Rabu, 09 Juli 2025

Kekuatan Nilai-Nilai (1)

Di sebuah desa tenang di Jawa Tengah, ada seorang guru SD yang tiap pagi datang sejam lebih awal ke sekolah. Bukan buat nyiapin materi pelajaran, tapi buat masak sarapan buat murid-muridnya. Banyak dari mereka berasal dari keluarga yang kadang gak bisa nyediain makan pagi. Akibatnya, anak-anak itu gak bisa fokus belajar karena perut keroncongan.
Tanpa diumumkan ke mana-mana, tanpa konten Instagram atau donasi online, sang ibu guru pakai sebagian gajinya sendiri buat beli beras, telur, dan sayur seadanya. Setiap pagi sekolah, selalu ada beberapa mangkuk makanan hangat di sudut kelas. Anak-anak gak pernah nanya kenapa, mereka cuma tahu: ada yang peduli.
Suatu hari, ada guru lain yang nanya, “Bu, kenapa repot-repot masak sendiri?” Jawabannya sederhana, “Gimana anak mau belajar kalau perutnya kosong?”
Tindakan kecil itu nunjukin nilai-nilai yang jauh lebih besar dari sekadar amal. Ada empati, tanggungjawab, dan rasa keadilan yang tulus banget. Ibu guru itu gak perlu ceramah soal pendidikan karakter—ia justru ngasih contoh lewat aksi nyata.
Di tempat yang fasilitasnya minim, nilai-nilai kadang jadi kekayaan paling mahal yang dimiliki orang-orang. Dan seringkali, pelajaran terbesar justru datang dari hal paling sederhana.

Ada hal-hal dalam hidup yang gak kelihatan, tapi dampaknya luar biasa besar. Nilai-nilai adalah salah satunya. Mereka bukan kayak outfit yang bisa dipamerin di Instagram, tapi lebih kayak playlist batin yang muter terus di balik semua keputusan, kebaikan, bahkan kesalahan kita. Mereka itu kayak script dalam hidup kita—gak kelihatan, tapi ngatur jalan cerita.
Nilai-nilai itu kayak GPS batin kita—yang bantu ngebedain mana yang oke, mana yang ngaco. Ini semacam prinsip hidup yang nunjukin apa yang penting dalam hidup, dari hal pribadi sampai urusan bangsa. Kadang muncul dari agama, budaya, pendidikan, atau pengalaman patah hati. Intinya, nilai-nilai itu yang bikin kita manusia, bukan robot.

Dari kacamata filosofis, nilai-nilai itu semacam kompas batin yang bantu kita nentuin mana yang baik, mana yang jahat, dan apa sih makna hidup ini sebenarnya. Para filsuf nganggep nilai-nilai itu kayak pondasi kehidupan—entah datangnya dari logika, hati nurani, atau dari “alam semesta” yang abstrak. Intinya, nilai-nilai itu jadi pegangan buat hidup yang bermartabat.

Kalau dari perspektif politik, nilai-nilai itu mirip DNA-nya kebijakan dan arah negara. Mau demokrasi? Mau keadilan sosial? Mau otoritas kuat? Semua itu dasarnya nilai-nilai. Nilai-nilai politik yang beda bisa bikin partai atau negara punya cara pandang yang saling tabrakan—kayak konflik antara kubu konservatif dan progresif, atau antara nasionalis dan globalis. Dan dari sanalah debat panjang di parlemen, Twitter, sampai tongkrongan bermula.

Secara sosial, nilai-nilai itu kayak aturan tak tertulis yang bikin masyarakat bisa hidup rukun. Kayak “jangan nusuk dari belakang,” “saling bantu tetangga,” atau “ngobrol pakai sopan.” Nilai-nilai ini yang bikin kita gak jadi individu egois, tapi bagian dari komunitas yang saling percaya dan saling jaga.

Dalam dunia ekonomi, nilai sering disamain dengan harga—padahal gak segampang itu, Ferguso! Memang sih, produktivitas, efisiensi, dan cuan itu penting. Tapi sekarang makin banyak orang sadar, bahwa nilai ekonomi seharusnya juga mikirin hal-hal kayak keadilan, kelestarian alam, dan kesejahteraan manusia. Intinya: jangan cuma ngejar angka, tapi juga pikirin dampaknya.

Kalau dilihat dari sisi budaya, nilai-nilai itu kayak “nyawa kolektif” yang hidup dalam lagu, film, adat, bahasa, sampai makanan. Nilai budaya bikin kita ngerasa belong, ngerasa jadi bagian dari cerita besar leluhur. Mereka nunjukin gimana kita mandang cinta, waktu, keluarga, atau pemimpin. Dan serunya, nilai budaya itu terus berkembang seiring zaman, migrasi, dan update generasi TikTok.

