Bayangin gini: tanggal 14 Juli itu kayak “Hari Kemerdekaan plus Festival Musik Nasional” ala orang Perancis. Dulu mereka ngamuk ke penjara Bastille karena capek banget sama penguasa yang seenaknya. Sekarang, tiap tahun mereka rayain momen itu dengan gaya: parade keren, pesta rakyat, dan kembang api yang bikin langit Paris makin estetik. Jadi, ini bukan sekadar nostalgia sejarah, tapi juga bentuk rakyat bilang: “Dulu kita berjuang, sekarang kita merdeka–hidup croissant dan demokrasi!”Kalau Indonesia punya 17 Agustus, Perancis punya Bastille Day. Bedanya? Di sana mungkin lebih banyak anggur dan tarian... tapi semangatnya mirip: lawan penindasan, rayakan kemerdekaan.Bastille Day, yang dirayain tiap 14 Juli di Prancis, kayak gabungan dua peristiwa gede yang bikin negara itu punya identitas keren sampai sekarang. Pertama, jelas banget: penyerbuan penjara Bastille tahun 1789. Tapi ini bukan soal nyelametin tahanan doang—ini tuh kayak rakyat Prancis bilang, “Udah cukup deh disetir Raja terus. Sekarang giliran kita yang ngomong!” Penjara Bastille dijebol bukan karena isinya, tapi karena lambang kekuasaan tirani yang harus tumbang.Tapi jangan lupa, setahun setelah itu, tanggal 14 Juli 1790, mereka ngadain Fête de la Fédération—kayak pesta nasional super besar yang isinya harapan, pelukan politik, dan semangat buat bikin Prancis baru yang lebih adil dan damai. Gimana enggak? Rakyat dari segala penjuru kumpul, optimis banget ngeliat masa depan di mana kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan bukan cuma slogan doang.Bastille Day itu bukan cuma tentang ngamuk ke penjara, tapi juga tentang merayakan semangat bersatu dan mimpi kolektif buat hidup yang lebih manusiawi. Intinya: revolusi plus reuni akbar, hasilnya? Merdeka rasa croissant!Latar belakang Bastille Day tuh kayak drama kolosal penuh konflik, tapi beneran terjadi di dunia nyata. Bayangin aja: akhir abad ke-18, Prancis dipimpin raja yang doyan foya-foya—Louis XVI—sementara rakyatnya kelaperan dan dibebani pajak mencekik. Kasta bangsawan dan gereja hidup mewah kayak influencer zaman now, tapi rakyat jelata—yang jumlahnya paling banyak—harus ngencengin ikat pinggang dan diem aja. Udah gitu, ekonomi ambruk gara-gara perang terus-menerus, dan sistem sosialnya super timpang.Suasana makin panas waktu sang raja mulai ngegas dengan nurunin tentara buat nahan protes rakyat. Paris pun tegang kayak benang kusut. Terus pada tanggal 14 Juli 1789, rakyat udah kagak tahan: mereka turun ke jalan, bawa semangat, panci, dan segala alat yang bisa dipake buat ngelawan. Target mereka? Penjara Bastille! Penjara ini bukan penjara biasa, bro—doi simbol kekuasaan absolut raja. Meski isinya cuma segelintir tahanan, menjatuhkan Bastille itu kayak ngancurin “istana kegelapan” yang selama ini ngerampas hak dan suara rakyat.Sejak saat itu, segalanya berubah. Monarki rontok, revolusi meledak, dan lahirlah mimpi tentang Prancis baru yang penuh kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Bastille Day bukan cuma soal nyerbu bangunan, tapi soal momen keramat ketika rakyat biasa—yang tiap hari cuman makan roti keras—berani bilang: “Cukup sudah, sekarang giliran kami!”Penjara Bastille awalnya dibangun di akhir abad ke-14, zaman Raja Charles V, buat jadi benteng pertahanan dari serbuan Inggris. Bayangin kayak tembok gede, parit dalam, dan menara tinggi ala film fantasi—tapi bukan buat naga, melainkan buat jagain Paris. Tapi seiring waktu, fungsinya berubah drastis. Masuk abad