Di sebuah seminar mewah bertema “Pemberdayaan Pemuda dan Kepemimpinan Bangsa,” seorang wakil menteri naik panggung—datang telat setengah jam, itu biasa. Doski buka pidato dengan pujian klise: “Anak muda itu detak jantung Indonesia,” lalu lanjut, “Ambillah setiap peluang yang ada!” Para mahasiswa yang jadi audiens cuma bisa ngangguk sopan sambil minum air galon di gelas kertas. Saat sesi tanya-jawab, seorang mahasiswa nekat ngangkat tangan dan nanya, “Pak, dengan segala hormat, gimana caranya kami ambil peluang kalau semuanya udah diambil sama Bapak?” Sang menteri terkekeh, ngeles halus, lalu bilang, “Kita ngobrol santai yuk... kapan-kapan ya.” Dan “Kapan-kapan” itu kagak pernah kejadian. Dua minggu kemudian, sang menteri malah diumumkan jadi komisaris BUMN lagi. Sementara sang mahasiswa? Di-ghosting tiga perusahaan setelah magang gratisan. Mungkin detak jantung Indonesia emang lagi aritmia—dan sayangnya, BPJS nggak cover yang satu ini.Antrian panjang para pencari kerja muda di Indonesia bukan cuma drama satu babak—ini tanda sosial-ekonomi yang disebut precariatisation, dimana lulusan kampus keren malah terperangkap ke dalam pasar kerja yang goyah dan penuh ketidakpastian. Ditambah lagi, banyak dari mereka punya skill yang gak nyambung ama yang dibutuhin perusahaan—jadinya lulusan berkualitas tetap pengangguran atau kerja di BUMN gak jelas.Contoh paling nyata terjadi pas akhir semester I ke awal semester II 2025. Ribuan fresh graduate memenuhi job fair di Pulau Jawa. Di Bekasi, misalnya, acara “Pasti Kerja Expo” akhir Mei kemaren dihadiri lebih dari 25.000 pelamar yang ngantri buat cuma 2.500 lowongan. Hasilnya? Asem-aseman: berdesakan, ada yang pingsan, dorong-dorongan—bener-bener kacau. Ini bukti nyata: terlalu banyak yang rebut kesempatan, tapi sistem penyeleksian pengangguran total.Antrean panjang kek gini bukan cuma karena semangat doang, tapi karena populasi muda makin banyak—angka pengangguran usia 15–24 mencapai sekitar 17 persen—sedangkan lapangan kerja formal tetap stagnan. Tiap semester, lulusan baru dateng berbondong-bondong ke job fair, tapi yang bisa survive cuma sedikit. Alih-alih ada kemajuan, yang terlihat malah retakan harapan, kesempatan, dan tatakelola perekonomian.Stagnannya lapangan kerja formal di Indonesia itu bukan karena rakyatnya kurang kerja keras, tapi karena ada masalah struktural yang udah mengakar: ekonomi tumbuh sih, tapi yang dapet manfaat cuma segelintir, bukan rakyat pekerja. Alih-alih nambah lowongan kerja tetap, ekonomi kita malah makin penuh sama pekerjaan informal—yang serba nggak pasti, nggak ada jaminan, dan kadang upahnya kayak dikasih kasihan.Masalah utamanya? Pasar kerja nggak sanggup nampung jutaan anak muda yang tiap tahun lulus kuliah. Banyak perusahaan ogah rekrut tetap—maunya kontrakan murah dan gampang dicoret kapan aja. Di sisi lain, pengusaha kecil yang harusnya jadi tulang punggung malah kesandung aturan ribet dan birokrasi lemot—izin susah, pajak banyak, bantuan minim.Yang bikin tambah ngenes, banyak kebijakan negara dipakai buat nguntungin elit politik, bukan buat ngebuka lapangan kerja beneran. Duit negara dipakai buat proyek gede-gedean dan nyelametin BUMN yang lagi megap-megap, tapi anggaran buat pelatihan kerja dan UMKM malah kecil kayak recehan. Pejabat yang rangkap jabatan cuma mikirin diri sendiri, bukan rakyat.Singkatnya, ekonomi kita kayak gedung tinggi tapi lift-nya mati. GDP naik, tapi kesempatan tetap mandek. Yang dihargai bukan ide atau usaha, tapi kedekatan dan koneksi. Akibatnya? Kerja formal jadi kayak lorong sempit yang cuma bisa dilewatin segelintir orang. Sisanya? Harus nyari akal