Jumat, 22 November 2024

The Comedy of Errors: Kampanye Gubernur Bagong dan Gareng

Di tengah hiruk pikuk kota Jakarta, dimana ambisi politik menjulang setinggi kemacetan lalulintas, dua kandidat tengah menjadi pusat perhatian: Bagong, mantan gubernur yang 'suave', dan pendampingnya, Gareng, seorang lelaki, yang leluconnya tampak dibuat di alam semesta paralel dimana kepekaan hanyalah sugesti dan kebenaran politik masihlah berkelas taman kanak-kanak.
Saat kampanye dimulai, dengan percaya diri Bagong berdiri di tengah kerumunan massa, wajahnya berbinar oleh kharismanya saat ia berjanji memberdayakan masyarakat Jakarta. Para pendukungnya melambaikan spanduk bertuliskan “Bagong for Jakarta!” dengan penuh semangat. Tepat saat ia mulai menguraikan visinya tentang pekerjaan dan pendidikan, Gareng, yang selalu bersemangat sebagai pendampingnya, melontarkan komentar yang segera menggemparkan kerumunan. Ia menyarankan agar para janda kaya menikahi pemuda pengangguran—campuran aneh antara perjodohan dan strategi perekonomian, yang membuat semua orang terdiam sesaat. Keheningan terasa nyata; seolah-olah sebuah jarum jatuh di ruangan yang penuh balon. Terdengar celetukan dari seorang pendukung yang tak diketahui asalnya, “Niki kampanye atawa biro jodoh sih?”

Di kafe terdekat, para komentator politik berkumpul membahas banyolan menyedihkan Gareng yang keliru tempat dan waktu itu, sambil menikmati secangkir kopi panas. Seorang komentator merenungkan bagaimana saran Gareng dapat menginspirasi acara realitas baru berjudul "The Bachelors of Jakarta." Tawa meledak di sekitar meja, tetapi diwarnai dengan ketidakpercayaan. Mereka tak dapat menahan diri menunjukkan kekepoan, inikah kampanye pemilihan gubernur atau sekadar audisi buat kelakar akbar.

Saat reaksi keras bertambah, Gareng mendapati dirinya dalam damage control mode. Ia merekam video permintaan maaf dari ruang tamunya, berusaha menjelaskan maksudnya. Dengan ekspresi serius yang tampak seperti sudah dilatih, ia menyatakan bahwa ia tak bermaksud menyinggung dan hanya mencoba mencairkan suasana. Sementara itu, Bagong menyaksikan tontonan ini berlangsung di telepon genggamnya, sambil menepuk jidat karena semua itu tak masuk akal. Ia bergumam pada dirinya sendiri tentang bagaimana ini bukanlah malam stand up comedy melainkan kampanye pemilihan—apa yang akan terjadi selanjutnya? Mungkin lelucon tentang potongan rambut Bagong yang bakalan dipertanyakan.
Usai insiden Gareng, para pendukung berkumpul di bar-bar di seluruh Jakarta membahas kekacauan yang terjadi. Banyak yang bimbang tentang pilihan suara mereka. Seorang pendukung menyindir bahwa jika mereka cuma hendak mendengar lelucon yang gak lucu, sebaiknya mereka meminta aja pada pakde atau paklik saat berkumpul dengan keluarga—setidaknya doi bakalan bawa makanan ringan! Di tengah tawa dan ketidakpercayaan, menjadi jelas bahwa lanskap politik Jakarta telah berubah jadi pertunjukan komedi yang tak disengaja.
Menjelang debat terakhir, Bagong dan Gareng kembali naik pentas. Suasananya penuh dengan keingintahuan. Saat ditanya bagaimana mereka akan membahas isu gender dalam kampanye mereka, Bagong menegaskan kembali idenya untuk para janda, dengan menyatakan bahwa hal tersebut dapat meningkatkan ekonomi dan peringkat kampanye mereka. Para hadirin terkesiap bersama bahwa ambisi politik mereka telah berubah menjadi daging cincang.

Bagong dan Gareng menggambarkan bagaimana ambisi politik dapat berbenturan dengan kesadaran sosial. Saat mereka berupaya memperbaikinya cukup dengan permintaan maaf, satu hal menjadi jelas: lanskap politik Jakarta tak pernah lebih dari entertaining—atau boleh jadi, membingungkan. Para pemilih mendapati diri merenungkan pilihan mereka sambil mengharapkan pemimpin yang dapat membedakan antara humor dan kerendahan hati—atau setidaknya membawa makanan ringan yang pantas menemani dalam perjalanan!

English 

Rabu, 20 November 2024

Oposisi [#WeTakeAStandWithSaidDiduandTomLembong] (3)

Semar: "Penguatan dan perluasan oposisi di sebuah negara memerlukan langkah-langkah kelembagaan, organisasi, dan kemasyarakatan yang memberdayakan partai dan gerakan oposisi agar tumbuh dalam ukuran, pengaruh, dan efektivitas. Kerangka hukum dan konstitusional yang kuat sangat penting guna memastikan hak oposisi agar beroperasi, bersaing, dan tumbuh. Pihak-pihak oposisi membutuhkan kerangka konstitusional dan hukum yang menjamin hak mereka untuk hidup, beroperasi secara bebas, dan berpartisipasi dalam proses politik tanpa takut akan penindasan.

Robert A. Dahl [Democracy and Its Critics. Yale University Press, 1989] menekankan pentingnya perlindungan kelembagaan untuk memastikan partisipasi oposisi. Dahl menggarisbawahi bahwa perlindungan kelembagaan bukanlah sesuatu yang opsional, tetapi penting bagi berfungsinya demokrasi. Perlindungan ini memberdayakan partai oposisi agar bertindak sebagai pengawas yang efektif, melindungi pluralisme, dan berkontribusi pada stabilitas demokrasi. Dahl berpendapat bahwa partisipasi oposisi memastikan bahwa berbagai kepentingan dan perspektif masyarakat terwakili dalam pengambilan keputusan. Dengan melembagakan perbedaan pendapat, demokrasi dapat lebih baik menahan krisis dan konflik tanpa terjebak ke dalam otoritarianisme.Pippa Norris [Electoral Engineering: Voting Rules and Political Behavior, Cambridge University Press, 2004] meneliti bagaimana sistem elektoral mempengaruhi representasi partai oposisi dalam kerangka politik. Norris berpendapat bahwa rancangan aturan elektoral secara signifikan mempengaruhi lanskap politik, khususnya representasi pihak oposisi. Ia menyoroti bahwa sistem yang berbeda—seperti representasi mayoritas versus proporsional—mempengaruhi cara partai bersaing dan memperoleh kursi di parlemen. Misalnya, representasi proporsional cenderung memfasilitasi sistem partai yang lebih beragam, yang memungkinkan partai yang lebih kecil atau oposisi memperoleh representasi, sedangkan sistem mayoritas seringkali lebih memihak partai yang lebih besar dan mapan, yang berpotensi meminggirkan suara oposisi.
Norris membahas bagaimana partai yang berkuasa dapat memanipulasi aturan elektoral guna mempertahankan kekuasaannya. Ketika partai oposisi baru muncul dan memperoleh kekuatan, partai yang sudah mapan mungkin beralih dari sistem pluralitas/mayoritas ke sistem perwakilan proporsional untuk menghindari hilangnya dominasi. Sebaliknya, jika partai oposisi lemah, mayoritas yang ada dapat mempertahankan sistem non-proporsional yang semakin memperkuat kekuasaan mereka. Dinamika ini menggambarkan interaksi strategis antara kekuatan partai dan aturan elektoral.
Norris menekankan bahwa kendati aturan pemilu formal membentuk perilaku politik, norma budaya yang mengakar kuat juga memainkan peran penting. Interaksi antara struktur (aturan pemilu) dan budaya (perilaku pemilih dan loyalitas partai) bersifat kompleks; perubahan aturan saja mungkin tak cukup mengubah pola perilaku politik yang mengakar atau meningkatkan representasi oposisi secara efektif.
Norris memberikan data yang menunjukkan bahwa tingkat proporsionalitas elektoral yang lebih tinggi berkorelasi dengan representasi yang lebih besar untuk partai oposisi, dengan demikian mendukung argumennya tentang pentingnya desain elektoral dalam membina keberagaman demokrasi.

Pihak-pihak oposisi hendaknya membangun dukungan yang luas dengan cara berhubungan dengan para pemilih dan memenuhi kebutuhan mereka. Memobilisasi gerakan akar rumput guna membangun kepercayaan, memperluas keanggotaan, dan berfokus pada isu-isu lokal dengan menangani masalah-masalah khusus dari komunitas yang terpinggirkan atau kurang terlayani agar mendapatkan loyalitas mereka.
Saul D. Alinsky [Rules for Radicals: A Practical Primer for Realistic Radicals. Vintage, 1971] memberikan strategi praktis untuk mobilisasi akar rumput dan keterlibatan masyarakat. Alinsky menekankan pentingnya menyatukan individu-individu dengan berbagai keluhan yang sama. Dengan berfokus pada kepentingan bersama, para penyelenggara dapat menumbuhkan solidaritas di antara anggota masyarakat yang beragam, mengubah kelompok-kelompok yang sebelumnya bermusuhan menjadi kekuatan yang kohesif bagi perubahan.
Taktik yang penting ialah mengidentifikasi "musuh bersama," seperti politisi lokal atau perusahaan yang mewakili keluhan masyarakat. Antagonis eksternal ini berfungsi menyatukan kelompok terhadap target yang nyata, menyederhanakan tujuan dan tindakan organisasi. Alinsky meyakini bahwa konflik dapat menjadi alat yang ampuh dalam memobilisasi masyarakat. Dengan menciptakan situasi yang menyoroti ketidakadilan, para penyelenggara dapat meningkatkan kesadaran dan menggerakkan tindakan di antara anggota masyarakat.