ke-17, zaman Louis XIII dan Richelieu, Bastille jadi tempat ngurung orang yang gak disukai raja, dan bisa masuk penjara cuma karena selembar surat rahasia dari istana—kayak surat kutukan Hogwarts, tapi isinya sial beneran.Bastille jadi horor bukan karena isinya doang, tapi karena maknanya. Itu tempat di mana siapa aja—penulis kritis, bangsawan nyebelin, bahkan rakyat biasa yang ngomong terlalu lantang—bisa dibuang gitu aja tanpa pengadilan. Semuanya serba diem-diem, kayak reality show gelap yang isinya penindasan dan sensor politik. Makanya, buat rakyat, Bastille itu bukan sekadar bangunan, tapi lambang dari kekuasaan raja yang sewenang-wenang.Pas Revolusi Prancis meletus, isi penjaranya cuma tujuh orang. Tapi siapa peduli? Buat rakyat Paris, nyerbu Bastille itu kayak ngehajar simbol tirani yang udah bikin mereka susah napas. Mereka gak cuma ngerobohin batu-batu tua, tapi juga ngehancurin sejarah panjang ketidakadilan. Semacam uninstall sistem otoriter, versi revolusi.Alasan kenapa rakyat Prancis nyerbu Penjara Bastille pada 14 Juli 1789 tuh nggak cuma soal isi penjaranya, tapi karena simbolnya yang super kuat. Bastille tuh ibarat poster gede kekuasaan raja yang sewenang-wenang—setiap hari rakyat ngeliatnya dan diingatkan, “Loe gak bebas, bro. Raja bisa jeblosin siapa aja seenaknya.” Jadi, meski itu penjara udah gak banyak dipake, keberadaannya bikin nyesek, kayak mantan yang tiap hari muncul di timeline.Waktu itu, Paris lagi panas-panasnya. Raja baru aja mecat Necker—menteri keuangan yang disukai rakyat karena mau dengerin suara mereka. Terus, pasukan raja udah mulai ngumpul di sekitar kota, bikin warga curiga bakal ada penindasan besar-besaran. Rakyat akhirnya turun ke jalan, cari senjata buat pertahanin diri. Nah, Bastille itu punya stok mesiu gede banget—jadi ya udah, sekalian dihajar aja!Nyerbu Bastille itu gabungan antara strategi cerdas dan aksi nekat penuh perlawanan. Rakyat kayak bilang, “Kami gak takut lagi. Waktunya ngelawan.” Begitu tembok Bastille runtuh, bukan cuma batu yang jatuh, tapi juga tembok ketakutan dan kepatuhan buta yang udah lama ngerantai rakyat. Sejak itu, sejarah berubah arah—dan yang pegang kemudinya? Bukan raja. Tapi rakyat.Sepanjang sejarah, penjara tuh nggak selalu dipake buat ngurung penjahat. Kadang, malah jadi alat kekuasaan buat para penguasa yang udah melenceng dari jalurnya. Kalau penguasa ngerasa posisi mereka goyah, sering banget yang pertama mereka lakukan itu bukan introspeksi, tapi ngejeblosin lawan ke balik jeruji. Tujuannya? Biar semua orang takut, diem, dan nurut kayak robot.Begitu penjara dipake buat nutup mulut rakyat, doi nggak lagi jadi lambang keadilan—tapi berubah jadi ikon tirani. Di rezim yang otoriternya udah akut, orang-orang bisa dijeblosin bukan karena mereka salah, tapi karena mereka beda pendapat, berani nulis puisi satiris, atau sekadar retweet yang “gak sopan” ke istana. Jadi bukan cuma kriminal yang ditangkepin, tapi juga harapan, suara hati, dan akal sehat.Waktu penjara dipake buat ngebungkam kebenaran, itu tandanya hukum udah dimainin sama yang pegang tahta. Penjara semestinya buat ngejaga keadilan, bukan ngeremukin keberanian manusia. Tapi kalau yang dikurung bukan cuma tubuh, melainkan pikiran dan kebenaran, ya itu artinya jeruji besi udah nggak cuma di sel—tapi juga melingkar di leher masyarakat.Di bab pembuka Citizens: A Chronicle of the French Revolution (1989, Penguin Books), Simon Schama gak langsung ngajak kita ke adegan dramatis: kagak