di dunia serba gelap ekonomi informal.Di negeri sewarna-warni dan seseru Indonesia, kisah soal ambisi, ketimpangan, dan privilese politik itu kayak sinetron prime time—plotnya muter-muter di situ aja. Ganti aktor, tapi jalan ceritanya tetap: yang kaya makin makmur, yang berkuasa makin lengket sama kursi, dan anak muda yang penuh harapan cuma bisa audisi buat peran yang nggak pernah muncul.Di tengah panggung drama ini, ada segelintir elit yang kayak pemain sirkus profesional—bisa juggling jabatan publik dan kuasa korporat sambil senyum kinclong depan kamera. Hidup mereka penuh press conference ber-AC, mobil gelap anti-macet, dan sarapan di hotel bintang lima yang kopinya aja seminggu gaji tukang gorengan.Udah jadi hal biasa ngeliat wakil menteri yang juga duduk manis di komisaris BUMN. Publik jadi bertanya-tanya: ini beneran kerja buat negara atau ngumpulin stempel buat CV pribadi? Multitasking-nya bukan karena dibutuhin, tapi karena doyan ngeborong pengaruh.Dan jangan salah, ini bukan jabatan buat gaya-gayaan. Gajinya gede, fasilitasnya mantep, kekuasaannya luas. Tapi urusan transparansi? Duh, kayak nunggu sinyal di tengah hutan—nggak jelas ujungnya.Budaya rangkap jabatan ini nyodorin masalah yang lebih dalam: sistem yang lebih ngehargain siapa yang deket kekuasaan ketimbang siapa yang punya kemampuan. Kompeten itu opsional, yang penting koneksi jalan. Bukan lagi soal kamu tahu apa, tapi kamu kenal siapa.Sementara elit melenggang santai dari satu ruang rapat ke ruang rapat lain, jutaan anak muda Indonesia ngantri di job fair cuma bawa map, CV, dan sisa-sisa semangat yang nyaris luntur. Ada yang naik ojek 2 jam, ada yang berdiri lama-lama pake sepatu pinjeman—semua demi satu panggilan interview.Dalam Why Governments Get It Wrong: And How They Can Get It Right (2022, Pan Macmillan), Dennis C. Grube ngebedah kenapa pemerintah—bahkan yang katanya demokratis—sering bikin kebijakan yang ngawur dan nggak pro-rakyat. Salah satu isu yang diangkatnya adalah soal rangkap jabatan, dimana satu orang bisa megang beberapa posisi penting sekaligus di pemerintahan dan BUMN. Bukan karena super, tapi karena sistemnya ngasih celah.Grube ngingetin bahwa praktik kayak gini bikin kekuasaan numpuk di tangan segelintir orang, bikin fokus kerja jadi buyar, dan munculin konflik kepentingan. Kalau pejabat publik juga jadi komisaris di tempat lain, siapa yang jamin keputusannya murni buat rakyat? Jangan-jangan malah buat jagain “teman sendiri” atau biar bisa nebeng keuntungan?Grune ngasih contoh dari berbagai negara, termasuk bagaimana rangkap jabatan bisa bikin publik makin males percaya sama pemerintah.Grube berpendapat bahwa kalau pejabat publik bisa pegang banyak jabatan—mulai dari pemerintahan, BUMN sampai dewan bisnis—kepercayaan masyarakat ke institusi mulai ambrol. Studi nyata dari negara-negara barat nunjukin: makin tinggi posisinya, makin dicurigai korup. Gak cuma itu, kalau mantan menteri biasa muter-muter jadi bos swasta bergaji jutaan dolar, publik jadi makin sinis karena sadar: jabatan publik cuma batu loncatan buat perut mereka sendiri. Singkatnya, rangkap jabatan bukan cuma bikin kekuasaan mengumpul—tapi juga ngikis wibawa moral negara. Hasilnya? Rakyat jadi apatis, ogah percaya, dan kecewa berat.Solusinya? Grube bilang: stop kasih jabatan dobel, dan bikin sistem yang mendorong pemimpin kerja fokus satu jabatan—ngabdi ke rakyat, bukan ngumpulin posisi kayak koleksi stiker.Dunia kerja itu kejam, apalagi buat lulusan baru yang dari kampus diajarin buat bermimpi besar. Begitu lulus, mereka langsung dicium kenyataan: satu lowongan bisa dilamar ratusan bahkan ribuan