Clay Shirky [Here Comes Everybody: The Power of Organizing Without Organizations. Penguin Books, 2008] membahas dampak transformatif media sosial terhadap politik oposisi. Ia berpendapat bahwa platform media sosial telah mengubah dinamika keterlibatan dan aktivisme politik secara mendasar.
Shirky memperkenalkan konsep "amatirisasi massal," dimana perangkat sosial menghilangkan hambatan tradisional terhadap ekspresi publik. Demokratisasi media ini memungkinkan individu biasa membuat dan menyebarluaskan konten, mengaburkan batasan antara produsen dan konsumen. Hasilnya, kendati dalam lingkungan yang dikontrol ketat, seperti rezim otoriter, warga negara dapat bertindak sebagai jurnalis, mendokumentasikan peristiwa, dan berbagi informasi secara luas.
Media sosial memungkinkan koordinasi cepat di antara individu yang mungkin terisolasi. Shirky menyoroti contoh seperti protes Gezi Park di Turki, dimana para aktivis menggunakan media sosial untuk menyinkronkan tindakan mereka dan mendokumentasikan pengalaman mereka secara langsung, yang secara efektif menantang narasi pemerintah. Kemampuan berorganisasi tanpa kepemimpinan terpusat ini, merupakan keuntungan berarti bagi gerakan oposisi.
Shirky menegaskan bahwa media sosial menyediakan platform bagi suara-suara yang terpinggirkan untuk didengar, yang dapat mengarah pada perubahan politik yang substansial. Misalnya, selama Arab Spring, media sosial memainkan peran penting dalam memobilisasi protes terhadap rezim otoriter dengan memungkinkan warga negara berbagi informasi dan menggalang dukungan dengan cepat. Ini menunjukkan bagaimana media sosial dapat mengalihkan dinamika kekuasaan dari otoritas yang mapan ke gerakan akar rumput.
Shirky mencatat bahwa meskipun pemerintah berupaya mengendalikan media tradisional, sifat media sosial yang terdesentralisasi membuatnya sulit untuk sepenuhnya menekan suara-suara yang tak setuju. Ia membandingkan perjuangan ini dengan upaya penyensoran di masa lalu, yang menunjukkan bahwa banyaknya konten yang dihasilkan oleh pengguna sehari-hari menciptakan ruang publik yang lebih tangguh. Shirky menekankan bahwa implikasi politik media sosial sangat mendalam. Media sosial tak semata memfasilitasi pengorganisasian protes, melainkan mendorong bentuk baru keterlibatan politik yang menantang hierarki tradisional dan memberdayakan warga negara. Ia berpendapat bahwa pergeseran ini dapat mengarah pada tatakelola yang lebih responsif karena para pemimpin kini harus terlibat dengan masyarakat yang aktif secara politik, yang memanfaatkan platform ini untuk advokasi dan akuntabilitas. Sebagai kesimpulan, analisis Clay Shirky menggambarkan bagaimana media sosial telah menjadi alat penting bagi politik oposisi, yang memungkinkan partisipasi, koordinasi, dan pemberdayaan yang lebih besar di antara warga negara yang menghadapi otoritarianisme. Kemampuan berorganisasi tanpa struktur formal merupakan evolusi penting dalam cara gerakan politik dapat beroperasi di era digital.

Pihak oposisi hendaknya menunjukkan kepemimpinan yang beretika dan akuntabilitas agar memenangkan kepercayaan publik. Mereka seyogyanya menerapkan proses pengambilan keputusan yang adil dan transparan dalam partai untuk menghindari tuduhan elitisme dan bekerjasama dengan media independen untuk mengomunikasikan kebijakan dan mengungkap kekurangan pemerintah.
Robert W. McChesney [Rich Media, Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times. University of Illinois Press, 2000] membahas peran media dalam membentuk opini publik dan mendorong oposisi. McChesney menyajikan analisis kritis tentang lanskap media di Amerika Serikat, dengan menyatakan bahwa media korporat telah menjadi kekuatan antidemokrasi yang amar berarti. Ia menyoroti bagaimana konsentrasi kepemilikan media merusak wacana publik dan membentuk opini publik dengan cara yang lebih memihak kepentingan korporat daripada keterlibatan demokratis.
McChesney berpendapat bahwa ketika warga negara memahami implikasi kebijakan telekomunikasi dan konsolidasi media, mereka dapat bergerak secara efektif menuntut perubahan. Kesadaran ini sangat penting memulihkan nilai-nilai demokrasi dalam lanskap media. McChesney menyerukan tindakan politik merestrukturisasi sistem media, mengadvokasi kebijakan yang mempromosikan keberagaman dalam kepemilikan dan mendukung jurnalisme independen. Ia percaya bahwa reformasi semacam itu penting guna memastikan bahwa media melayani kepentingan publik dan bukan agenda perusahaan. Ia menekankan perlunya jurnalisme independen yang kuat sebagai penyeimbang kekuatan media perusahaan. Dengan mendukung outlet media alternatif dan mendorong jurnalisme akar rumput, warga negara dapat menciptakan lingkungan media yang lebih adil, yang mendorong perdebatan sejati dan partisipasi demokratis.

Aktor internasional dapat memberikan dukungan teknis, finansial, dan moral kepada gerakan oposisi. Tekanan internasional memainkan peran penting dalam membentuk dinamika oposisi dalam rezim hibrida, seperti yang dieksplorasi oleh Steven Levitsky dan Lucan A. Way [Competitive Authoritarianism: Hybrid Regimes After the Cold War. Cambridge University Press, 2010]. Rezim hibrida, yang dicirikan oleh campuran elemen demokratis dan otoriter, kerap menghadapi pengaruh eksternal yang dapat mendukung atau melemahkan gerakan oposisi.
Aktor-aktor internasional, termasuk para pemerintah dan LSM asing, dapat memberikan legitimasi kepada kelompok oposisi dengan mengakui upaya mereka dan mendukung tujuan mereka. Pengakuan ini dapat mendorong partai oposisi menantang petahana dengan lebih agresif. Misalnya, ketika entitas internasional mengutuk kecurangan pemilu atau pelanggaran hak asasi manusia, akan terbangun lingkungan yang mendukung mobilisasi oposisi.
Tekanan internasional dapat terwujud melalui sanksi ekonomi yang ditujukan kepada elit penguasa, yang dapat melemahkan cengkeraman mereka terhadap kekuasaan. Sanksi semacam itu seringkali menargetkan sumber daya keuangan rezim, yang memaksa mereka mempertimbangkan kembali strategi represif mereka. Sebaliknya, insentif positif seperti bantuan atau perjanjian perdagangan dapat dikondisikan pada reformasi demokratis, sehingga mendorong rezim hibrida agar memungkinkan pluralisme politik yang lebih besar dan dukungan bagi oposisi.
Pengaruh media internasional juga dapat memainkan peran penting dalam membentuk persepsi publik terhadap rezim dan oposisi. Liputan yang lebih luas tentang aktivitas oposisi atau tindakan represif pemerintah dapat menghasilkan dukungan domestik yang lebih besar bagi suara-suara yang berbeda pendapat. Selain itu, akses terhadap informasi tentang gerakan oposisi yang berhasil di negara lain dapat menginspirasi para pelaku lokal mengadopsi strategi serupa.
Rezim yang berkuasa seringkali menanggapi tekanan internasional dengan tindakan represif yang lebih besar, termasuk kekerasan terhadap pengunjuk rasa dan pembatasan kebebasan media. Banyak partai oposisi yang terpecah-pecah dan tak punya strategi yang kohesif, sehingga sulit melakukan tantangan yang efektif terhadap partai-partai penguasa yang terorganisasi dengan baik.
Memperkuat dan memperluas oposisi memerlukan pendekatan komprehensif yang menangani faktor-faktor kelembagaan, organisasi, dan kemasyarakatan. Dengan berfokus pada mobilisasi akar rumput, pembangunan kapasitas internal, pembentukan koalisi, dan dukungan internasional, gerakan oposisi dapat tumbuh dalam ukuran dan efektivitasnya, memberikan penyeimbang yang kuat terhadap otoritas pemerintah," pungkas Semar.

Bagong dan Gareng mengangguk tanda setuju. Gareng lalu menyentuh tombol play pada ponsel pintarnya, dan alunan merdu "Daur Hidup" karya Donne Maula mulai mengalun di udara...

Mati berkali-kali tapi bisa hidup lagi
Konon jika selamat, aku semakin hebat

Daur hidup akan selalu berputar
Tugasku hanya bertahan
Terus jalan dan mengalirlah seperti air
Dari lahir sampai ku jadi debu di akhir

Hai semua tangis dan tawa di depan mata
Aku tak pilih kasih, kan ku peluk semua

Selasa, 19 November 2024

Oposisi [#WeTakeAStandWithSaidDiduandTomLembong] (2)

Semar: "Konsep Hirschman tentang 'exit, voice, and loyalty' dapat diterapkan pada gerakan politik modern dalam beberapa cara, yang mencerminkan bagaimana individu dan kelompok menanggapi ketidakpuasan terhadap sistem politik. Dalam gerakan politik modern, "exit" seringkali mengacu pada meninggalkan suatu negara atau menarik diri dari keterlibatan politik.
Individu yang tak puas dengan rezim otoriter dapat beremigrasi, mencari peluang dan kebebasan yang lebih baik di tempat lain. Misalnya, banyak warga negara dari negara-negara seperti Venezuela atau Suriah melarikan diri karena pemerintahan yang represif dan ketidakstabilan ekonomi.
Dalam sejumlah kasus, warga negara dapat menarik diri dari proses politik sepenuhnya, memilih tak memberikan suara atau terlibat dalam kegiatan sipil ketika mereka merasa suara mereka tak didengar atau bahwa perubahan tak mungkin dilakukan.
"Voice" mencakup bagaimana individu mengekspresikan ketidakpuasannya dan mencari perubahan dalam sistem politik. Gerakan politik modern kerap menggunakan protes sebagai sarana menyuarakan ketidakpuasan. Arab Spring merupakan contoh utama dimana warga turun ke jalan menuntut reformasi demokrasi dan akuntabilitas dari pemerintah mereka.
Munculnya platform digital telah memperkuat suara dalam gerakan kontemporer. Aktivis menggunakan media sosial untuk mengorganisasi, berbagi informasi, dan memobilisasi dukungan dalam berbagai tujuan, seperti yang terlihat dalam gerakan seperti Black Lives Matter dan aktivis lingkungan.
Loyalty memainkan peran yang kompleks dalam gerakan politik modern. Warga negara mungkin menunjukkan loyalitas kepada suatu rezim atau partai karena ikatan historis atau manfaat yang dirasakan (misalnya, program bantuan sosial). Namun, loyalitas ini dapat bersifat kondisional; jika rezim tak mampu memenuhi harapan, individu dapat beralih ke arah "exit" atau "voice".
Di era globalisasi, individu seringkali mempertahankan loyalitas kepada banyak negara atau identitas. Misalnya, komunitas diaspora dapat terlibat dalam advokasi politik untuk negara asal mereka sambil juga berpartisipasi dalam politik negara tuan rumah mereka.
Kerangka kerja Hirschman menunjukkan bahwa exit dan voice kerapkali dipandang sebagai pilihan yang saling eksklusif; namun, gerakan politik modern menggambarkan bahwa keduanya dapat hidup berdampingan. Dalam beberapa kasus, tindakan exit (misalnya, emigrasi massal) dapat memicu peningkatan oposisi vokal di antara mereka yang bertahan. Sebagai contoh di Jerman Timur sebelum reunifikasi, meningkatnya angka emigrasi memicu protes dari mereka yang menginginkan reformasi tetapi merasa terjebak.
Individu dapat terlibat dalam exit dan voice secara bersamaan. Misalnya, ekspatriat dapat mengadvokasi perubahan di negara asal mereka sambil juga membangun kehidupan di luar negeri, menjaga koneksi, dan mempengaruhi politik dari jauh.
Kesimpulannya, konsep Hirschman tentang "exit, voice, dan loyalty" tetap relevan dalam menganalisis gerakan politik modern. Dinamika antara elemen-elemen ini menggambarkan bagaimana individu menavigasi ketidakpuasan dengan sistem politik saat ini, yang menyoroti kompleksitas keterlibatan dan pelepasan dalam konteks tatakelola kontemporer.