ada teriakan "Liberté!", kagak ada eksekusi guillotine, apalagi rakyat ngamuk di jalanan. Enggak. Dia mulai dari peta. Tapi ini bukan peta geografi biasa—ini peta makna. Judulnya “Two Kinds of Places” alias “Dua Jenis Tempat”, sebenarnya nyindir dua dunia yang sama-sama ada di Prancis waktu itu: Versailles dan bagian dari Prancis lainnya.Versailles itu bukan cuma istana raja—ia panggung teater kekuasaan, semacam reality show eksklusif yang gak bisa ditonton rakyat jelata. Semua serba megah, penuh aturan protokoler, dan yang paling penting: jauh banget dari kenyataan rakyat. Versailles itu kayak influencer yang hidupnya serba aesthetic tapi disconnect total dari followers-nya.Sementara di luar sana—di desa, di kota kecil, di bengkel para pengrajin dan kantor pengacara muda—rakyat lagi gerah. Mereka bukan korban pasif. Mereka mikir, baca, ngedebat, nulis pamflet. Pokoknya lagi melek. Lagi nyusun ulang ide tentang keadilan, kesetaraan, dan hak jadi warga negara. Mereka pengin bukan cuma jadi penonton, tapi pemeran utama.Jadi lewat dua “tempat” ini, Schama ngegambarin Revolusi Prancis bukan kayak bom meledak tiba-tiba, tapi kayak dua dunia yang gak bisa kompromi akhirnya tabrakan. Yang satu hidup di masa lalu penuh tradisi dan kemewahan, yang satu lagi pengin masa depan penuh imajinasi dan kesetaraan. Makanya, Revolusi ini bukan cuma soal politik—ia juga soal benturan cara mikir dan cara hidup.Schama rada nyeleneh dibanding sejarawan lain. Doski bilang: kekerasan bukan efek samping Revolusi Prancis—tapi justru rohnya. Kayak festival berdarah yang dipentaskan demi ngusir ‘roh jahat’ monarki. Tiap kepala yang jatuh bukan tragedi, tapi semacam konten buat ngerayain kebebasan. Guillotine? Ia altar suci versi sekuler.Trus, para tokoh revolusi—terutama geng Jacobin—ngelihat diri mereka bukan cuma aktivis, tapi pahlawan moral. Robespierre, misalnya, gayanya udah kayak dokter bedah spiritual. Doski gak pengin reformasi hukum doang, doi pengin bersihin hati bangsa. Tapi ya, kalau semua yang dianggap “gak murni” harus disingkirin, jadinya ngeri juga. Karena makin loe yakin loe suci, makin gampang loe justify ngehancurin yang lain.Kata Schama, kejatuhan Raja Louis XVI itu bukan kayak satu momen dramatis ala film aksi, tapi kayak serial tragedi yang makin hari makin awkward. Mulai dari Oktober 1789, pas emak-emak dari Paris jalan kaki ke Versailles bukan cuma buat nyari roti—tapi buat ‘jemput’ raja yang sepertinya kabur dari tanggungjawab. Mereka maksain doi balik ke kota, supaya bisa diawasi langsung. Ini bukan pemakzulan, tapi downgrade.Puncaknya pas sang Raja nyoba kabur malam-malam tahun 1791, nyamar jadi warga biasa. Tapi sialnya, doski malah ketangkep warga yang langsung ngeh itu si Louis. Gagal total. Sejak saat itu, imagenya sebagai “ayah bangsa” hancur lebur. Doi bukan lagi simbol kekuasaan ilahi. Doi cuma orang yang pakai topi, yang lagi nyoba kabur, dan ketangkep kayak maling ayam.Revolusi makin ke ujung makin serem. Schama nunjukin gimana impian “Republik Kebajikan” milik Robespierre malah berubah jadi mimpi buruk kolektif. Demi ngelindungin kebebasan, mereka justru ngebekukan kebebasan. Demi nyamain derajat, mereka bungkam semua suara lain.Ironis banget. Makin ngejar kesucian total, makin kacau. Semua saling curiga. Yang dulunya temen bisa tiba-tiba jadi “pengkhianat revolusi”. Revolusi yang awalnya kayak pesta solidaritas, ujung-ujungnya jadi lomba saling potong sesama pejuang. Gara-gara semua ngerasa paling