[Episode 4]Beritanya beginih. Dalam langkah yang sangat mencengangkan, pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-undang Penyitaan Aset Rakyat, yang memungkinkan penyitaan kendaraan bermotor bagi mereka yang tak membayar pajak selama dua tahun. Sementara itu, rencana mengesahkan Undang-undang Perampasan Aset bagi para koruptor masih tertunda di meja pembuat undang-undang.
Para legislator dengan bangga mengumumkan bahwa mereka telah menemukan cara baru meningkatkan pendapatan negara: dengan menyita kendaraan rakyat yang terpaksa tak mampu membayar pajak. “Kenapa harus repot-repot mengejar para koruptor yang bersembunyi di balik tumpukan uang? Lebih baik kita ambil mobil rakyat yang gak bayar pajak!” seru salah seorang anggota Dewan dengan semangat.
Dengan undang-undang baru ini, mobil-mobil tua dan motor-motor berdebu menjadi sasaran empuk bagi petugas pajak. “Kami tak hanya menyita kendaraan, tapi juga harapan mereka untuk pergi ke pasar atau ke tempat kerja,” tambahnya sambil tersenyum lebar. “Inilah langkah progresif untuk meningkatkan kesadaran pajak di kalangan masyarakat!”
Sementara itu, para koruptor yang telah menguras uang negara dengan bebas berkeliaran, menikmati hasil kerja keras rakyat. “Kami akan menangani mereka nanti,” kata seorang pejabat tinggi. “Sekarang, kami harus fokus pada mobil-mobil yang gak terdaftar dan motor-motor yang sudah lama kagak bayar pajak. Mereka lebih mudah dijangkau!”
Di lapangan, warga sudah merasakan dampaknya. Banyak keluarga kini tak punya pilihan selain berjalan kaki ke tempat kerja atau mengandalkan transportasi umum yang tak memadai. “Kami mungkin kehilangan mobil, tetapi setidaknya kami bisa bugar!” canda seorang ibu rumah tangga yang optimis, meskipun wajahnya menunjukkan rasa frustrasi.
Peraturan ini berlandasan hukum yang jelas dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2021. Peraturan ini bertujuan memastikan legalitas kendaraan bermotor dan meningkatkan kepatuhan pajak. Sebelum terjadi penyitaan, ada tiga kali peringatan yang diberikan kepada pemilik kendaraan agar memperbarui STNK, sehingga memberikan cukup waktu bagi individu memenuhi kewajibannya.
Meski peraturan ini berdasar hukum dan prosedur yang jelas, pelaksanaannya perlu mempertimbangkan aspek keadilan sosial, khususnya bagi kelompok ekonomi lemah. Selain itu, prioritas legislasi mengenai perampasan aset warga negara dibandingkan dengan yang menyasar koruptor juga memengaruhi persepsi publik terhadap kebijakan pemerintah. Peraturan ini dapat dianggap tak adil bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang kesulitan membayar pajak kendaraan tahunan. Mereka berisiko kehilangan aset penting tanpa mempertimbangkan keadaan ekonomi mereka.
Penghapusan data STNK pasca-penyitaan membuat pemilik kendaraan tak dapat mendaftarkan ulang kendaraannya, sehingga berpotensi menambah beban administratif bagi mereka yang ingin mengambil kembali kendaraannya.
Kritik muncul karena fokus pada perampasan aset warga negara yang kontras dengan lambatnya pengesahan UU Perampasan Aset bagi pejabat korup. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa pemerintah lebih tegas terhadap pelanggar kecil daripada kejahatan besar seperti korupsi.
Meskipun peraturan tersebut bertujuan meningkatkan kepatuhan pajak dan mengelola data kendaraan secara efektif, dampak negatifnya dapat signifikan bagi individu dan masyarakat.
Penyitaan berarti pemilik kehilangan akses terhadap aset berharga, yang dapat mengganggu mobilitas dan aktivitas sehari-hari. Pemilik hendaknya menanggung biaya tambahan untuk mendapatkan kembali kendaraannya yang disita, termasuk denda dan biaya administrasi guna menebus dokumen STNK dan BPKB.