Krisis ekonomi dapat mempengaruhi kemampuan warga negara menentang rezim otoriter melalui berbagai mekanisme. Krisis ekonomi sering menimbulkan ketidakpuasan yang meluas di kalangan masyarakat karena meningkatnya pengangguran, inflasi, dan menurunnya standar hidup. Ketidakpuasan ini dapat menciptakan lahan subur bagi gerakan oposisi, seperti yang terlihat dalam berbagai konteks sejarah. Misalnya, di Venezuela, keruntuhan ekonomi telah memicu protes terhadap rezim Maduro, dengan warga menuntut tatakelola dan akuntabilitas yang lebih baik.
Sebagai respons terhadap krisis ekonomi, rezim otoriter akan menggunakan represi yang lebih ketat untuk mempertahankan kendali. Ini dapat mencakup tindakan keras terhadap perbedaan pendapat, penyensoran media, dan penindasan protes. Tindakan tersebut dapat mencegah warga melakukan mobilisasi melawan rezim karena takut akan dampaknya, sehingga melemahkan potensi oposisi. Sebagai contoh, selama kemerosotan ekonomi, rezim dapat menerapkan kebijakan yang memprioritaskan loyalty daripada perbedaan pendapat, menggunakan tindakan koersif untuk membungkam para pengkritik.
Krisis ekonomi dapat mengubah lanskap politik dengan menggeser kepentingan dan aliansi di antara para pendukung rezim. Rezim otoriter kera[ mengandalkan koalisi elit yang diuntungkan oleh status quo. Ketika kondisi ekonomi memburuk, koalisi ini dapat pecah karena berbagai kelompok mendorong berbagai kebijakan penyesuaian yang sejalan dengan kepentingan mereka. Konflik internal ini dapat membuka peluang bagi gerakan oposisi jika mereka dapat memanfaatkan perpecahan dalam koalisi yang berkuasa.
Meskipun krisis ekonomi dapat memicu ketidakpuasan, krisis juga menimbulkan tantangan bagi kelompok oposisi yang berusaha memobilisasi warga. Kekhawatiran akan kelangsungan hidup yang mendesak selama krisis dapat menyebabkan individu memprioritaskan stabilitas ekonomi pribadi daripada aktivisme politik. Akibatnya, meskipun ada ketidakpuasan yang meluas terhadap rezim, warga mungkin kurang bersedia atau tak mampu terlibat dalam aksi kolektif."

Gareng: "Adakah ukum internasional yang melindungi oposisi dan para aktivis?"
Semar: "Hukum internasional menyediakan kerangka kerja dalam melindungi hak-hak kelompok oposisi dan para aktivis, khususnya terkait kebebasan berekspresi, berkumpul secara damai, dan hak melakukan protes. Hak-hak ini tercantum dalam berbagai perjanjian dan deklarasi hak asasi manusia internasional.
Article 19 the Universal Declaration of Human Rights (UDHR) menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi: berpendapat tanpa gangguan; mencari, menerima, dan berbagi informasi dan ide melalui media apa pun dan tanpa memandang batas wilayah.
Pasal 19 juga mendukung hak-hak lain, semisal hak atas kebebasan beragama, berkumpul, dan berpartisipasi dalam urusan publik. Namun, kebebasan berekspresi bukanlah hal yang tak terbatas, dan beberapa bentuk ucapan tak dilindungi, semisal pornografi anak, sumpah palsu, pemerasan, dan hasutan dengan tujuan melakukan kekerasan.

UDHR diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948, dan menguraikan 30 hak dan kebebasan yang dimiliki semua orang. Berikut daftar lengkapnya:
1. Semua manusia bebas dan setara: Setiap orang dilahirkan bebas dan setara dalam martabat dan hak.
2. Tiada diskriminasi: Setiap orang berhak atas semua hak tanpa pembedaan dalam bentuk apa pun.
3. Hak untuk hidup: Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keamanan pribadi.
4. Tiada perbudakan: Tak seorang pun boleh diperbudak atau diperhamba.
5. Tiada penyiksaan: Tak seorang pun boleh menjadi sasaran penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat.
6. Hak yang sama dalam menggunakan hukum: Setiap orang berhak diakui dimana pun sebagai pribadi di hadapan hukum.
7. Sama di hadapan hukum: Semua orang sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan yang sama terhadap diskriminasi.
8. Hak diperlakukan secara adil oleh pengadilan: Setiap orang berhak atas pemulihan yang efektif atas tindakan yang melanggar hak-hak dasar.
9. Tak ada penahanan yang tidak adil: Tidak seorang pun boleh menjadi sasaran penangkapan atau penahanan sewenang-wenang.
10. Hak untuk diadili: Setiap orang berhak atas sidang yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang independen.
11. Tak bersalah sampai terbukti bersalah: Setiap orang yang didakwa dengan tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah.
12. Hak atas privasi: Tak seorang pun boleh menjadi sasaran gangguan sewenang-wenang terhadap privasi, keluarga, rumah, atau korespondensi. 
13. Kebebasan bergerak: Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan bermukim di negaranya.
14. Hak atas suaka: Setiap orang berhak mencari suaka dari penganiayaan di negara lain.
15. Hak atas kewarganegaraan: Setiap orang berhak atas kewarganegaraan.
16. Hak untuk menikah dan berkeluarga: Pria dan wanita berhak untuk menikah dan berkeluarga.
17. Hak untuk memiliki harta benda: Setiap orang berhak memiliki harta benda sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain.
18. Kebebasan berpikir, hati nurani, dan beragama: Termasuk kebebasan untuk mengubah agama atau kepercayaan.
19. Kebebasan berpendapat dan berekspresi: Setiap orang berhak berpendapat tanpa gangguan dan mencari, menerima, serta menyampaikan informasi.
20. Hak untuk berkumpul dan berserikat secara damai: Setiap orang berhak untuk berkumpul secara damai dan berserikat secara bebas.
21. Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan: Setiap orang berhak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas. 
22. Hak atas jaminan sosial: Setiap orang berhak atas jaminan sosial dan hak ekonomi, sosial, dan budaya yang diperlukan bagi martabat.
23. Hak untuk bekerja: Setiap orang berhak untuk bekerja dalam kondisi yang adil dan menerima upah yang sama dengan pekerjaan yang sama.
24. Hak untuk beristirahat dan bersantai: Setiap orang berhak untuk beristirahat dan bersantai, termasuk pembatasan jam kerja yang wajar.
25. Hak atas standar hidup yang layak: Setiap orang berhak atas standar hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan.
26. Hak atas pendidikan: Setiap orang berhak atas pendidikan, yang seharusnya gratis setidaknya pada tingkat dasar.
27. Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya: Setiap orang berhak untuk berpartisipasi secara bebas dalam kehidupan budaya komunitasnya.
28. Hak atas dunia yang bebas dan adil: Setiap orang berhak atas tatanan sosial yang memajukan hak-hak ini sepenuhnya.
29. Kewajiban terhadap komunitas: Setiap orang punya kewajiban terhadap komunitasnya yang memastikan perkembangan mereka yang bebas dan penuh.
30. Hak tidak dapat dicabut: Tak seorang pun dapat merampas hak-hak ini. 
Pasal-pasall ini secara kolektif membentuk kerangka kerja komprehensif yang bertujuan memastikan martabat, kebebasan, keadilan, dan perdamaian bagi semua individu di seluruh dunia.
Klausula-klausula ini secara kolektif membentuk kerangka kerja komprehensif yang bertujuan memastikan martabat, kebebasan, keadilan, dan perdamaian bagi semua individu di seluruh dunia.

Bagong: "Hak-hak manakah yang paling sering dilanggar secara global?" 
Semar: "Pelanggaran hak asasi manusia terjadi di berbagai kategori, tetapi hak-hak tertentu lebih sering dilanggar dibanding yang lain. Berdasarkan hasil penelusuran dan pengetahuan yang ada, berikut adalah beberapa hak yang paling sering dilanggar secara global:
1. Hak atas Kebebasan Berekspresi: Hak ini sering dibatasi, dengan individu menghadapi penyensoran, pelecehan, kriminalisasi atau pemenjaraan karena mengekspresikan pendapat mereka. Laporan menunjukkan bahwa setidaknya 77 negara memberlakukan pembatasan pada kebebasan berekspresi.
2. Hak untuk Hidup dan Keamanan: Pelanggaran yang terkait dengan hak untuk hidup termasuk pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, dan penghilangan paksa. Di banyak negara, terutama yang mengalami konflik atau pemerintahan otoriter, pemerintah tak bisa melindungi warga negara dari kekerasan.
3. Hak atas Pengadilan yang Adil: Banyak individu menghadapi pengadilan yang tidak adil, tidak punya akses ke perwakilan hukum, atau menjadi sasaran penahanan sewenang-wenang tanpa proses hukum. Pelanggaran ini lazim terjadi di setidaknya di 54 negara.
4. Hak untuk Berkumpul Secara Damai: Pihak berwenang di banyak negara menggunakan kekuatan berlebihan terhadap pengunjuk rasa damai dan memberlakukan pembatasan pada pertemuan. Amnesty International melaporkan bahwa kekerasan yang melanggar hukum digunakan terhadap pengunjuk rasa damai di lebih dari 85 negara.
5. Hak Pekerja: Hak untuk berorganisasi, bergabung dengan serikat pekerja, dan terlibat dalam perundingan bersama semakin terancam. Indeks Hak Global mencatat bahwa 87% negara melanggar hak mogok pada tahun 2022, yang mencerminkan peningkatan pembatasan yang signifikan.
6. Hak Privasi: Pengawasan dan campur tangan yang melanggar hukum terhadap privasi pribadi merupakan pelanggaran umum, terutama di negara-negara dengan rezim represif dimana perbedaan pendapat tidak ditoleransi.
7. Hak Kelompok Marjinal: Perempuan, anak-anak, dan etnis minoritas, sering menghadapi diskriminasi dan kekerasan sistemik. Kelompok-kelompok ini seringkali ditolak hak-haknya karena norma budaya atau undang-undang yang diskriminatif.
8. Hak Ekonomi dan Sosial: Hak-hak yang terkait dengan standar hidup yang layak, perawatan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan seringkali diabaikan atau dilanggar melalui kebijakan yang tidak memadai atau ketidaksetaraan sistemik.
Pelanggaran ini menyoroti tantangan yang sedang dihadapi oleh individu di seluruh dunia dalam menjalankan hak asasi manusia fundamental mereka. Bertahannya masalah ini menggarisbawahi perlunya advokasi berkelanjutan dan tekanan internasional dalam menegakkan standar hak asasi manusia secara global.