Dalam "Value(s): Building a Better World for All" (2021, William Collins), Mark Carney—mantan Gubernur Bank of England—ngehardik dunia modern yang sering banget nyampur aduk antara “nilai” dan “harga.” Buat doski, kekacauan ini bukan sekadar salah kaprah, tapi juga pemicu ketimpangan sosial, kerusakan lingkungan, dan krisis ekonomi yang berulang-ulang.
Carney bilang, harga itu cuma angka yang kita mau bayar, tapi nilai itu soal apa yang benar-benar kita anggap penting. Masalahnya, dunia sekarang makin sering mikir: “kalau bisa dijual, berarti itu berharga.” Akibatnya, hal-hal penting kayak udara bersih, kesehatan mental, atau solidaritas warga jadi kayak barang murah—soalnya gak bisa dikasih label harga. Sementara itu, saham, kripto, dan produk keuangan ribet malah dipuja-puja... karena bisa dikalkulasi dan diperdagangkan.
Doi tarik benang merahnya sampai krisis finansial 2008, dimana bank dan institusi gede pada ngasih nilai tinggi ke produk keuangan yang sebenarnya penuh risiko, tanpa mikirin dampaknya ke manusia biasa. Di isu iklim juga sama: hutan, laut, dan bumi dianggap gak punya “harga resmi”, jadi dieksploitasi seolah-olah gratis dan tak terbatas. Padahal dampaknya bisa permanen dan parah.
Solusi dari Carney? Kita harus balikin arti “nilai” ke tempatnya semula—bukan cuma soal duit, tapi soal kompas moral dan sosial. Kalau ekonomi mau relevan dan manusiawi, kudu nyambung lagi sama etika. Cuma dengan cara itu, dunia bisa keluar dari krisis yang sama dan bangun masa depan yang adil. 

Carney ngasih pandangan yang dalem banget soal masa depan uang. Buat doski, uang bukan cuma alat tukar, tapi juga cermin dari kepercayaan publik, nilai-nilai sosial, dan kredibilitas lembaga negara. Sekarang, di tengah zaman digital dan kepercayaan masyarakat yang makin goyah sama bank dan pemerintah, dia bilang: cara kita mikirin dan pakai uang harus ikut berkembang.
Carney gak tutup mata sama fenomena kripto kayak Bitcoin. Doski ngerti kenapa orang tertarik—karena kecewa ama sistem lama yang dianggap elitis dan gak transparan. Tapi doi juga ngasih sinyal bahaya: kripto itu volatil banget, boros energi, dan gak punya nilai intrinsik. Buat doi, Bitcoin lebih mirip aset spekulasi daripada alat tukar beneran. Karena gak bisa jadi alat ukur harga yang stabil, gak bisa jadi penyimpan nilai jangka panjang, dan belum tentu diterima secara luas di masyarakat.
Solusinya? Carney dukung penuh pengembangan uang digital versi bank sentral alias CBDC (central bank digital currencies). Menurutnya, kalau didesain dengan bener, CBDC bisa bikin sistem keuangan lebih modern, inklusif, dan tahan guncangan. Dan yang paling penting, gak bikin dunia keuangan dikuasai perusahaan teknologi atau market liar yang gak ada akuntabilitasnya.
Buat Carney, masa depan uang itu bukan cuma soal teknologi canggih—tapi soal etika juga. Uang harus balik lagi jadi alat untuk melayani rakyat, bukan sekadar ngejar untung. Makanya, sistem keuangan masa depan harus dibangun di atas nilai-nilai keadilan, tanggungjawab, dan keberlanjutan.

Carney ngupas tuntas perbedaan antara nilai objektif dan nilai subjektif, terutama pas ngebahas gimana ekonomi modern sering “lupa” sama nilai-nilai moral.
Nilai objektif itu kayak harga diri manusia, keberlanjutan lingkungan, atau hak anak cucu kita buat hidup layak. Nilai-nilai ini punya harga batin yang gak bisa digoyang opini atau pasar. Gak peduli ada yang mau beli atau enggak, hal-hal ini tetap berharga karena emang pantas dihormati. Bisa dibilang, ini semacam nilai-nilai universal yang rooted in moral.
Sebaliknya, nilai subjektif itu ditentukan sama selera pribadi. Contoh gampangnya: loe rela bayar Rp 2 juta buat sepatu limited edition? Ya udah, di mata pasar, itu “nilai” si sepatu. Tapi nilai kayak gini fluktuatif banget—tergantung tren, mood, atau seberapa “ngefans”-nya loe sama brand tertentu. Dan nilai subjektif ini yang dominan di dunia ekonomi sekarang.
Carney ngasih peringatan keras: kalau nilai subjektif dibiarkan ngatur segalanya, lama-lama dunia jadi mikir pendek—asal cuan, asal trending, asal cepat. Yang dikorbanin? Kemanusiaan, keadilan, dan masa depan planet ini. Makanya dia nyaranin buat menyeimbangkan keduanya—biar ekonomi gak cuma mikirin supply-demand, tapi juga nurani.