benar, akhirnya mereka jatuh ke lubang yang mereka gali sendiri.Schama ngegambarin babak Terror ini kayak akhir tragis dari drama ambisius yang kelewat obsesif. Menurutnya, Revolusi Prancis tuh gagal—bukan lantaran kurang semangat atau niatnya jelek, tapi karena cita-citanya kelewat muluk sampai lupa caranya jadi manusia. Revolusi yang katanya mau membebaskan justru berakhir dengan ngebunuh ide kebebasan itu sendiri.Robespierre dan geng Jacobin-nya pengin bikin masyarakat yang bersih, suci, nggak ada korupsi. Tapi karena terlalu ngebet ngejar kesempurnaan, mereka malah kayak orang kesurupan. Semua yang beda dikit aja dicurigain. Semua yang nggak “murni” langsung dicoret dari hidup. Hasilnya? Orang jadi nggak bisa bedain mana revolusi, mana tirani.Buat Schama, kegagalan ini bukan “kecelakaan di tengah jalan”—tapi emang udah tertanam dari awal. Kayak racun dalam ramuan yang dari luar keliatan keren. Revolusi ini overdosis idealisme. Dan pas semua orang saling tuduh dan saling gorok, cita-cita tentang kebebasan dan persaudaraan itu runtuh kayak panggung konser yang roboh. Ending-nya? Bukannya merdeka, malah trauma kolektif.Bastille Day itu bukan sekadar perayaan jebolnya penjara tua—tapi kayak detak tahunan dari revolusi yang dulu ngeguncang dunia. Saat Bastille runtuh, itu tandanya kekuasaan raja gak bisa lagi semena-mena, dan suara rakyat mulai naik ke permukaan. Hari itu jadi bukti hidup kalau tembok setinggi apa pun bisa ambruk kalau dilawan sama tekad kolektif buat keadilan dan kebebasan.Lahirnya republik bukan cuma hasil dari bata yang berjatuhan atau gerbang yang dibuka paksa—tapi dari kesadaran bareng-bareng bahwa rakyat bukan lagi objek kekuasaan. Mereka punya hak buat nentuin arah hidupnya sendiri. Republik gak janji semua jadi sempurna, tapi dia butuh partisipasi. Ini sistem yang bisa berdiri tegak atau roboh tergantung kita semua—apakah kekuasaan beneran melayani, atau malah mendominasi.Inti dari republik itu sebenernya simpel tapi revolusioner banget: kekuasaan bukan lagi hak warisan raja atau bangsawan, tapi milik rakyat. Gak ada lagi tuh cerita "karena gua keturunan darah biru, jadi gua yang atur." Di republik, yang punya suara adalah rakyat, dan yang mimpin harus dipilih, bukan, yang menurut pengakuannya, ditunjuk Tuhan. Republik itu soal kebebasan, kesetaraan, dan kekuasaan yang lahir dari rakyat—bukan dari tahta.Pas rakyat ngehancurin penjara, itu bukan sekadar bangunan yang rubuh—itu simbol ketakutan dan ketertindasan yang akhirnya dirobohin bareng-bareng. Jeruji itu dulunya kayak reminder tiap hari bahwa “loe gak bebas, jangan banyak bacot.” Tapi waktu tembok itu runtuh? Wah, itu kayak alarm yang ngebangunin mimpi kolektif: “Kita berhak milih hidup kita sendiri!” Dari reruntuhan penjara itulah lahir semangat baru—bukan rakyat sebagai objek, tapi sebagai subjek, sebagai pemilik negara.Jadi, republik itu bukan cuma soal sistem pemerintahan, tapi soal harga diri rakyat yang akhirnya bilang, “Gua kagak mau diperintah tanpa ditanya.” Dan sejak hari itu, mereka bukan lagi “rakyat jelata,” tapi warga negara. Dan itu beda level banget.Jadi tiap kali Bastille Day dirayain, itu bukan nostalgia sejarah belaka—tapi juga ajakan buat bangun republik yang relevan hari ini. Tiap generasi harus siap jagain nilai-nilai kebebasan dan akuntabilitas. Karena republik bukan barang jadi, tapi karya bersama. Dan selalu ada pertanyaan yang harus dijawab: loe mau ikutan bangun, atau cuman jadi penonton di pinggir lapangan?