Pelanggaran hak asasi manusia di Israel, khususnya yang menyangkut perlakuannya terhadap warga Palestina, telah menarik perhatian internasional yang signifikan dan perbandingan dengan pelanggaran di negara lain. Laporan dari organisasi seperti Amnesty International dan Human Rights Watch menggambarkan kebijakan Israel terhadap warga Palestina sebagai bentuk apartheid. Ini termasuk diskriminasi sistematis, pemindahan paksa, dan pembatasan pergerakan dan akses ke sumber daya di Wilayah Pendudukan Palestina (Occupied Palestinian Territories (OPT)).
Tindakan militer Israel, terutama selama konflik di Gaza, telah mengakibatkan banyak korban sipil dan kerusakan infrastruktur. Misalnya, operasi militer baru-baru ini telah menyebabkan ribuan kematian warga Palestina, termasuk banyak warga sipil, yang menimbulkan kekhawatiran tentang potensi kejahatan perang. Ada laporan yang tersebar luas tentang penangkapan dan penahanan sewenang-wenang terhadap warga Palestina tanpa pengadilan, seringkali berdasarkan hukum militer yang berlaku secara berbeda untuk pemukim Israel. Pemerintah Israel telah dikritik karena menindak organisasi masyarakat sipil Palestina, melabeli beberapa sebagai entitas teroris dan membatasi operasi mereka.

Meskipun pelanggaran hak asasi manusia terjadi secara global di berbagai rezim dan konteks, sifat dan skalanya berbeda secara signifikan antara negara-negara seperti Israel dan negara-negara lain semisal China. Perlakuan China terhadap warga Uighur dan minoritas etnis lainnya melibatkan kamp-kamp penahanan massal, kerja paksa, dan pembatasan berat terhadap kebebasan beragama. Skala pelanggaran ini sering dipandang sebagai salah satu yang terburuk di dunia, sebanding dengan tuduhan terhadap Israel terkait perlakuannya terhadap warga Palestina.
Setelah kudeta militer pada tahun 2021, Myanmar telah mengalami pelanggaran hak asasi manusia yang parah terhadap minoritas etnis dan pembangkang politik. Penggunaan kekerasan oleh militer terhadap warga sipil telah menarik perbandingan dengan kekerasan yang disponsori negara yang terlihat di Israel selama operasi militer di Gaza."

Gareng: "Bagaimana oposisi di suatu negara bisa semakin kuat dan besar dengan sendirinya?"

Senin, 18 November 2024

Oposisi [#WeTakeAStandWithSaidDiduandTomLembong] (1)

Pada suatu pagi yang cerah, di negeri Pewayangan yang gharib, para Punakawan—Semar, Bagong, dan Gareng—berkumpul di bawah pohon beringin tua—tempat kebiasaan mereka berbincang, mulai dari hal yang mendalam hingga yang absurd.
Gareng: "Ramanda, kemanakah Petruk?"
Semar: "Ah, Petruk! Ia sedang bertualang, mencari gorong-gorong baru. Maklumlah, sejak mengembalikan mahkotanya, ia terobsesi dengan tugas-tugas kerajaan. Entah mengapa ia terus mencampuri urusan kerajaan. Petruk memang sudah menjadi raja kacau-balau. Pemimpin yang baik tahu kapan harus melawan dan kapan harus menarik diri."
Bagong (terkekeh): "Jadi, apa yang akan kita bicarakan sekarang? Rahasia awet mudakah? Atau mengapa para kebo ireng tampak sangat kenyang?"
Gareng: "Sebenernya, aku punya pertanyaan serius hari ini. Ramanda, apa sih oposisi politik itu?"
Semar (mengelus jenggotnya dengan kearifan): "Ah, Gareng, oposisi politik itu ibarat sambal pedas pada nasi kita sehari-hari. Ia memberi rasa, membuat kita berkeringat, dan terkadang, membuat kita menangis, tetapi pada akhirnya, ia penting bagi pengalaman yang utuh."
Bagong (agak mikir, kepo): "Bisa lebih spesifik lagi, Ramanda?"
Semar: "Dalam politik, oposisi merujuk pada partai politik atau kelompok yang mempertanyakan pemerintah yang berkuasa. Ia dapat mencakup partai terbesar yang tak berkuasa, yang sering disebut "oposisi resmi," yang memainkan peran penting dalam mengamati tindakan pemerintah dan mengusulkan alternatif. Oposisi sangat penting bagi demokrasi, memastikan akuntabilitas dan mewakili berbagai pandangan dalam badan legislatif. Efektivitasnya bervariasi menurut konteks politik, dengan beberapa sistem memungkinkan oposisi yang kuat sementara yang lain mungkin menekannya.
Oposisi juga mengacu pada satu atau lebih partai atau kelompok yang menantang atau melawan pemerintah berkuasa atau entitas politik terkemuka. Oposisi sering mengkritik kebijakan dan tindakan partai yang berkuasa dan bertujuan meminta pertanggungjawaban mereka. Perannya penting dalam sistem demokrasi, dimana ia memastikan adanya pengawasan terhadap kekuasaan pemerintah, memberikan sudut pandang alternatif, dan mewakili berbagai kepentingan dalam masyarakat.
Jadi, oposisi membuat para penguasa tetap terjaga, memastikan mereka tak menjadi terlalu nyaman atau terlalu ugal-ugalan. Mereka mempertanyakan, mereka menantang, dan mereka terkadang menyajikan hiburan yang sangat dibutuhkan.

Oposisi dalam sistem politik memiliki beberapa fungsi penting, terutama dalam kerangka demokrasi, dimana ia memainkan peran penting dalam menyeimbangkan dan mengawasi kekuasaan. Fungsi-fungsi ini meliputi pengawasan, representasi, menawarkan alternatif, memfasilitasi perdebatan, dan memastikan akuntabilitas.
Oposisi bertindak sebagai pengawas pemerintah yang berkuasa dengan mengawasi kebijakan, keputusan, dan pengeluarannya. Dengan meminta pertanggungjawaban pemerintah, ia membantu mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan sumber daya. Oposisi mewakili berbagai sudut pandang dan suara dalam pemilih, terutama mereka yang mungkin merasa kurang terwakili oleh partai yang berkuasa. Hal ini memastikan bahwa perspektif yang berbeda dipertimbangkan dalam pemerintahan.
Partai oposisi memberikan kritik dan turut-serta dalam perdebatan tentang kebijakan, mendorong pemeriksaan dan penyempurnaan yang lebih dalam. Hal ini meningkatkan kualitas legislasi dan pembuatan kebijakan. Oposisi dapat mengusulkan kebijakan alternatif, menunjukkan solusi potensial yang berbeda dari yang ditawarkan oleh partai yang berkuasa. Hal ini penting bagi para pemilih yang mencari pilihan kebijakan yang jelas.
Dalam sistem parlementer, oposisi kerap dipandang sebagai "pemerintahan yang sedang menunggu". Melalui kabinet bayangan dan kerja kebijakan terperinci, mereka bersiap mengambil alih pemerintahan jika mereka memenangkan pemilihan umum mendatang. Dengan mempertanyakan tindakan pemerintah, pihak oposisi mendorong transparansi, karena mereka sering mengungkapkan informasi yang mungkin disembunyikan dari publik.

Konsep oposisi berakar pada perkembangan tatakelola pemerintahan demokratis, yang muncul sebagai sarana memastikan bahwa pemerintah tetap bertanggungjawab kepada publik. Para ahli teori politik berpendapat bahwa oposisi merupakan hasil alami dari masyarakat yang pluralistik, dimana berbagai kepentingan dan ideologi bersaing mendapatkan pengaruh. Dalam sistem parlementer, partai-partai oposisi dilembagakan seiring dengan berkembangnya demokrasi, dengan tujuan membangun lingkungan yang terstruktur bagi perbedaan pendapat dan representasi alternatif.
The Origins of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution (2011, Farrar, Straus and Giroux) karya Francis Fukuyama menghadirkan analisis historis yang komprehensif tentang bagaimana lembaga politik, termasuk oposisi, berevolusi dari masyarakat suku yang berbasis kekerabatan menjadi demokrasi modern. Fukuyama berpendapat bahwa tatanan politik muncul dari tiga komponen utama: negara, supremasi hukum, dan mekanisme akuntabilitas. Oposisi, sebagai kekuatan yang dilembagakan, terkait erat dengan dua hal terakhir—supremasi hukum dan akuntabilitas—yang memastikan bahwa para penguasa tak dapat menggunakan kekuasaan tanpa kendali.
Fukuyama mengawali dengan meneliti masyarakat kesukuan, dimana pemerintahan didesentralisasi dan kewenangan berasal dari ikatan kekerabatan. Dalam masyarakat seperti ini, tiada pertentangan formal, sebab pertikaian diselesaikan dalam struktur keluarga atau klan. Kepemimpinan kerap didorong oleh konsensus, dan perbedaan pendapat yang terorganisasi seperti yang terlihat dalam sistem politik modern tidak diperlukan dan tidak ada.
Munculnya negara-negara terpusat, khususnya di peradaban kuno semisal China dan Timur Tengah, menandai perubahan yang cukup besar. Sistem-sistem ini kerap menekan perbedaan pendapat karena para penguasa mengonsolidasikan kekuasaan dan membangun pemerintahan hierarkis. Fukuyama menyoroti kekaisaran China sebagai contoh utama, dimana otoritas terpusat tak memberikan ruang bagi oposisi yang dilembagakan karena pemusatan kekuasaan di tangan penguasa dan birokrasi.
Titik balik dalam evolusi oposisi muncul bersamaan dengan perkembangan lembaga keagamaan yang bertindak sebagai pengawas kekuasaan negara. Fukuyama menunjuk Gereja Katolik di Eropa abad pertengahan, yang sering menantang raja dan bertindak sebagai otoritas independen. Dinamika ini menjadi preseden bagi oposisi yang dilembagakan dengan menunjukkan bahwa para penguasa dapat dimintai pertanggungjawaban atas prinsip atau hukum yang lebih tinggi. Interaksi antara otoritas keagamaan dan pemerintahan sekuler meletakkan dasar bagi oposisi hukum dan politik di masa mendatang.