orang. Harapan dibagi-bagi lewat email penolakan otomatis.Magang yang dulunya dianggep batu loncatan sekarang berubah jadi eksploitasi halus. Kerja keras full time, tapi digaji senyum. Katanya “buat pengalaman”, tapi yang didapet malah capek hati, stress, dan pertanyaan eksistensial.Pemerintah? Responnya lelet banget, bahkan kadang gak ada sama sekali—kayak sistem ini emang sengaja dibiarin timpang. Mereka sibuk bikin pengumuman, bentuk tim kerja, lempar jargon. Tapi perubahan nyata? Ya cuma ada di janji kampanye.Tiap muncul berita komisaris baru yang punya koneksi politik atau viral di medsos, netizen ngamuk. Tapi abis itu? Ya udah, berlalu kayak FYP kemarin sore. Berita jalan terus, tapi jabatannya tetap nempel.Lama-lama makin keliatan, yang jadi mata uang buat naik jabatan di negeri ini bukan integritas, tapi koneksi. Kesetiaan ke atasan dibayar bukan dengan ucapan terima kasih, tapi dengan kekuasaan dan privilege. Dan rakyat? Disuruh sabar, disuruh ngerti, disuruh nunggu yang nggak pernah datang.Yang lebih nyesek lagi, sekarang publik figur, selebgram, buzzer medsos, bahkan tukang-pukul, bisa dapet posisi strategis di perusahaan negara—meskipun pengalaman mereka nol besar. Ada yang jago TikTok tiba-tiba jadi komisaris. Ada yang kerjanya bikin meme, eh duduk di jajaran direksi. Kalau nggak tragis, ini bisa jadi bahan stand-up comedy.Polanya terus diulang: yang penting terlihat loyal dan rajin tampil di TV atau medsos. Soal kompetensi dan pengalaman? Nomor sekian, Bro.Asal bisa ikut narasi penguasa dan mainkan drama pencitraan, semua pintu terbuka. Nggak perlu ngerti manajemen, nggak perlu pengalaman korporat. Yang penting bisa tampil manis dan nggak bikin ribut.Tapi ini bukan sekadar keputusan yang salah kaprah—ini bikin kepercayaan publik ke institusi negara dan BUMN makin luntur. Kayak dicelupin pelan-pelan ke air panas sampai akhirnya meleleh sendiri.Anak-anak muda yang udah capek kuliah bertahun-tahun, bayar pelatihan, ikut webinar, ngumpulin sertifikat—semua ngerasa dipinggirkan. Mereka ngikutin aturan main, tapi nggak pernah diajak main.Mereka dijanjikan sistem meritokrasi, tapi yang mereka liat malah pesta topeng: gelar dan jabatan dibagi-bagi kayak goodie bag di pesta ulang tahun elite.Jadi PNS atau ASN, yang dulu dianggap langkah mulia buat ngabdi ke bangsa, sekarang malah bikin banyak orang mikir dua kali. Cita-cita ngurus negara berubah jadi perjuangan bertahan hidup di tengah absurdnya birokrasi.Dalam The Tyranny of Merit: What’s Become of the Common Good? (2020), Michael J. Sandel ngebongkar habis mitos meritokrasi yang sering dibangga-banggain negara-negara modern. Katanya sih sistem merit itu adil—yang kerja keras dan punya talenta bakal dapet tempat terbaik. Tapi kenyataannya, sistem ini suka tutup mata ama kenyataan pahit: gak semua orang mulai dari garis start yang sama. Ada yang dari kecil udah dapat sekolah oke, lingkungan yang suportif, koneksi orang tua, sampai warisan sosial yang bikin jalan mereka mulus banget. Sandel bilang, kalau masyarakat terus ngerasa sukses itu murni hasil kerja keras, mereka jadi lupa kalau keberuntungan dan sistem sosial juga ikut andil besar. Akibatnya? Yang gagal dianggap kurang usaha, padahal bisa jadi mereka nggak pernah dikasih kesempatan. Ini bikin jurang sosial makin dalam, rasa sakit hati makin numpuk, dan solidaritas antarwarga makin hancur. Intinya, orang-orang sukses jadi ngerasa paling hebat sendiri, lupa kalau mereka juga “dibantu sistem”, dan itu bahaya banget buat masa depan demokrasi.Tapi, Sandel gak sepenuhnya ngegas meritokrasi kayak tukang somay yang ditolak di gang sempit. Doski ngakuin