Jika STNK kedaluwarsa, klaim asuransi menjadi sulit atau bahkan tak mungkin, sehingga pemilik harus menanggung sendiri biaya perbaikan jika terjadi kerusakan. Kendaraan dengan STNK kedaluwarsa dianggap ilegal, yang berpotensi menimbulkan masalah hukum lebih lanjut bagi pemiliknya.
Penyitaan banyak kendaraan dapat menyebabkan peningkatan jumlah kendaraan yang tak terdaftar atau ilegal di jalan raya, yang dapat menimbulkan risiko keselamatan dan keamanan.
Proses penyitaan dan penghapusan data kendaraan memerlukan sumber daya dari lembaga pemerintah dan penegak hukum, yang berpotensi membebani sistem administrasi publik.
Kebijakan ini dapat menimbulkan persepsi negatif di kalangan masyarakat mengenai kewajiban pajak, terutama jika dianggap terlalu keras atau tidak adil.
Benturan-benturan negatif terhadap institusi kepolisian akibat penyitaan kendaraan karena pajak yang belum dibayar bisa sangat besar, terutama terkait potensi pelanggaran perilaku di kalangan petugas.
Ada risiko bahwa oknum tertentu di kepolisian dapat memanfaatkan proses penyitaan kendaraan untuk keuntungan pribadi, seperti meminta suap atau menjual kendaraan sitaan secara ilegal. Hal ini dapat merusak citra institusi kepolisian di mata masyarakat. Jika terjadi kasus korupsi atau penyalahgunaan wewenang, kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian dapat menurun. Masyarakat mungkin merasa bahwa kepolisian lebih fokus pada keuntungan finansial daripada menjalankan tugas utama menjaga keamanan dan ketertiban.
Kebijakan penyitaan kendaraan membutuhkan sumber daya administrasi dan operasional yang besar. Jika gak dikelola dengan baik, dapat mengganggu fokus kepolisian pada tugas utama seperti pencegahan kejahatan dan pelayanan masyarakat.
Penyitaan yang dipandang tidak adil atau salah prosedur dapat menimbulkan gugatan hukum terhadap institusi kepolisian. Selain menghabiskan waktu dan sumber daya, hal ini juga berpotensi mencoreng reputasi lembaga tersebut. Jika petugas kepolisian ditekan agar memenuhi target penyitaan atau denda, dapat menimbulkan dilema etika dan menurunkan semangat kerja mereka. Tekanan semacam ini juga berisiko membuka praktik-praktik yang tak sesuai dengan kode etik kepolisian.
Meskipun tujuan kebijakan ini adalah untuk meningkatkan kepatuhan pajak, dampak buruknya terhadap institusi kepolisian bisa cukup serius jika tidak ada pengawasan ketat dan transparansi dalam pelaksanaannya.
Beberapa negara maju, yakni Amerika Serikat, Inggris, Australia, Kanada, dan Jerman, telah menerapkan peraturan serupa terkait penyitaan kendaraan karena pajak yang belum dibayar atau masalah registrasi. Akan tetapi, peraturan dan prosedur spesifik dapat sangat bervariasi di antara yurisdiksi, yang mencerminkan standar hukum dan praktik penegakan hukum setempat.
Kredibilitas lembaga kepolisian di negara maju yang menerapkan undang-undang penyitaan kendaraan karena pajak yang belum dibayar secara umum dipandang lebih tinggi daripada di banyak negara berkembang. Sebaliknya, Indonesia menghadapi tantangan terkait kredibilitas kepolisian, dengan sebagian besar penduduk menyatakan ketidakpercayaan terhadap penegak hukum. Sekitar 43% penduduk Indonesia tak mempercayai polisi, yang dapat menghambat penegakan hukum yang efektif dan kepatuhan terhadap peraturan. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap ketidakpercayaan ini termasuk tuduhan korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, dan kurangnya akuntabilitas dalam kepolisian.