Fukuyama menelusuri kemunculan lembaga perwakilan semisal Parlemen Inggris, yang menyediakan platform formal untuk mengekspresikan perbedaan pendapat terhadap kekuasaan monarki. Magna Carta (1215) merupakan momen penting, yang memaksa raja agar mengakui hak-hak rakyatnya dan membangun budaya politik yang melegitimasi oposisi. Seiring berjalannya waktu, badan-badan perwakilan ini melembagakan perbedaan pendapat, mengubahnya menjadi kekuatan konstruktif dalam pemerintahan.
Dalam demokrasi modern, menurut Fukuyama, oposisi diformalkan melalui mekanisme seperti persaingan elektoral, pemisahan kekuasaan, dan supremasi hukum. Sistem ini memastikan bahwa oposisi merupakan bagian penting dari pemerintahan, menyeimbangkan kekuasaan, dan mencegah tirani. Misalnya, kerangka konstitusional di Inggris dan Amerika Serikat membangun sistem yang tahan lama dimana oposisi memainkan peran penting dalam pembuatan kebijakan, perdebatan, dan akuntabilitas.
Fukuyama menekankan bahwa oposisi bukan sekadar kekuatan yang mengganggu, tetapi juga faktor penstabil dalam sistem politik. Dengan menyalurkan perbedaan pendapat ke dalam struktur formal, demokrasi modern memungkinkan keluhan diungkapkan dan diperdebatkan tanpa merusak tatanan politik secara keseluruhan. Hal ini mengurangi kemungkinan pemberontakan yang disertai kekerasan atau pengambilalihan kekuasaan oleh pemerintah yang otoriter.

Oposisi, sebagaimana dijelaskan Fukuyama, berkembang selama berabad-abad dan membutuhkan kondisi historis, budaya, dan ekonomi tertentu, semisal melemahnya otoritas terpusat dan munculnya tradisi hukum.
Pelembagaan oposisi sejalan dengan pengembangan akuntabilitas politik, yang memastikan bahwa para penguasa bertanggungjawab kepada warga negara atau badan pemerintahan lainnya.
Dalam demokrasi modern, oposisi merupakan puncak dari proses sejarah panjang yang menyeimbangkan kekuasaan terpusat dengan tuntutan masyarakat akan inklusi, representasi, dan perdebatan.

"Comparative Politics" karya Daniele Caramani (2020 oleh Oxford University Press) menganalisis oposisi politik dalam sistem demokrasi dan non-demokrasi, menyoroti peran dan perbedaan organisasinya tergantung pada jenis pemerintahannya.
Dalam demokrasi, oposisi politik biasanya dilembagakan melalui partai politik, mekanisme parlementer, dan kerangka hukum yang melindungi perbedaan pendapat. Partai oposisi dapat membentuk kabinet bayangan atau bertindak sebagai "pemerintahan sementara".
Struktur oposisi bervariasi berdasarkan sistemnya, mayoritaskah atau proporsional. Dalam sistem mayoritas, oposisi sering terkonsolidasi menjadi satu partai atau koalisi, sementara sistem proporsional dapat menampilkan oposisi yang terfragmentasi. Caramani menyoroti peran media independen dan masyarakat sipil dalam mendukung oposisi dengan memperkuat suara mereka dan meminta pertanggungjawaban pemerintah.
Partai-partai oposisi meminta pertanggungjawaban pemerintah dengan meneliti kebijakan, mengungkap korupsi, dan mempertanyakan keputusan eksekutif. Oposisi berkontribusi pada perdebatan kebijakan dan menyajikan program alternatif, yang memungkinkan para pemilih membuat pilihan yang tepat.
Oposisi menyediakan platform bagi berbagai kelompok dan kepentingan minoritas yang mungkin tak sejalan dengan mayoritas penguasa. Dengan berpartisipasi dalam proses demokrasi formal, oposisi melegitimasi sistem dan menyalurkan perbedaan pendapat secara konstruktif.
Oposisi dalam sistem non-demokratis seringkali tak memiliki dukungan kelembagaan formal dan beroperasi dalam lingkungan yang dibatasi atau ditekan. Partai politik mungkin dilarang atau diatur secara ketat. Akibat penekanan negara, gerakan oposisi dapat berfungsi sebagai organisasi yang terfragmentasi atau rahasia, semisal jaringan bawah tanah atau kelompok pengasingan. Dalam rezim otoriter, organisasi masyarakat sipil dan jaringan informal kerap memainkan peran krusial dalam oposisi, meski dengan risiko yang berarti.
Oposisi dalam sistem non-demokratis sering bertindak sebagai kekuatan perlawanan terhadap pemerintahan otoriter, yang mengadvokasi reformasi demokratis dan hak asasi manusia. Kelompok oposisi sering mencari dukungan dari organisasi internasional, pemerintah asing, atau komunitas diaspora untuk menekan rezim agar berubah. Gerakan oposisi dapat menantang legitimasi rezim dengan mengungkap kelemahan dalam tatakelola, salah urus ekonomi, atau pelanggaran hak asasi manusia. Caramani mencatat bahwa oposisi dalam sistem non-demokratis beroperasi di bawah ancaman penganiayaan, pemenjaraan, atau pengasingan yang terus-menerus, yang membatasi efektivitas dan visibilitasnya.

Gareng: "Tapi Ramanda, bukankah terlalu berisiko jadi oposisi?"
Semar (dengan mata berbinar): "Beresiko? Tentu saja! Tapi tanpa oposisi, kita akan berada di dunia dimana semua orang sepakat dalam segala hal. Lantas, asyiknya dimana? Ingat, oposisi ada untuk mengingatkan para penguasa bahwa kekuasaan itu cepat berlalu dan kerap terjadi bahwa beberapa keputusan yang keliru, dapat menyebabkan kekacauan total.
Kehadiran oposisi yang kuat dan efektif sangat penting bagi demokrasi yang sehat. Oposisi memastikan bahwa pemerintah bertanggungjawab, mendorong transparansi, dan memberi para pemilih pilihan kebijakan alternatif. Oposisi yang kuat juga mendorong perdebatan politik dan membantu mencegah pemusatan kekuasaan di satu partai atau kelompok.
Ada dua jenis oposisi: Oposisi Loyal dan Oposisi Radikal atau Non-Sistemik. Oposisi Loyal merujuk pada partai oposisi yang beroperasi dalam kerangka sistem politik dan menghormati legitimasi pemerintah. Tujuan mereka ialah meningkatkan tatakelola melalui kritik dan perdebatan yang membangun.
Oposisi Radikal atau Non-Sistemik adalah para kelompok atau partai yang mungkin tak mengakui legitimasi pemerintah saat ini dan mencari perubahan yang lebih mendasar pada sistem politik. Mereka sering beroperasi di luar kerangka politik yang mapan.
Singkatnya, oposisi politik memainkan peran penting dalam menjaga pengawasan dan keseimbangan yang diperlukan bagi tatakelola yang demokratis, memastikan bahwa beragam suara dan perspektif didengar dan dipertimbangkan.

Partai oposisi mungkin memiliki lebih sedikit sumber daya dan akses terhadap informasi dibanding partai yang berkuasa. Pihak oposisi boleh jadi akan kesulitan memperoleh perhatian media dan mengomunikasikan pesan mereka secara efektif kepada publik. Di beberapa negara, partai oposisi menghadapi pelecehan, intimidasi, dan pembatasan terhadap aktivitas mereka.
Namun bagaimanapun juga, kehadiran oposisi yang kuat dan efektif sangat penting bagi demokrasi yang sehat. Hal ini memastikan bahwa pemerintah bertanggungjawab, mendorong transparansi, dan menyediakan pilihan kebijakan alternatif bagi para pemilih. Oposisi yang kuat juga mendorong perdebatan politik dan membantu mencegah pemusatan kekuasaan di satu partai atau kelompok.
Singkatnya, oposisi politik memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan dan pengawasan yang diperlukan bagi pemerintahan yang demokratis, memastikan bahwa berbagai suara dan perspektif didengar dan dipertimbangkan."

Bagong: "Apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh pihak oposisi?"
Semar: "Dalam sistem demokrasi, pihak oposisi umumnya beroperasi dalam batasan hukum dan kelembagaan yang ditetapkan, yang memungkinkannya menentang kebijakan pemerintah dan mengadvokasi kebijakan alternatif. Namun, tindakan ini diimbangi dengan pembatasan untuk memastikan bahwa kegiatan oposisi tetap sah dan konstruktif.
Pihak oposisi berhak memeriksa dan mempertanyakan tindakan, kebijakan, dan pengeluaran pemerintah, terutama dalam lingkungan parlementer. Mereka mencapainya melalui debat, penyelidikan, dan dengan mengajukan pertanyaan dalam sesi legislatif.
Partai oposisi dapat menyusun dan mengusulkan kebijakan alternatif, dengan demikian memberikan pilihan kepada pemilih dan menyoroti berbagai pendekatan terhadap pemerintahan.
Pihak oposisi dapat memberikan suara menentang usulan pemerintah atau mendukung undang-undang yang mereka setujui, dengan demikian mempengaruhi hasil kebijakan.
Pihak oposisi diperbolehkan menyelenggarakan rapat umum, kampanye, dan pertemuan publik untuk melibatkan pemilih, meningkatkan kesadaran tentang isu-isu utama, dan membangun dukungan bagi tujuan mereka.
Pihak oposisi dapat membentuk kabinet bayangan untuk meneliti pekerjaan menteri pemerintah secara ketat, yang secara efektif bertindak sebagai "pemerintah yang sedang menunggu" dalam persiapan bagi pemerintahan potensial di masa mendatang.
Pihak oposisi bertugas mengkritik kebijakan pemerintah dan memberikan pendapat yang berbeda. Mereka terlibat dalam debat konstruktif untuk menantang, menyempurnakan, atau menolak kebijakan yang mereka yakini bertentangan dengan kepentingan publik.

Pihak oposisi tak dapat secara hukum mendukung atau menghasut dengan kekerasan, pemberontakan, atau segala bentuk kegiatan melawan hukum terhadap pemerintah atau ketertiban umum. Tindakan tersebut biasanya dianggap ilegal dan dapat mengakibatkan konsekuensi hukum.
Sebagian besar pemerintah memiliki undang-undang yang membatasi tindakan yang dapat membahayakan keamanan nasional, semisal mengungkapkan informasi rahasia atau bekerjasama dengan entitas asing dengan cara yang membahayakan kepentingan nasional.
Dalam beberapa sistem politik, pihak oposisi mungkin tak berkemampuan sepenuhnya memblokir undang-undang, terutama jika partai yang berkuasa punya mayoritas yang berarti. Namun, mereka masih dapat menggunakan alat prosedural untuk menunda atau memperdebatkan undang-undang.
Meskipun pihak oposisi dapat mengkritik dan mempertanyakan cabang eksekutif, mereka tak punya kendali langsung atas tindakan dan keputusan eksekutif. Peran mereka terutama bersifat nasihat atau kritis kecuali mereka memperoleh dukungan mayoritas.
Meskipun anggota oposisi punya hak istimewa parlementer, mereka diharapkan agar menggunakannya secara bertanggungjawab. Melakukan fitnah, menyebarkan informasi yang salah, atau menyalahgunakan posisi mereka, dapat digugat secara hukum.