kalau ide meritokrasi itu awalnya manis banget—kesannya adil, transparan, dan kasih harapan buat siapa pun yang rajin dan punya bakat. Dibanding sistem feodal atau nepotisme, meritokrasi jelas jauh lebih menjanjikan. Kata Sandel, ide ini sempat mendorong reformasi keren kayak akses pendidikan dan undang-undang anti-diskriminasi. Tapi, masalahnya, begitu meritokrasi dibikin jadi patokan moral—yang sukses dipuja, yang gagal dianggap kurang layak—di situlah keretakan mulai muncul. Merit jadi kayak alat penghakiman, bukan alat pemerataan. Jadi meskipun idenya oke, kalau nggak dibarengin rasa rendah hati, empati, dan visi kebersamaan, meritokrasi bisa berubah jadi kompetisi brutal yang makin meretakkan masyarakat.Bila para pakar ngebantai sistem meritokrasi, mereka bukan ngajak buat buang sistem itu ke laut, tapi lebih ngajak mikir ulang: sebenernya keadilan dan sukses itu ukurannya apa seh? Solusi yang diajukan bukan kayak ganti baju dari meritokrasi ke sistem baru yang saklek, tapi lebih ke merombak cara pandang kita tentang siapa yang layak dihargai dan bagaimana masyarakat bisa saling menopang. Michael Sandel, misalnya, ngajak masyarakat buat balik ke humility-based ethic, etika kerendahatian—ngakuin bahwa kesuksesan bukan cuma soal kerja keras, tapi juga hasil keberuntungan, lahir di keluarga yang tepat, dan kondisi sosial yang nggak semua orang bisa atur. Ada juga yang ngusulin biar negara lebih serius ngebangun jaring pengaman sosial, kayak layanan kesehatan dan pendidikan gratis. Selain itu, bentuk partisipasi politik yang lebih kolektif, kayak demokrasi deliberatif dan model kepemilikan koperasi, juga disebut-sebut sebagai alternatif buat ngasih ruang ke lebih banyak suara. Intinya bukan mau ngapus kerja keras atau bakat, tapi supaya masyarakat nggak jadi tempat yang cuma ngagungin pemenang dan ngebuang yang kalah kayak bungkus mie instan. Ini tentang ngebangun solidaritas, rasa saling butuh, dan kebaikan bersama yang nggak sempit.Jarak antara yang berkuasa dan rakyat itu sekarang udah bukan jurang biasa—udah jadi nganga kayak palung dalam, yang nggak kelihatan dasarnya. Bukan cuma nggak didengar, tapi udah kayak sengaja dibisukan.Mobilitas sosial? Buat banyak orang, itu mitos doang. Eskalatornya rusak, liftnya cuma bisa dipake sama yang udah di lantai atas. Sisanya? Disuruh naik tangga sambil disemangatin pake quote motivasi basi.Ini bukan sekadar kisah soal ketimpangan ekonomi—ini krisis moral yang ngerembes ke semua lini kehidupan berbangsa. Ini soal keadilan, soal kepantasan, dan soal masa depan—apakah masih bisa diakses semua orang atau cuma buat “inner circle” saja.Kalau para wakil menteri dan pejabat tinggi birokrasi dibiarin rangkap jabatan—misalnya duduk juga sebagai komisaris di BUMN—dampaknya bukan cuma soal sibuk dobel, tapi hancurnya integritas pemerintahan. Fokus mereka kepecah, akuntabilitas jadi kabur, dan konflik kepentingan jadi hal biasa.Di tingkat kabinet, hal ini bikin komando pemerintahan jadi remuk redam. Wakil menteri bisa lebih loyal ke rapat direksi BUMN daripada ke agenda negara. Kebijakan jadi tambal sulam, anggaran makin politis, dan pelayanan publik dikorbankan demi urusan cuan. Kementerian jadi kayak kolam networking elit, bukan tempat kerja buat reformasi.Di tubuh BUMN, efeknya gak kalah parah. Komisaris yang ditaruh karena koneksi politik seringkali gak punya kapasitas teknis. Mereka lebih peduli jaga relasi daripada ngurus performa perusahaan. Akibatnya? Profesionalisme anjlok, inefisiensi merajalela, dan peluang korupsi makin terbuka lebar.Kalau dibiarkan, sistem ini berubah jadi panggung dagelan kekuasaan—bukan