Keputusan Indonesia menerapkan penyitaan kendaraan karena pajak yang belum dibayar di tengah kesulitan ekonomi menimbulkan kekhawatiran besar tentang waktu dan keadilan. Meskipun peraturan serupa berlaku di negara-negara maju, konteks sosial ekonomi di Indonesia membuat kebijakan ini berpotensi bermasalah.
Peningkatan PPN menjadi 12% pada tahun 2025 telah membebani rumah tangga, khususnya kelompok berpenghasilan rendah dan menengah, karena harga barang-barang pokok seperti beras dan minyak goreng terus meningkat. Usaha kecil dan perorangan berjuang dengan daya beli yang berkurang dan biaya produksi yang lebih tinggi, sehingga sulit memenuhi kewajiban keuangannya.
Penyitaan kendaraan secara tak proporsional memengaruhi warga berpenghasilan rendah yang mengandalkan kendaraan mereka untuk bekerja dan beraktivitas sehari-hari. Tanpa mekanisme keringanan pajak atau pembayaran angsuran, kebijakan ini berisiko memperdalam kesenjangan sosial.
Banyak keluarga bergantung pada kendaraan mereka untuk bepergian sehari-hari ke tempat kerja atau menjalankan usaha kecil. Penyitaan kendaraan dapat mengakibatkan hilangnya pendapatan secara langsung, sehingga menyulitkan keluarga memenuhi kewajiban keuangan mereka.
Keluarga menghadapi biaya tambahan terkait dengan pengembalian kendaraan yang disita, termasuk denda dan biaya administrasi. Tekanan keuangan ini dapat memperburuk tantangan ekonomi yang ada, terutama bagi rumah tangga berpenghasilan rendah.
Tanpa akses ke kendaraan mereka, keluarga akan kesulitan dengan transportasi bagi kegiatan penting semisal berbelanja kebutuhan pokok, pergi ke dokter, dan mengantar anak ke sekolah. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan waktu dan biaya yang terkait dengan pencarian transportasi alternatif.
Ketidakmampuan bepergian dengan bebas dapat mengakibatkan isolasi sosial, karena keluarga merasa sulit berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat atau menjaga hubungan sosial tanpa transportasi yang andal.
Ancaman penyitaan kendaraan dapat menimbulkan stres dan kecemasan yang signifikan di antara keluarga, terutama mereka yang sudah menghadapi kesulitan keuangan. Kekhawatiran kehilangan alat transportasi utama dapat memengaruhi kesehatan mental dan kesejahteraan secara keseluruhan.
Bagi banyak keluarga berpenghasilan rendah, kehilangan kendaraan dapat mendorong mereka semakin terjerumus ke dalam kemiskinan, karena mereka mungkin kesulitan mencari cara alternatif untuk mencari nafkah tanpa transportasi yang andal.
Kebijakan tersebut mungkin secara tak proporsional memengaruhi keluarga berpenghasilan rendah yang mungkin sudah kesulitan membayar pajak. Sebaliknya, individu atau bisnis yang lebih kaya akan memiliki lebih banyak sumber daya untuk memenuhi kewajiban pajak tanpa menghadapi hukuman serupa.
Penyitaan kendaraan karena pajak yang belum dibayar menimbulkan risiko serius bagi ekonomi keluarga, yang berpotensi menyebabkan peningkatan tekanan keuangan, berkurangnya mobilitas, dan meningkatnya tingkat stres. Para pembuat kebijakan harus mempertimbangkan dampak ini dan menerapkan langkah-langkah yang melindungi populasi yang rentan dari beban yang berlebihan.
Mengingat ketidakstabilan ekonomi saat ini, penerapan kebijakan semacam itu dapat memperburuk kesulitan keuangan bagi banyak keluarga. Para ahli menyarankan bahwa langkah-langkah alternatif, semisal program pengampunan pajak atau rencana pembayaran fleksibel, dapat lebih adil selama masa-masa ekonomi sulit.