Oposisi dalam rezim otoriter menghadapi berbagai tantangan yang menghambat efektivitas dan kemampuan mereka memobilisasi diri melawan pemerintah yang berkuasa. Dalam banyak konteks otoriter, partai-partai oposisi beroperasi di lapangan permainan yang tak seimbang, dimana sistem pemilihan sangat condong ke arah pemerintah yang sedang berkuasa. Petahana sering memanipulasi undang-undang pemilihan untuk membatasi partisipasi oposisi, seperti dengan memberlakukan persyaratan pendaftaran yang ketat atau mengubah batas distrik untuk mengencerkan suara oposisi. Partai yang berkuasa biasanya memonopoli sumber daya negara, sehingga menyulitkan partai-partai oposisi bersaing secara efektif. Ini termasuk kontrol atas media, pendanaan, dan lembaga-lembaga publik, yang secara berarti dapat mengurangi visibilitas dan kelayakan kandidat oposisi.
Pasukan pemerintah mungkin menggunakan taktik intimidasi, termasuk pelecehan, pemenjaraan, atau bahkan kekerasan terhadap para pemimpin dan pendukung oposisi. Hal ini memunculkan iklim ketakutan yang menghambat keterlibatan dan mobilisasi politik. Rezim otoriter seringkali menekan media independen dan mengendalikan penyebaran informasi, sehingga membatasi kemampuan oposisi mengomunikasikan pesannya dan menjangkau pendukung potensial.

Konsep "exit, voice, and loyalty," yang dirumuskan oleh ekonom Albert O. Hirschman (Exit, Voice, and Loyalty: Responses to Decline in Firms, Organizations, and States, 1970, Harvard University Press), menyajikan kerangka kerja yang berguna untuk memahami dinamika oposisi politik dalam rezim otoriter. Model ini menguraikan tiga respons potensial yang dapat dimiliki individu ketika menghadapi ketidakpuasan: mereka dapat memilih untuk keluar (meninggalkan situasi), menyuarakan (mengungkapkan kekhawatiran mereka), atau tetap loyal (tetap bertahan meskipun ada keluhan).
Dalam rezim otoriter, "exit" kerap terwujud sebagai emigrasi atau pengasingan politik. Warga negara yang tak puas dengan kebijakan rezim, mungkin memilih meninggalkan negaranya, terutama ketika mereka merasa bahwa kemampuan mereka melakukan perubahan melalui cara lain terbatas. Misalnya, di negara-negara semisal Suriah dan Jerman Timur, migrasi keluar yang berarti terjadi karena warga negara mencari kondisi yang lebih baik di tempat lain. Pilihan ini berfungsi sebagai katup pengaman bagi rezim, yang memungkinkan mereka menyingkirkan para pembangkang sekaligus mengurangi tekanan langsung untuk melakukan reformasi.
"Voice" mengacu pada upaya warga negara mengekspresikan ketidakpuasannya dan mengupayakan perubahan dalam sistem yang ada. Namun, dalam konteks otoriter, ruang bersuara seringkali sangat dibatasi. Protes dan perbedaan pendapat di depan umum dapat menyebabkan tindakan balasan yang keras dari negara, yang membuat individu enggan menyuarakan pendapatnya secara terbuka. Meskipun demikian, beberapa warga negara mungkin masih berperan dalam bentuk protes atau remonstrasi, mengarahkan keluhan mereka kepada pejabat tingkat bawah daripada secara langsung menantang rezim itu sendiri. Fenomena ini telah diamati di Kazakhstan, dimana kelompok oposisi berusaha mengartikulasikan keluhan sambil menavigasi lingkungan politik yang represif.
Loyalty memainkan peran penting dalam kerangka ini, khususnya dalam rezim otoriter dimana pemerintah dapat menumbuhkan rasa loyalitas di antara warga negaranya melalui manfaat ekonomi atau stabilitas sosial. Banyak warga negara akan tetap loyal karena takut akan dampak dari perbedaan pendapat atau karena mereka menganggap bahwa meninggalkan rezim akan mengakibatkan hilangnya status dan keamanan. Dalam kasus semisal di China, dimana kelas menengah yang sedang berkembang bergantung pada pekerjaan dan tunjangan negara, loyalitas dapat dipertahankan bahkan di tengah ketidakpuasan. Loyalitas ini mempersulit dinamika oposisi karena dapat menghambat jalan keluar dan suara.

Hubungan antara exit dan voice amatlah kompleks; Hirschman mencatat bahwa ketika pilihan exit tersedia dengan mudah, individu akan cenderung tak menggunakan suara mereka. Sebaliknya, migrasi keluar yang substansial terkadang dapat memicu tindakan kolektif di antara mereka yang bertahan, seperti yang terlihat di Jerman Timur sebelum reunifikasi ketika peningkatan emigrasi menyebabkan protes massa yang menuntut reformasi. Dalam rezim otoriter, interaksi ini menunjukkan bahwa meskipun exit pada awalnya dapat mengurangi tekanan pada rezim, juga dapat mengkatalisasi suara di antara mereka yang tertinggal. Singkatnya, kerangka kerja "exit, voice, dan loyalty" menggambarkan bagaimana warga mengatasi ketidakpuasan dalam rezim otoriter. Sementara exit menawarkan jalan keluar bagi sebagian orang, hal itu dapat melemahkan oposisi yang terorganisasi dan mengurangi tindakan kolektif. Suara tetap penuh dengan risiko tetapi penting untuk menantang praktik otoriter; namun, loyalitas seringkali memperumit dinamika ini dengan mengikat warga pada rezim meskipun ada kekesalan. Memahami interaksi ini membantu memperjelas tantangan yang dihadapi oleh oposisi politik dalam konteks seperti itu dan menyoroti strategi bernuansa yang digunakan oleh warga yang mengupayakan perubahan."

Bagong: "Bagaimana konsep Hirschman tentang "exit, voice, dan loyalty" diterapkan pada gerakan politik modern?"

Selasa, 12 November 2024

Konsep Barokah (3)

Asoka kemudian menutur, "Di sebuah kota yang tenang, di tengah cahaya fajar yang lembut, hiduplah Ibrahim, seorang perajin yang dikenal karena keterampilannya tetapi rendah hati. Hari-harinya diisi dengan pekerjaan kerajinan tangan yang cermat, membentuk kayu menjadi potongan-potongan yang indah. Namun, meskipun penghasilannya pas-pasan, ia tampak selalu berkecukupan, dan hatinya tenteram, rumahnya hangat. Ada sesuatu tentang Ibrahim, rasa damai, rasa berkah—berkah yang tampaknya menyelimutii setiap bagian hidupnya.
Suatu pagi, saat ia siap bekerja, seorang pemuda bernama Nasir menghampirinya dengan mata yang letih, meminta nasihat. "Bagaimana cara Paman selalu tampak berkecukupan? Penghasilan paman kecil, tetapi paman dan keluarga selalu terlihat berkecukupan. Aku juga bekerja keras, tetapi hari-hari berlalu begitu saja bagaikan pasir. Aku tak mengerti bagaimana paman melakukannya."

Ibrahim, dengan senyum ramah, mengsjsk Nasir agar duduk. "Mari," katanya, "paman akan berbagi denganmu rahasia barokah." Nasir mencondongkan tubuhnya saat Ibrahim berbicara, "Barokah itu berkah dari Allah yang tak hanya menyentuh apa yang kita miliki, tapi juga bagaimana kita mengalaminya. Rasulullah (ﷺ) mengajarkan kita bahwa barokah lebih dari sekadar harta-benda; ia adalah kekayaan dalam waktu, usaha, dan hati kita. Sekeping koin yang disertai barokah dapat memberikan lebih banyak kebaikan daripada tumpukan emas tanpa berkah."
Wajah Nasir melembut karena rasa ingin tahu saat Ibrahim melanjutkan, "Coba perhatikan, paman memulai setiap hari dengan berdoa, saat fajar. Rasulullah (ﷺ) sendiri berdoa, 'Ya Allah, berkahilah umatku di pagi hari.' Bangun pagi mengisi hari paman dengan berkah karena jam-jam terasa lebih panjang, dan pekerjaan paman membuahkan hasil. Namun, ini bukan hanya tentang bangun pagi; ini tentang bangun dengan tujuan, bersyukur, dan memulai dengan mengingat nama Allah."
"Aku juga bangun pagi," sela Nasir, "tetapi rasanya waktu gak pernah cukup."
"Itu karena berkah tak semata dalam tindakan; melainkan pula dalam niat," kata Ibrahim sambil mengangguk penuh pengertian. Ia melihat sekeliling bengkel kecilnya dan menunjuk ke arah perkakasnya. "Semua di sini punya tujuan. Imam al-Ghazali mengajarkan kita bahwa 'Ilmu tanpa tindakan adalah kegilaan dan tindakan tanpa ilmu adalah kehampaan.' Untuk mengisi tindakan kita dengan berkah, kita hendaknya ikhlas dan berilmu. Aku melakukan pekerjaanku dengan ilmu tentang nilainya—bukan hanya untuk mendapatkan penghasilan tapi juga melayani, untuk membangun sesuatu yang berguna bagi orang lain. Keikhlasan itu mendatangkan berkah, mengubah sepotong kayu sederhana menjadi sesuatu yang bermakna."
Nasir mengamati perkakas itu, kini melihatnya melalui mata Ibrahim. "Kalo begitu, jadi niat, tujuan itulah yang mendatangkan berkah." Ibrahim mengangguk. "Tepat sekali. Hati, sebagaimana dikatakan Imam al-Ghazali, bagaikan benteng, dan kita harus menjaga gerbangnya. Jika kita membiarkan keserakahan atau ketidaksabaran menyelinap masuk, berkah pun akan menyelinap keluar. Hasrat menjadikan kita budak, tetapi kesabaran, Nasir, menjadikan kita raja. Ayahku mengajarkan kepadaku bahwa kesabaran mengundang berkah, walaupun ketika kita tak melihat pahala langsung."

