Sabtu, 12 Juli 2025

Kriminalisasi: Ketika Bertanya Jadi Kejahatan

Dalam dunia sosial-politik Indonesia, terma “kriminalisasi” bukan lagi sekadar kosakata hukum. Ia telah menjelma jadi simbol rasa frustrasi, kritik tajam, dan ketidakpercayaan terhadap sistem hukum itu sendiri. Kata ini bukan cuma soal siapa yang melanggar hukum, tapi lebih ke: “Ini beneran hukum, atau hukum yang dibelokin buat kepentingan kekuasaan?”

Kalau pakai istilah Inggris, padanan katanya itu “criminalisation” (British) atau “criminalization” (American). Keduanya sebenarnya punya makna netral—yakni proses menjadikan suatu tindakan sebagai pelanggaran hukum. Misalnya, merokok di tempat umum atau narkoba tertentu dikriminalisasi lewat undang-undang. Tapi itu definisi kamus, bukan definisi jalanan.

Di Indonesia, kata “kriminalisasi” udah naik level jadi istilah politik. Artinya, orang dijadikan kriminal lewat proses hukum yang dicurigai gak adil, mengada-ada, atau penuh pesanan. Biasanya korbannya aktivis, jurnalis, whistleblower, atau siapa pun yang terlalu “berani” nanya. Jadi, ini bukan hukum yang netral, tapi hukum yang terkesan dipesan.

Perubahan makna ini nunjukkin kalau publik makin gak percaya bahwa hukum itu benar-benar adil. Orang mulai curiga, jangan-jangan pasal-pasal itu dipakai bukan buat nyari keadilan, tapi buat nutup mulut orang yang terlalu kritis.

Contohnya belum lama ini ada yang berani mempertanyakan keaslian ijazah pejabat publik. Bukannya dijawab atau diklarifikasi, yang nanya malah dilaporin polisi. Dari yang awalnya nanya, tiba-tiba dia yang diinterogasi. Lucunya, yang dimintai transparansi malah anteng. Hukum jadi alat bantah, bukan alat jawab.

Kasus-kasus kek gitu bikin hukum terlihat lebih mirip senjata ketimbang pelindung. Pasal yang dipakai juga umum banget—hoaks, pencemaran nama baik, UU ITE. Pasal elastis ini gampang dipelintir sesuai selera. Dan karena sering banget dipakai buat ngediamin suara, publik jadi makin yakin: ini bukan perkara hukum, tapi perkara ego.

Makanya, istilah “kriminalisasi” jadi semacam kode—kayak alarm publik yang bilang, “Hati-hati, yang ngomong bisa dibungkam.” Orang jadi parno: “Lah, nanya ijazah aja bisa kena pasal?” Serem banget kan.

Yang lebih serem lagi, kalau nanya bisa dikriminalisasi, berarti demokrasi kita lagi sakit. Negara demokrasi tuh seharusnya kuat terhadap pertanyaan, bukan alergi. Kalau nanya dianggap nyerang, dan kritik dikira kriminal, ya kita lagi geser dari demokrasi ke otoritarianisme tipis-tipis.

Padahal, demokrasi itu hidup dari kritik. Tanpa ruang buat nanya, negara ini cuma tampak damai di permukaan—tapi di bawahnya, penuh tekanan. Kriminalisasi itu bukan benteng pertahanan negara—itu justru retakan dalam fondasinya.

Masalah tambah parah kalau aparat hukum ikut masuk gelanggang politik. Hukum yang tadinya harus netral, malah ikutan berpihak. Penegak hukum jadi kayak wasit yang main bareng salah satu tim. Ya publik jadi males percaya, bahkan males mikirin hukum.

Dalam kisah ramai soal dugaan ijazah palsu pejabat tinggi negara, sikap pihak kepolisian bikin banyak orang angkat alis. Bukannya nyelidikin tuduhan dengan netral, polisi malah terlihat kayak bodyguard politik. Alih-alih ngusut apakah ijazah itu asli atau palsu—yang notabene soal penting buat publik—yang diuber justru orang-orang yang nanya. Yang kritik dipanggil, yang curiga dilaporkan, tapi inti masalahnya malah diabaikan.

Kelakuan kayak gini bikin publik mikir: ini polisi atau satgas jaga gengsi elite? Lembaga yang mestinya berdiri di tengah dan bela rakyat, kok malah sibuk jaga image pejabat. Bukan isu ijazah yang dibongkar, tapi yang ngomongin ijazah yang dibungkam. Alhasil, logika keadilan jadi kebalik—yang ngebongkar bisa jadi pesakitan, yang punya jabatan adem ayem.

Padahal di negara demokrasi, polisi itu harusnya netral—kerja buat hukum, bukan buat orang. Tapi kalau publik lihat polisi cepet banget gerak buat ngejar pengkritik, tapi diem seribu bahasa soal dugaan pemalsuan, ya wajar kalau orang bilang: “Hukum tuh nurut sama pangkat, bukan sama kebenaran.” Dan ketika hukum mulai nurut sama kekuasaan, itulah saat kepercayaan rakyat mulai rontok pelan-pelan.

Dan efeknya gak cuma di pengadilan, tapi juga di budaya. Kriminalisasi bikin orang males ngomong, takut posting, dan jadi apatis. Orang-orang lebih pilih ngobrolin gosip daripada politik. Suara-suara kritis tenggelam, diganti meme dan sindiran tipis di medsos.

Tapi ya, ironisnya, medsos pun akhirnya diawasi juga. Meme bisa dianggap penghinaan. Satire dianggap ujaran kebencian. Netizen ngelawak dikit, tahu-tahu dipolisikan. Hukum makin lama makin jadi hantu yang selalu ngintai.

Yang bikin miris, semua ini kayak udah dianggap biasa. Bukannya kaget, orang malah bilang: “Yah, zaman sekarang nanya aja bisa masuk bui.” Hukum bukan lagi tentang keadilan—tapi tentang siapa yang berani dan siapa yang sial.

Jadi, istilah kriminalisasi bukan sekadar terjemahan dari “criminalisation.” Ia merupakan gejala, bahkan mungkin diagnosis. Ia menunjukkan bahwa demokrasi kita masih belum siap dikritik, dan bahwa hukum kita masih gampang dibengkokkan buat jaga gengsi. 

Bertanya ijazah, suara sopan,
Tapi polisi datang cepat bukan kepalang.
Hukum tegas, tapi pilih kawan.
Gelar palsu jangan sampai tumbang.
Kebenaran? Nongkrong di luar ruang.

[English]