Walau memastikan kepatuhan pajak tak dapat disangkal penting, waktu dan penerapan peraturan ini seyogyanya mempertimbangkan kesulitan ekonomi Indonesia saat ini guna mencegah memburuknya ketimpangan dan memicu ketidakpuasan publik. Kendati undang-undang ini diwarisi dari pemerintahan sebelumnya, undang-undang ini membawa risiko yang signifikan bagi Presiden Prabowo; alih-alih ketiban pulung dengan menghasilkan manfaat yang diharapkan dari peningkatan pendapatan pajak, malah ketiban sampur karena undang-undang ini dapat memicu ketidakpuasan yang meluas di kalangan masyarakat.
Sekarang, mari lanjut lagi dengan topik kita!
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menyaksikan tren yang mengkhawatirkan dimana media dan surveyor memainkan peran penting dalam membentuk persepsi popularitas politik, yang kerap membangun citra popularitas bagi tokoh-tokoh tertentu yang mungkin tak benar-benar menikmati dukungan publik yang luas. Fenomena ini terkait erat dengan munculnya manipulasi digital dan penggunaan media yang strategis untuk mengendalikan narasi. Elit politik dan tim kampanye mereka semakin bergantung pada "buzzer"—influencer media sosial berbayar atau operator digital—guna memperkuat narasi tertentu, mempromosikan kandidat yang disukai, dan menekan suara-suara yang tak setuju. Aktor-aktor ini memunculkan ilusi popularitas dengan membanjiri ruang daring dengan konten terkoordinasi yang menggambarkan individu-individu tertentu sebagai orang yang sangat disukai oleh publik, bahkan ketika sentimen ini tak mencerminkan kenyataan.
Popularitas yang dibuat-buat ini semakin diperkuat oleh survei yang terkadang dipandang bias atau dimanipulasi. Organisasi jajak pendapat, baik sengaja maupun di bawah tekanan, dapat menyajikan hasil yang menguntungkan kandidat tertentu, sehingga memengaruhi persepsi publik. Dalam lanskap politik Indonesia, dimana media sosial memainkan peran dominan dalam membentuk opini, taktik semacam itu dapat berdampak besar. Dengan menampilkan kandidat sebagai kandidat yang populer atau unggul dalam jajak pendapat, narasi ini membuat "efek ikut-ikutan", yang mendorong pemilih yang belum menentukan pilihan untuk mendukung kandidat yang dianggap unggul.
Di Indonesia, buzzerp—operator media sosial berbayar—telah menjadi kekuatan yang kuat dalam membentuk opini publik, khususnya selama pemilu. Individu atau kelompok ini disewa untuk memperkuat pesan politik, memanipulasi narasi, dan memengaruhi persepsi melalui kampanye daring yang terkoordinasi. Dengan menggunakan akun palsu dan menyamar sebagai pengguna biasa, buzzer membanjiri platform media sosial dengan unggahan, tagar, suka, dan komentar yang tampak organik tetapi dibuat secara strategis untuk memengaruhi sentimen publik.
Buzzer sering menyebarkan disinformasi atau konten yang menyesatkan untuk membingungkan publik, mencoreng reputasi, dan membungkam kritik. Taktik mereka meliputi kampanye kotor terhadap lawan, meningkatkan narasi yang menguntungkan klien mereka, dan menenggelamkan suara-suara yang tak setuju. Sebagai contoh, dalam pemilihan presiden 2024, buzzerp berperan penting dalam menciptakan persepsi dukungan yang luas bagi kandidat tertentu dengan memperkuat kampanye mereka secara daring. Praktik ini telah mengakar kuat dalam budaya politik Indonesia, yang menimbulkan ancaman signifikan terhadap demokrasi. Dengan mendistorsi lanskap informasi dan menekan wacana organik, buzzer merusak kepercayaan publik terhadap lembaga dan menciptakan lapangan permainan yang tidak adil bagi persaingan politik. Meskipun kesadaran publik terhadap pengaruh mereka meningkat, tanggapan kelembagaan yang efektif masih terbatas. Buzzer terus beroperasi secara terbuka sebagai bagian dari industri yang menguntungkan, yang selanjutnya menormalkan peran mereka dalam memanipulasi hasil pemilu.