meritokrasi. Menteri sambilan jadi komisaris, komisaris ngurus kementerian kayak mampir. Rakyat? Disuruh bayar tagihan lebih mahal, nunggu reformasi yang gak jalan-jalan, dan akhirnya ngelihat negara kayak perusahaan keluarga: sibuk ngurus diri sendiri, lupa siapa yang digaji buat dilayani.Sistem ini ngirim sinyal jelas ke publik: yang dihargai bukan kerja keras, tapi kesetiaan. Bukan keahlian, tapi siapa yang paling rajin ngangkat-ngangkat nama atasan.Generasi muda dikasih tahu bahwa ijazah, etika, dan kerja siang malam belum tentu cukup buat sukses. Yang penting tahu mainnya gimana—bukan mainnya bener, tapi benerin yang atas.Tapi generasi ini juga nggak tinggal diam. Mereka melihat. Mereka mencatat. Mereka merasa dikhianati. Dan mereka mulai buka suara. Mereka muak liat politisi senyum palsu yang ngaku-ngaku reformis tapi masih pelukan sama struktur lama. Janjinya manis, kebijakannya ngeblur, hasilnya? Halu.Mereka lelah dapet email penolakan, sementara para buzer dan influencer bisa langsung duduk di ruang rapat direksi. Ketidakadilan ini bukan wacana lagi—udah nyentuh dompet, mental, dan harga diri.Mereka mulai sadar: sistem ini bukannya rusak. Emang dari awal didesain buat kayak gini. Dan yang diuntungkan jelas kagak punya niat buat benerin.Tapi justru dari kesadaran itulah muncul dua kemungkinan besar: bisa jadi ledakan sosial, bisa juga jadi lompatan perubahan.Di banyak kota Indonesia sekarang, jadi driver ojol bukan lagi “kerjaan sambilan”—tapi udah jadi strategi bertahan hidup buat mereka yang gak kebagian kursi di dunia kerja formal. Jadi, meski bukan sektor dominan dalam jumlah, ojol udah jadi simbol paling kuat dari krisis pengangguran anak muda zaman sekarang.Menjadi driver ojol emang belum resmi disebut sektor pekerjaan paling dominan di Indonesia, tapi nggak bisa dipungkiri—ini udah jadi salah satu profesi paling kelihatan dan paling cepet tumbuh. Khususnya buat anak-anak muda di kota yang susah dapet kerja tetap, ojol jadi jalan pintas yang kelihatan gampang dimasukin.Secara statistik, sektor pertanian dan manufaktur masih paling gede dalam hal jumlah pekerja. Tapi di kota-kota, dua sektor itu makin menciut atau mandek. Di sisi lain, munculnya platform kayak Gojek, Grab, dan Maxim bikin jenis kerja baru: kerja digital yang kelihatannya modern, tapi tetap informal. Banyak yang tertarik karena fleksibel dan bisa “ngatur waktu sendiri.” Tapi kenyataannya? Jam kerja panjang, penghasilan nggak pasti, tanpa jaminan sosial, dan nasib ditentukan sama rating dan algoritma.Per tanggal 30 Juni 2025, di Indonesia tercatat ada sekitar 4,2 juta driver ojol, menurut data Asosiasi Driver Online Indonesia (ADOI). Para driver ini paling banyak berkumpul di kota-kota besar kayak Jakarta, Surabaya, dan Medan.Sekitar 2 juta orang memang tercatat sebagai driver ojol eksklusif menurut data BPJS Ketenagakerjaan. Tapi yang punya jaminan sosial cuma sekitar 320 ribu orang—sisanya? Gak kebagian. Ini nunjukin betapa besar skala industri transportasi digital di perkotaan, tapi juga betapa informal dan nggak terlindunginya para pelakunya.Walaupun sektor ojol ngasih pemasukan cepat buat jutaan orang, dampak jangka panjangnya bikin prihatin—karena justru nyeret kesejahteraan rakyat ke arah yang makin rapuh. Ojol ngasih sinyal bahwa kita udah masuk era kerja seadanya dan asal hidup, dimana banyak orang terpaksa ambil kerjaan yang gak jelas nasibnya dan gak ada jenjang kariernya.Mayoritas driver ojol kerja tanpa kontrak, tanpa pensiun, tanpa jaminan sosial. Mereka disebut “mitra,” bukan karyawan, jadi perusahaan platform bebas dari kewajiban kasih hak dasar