Minggu, 13 Juli 2025

Antara Selfie dan Slogan: Naiknya Citra di atas Integritas

Apa beda kentut pejabat Indonesia dan kentut bintang filmnya? Wah, pertanyaan ini seharusnya masuk soal esai UTBK—karena dalam kentut pun, status sosial ikutan ngomong.
Kentut pejabat itu kayak proyek infrastruktur: tertutup, bertele-tele, dan sering bocor ke tempat yang keliru. Ia harus lewat rapat tertutup, disahkan dulu sama tim protokoler, baru bisa dikeluarkan di balik meja bundar, dengan wewangian janji-janji manis dan sisa aroma anggaran tak terserap.
Sedangkan kentut para bintang? Itu mah konten! Keluar anggun pas jalan di karpet merah, sambil diiringi lighting yang pas dan caption Instagram yang menyentuh: “Even stars are human too #FartButMakeItFashion.” Kentutnya langsung dikemas jadi momen “realness,” dijual bareng parfum limited edition dan diulas oleh beauty vlogger.
Jadi, kalau kentut pejabat harus dirahasiakan atas nama negara, kentut seleb justru dirayain atas nama branding. Keduanya sih sama-sama akting. Yang asli dan jujur cuma satu: kentut sapi, yang keluar tanpa niat pencitraan, tapi malah bikin kita nyadar—hidup ini sebenernya gak perlu dibuat-buat. Sapi itu, kentutnya keras, bau, dan kagak bisa ditahan. Tapi justru di sanalah letak kejujurannya. Sapi gak butuh pencitraan. Gak ada tim kreatif, gak ada manajer humas. Kentutnya bebas, otentik, dan apa adanya. Nah, di tengah “symphony” masyarakat yang penuh dramatisasi, kentut sapi itu kayak suara rakyat jelata—mungkin gak wangi, tapi jujur dan nyata. Jadi, semakin tinggi posisi seseorang, semakin rumit urusan pencitraannya. Dan kadang, yang paling jujur adalah yang gak punya citra sama sekali.

Kita semestinya acungin jempol ama gaya pemerintahan di Indonesia. Tiap ngomongin politik—apalagi kalau udah nyangkut para pejabat di kursi empuk—pasti ujung-ujungnya keluar kata sakti: "Pencitraan." Ini bukan lagi soal kebijakan atau program, gaes, tapi lebih ke seni tingkat tinggi buat molesin citra, semacam drama Korea yang setting-annya pemilu. Yang penting aktingnya oke, plot aslinya belakangan!

“Pencitraan” itu kek jurus andelan politisi atau selebriti biar kelihatan baik di mata publik, meskipun aslinya belum tentu begitu. Misalnya, tiba-tiba rajin blusukan pas mau Pemilu, atau mendadak 'merakyat' di media sosial, pakai baju putih dan makan di warteg, padahal biasanya naik jet pribadi. Semua ini semacam akting yang disutradarai dengan rapi—biar publik ngelihat versi paling manis dari mereka, bukan kenyataan di balik layar. Jadi, pencitraan itu bukan soal siapa loe sebenarnya, tapi soal gimana cara loe bikin orang percaya loe cool, keren, atau peduli. Singkatnya, kata Pak JeKa, dianggep orang "baek".

Dalam bahasa Inggris Britania maupun Amrik, kagak ada satu kata pun yang bener-bener pas buat nerjemahin “pencitraan.” Di Inggris, mereka biasanya pakai istilah kayak image-building, public persona, atau spin. Nah, kata spin ini rada satiris—kesannya kayak ngolah fakta biar keliatan indah, padahal ngibul juga dikit-dikit. Sementara itu, orang Amerika lebih suka bilang branding, optics, atau publicity stunt. Mereka emang udah biasa ngomong pakai bahasa iklan—identitas dianggep kayak barang: bisa dikemas, dijual, dan bahkan dibisnisin.
Perbedaan kata-kata ini nunjukkin beda gaya hidup juga. Orang Inggris ngomongin pencitraan kayak ngomongin teater—penuh drama dan naskah tersembunyi. Sementara orang Amerika lebih to the point: citra itu dagangan, bro, yang penting laku! Tapi ujung-ujungnya, baik di Inggris atau Amerika, pencitraan tetep jadi alat kuat buat ngatur gimana orang dilihat, dan bahkan—boleh jadi—diterima di masyarakat.

Di zaman serba layar ini, pencitraan udah kayak paket wajib buat hidup publik. Dari pejabat, seleb, sampe CEO startup, semua kayak lagi tampil di reality show—versi hidup yang udah disutradarai.
Kata “bangun citra” sendiri tuh udah kayak ngerasa imitasi. Bukan soal jadi diri sendiri, tapi soal keliatan keren. Bukannya jujur, tapi editan. Niatnya bukan biar orang ngerti, tapi biar orang terpesona.

Secara filosofis, pencitraan itu bikin kita mikir lagi: yang mana sih “gue yang asli”? Kalau tiap hari kita sadar diliatin orang, lama-lama lupa mana topeng, mana muka.

Ide bahwa hidup itu panggung dan kita semua aktor yang gonta-ganti peran tergantung siapa penontonnya, paling ngetop dijelaskan dalam buku legendaris The Presentation of Self in Everyday Life karya Erving Goffman. Pertama kali terbit tahun 1956 di Skotlandia, lalu meledak di Amerika tahun 1959, buku ini jadi semacam "kitab suci" sosiologi soal dunia sosial yang penuh akting. Kata Goffman, hidup itu panggung. Kita semua aktor yang gonta-ganti topeng tergantung siapa penonton. Tapi sekarang, pencitraan udah kayak kerja full-time, lengkap dengan lighting, script, dan tim medsos.