Popularitas dalam politik membawa keuntungan dan kerugian, membentuk dinamika pemerintahan, kepercayaan publik, dan proses demokrasi. Di sisi positif, popularitas mencerminkan persetujuan publik dan berfungsi sebagai ukuran legitimasi bagi para pemimpin dan kebijakan. Dalam demokrasi, pemimpin populer kerap dipandang sebagai wakil dari keinginan rakyat, yang memperkuat prinsip pemerintahan berdasarkan persetujuan. Popularitas juga memungkinkan para pemimpin untuk menggalang dukungan bagi kebijakan, sehingga memudahkan pelaksanaan inisiatif yang memenuhi kebutuhan masyarakat. Selain itu, popularitas dapat menginspirasi keterlibatan masyarakat karena warga merasa lebih terhubung dengan para pemimpin yang mereka kagumi atau percayai.
Namun, popularitas punya sisi negatif yang sangat penting. Popularitas dapat bersifat dangkal dan dimanipulasi, terutama melalui media atau taktik jajak pendapat yang membuat ilusi dukungan yang luas. Misalnya, seperti yang terlihat di Indonesia dan di tempat lain, kampanye media atau survei yang bias dapat menciptakan popularitas bagi tokoh-tokoh tertentu, mendistorsi persepsi publik, dan merusak pilihan demokrasi yang sejati. Hal ini dapat menyebabkan "bandwagon effect", dimana orang-orang mendukung kandidat hanya karena mereka dianggap populer daripada mengevaluasi kualifikasi atau kebijakan mereka secara kritis. Selain itu, fokus yang berlebihan pada popularitas dapat mengalihkan perhatian dari tatakelola substantif ke pengelolaan citra. Para pemimpin akan mungkin memprioritaskan persetujuan jangka pendek daripada solusi jangka panjang, menghindari keputusan yang sulit tetapi perlu yang dapat merusak reputasi publik mereka. Politik yang didorong oleh popularitas juga berisiko memecah belah masyarakat, karena para pemimpin mungkin hanya melayani basis mereka sambil mengabaikan suara minoritas.
Meskipun popularitas penting untuk legitimasi demokrasi dan memobilisasi dukungan, manipulasi dan penekanannya yang berlebihan dapat mengikis kepercayaan pada lembaga dan melemahkan kualitas tata kelola. Keseimbangan antara persetujuan publik dan kepemimpinan yang berprinsip sangat penting bagi demokrasi yang sehat.
Meskipun popularitas merupakan faktor penting dalam pemilihan umum yang demokratis, popularitas bukanlah satu-satunya kriteria memilih pemimpin seperti presiden atau senator. Demokrasi memerlukan evaluasi kandidat yang lebih komprehensif dalam memastikan pemerintahan yang efektif dan menegakkan prinsip-prinsip demokrasi. Selain popularitas, beberapa kualitas dan pertimbangan utama memainkan peran penting dalam memilih pemimpin.
Pertama, kompetensi dan keahlian sangat penting. Pemimpin hendaknya punya pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang diperlukan untuk mengatasi tantangan nasional dan global yang kompleks. Kemampuan mereka menyusun kebijakan yang baik, mengelola krisis, dan memimpin secara efektif harus menjadi pertimbangan utama dalam keputusan pemilih. Rekam jejak seorang pemimpin, termasuk prestasi masa lalu dan kemampuan memecahkan masalah yang ditunjukkan, memberikan wawasan berharga tentang potensi efektivitas mereka.