pekerja. Ujung-ujungnya, bensin, kesehatan, perawatan motor, sampai kecelakaan—semua ditanggung driver sendiri. Yang cuan gede? Perusahaan aplikasinya.Lebih parah lagi, ketergantungan ke sektor ojol bikin pemerintah lupa ngebenerin masalah besar kayak pendidikan, industri, dan penciptaan kerja formal. Jadinya kayak pura-pura semua baik-baik aja, padahal krisis kerja makin dalam. Ketika sarjana harus narik ojol karena gak ada pilihan lain, negara lagi ngebuang potensi, bikin stres massal, dan nurunin produktivitas nasional.Kalau tren ini dibiarkan terus, kita bakal punya satu generasi pekerja serabutan yang hidup dalam lingkaran hustle terus-terusan—gak ada jaminan, gak ada naik pangkat, dan gak bisa rehat. Kesejahteraan itu bukan sekadar punya kerjaan—tapi juga soal kualitas, martabat, dan keberlanjutan hidup. Dalam hal ini, menjamurnya ojol sebagai “karier utama” adalah darurat sosial yang sayup-sayup, tapi nyata.Pertanyaannya sekarang: akankah pemerintah akhirnya turun tangan dan berani ngacak-ngacak ketimpangan ini? Atau malah ngebiarin pesta elite terus berlangsung, diiringi lagu sumbang penderitaan rakyat?
Dampak rangkap jabatan terhadap karyawan BUMN itu bisa dibilang bikin nyesek dan gak adil total. Di satu sisi, karyawan disuruh “efisiensi”. Tapi di sisi lain, para birokrat yang merangkap sebagai komisaris BUMN santai aja nerima dua gaji atau lebih, tanpa harus ngantor tiap hari atau beneran mikirin operasional harian.Terjadilah jurang ketimpangan yang bikin suasana kerja makin getir. Karyawan disuruh maklum dan loyal, tapi tiap rapat direksi cuma jadi penonton elite politik ngambil honor besar buat hadir sebentar. Pesannya jelas: yang dihargai itu bukan kerja keras, tapi kedekatan.Parahnya lagi, jabatan komisaris yang dijadiin hadiah politik ini ngerusak budaya profesional di dalam perusahaan. Pegawai yang udah loyal puluhan tahun harus nyaksiin orang baru nongol, duduk di kursi empuk, tapi gak paham bisnis perusahaan. Akhirnya, motivasi turun, rasa percaya ke manajemen rontok.Ketika pegawai disuruh “hemat demi perusahaan,” rasanya bukan cuma gak adil—tapi juga ngeledek. Susah banget bangun budaya kerja yang keren kalau yang di atas sibuk ngitung insentif, sementara yang di bawah disuruh kerja ekstra pakai dalih “pengabdian.”Kalau Indonesia gagal nanganin masalah tenaga kerja—terutama pengangguran muda dan ketergantungan pada kerjaan informal—dampaknya bakal panjang dan pahit. Satu generasi bisa kejebak di pekerjaan serabutan, tanpa arah, tanpa jaminan, dan tanpa masa depan. Produktivitas mandek, inovasi seret, dan ketimpangan sosial makin jadi tembok permanen.Yang bikin ironi tambah nyesek, ini semua terjadi di tengah “bonus demografi”—masa emas dimana jumlah orang usia kerja jauh lebih banyak daripada yang jadi beban. Tapi alih-alih jadi momentum emas, bonus ini bisa berubah jadi bom waktu sosial. Anak muda yang gak dikasih kerjaan layak bukan jadi aset negara, tapi malah jadi beban kolektif—cerdas, kecewa, dan makin apatis.Secara satiris, Indonesia bisa aja masuk sejarah sebagai negara yang bikin job fair terbesar di dunia, tapi lupa siapin lowongannya. Negara yang pamer soal bonus demografi di panggung internasional, tapi di dalam negeri, anak mudanya berdiri berjam-jam buat ngasih CV yang kagak bakal dibaca. Dalam versi parodi kemajuan ini, ijazah cuma numpuk kayak voucher parkir—resmi, keren, tapi gak ada artinya kalau gak ada tempat buat “parkir masa depan”.Sampai saatnya tiba, para elit masih terus berdansa di aula marmer, bersulang dengan kuasa, sementara rakyat teuteup aja berdiri di bawah terik matahari, masih berharap pintu kesempatan itu beneran kebuka.