarki Singapura unik karena beroperasi dengan kedok efisiensi teknokratis, bukan eksploitasi elit secara langsung. PAP dan keluarga Lee telah memastikan bahwa kekuasaan tetap terpusat dalam kelas penguasa yang kecil sambil menggunakan pertumbuhan ekonomi dan tatakelola yang kuat untuk mempertahankan legitimasi. Hal ini berbeda dari oligarki tradisional, dimana kekuasaan sering dipertahankan melalui korupsi, kapitalisme kroni, atau kekuatan militer.
Meskipun perlawanan terhadap oligarki di Singapura terbatas karena kendali pemerintah atas politik, media, dan masyarakat sipil, tantangan di masa depan mungkin muncul karena generasi muda menuntut kebebasan politik dan akuntabilitas yang lebih besar. Apakah Singapura akan berkembang menjadi sistem politik yang lebih terbuka atau mempertahankan struktur yang didominasi elit, masih menjadi pertanyaan terbuka," Cangik mengakhiri perbincangan.
[Bagian 1]