Goffman itu kek sutradara yang bilang, hidup kita ini sebenarnya drama teater banget. Doi menyebutnya "dramaturgi" – intinya, semua interaksi sosial kita itu kayak pertunjukan.
Goffman pernah bilang gini: "All the world is not, of course, a stage, but the crucial ways in which it isn’t are not easy to specify." ["Nggak semua dunia ini panggung Yura, tapi susah banget buat jelasin bagian mana yang bukan."]

Jadi, menurut doski, kita semua punya "panggung depan" (front stage). Disinilah tempat kita nunjukin versi paling kece dari diri kita ke orang lain, biar kelihatan oke. Nah, ada juga "belakang panggung" (backstage), dimana kita bisa jadi diri sendiri seautentiknya, tanpa jaim.
Intinya, kita bakalan pake baju, ngomong, bertingkah, bahkan berekspresi sesuai ama peran yang lagi kita mainken. Dan ini bisa beda-beda banget tergantung siapa penontonnya: bos yang galak, temen-temen tongkrongan, keluarga di rumah, atau followers di medsos!

Menurut Goffman, hidup kita yang terbagi dua itu: ada panggung depan, tempat kita tampil kece, sopan, dan serba terkontrol—alias versi kita yang layak konsumsi publik, trus ada panggung belakang, tempat kita bisa lepas topeng, kentut tanpa sensor, dan ngeluh tanpa takut cancel; bukan berarti palsu—tapi yaaa begitulah cara kita bertahan hidup di dunia yang ribet ini.
Menariknya, teori Goffman makin nempel di jaman now. Di era media sosial, semua orang bukan cuma aktor—tapi juga sutradara, editor, dan manajer humas buat hidupnya sendiri. Feed Instagram jadi panggung raksasa, dan tiap story adalah mini-drama. Goffman seakan udah meramal bahwa di masa depan, realita bakal difilter, dan kejujuran jadi barang langka.

Di dunia politik, citra itu senjata. Gaya bicara, cara berdiri, bahkan senyum pun bisa bikin suara naik. Kadang debat itu nggak penting—yang penting viral duluan.
Tapi ada harga yang harus dibayar. Kalau yang dipentingin cuma tampilannya, pemerintahan berubah jadi sinetron. Isinya bisa kosong, tapi asal dramanya dapet, penonton tetap tepuk tangan.

Dunia hiburan juga sama. Seleb kadang lebih sibuk jagain brand pribadinya daripada urus kehidupan nyata. Umumnya, yang kita lihat di media itu hasil editan tim PR, bukan keseharian beneran.
Sekarang semua orang bisa jadi seleb. Dari anak SMA sampai tukang bakso, semua punya “feed” yang dikurasi. Foto diatur, caption dipoles, semua biar keliatan wah.
Masalahnya, kita sering kejebak. Kita jatuh cinta ama ilusi. Kita debat soal persona, bukan isi otaknya. Kita lebih percaya feed Instagram daripada jejak nyata.

Negara juga suka pencitraan. Mereka branding diri biar keliatan ramah, keren, dan toleran—padahal masalah internal sering ditutupin. Pemerintah bisa bikin slogan nasional yang keren, tapi kalau isinya nggak nyambung sama realita, jadinya patriotisme halu.

Budaya lokal pun kadang dikemas kayak konten. Tradisi dipotong, baju adat dimodifikasi, upacara disingkat—asal bisa masuk Insta Story. Soalnya, di ekonomi zaman now, yang laku itu penampilan. Mau startup atau negara, yang keliatan keren pasti dilirik duluan.
Tapi jualan citra bikin capek juga. Publik figur hidup di bawah tekanan branding. Orang biasa pun jadi ngerasa harus keliatan bahagia 24/7 walau hati lagi zonk.
Tapi pencitraan nggak selalu negatif kok. Bisa juga jadi semangat positif, jadi alat perjuangan, atau bikin orang lain termotivasi. Yang penting, citranya nyambung sama kenyataan. Kalau dibangun dari kejujuran, bisa bikin percaya. Tapi kalau isinya manipulasi, siap-siap dibully pas ketahuan.

Sebagai penonton, kita juga punya peran. Jangan gampang baper atau terharu duluan. Bisa jadi, air mata itu cuma bagian dari script. Like, follow, share kita itu kayak voting. Makin sering kita ngasih spotlight ke pencitraan, makin banyak aktor yang naik daun.

Akhirnya, pencitraan itu bukan sekadar tepu-tepu—tapi cermin. Doski ngasih lihat ambisi orang yang tampil, tapi juga selera kita yang nonton. Dan boleh jadi, citra paling jujur itu, yang gak niat tampil sama sekali. Kayak kentut sapi dalam anekdot pembuka kita: bau, berisik, tapi asli. Kagak ada filternya, kagak ada bo'ongnya.

Dan kita tutup bincang kita dengan kutipan lirik Somewhere Only We Know-nya Keane:

Oh, simple thing, where have you gone?
[Duhai, hal yang sederhana, kemanakah dikau bepergian?] 
I'm getting old, and I need something to rely on
[Diriku mulai senja dan butuh sesuatu buat pegangan] 
So, tell me when you're gonna let me in
[Katakan padaku bilakah dikau membukakanku pintu]  
I'm getting tired, and I need somewhere to begin
[Penatku makin menggunung dan perlu suatu awal baru]