Carney mendefinisikan Value-Based Leadership atau kepemimpinan berbasis nilai sebagai gaya kepemimpinan yang gak didorong oleh kekuasaan, popularitas, atau keuntungan semata, tapi berakar pada prinsip moral, integritas, dan tanggungjawab jangka panjang. Menurut Carney, pemimpin yang hebat itu bukan yang cuma ikut arus pasar atau ngeladenin tekanan sesaat, tapi yang konsisten ngambil keputusan berdasarkan nilai yang berpihak pada kebaikan bersama.
Di tengah krisis—entah itu krisis keuangan, krisis iklim, atau pandemi—pemimpin berbasis nilai kelihatan banget bedanya. Mereka gak nanya “Mana yang paling cuan?”, tapi nanya “Mana yang paling benar?” Mereka bertindak bukan demi pencitraan, tapi karena punya tujuan jelas. Mereka berani ambil keputusan sulit, walau gak populer, asalkan itu demi menjaga martabat manusia atau melindungi masyarakat.
Carney kasih banyak contoh, mulai dari dunia pemerintahan, keuangan, sampai aktivisme sipil. Doski nunjukin bahwa jadi pemimpin sejati itu butuh lebih dari sekadar gelar atau jago ngomong. Butuh keberanian moral—yakni berani berdiri di atas nilai, bahkan kalau itu artinya melawan arus. Pemimpin kayak gini bikin orang percaya lagi sama institusi, karena mereka jujur, konsisten, dan gak main dua muka.
Akhirnya, Carney ngajak kita semua buat lahirin generasi pemimpin baru—di kantor, di kampus, di pemerintahan—yang berani milih nilai-nilai daripada nilai tukar, tujuan hidup daripada politik pencitraan, dan melayani daripada dilayani.

Kadang kita mikir, nilai itu kita pilih, atau nilai yang milih kita? Bisa jadi awalnya mereka nongol dari ucapan orang tua, wejangan guru, atau kisah di kartun masa kecil. Satu pelajaran soal jujur, satu kisah tentang berani. Seiring waktu, mereka tumbuh bareng kita—dipupuk sama pengalaman, dibentuk kecewa, dan disetrum sama kenyataan. Kita belajar buat nanya balik: ini nilai kita sendiri, atau warisan yang udah gak relevan? Dan di situ, kita mulai tumbuh. Gak cuma nambah umur, tapi nambah makna juga.

Di dunia sekarang yang serba cepet dan penuh notifikasi, nilai itu sering dianggap kayak aplikasi jadul—di-uninstall demi trend yang lebih baru. Tapi nilai sejati bukan aksesoris buat pencitraan. Mereka itu gravitasi batin yang bikin kita tetap waras di tengah dunia yang muter kayak fidget spinner. Di zaman followers dan views jadi patokan harga diri, nilai-nilai ngingetin kita: kejujuran masih penting, empati masih nyembuhin, dan keadilan bukan cuma tagar buat trending.

Nilai juga gak selalu muncul dramatis kayak film superhero. Kadang nongol diam-diam—dalam keputusan buat mendengar, bukan menyerocos. Dalam keberanian buat minta maaf duluan. Dalam nolak jalan pintas walau hasilnya gak secepat itu. Hal-hal kecil ini gak bakal viral, tapi justru itu yang nempel jadi benang merah hidup yang bermakna. Kita makin sadar, hidup yang sejalan sama nilai pribadi—meski keliatannya biasa aja—punya martabat yang tenang dan tulus.

Apa yang kita nilai, nunjukin apa yang kita cintai. Kalau kita menghargai waktu, berarti kita hadir beneran. Kalau kita menjunjung kejujuran, kita siap gak nyaman. Kalau kita menomorsatukan belas kasih, kita rela terluka demi tetap peduli. Pilihan-pilihan kecil yang kita ambil tanpa sorotan kamera ini justru yang ngebentuk dunia lebih dari yang kita kira.

Saat ngeliat dunia sekarang—yang indah sekaligus bikin pusing—kita makin yakin: masa depan itu bukan cuma soal teknologi atau kebijakan, tapi juga soal nilai-nilai yang diturunkan dari hati ke hati, dari generasi ke generasi. Ujung-ujungnya, nilai-nilai bukan cuma bekal hidup. Tapi juga warisan terbaik yang bisa kita tinggalin.

Kenapa Nilai-nilai itu penting?

[Bagian 2]