Kedua, integritas dan perilaku etika sangat penting. Dalam demokrasi, para pemimpin dipercayakan dengan kekuasaan dan tanggung jawab yang signifikan. Kejujuran, transparansi, dan komitmen mereka terhadap kebaikan publik membantu membangun kepercayaan antara pemerintah dan rakyat. Korupsi atau perilaku tidak etis dapat mengikis lembaga-lembaga demokrasi dan merusak kepercayaan publik.
Ketiga, visi dan gaya kepemimpinan sangat penting. Seorang pemimpin yang kuat hendaknya mengartikulasikan visi yang jelas bagi masa depan yang selaras dengan aspirasi warga negara sambil mendorong inklusivitas dan kolaborasi. Kepemimpinan yang demokratis menekankan partisipasi, mendorong beragam perspektif dalam proses pengambilan keputusan. Pemimpin yang mengadopsi pendekatan ini dapat menginspirasi tindakan kolektif dan inovasi sambil memastikan bahwa semua suara didengar.
Terakhir, komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi tak dapat dinegosiasikan. Pemimpin hendaknya menghormati aturan hukum, menegakkan hak asasi manusia, dan bekerja untuk memperkuat lembaga-lembaga demokrasi. Mereka hendaknya memprioritaskan akuntabilitas dan keadilan sambil menolak kecenderungan otoriter atau retorika yang memecah belah, yang dapat memecah belah masyarakat.
Singkatnya, meskipun popularitas sering menentukan keberhasilan pemilu dalam demokrasi, popularitas seyogyanya dilengkapi dengan kompetensi, integritas, visi, dan komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Kualitas-kualitas ini memastikan bahwa para pemimpin tak hanya memenangkan pemilu tetapi juga memerintah secara efektif demi kepentingan terbaik rakyatnya.
Jika satu atau beberapa kriteria penting untuk memilih pemimpin dalam demokrasi—seperti kompetensi, integritas, visi, atau komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi—diabaikan, konsekuensinya bisa parah dan luas. Ketika pemimpin dipilih hanya berdasarkan popularitas atau sifat-sifat yang dangkal, kualitas pemerintahan sering kali menurun, yang menyebabkan inefisiensi, hilangnya kepercayaan, dan bahkan kemunduran demokrasi.
Mengabaikan kompetensi mengakibatkan pemimpin mungkin tidak memiliki pengetahuan atau keterampilan untuk mengatasi tantangan yang kompleks secara efektif. Hal ini dapat menyebabkan pengambilan keputusan yang buruk, salah urus sumber daya, dan ketidakmampuan untuk menanggapi krisis. Misalnya, dalam keadaan darurat di mana tindakan yang tegas dan terinformasi diperlukan, pemimpin yang tidak memenuhi syarat dapat memperburuk masalah daripada menyelesaikannya.
Jika integritas diabaikan, korupsi dan perilaku tak beretika dapat berkembang. Pemimpin tanpa akuntabilitas moral dapat memprioritaskan keuntungan pribadi atau kelangsungan hidup politik daripada kebaikan publik. Hal ini merusak kepercayaan pada lembaga pemerintah dan menumbuhkan sinisme di antara warga negara, yang melemahkan fondasi demokrasi.
Kurangnya visi menyebabkan stagnasi atau pandangan jangka pendek dalam pemerintahan. Tanpa rencana yang jelas untuk masa depan, para pemimpin mungkin hanya berfokus pada mempertahankan popularitas mereka daripada mengatasi masalah sistemik seperti kesenjangan atau perubahan iklim. Ketiadaan pandangan ke depan ini dapat menghambat kemajuan dan membuat masyarakat rentan terhadap risiko jangka panjang.
Terakhir, mengabaikan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi membuka pintu bagi kecenderungan otoriter. Para pemimpin yang mengabaikan mekanisme pengawasan dan keseimbangan atau menekan perbedaan pendapat dapat mengonsolidasikan kekuasaan dengan mengorbankan lembaga-lembaga demokrasi. Hal ini telah diamati dalam kasus-kasus pelanggaran kewenangan eksekutif dan manipulasi pemilu, di mana proses-proses demokrasi disalahgunakan untuk keuntungan politik.