Nasir mengernyitkan dahi, berpikir. "Tapi bukankah kesabaran itu sulit? Bagaimana seseorang bisa benar-benar sabar?"
"Nah, itulah ujiannya," jawab Ibrahim. "Untuk mendapatkan apa yang engkau sukai, dirimu harus bersabar terlebih dahulu dengan apa yang tak engkau sukai. Itulah sebabnya aku berusaha bersabar dengan penghasilanku, untuk menemukan kebahagiaan dalam apa yang kumiliki daripada terpaku pada apa yang tak kumiliki. Kesabaran ini, keyakinan kepada Allah, itulah yang oleh para ulama disebut tawakkal. Aku berusaha sebaik mungkin, tetapi menyerahkan hasilnya di tangan-Nya, dan berkah mengalir masuk karena aku tak berusaha mengendalikan apa yang berada di luar kendaliku."
Nasir menyerap hikmah ini, dan hatinya merasakan percikan pemahaman. Ibrahim melanjutkan, "Bagian penting lain dari berkah adalah sedekah. Rasulullah (ﷺ) mengajarkan kita bahwa bersedekah takkan mengurangi harta. Disaat kita memberi dari harta kita yang sedikit, Allah memberkahi sisanya, mengembangkannya dengan cara yang tak terlihat. Jadi, Nasir, berkah dalam kekayaan tak selalu berupa lebih banyak uang, tetapi lebih kepada kemampuan memenuhi kebutuhan kita, menemukan sukacita, memberi dan merasa cukup." Sambil tersenyum, Nasir bertanya, "Tetapi, bagaimana saya memastikan bahwa aku tulus-ikhlas, Paman?"
Tatapan mata Ibrahim melembut. "Bersikaplah tulus dalam segala hal yang engkau lakukan. Hanya apa yang engkau lakukan untuk Allah-lah yang akan bertahan. Jika engkau bekerja hanya untuk dirimu sendiri, tindakanmu dibatasi oleh dirimu sendiri. Namun jika engkau bekerja untuk Allah, barokah memenuhi usahamu. Ketulusan ini mengubah rutinitas menjadi ibadah, dan hidup itu sendiri menjadi perjalanan menuju Allah.
Bila kita bekerja semat untuk diri sendiri atau keuntungan kita, upaya dan hasil yang kita peroleh cenderung dibatasi oleh kapasitas manusiawi kita. Waktu, energi, dan sumber daya kita terbatas, sehingga hasilnya seringkali sebanding dengan apa yang dapat kita capai. Perbedaan ini menunjukkan perbedaan antara pendekatan yang berpusat pada diri sendiri dan pendekatan yang berorientasi pada tujuan yang menghubungkan upaya seseorang dengan tujuan yang lebih tinggi.
Manakala kita bekerja hanya untuk diri sendiri, tujuan kita kerapkali terbatas, dibentuk oleh keinginan, ambisi, dan keterbatasan kita. Contoh, kita mungkin bekerja untuk mendapatkan sejumlah uang, mendapatkan status, atau memperoleh pengakuan. Tujuan-tujuan ini dapat dicapai, tetapi terbatas pada tingkat pribadi dan dibatasi oleh kemampuan, keadaan, dan sumber daya kita. Kepuasan yang diperoleh dari pencapaian tujuan-tujuan ini seringkali terasa berumur pendek dan dapat menyebabkan pencarian terus-menerus untuk mendapatkan lebih banyak lagi.
Bekerja hanya untuk diri sendiri dapat menyebabkan rasa terisolasi dalam berusaha. Kita mungkin merasa bertanggung awab sepenuhnya atas hasilnya, yang dapat menimbulkan stres dan kecemasan, terutama ketika segala sesuatunya tak berjalan sesuai rencana. Pendekatan ini seringkali mengabaikan sifat kehidupan dan alam semesta kita yang lebih luas dan saling terkait, dimana banyak faktor (di luar kendali kita) berkontribusi terhadap keberhasilan atau kegagalan kita.
Walaupun ketika kita mencapai apa yang kita cita-citakan, kesuksesan pribadi mungkin masih meninggalkan rasa hampa. Mencapai tujuan semata-mata bagi keuntungan pribadi dapat terasa fana, karena keinginan manusia terus berkembang dan tumbuh. Itulah sebabnya mengapa banyak orang, meskipun mencapai kesuksesan duniawi yang berarti, akan masih merasa tak puas—mereka mendapati dirinya mengejar rasa kepuasan yang sepertinya selalu berada di luar jangkauan.
Bila pekerjaan kita hanya untuk diri kita sendiri, biasanya pengaruhnya tetap kecil. Kita akan hanya menguntungkan diri kita sendiri atau sekelompok kecil orang. Hal ini dapat menjadikan kehidupan yang terasa terisolasi, dimana tindakan kita tak melampaui lingkup pribadi atau melayani tujuan yang lebih besar daripada kepentingan langsung kita. Upaya tersebut takkan berkelanjutan setelah keterlibatan kita berakhir, dan mungkin tak punya dampak yang bertahan lama pada orang lain atau masyarakat yang lebih luas.
Pendekatan yang hanya berfokus pada diri sendiri kerap tak punya makna yang lebih besar, yang penting bagi banyak orang agar merasa terhubung dengan sesuatu di luar dirinya sendiri. Hal ini karena, ketika fokus tetap pada "aku", dampak dari setiap tindakan hanya dilihat melalui sudut pandang keuntungan pribadi, bukan visi yang lebih luas, yang dapat membawa tujuan dan kepuasan yang lebih dalam.
Ketika seseorang bekerja dengan niat untuk mengabdi kepada Allah, perspektifnya bergeser dari pandangan yang berpusat pada diri sendiri menjadi pandangan yang berpusat pada tujuan. Tindakan tak lagi dibatasi bagi keuntungan pribadi tetapi dilakukan sebagai bagian dari misi yang lebih luas, yang sejalan dengan tujuan Ilahi. Islam mengajarkan bahwa tindakan yang dilakukan karena Allah, pada hakikatnya lebih memuaskan, senan tindakan tersebut menghubungkan individu dengan tujuan yang lebih besar dan tak terbatas yang melampaui batasan duniawi.

"Tindakan yang dilakukan karena Allah" merujuk pada tindakan apa pun yang dilakukan dengan niat tulus agar beroleh ridha Allah dan memenuhi perintah-perintah-Nya, bukan untuk keuntungan pribadi, pengakuan, atau keuntungan duniawi. Dalam Islam, niat sangat penting, karena niat mengubah tindakan biasa menjadi tindakan ibadah jika dilakukan untuk mencari keridhaan Allah. Kunci dari sebuah tindakan yang dilakukan "karena Allah" adalah bahwa niat utama di balik tindakan tersebut adalah mencari keridhaan Allah. Hal ini melibatkan penyelarasan motif seseorang dengan apa yang telah diperintahkan atau dianjurkan oleh Allah, bukan dengan keuntungan duniawi atau pengakuan dari orang lain semata. Tindakan-tindakan ini juga hendaknya sejalan dengan apa yang dianjurkan dalam Islam, termasuk tindakan ibadah, tindakan kebaikan, dan perilaku moral. Meskipun manfaat duniawi mungkin datang dari tindakan-tindakan ini, motivasi utama orang beriman tetaplah spiritual, dengan fokus pada perolehan berkah dan pahala Allah.
Tindakan-tindakan yang dilakukan dengan tulus karena Allah sering disertai dengan komitmen yang lebih besar karena motivasi di baliknya lebih dari sekadar keuntungan langsung atau pujian sementara. Komitmen ini menunjukkan dedikasi untuk menegakkan prinsip dan nilai, bahkan saat hal itu menantang atau saat tiada yang melihat. Misalnya, mengajarkan nilai, moral, dan ilmu Islam kepada anak-anak untuk membimbing mereka menuju kebenaran karena Allah, bukan untuk kebanggaan pribadi. Ini termasuk kesabaran dan dedikasi, melihat pengasuhan anak sebagai bentuk ibadah.
Melakukan bisnis dengan jujur, bahkan ketika seseorang mungkin mendapat lebih banyak keuntungan dengan tidak jujur ​​karena seseorang menghargai perintah Allah agar bersikap jujur ​​dan adil. Integritas seperti ini, yang dipraktikkan agar Allah ridha, menjadi sumber barokah dalam mata pencaharian seseorang.
Jika dipercayakan dengan tanggungjawab, semisal posisi manajerial atau tugas, seorang Muslim berusaha agar bersikap adil dan tekun dalam memenuhinya, dengan tujuan menghormati kepercayaan yang diberikan kepada mereka oleh Allah, yang menghargai kejujuran. Tindakan sederhana semisal menghemat air, mendaur ulang, dan mengurangi sampah dapat dilakukan sebagai bentuk tanggungjawab dalam mengelola Bumi, karena Allah telah mempercayakan peran ini kepada manusia. Islam menganjurkan kepedulian terhadap ciptaan, sehingga tindakan ini menjadi ibadah jika ditujukan untuk melestarikan ciptaan Allah.
Esensinya, bekerja semata-mata untuk diri sendiri dapat menyebabkan kehidupan yang dibatasi oleh keterbatasan seseorang, sementara bekerja untuk Allah membuka pintu bagi kemungkinan dan pemenuhan yang melampaui batasan pribadi. Tindakan tak hanya menjadi urusan individu tetapi bagian dari misi kolektif yang diilhami Allah yang berpotensi membawa dampak yang luas dan langgeng. Hal ini mengubah pekerjaan dari sekadar fungsional menjadi memuaskan secara spiritual."

Kata-kata itu meresap dalam di hati Nasir saat ia melihat Ibrahim, seorang lelaki yang benar-benar mewujudkan berkah barokah. Ibrahim melanjutkan, "Qalbu kita, Nasir, bagaikan cermin. Ia memantulkan apa pun yang berada di hadapannya. Jika qalbu kita dibersihkan dari keserakahan, iri hati, dan ketidaksabaran, ia memantulkan cahaya Ilahi. Jika engkau menginginkan ilmu tentang Allah, sucikan qalbumu dari ilusi dunia.' Qalbu yang bersih, merasakan barokah, melihat keindahan dalam kebersahajaan, dan sukacita dalam apa yang diabaikan orang lain."

Nasir merasakan perubahan dalam dirinya saat mendengarkan perkataan Ibrahim, yang memberinya inspirasi agar hidup dengan tujuan baru. Ia menyadari bahwa berkah lebih dari sekadar harta atau kesuksesan; berkah merupakan cara hidup yang menanamkan makna dan kelimpahan dalam setiap momen.

Pada hari-hari berikutnya, Nasir menghayati pelajaran Ibrahim. Ia memulai setiap hari dengan berdoa, bersyukur atas berkah yang diterimanya, mencari berkah dalam pekerjaannya, dan bersabar dalam perjuangannya. Perlahan-lahan, ia merasa penghasilannya bertambah, pekerjaannya terasa lebih ringan, dan hari-harinya terasa lebih penuh.