Singkatnya, ketidakmampuan memprioritaskan kriteria-kriteria ini merusak efektivitas dan legitimasi kepemimpinan dalam demokrasi. Hal ini berisiko mengikis kepercayaan publik, menggoyahkan stabilitas lembaga, dan mengorbankan prinsip-prinsip yang hendak ditegakkan oleh demokrasi.
Pemimpin demokratis merujuk pada seseorang yang mengadopsi gaya kepemimpinan partisipatif, menekankan kolaborasi, saling menghormati, dan pengambilan keputusan bersama. Kepemimpinan yang demokratis berakar pada prinsip-prinsip demokrasi—pemerintahan oleh rakyat—dan dicirikan oleh inklusivitas dan pemecahan masalah secara kolektif. Seorang pemimpin yang demokratis dapat berasal dari kalangan militer, asalkan beroperasi dalam prinsip dan struktur yang demokratis. Misalnya, personel militer telah berhasil beralih ke peran kepemimpinan dalam sistem yang demokratis, semisal Dwight D. Eisenhower, mantan jenderal AS yang menjadi Presiden melalui pemilihan umum yang demokratis. Namun, tantangan muncul ketika para pemimpin militer mempertahankan kecenderungan otoriter atau memprioritaskan kepentingan militer di atas pemerintahan sipil.
Pemimpin sipil adalah individu yang memegang peran kepemimpinan dalam pemerintahan atau layanan publik tetapi bukan bagian dari militer. Pemimpin sipil meliputi pejabat terpilih, pejabat politik, dan pegawai negeri senior yang bertanggungjawab atas pembuatan kebijakan, tatakelola, dan pengawasan keamanan nasional. Wewenang mereka berasal dari kerangka konstitusional dan hukum, yang sering menekankan akuntabilitas kepada pemilih atau prinsip-prinsip demokrasi yang lebih luas. Seorang pemimpin sipil boleh seorang pensiunan militer jika mereka telah meninggalkan dinas aktif dan beralih ke kehidupan sipil. Di banyak negara demokrasi, para pemimpin militer yang sudah pensiun kerap mengambil peran sipil, termasuk posisi politik atau layanan publik. Misalnya, di AS, para jenderal yang sudah pensiun dapat memegang peran kepemimpinan sipil seperti Menteri Pertahanan, tetapi kerangka hukum sering mengharuskan mereka agar pensiun selama periode tertentu (misalnya, tujuh tahun berdasarkan the National Security Act of 1947) guna memastikan kendali sipil atas militer.
Dalam kedua jenis pemimpin tersebut, kepatuhan terhadap norma-norma demokrasi dan pemisahan dari tugas-tugas militer aktif sangat penting untuk mempertahankan pemerintahan yang demokratis dan mencegah politisasi angkatan bersenjata. Meskipun kepemimpinan sipil dan kepemimpinan demokratis saling tumpang tindih dalam demokrasi, keduanya pada dasarnya tidak sama. Pemimpin sipil dapat beroperasi dengan berbagai gaya kepemimpinan (misalnya, otoriter atau laissez-faire), tergantung pada pendekatan mereka terhadap pemerintahan. Pemimpin yang demokratis secara khusus berfokus pada metode partisipatif dan mendorong kolaborasi di antara para pemangku kepentingan.
Dalam episode selanjutnya, kita akan membahas tantangan-tantangan yang dihadapi baik pemimpin sipil maupun demokratis. Bi 'idznillah. Sebelum beranjak, coba baca sebuah ode dari Horace,Virtus repulsae nescia sordidae
[Kebajikan tak mengenal kekalahan yang tercela]
Intaminatis fulget honoribus,
[bersinar dengan kehormatan yang tak ternoda,]
Nec sumit aut ponit secures
[dan tak mengambil atau melepaskan kekuasaan]
Arbitrio popularis aurae.
[sesuai dengan hembusan angin rakyat yang berubah-ubah]
(Odes 3.2.17-20)
[Episode 2]