Suatu malam, ia kembali mengunjungi Ibrahim, kegembiraan tampak jelas di wajahnya. "Paman, aku merasakan berkah yang paman bicarakan. Hidupku tak berubah dalam hal harta-benda atau kemudahan, tetapi terasa lebih kaya, lebih bermakna."
Ibrahim meletakkan tangannya di bahu Nasir. "Kalau begitu, engkau telah paham. Barokah bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, tetapi tentang bagaimana kita melihat, menjalani, dan menggunakan apa yang kita miliki. Itulah anugerah Allah, yang diberikan kepada mereka yang mencarinya dengan ketulusan, kesabaran, dan rasa syukur." Nasir mengangguk, kata-kata itu terukir di hatinya. Dan saat ia berjalan pulang di bawah bintang-bintang, ia merasa benar-benar diberkahi, karena ia akhirnya memahami hakikat barokah—anugerah Ilahi, kehidupan yang dipenuhi dengan berkah, dan hati yang damai, terhubung dengan Allah dalam setiap tarikan napas," pungkas Asoka

Saat fajar mewarnai langit dengan rona emas dan merah muda, tanaman-tanaman itu berpisah, hati mereka dipenuhi dengan pemahaman baru. Mereka telah belajar bahwa 'Barokah' bukanlah tujuan yang harus dicapai, tetapi sebuah perjalanan yang hendaknya dijalani, sebuah jalan yang diterangi oleh rasa syukur, kebajikan, dan kepercayaan.

Dan begitulah, mereka terus hidup di taman rahasia, kehidupan mereka merupakan bukti kekuatan 'Barokah', perwujudan hidup dari keindahan dan keanggunan yang dapat ditemukan walau dalam hal-hal terkecil sekalipun.
[Bagian 1]

Jumat, 08 November 2024

Konsep Barokah (2)

Saat malam semakin larut, para tanaman melanjutkan percakapan mereka, suara mereka menenun jalinan kearifan dan inspirasi. Mereka berbicara tentang pentingnya kesabaran, ketekunan, dan kepercayaan pada rencana Ilahi. Dan mereka bercakap tentang 'Barokah', percikan dalam diri kita, yang menunggu disulut.
Mawar kemudian berkisah, "Seorang Muslimah muda, Aisya, memulai ibadah haji pertamanya ke Mekkah. Saat ia melintasi tempat-tempat suci, rasa kagum menyelimuti dirinya. Ka'bah, Rumah Allah, berdiri megah, simbol kesatuan Ilahi. Ia menyentuh kain hitamnya, Kiswah, merasakan ikatan yang mendalam. Di tempat suci ini, ia merasakan rasa Barokah yang nyata, kehadiran Ilahi yang menyelubunginya.
Aisya teringat kata-kata kakeknya, yang sering berbicara tentang keberkahan yang dikaitkan dengan Rasulullah tercinta (ﷺ). Kakeknya mengisahkan para Sahabat (رضي الله عنهم), kehidupan mereka berubah oleh berkah Ilahi yang menyertai Rasulullah (ﷺ). Aisya merasakan kerinduan yang mendalam meneladani keimanan mereka dan mencari keberkahan Rasulullah (ﷺ). Barokah, terma yang berakar kuat dalam teologi Islam, menandakan berkah atau kebaikan Ilahi yang dianugerahkan kepada individu, tempat, atau objek. Inilah konsep yang melampaui sekadar materi, yang mewujudkan hubungan spiritual dengan Sang Ilahi.

Dikala Aisya melanjutkan perjalanannya, ia bertemu dengan banyak jamaah dari berbagai latarbelakang. Ia menyaksikan pengalaman bersama mereka tentang sukacita, rasa syukur, dan pembaruan spiritual. Menjadi jelas bahwa Barokah tak sebatas pada tempat-tempat suci saja. Barokah dapat ditemukan dalam tindakan pengabdian yang sederhana, persahabatan sesama umat beriman, dan keindahan alam.
Aisya merenungkan ajaran Imam al-Ghazali, seorang ulama Sunni terkemuka. Dalam bukunya, "Ihya Ulumuddin" (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama), al-Ghazali membahas pentingnya mencari Barokah dalam segala aspek kehidupan. Ia menekankan peran niat, ketulusan, dan ketergantungan kepada Allah dalam menarik berkah Ilahi. Al-Ghazali, dalam karya-karyanya, menempatkan penekanan pentingnya niat (niyyah), ketulusan (ikhlas), dan ketergantungan pada Allah (tawakal) sebagai prinsip inti guna menarik berkah Ilahi dan memastikan kesuksesan spiritual.
Al-Ghazali menegaskan bahwa niat yang bersih sangat penting agar setiap perbuatan diterima oleh Allah dan mendatangkan keberkahan. Ia menekankan bahwa tindakan tanpa niat yang jelas dan benar adalah hampa nilainya. Dalam Ihya Ulumuddin, ia menjelaskan bahwa seseorang hendaknya memeriksa motifnya, berusaha menyelaraskan niatnya semata-mata dengan keridhaan Allah, bukan keuntungan atau pengakuan duniawi. Fokus pada niat ini memastikan bahwa bahkan kegiatan rutin, seperti bekerja atau belajar, menjadi tindakan ibadah jika dilakukan karena Allah, sehingga mendatangkan berkah.
Bagi Al-Ghazali, ketulusan niat merupakan landasan hubungan sejati dengan Allah dan landasan yang di atasnya semua tindakan hendaknya dilakukan. Ketulusan bermakna melakukan perbuatan murni karena Allah, tanpa mencari pujian, pahala, atau keuntungan duniawi yang tersembunyi. Al-Ghazali memperingatkan terhadap bentuk-bentuk ketidaktulusan yang subtil, semisal meminta persetujuan dari orang lain, yang disebutnya sebagai "syirik tersembunyi." Ia berpendapat bahwa hanya melalui ketulusan sejati seseorang dapat menarik berkah ilahi karena Allah menerima perbuatan yang dilakukan dengan hati yang bersih dan pengabdian yang murni.
Tawakal merupakan komponen penting lainnya dalam pendekatan Al-Ghazali untuk menarik berkah. Dalam pandangan Al-Ghazali, tawakal yang sejati bemakna percaya bahwa semata Allah-lah Yang mengendalikan seluruh hasil dan bahwa usaha seseorang hanyalah sarana. Ia mengajarkan bahwa seorang mukmin hemdkanya bertindak dengan tawakal kepada Allah, mengetahui bahwa, pada akhirnya, keberhasilan dan berkah datang dari-Nya saja. Kepercayaan penuh pada Allah ini menumbuhkan rasa damai dan keyakinan, mengurangi kecemasan atas masalah duniawi dan mengundang berkah, karena Allah mencintai mereka yang bergantung penuh kepada-Nya.
Al-Ghazali menggabungkan ketiga unsur ini—niat, ketulusan, dan ketergantungan kepada Allah—sebagai formula yang ampuh menerima karunia Allah. Tatkala seseorang bertindak dengan niat yang suci, terbebas dari keinginan duniawi, melakukan perbuatannya dengan ketulusan, dan behasilnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah, ia menyelaraskan diri secara spiritual dengan kehendak Ilahi. Keselarasan ini menarik berkah Allah dan mengubah walau tindakan kecil menjadi sumber pahala dan manfaat yang sangat besar.

Dalam tafsirnya tentang Empat Puluh Hadits Imam Nawawi, Jami’ al-Ulum wal-Hikam, Ibnu Rajab menegaskan bahwa niat yang baik sangat penting bagi keabsahan dan pahala dari setiap tindakan. Ia menjelaskan bahwa niat mengubah tindakan duniawi menjadi tindakan ibadah jika dilakukan karena keridhaan Allah. Ia menekankan bahwa niat hendaknya terus-menerus diperiksa guna memastikan bahwa niat tersebut selaras dengan mencari keridhaan Allah, sebab inilah kunci keberhasilan di kedua dunia.
Dalam karya-karyanya, termasuk tafsirnya yang dikenal tentang Sahih Muslim, an-Nawawi menegaskan kembali bahwa setiap tindakan dinilai dari niatnya, dengan merujuk pada hadis, “Tindakan itu berdasarkan niat” (Innamal a’maal bin niyyah). Ia mengajarkan bahwa memiliki niat yang benar tak hanya mendatangkan berkah bagi tindakan, tetapi juga menghindarkan seseorang dari penyimpangan, karena seseorang secara sadar menyadari mengapa mereka melakukan apa yang mereka lakukan.

Ibnu Taimiyyah menekankan keikhlasan atau ketulusan sebagai dasar dari semua ibadah, dengan menegaskan bahwa tanpa ikhlas, tiada tindakan yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah. Dalam Majmu’ al-Fatawa, ia menjelaskan bahwa keikhlasan seharusnya mendorong orang-orang beriman untuk hanya mencari keridhaan Allah, karena bahkan motif-motif tersembunyi seperti reputasi atau kesombongan dapat merusak ibadah. Ibnu Taimiyyah menyoroti bahwa ikhlas sejati mengundang berkah Allah karena hal itu menyelaraskan hati orang beriman hanya kepada-Nya.

Dalam Madarij as-Salikin, Ibnu Qayyim mendedikasikan satu bagian untuk tawakal, dimana ia menggambarkannya sebagai keseimbangan antara mengambil tindakan dan percaya pada kehendak Allah. Ia menekankan bahwa ketergantungan sejati melibatkan pengakuan akan kekuasaan Allah sambil tetap menjalankan tugas seseorang. Ibnu Qayyim mengajarkan bahwa ketergantungan yang seimbang seperti itu mendatangkan pertolongan dan berkah Ilahi karena mencerminkan kerendahan hati dan kepercayaan orang beriman hanya kepada Allah.

Dikenal oleh kegigihan dan keimanannya yang teguh, Imam Ahmad sering menonjolkan tawakal dalam ajarannya. Ia mengajarkan bahwa meskipun perlu berusaha, hati hendaknya tetap fokus kepada Allah semata sebagai pemberi rezeki. Nasihat Imam Ahmad tentang tawakal adalah bahwa tawakal tak hanya mendatangkan kedamaian, melainkan pula membuka pintu keberkahan, karena seseorang belajar melihat setiap hasil sebagai bagian dari hikmah dan rahmat Allah.

Para ulama ini sepakat bahwa niat, ketulusan, dan ketergantungan kepada Allah membangun landasan spiritual yang kuat. Bila dipadukan, prinsip-prinsip ini membersihkan qalbu dari gangguan duniawi, mengarahkan fokus seseorang kepada Allah, dan mendorong pendekatan yang seimbang terhadap upaya spiritual dan duniawi. Mereka menjelaskan bahwa kombinasi ini menarik berkah Ilahi dan membuka jalan bagi keberhasilan spiritual, karena hal ini menyelaraskan tindakan orang beriman dengan kehendak ilahi dan memurnikan jiwa dengan cara yang selaras dengan petunjuk Allah.

Al-Qur'an penuh dengan rujukan tentang Barokah. Dalam Surah al-Baqarah ayat 121, Allah menjanjikan berkah bagi mereka yang beriman dan mengerjakan amal shalih. Dalam Surah al-A'raf, ayat 157, Allah menggambarkan Rasulullah (ﷺ) sebagai rahmat bagi seluruh ciptaan, sumber Barokah bagi umat manusia.

Barokah muncul dalam berbagai bentuk dalam kehidupan orang beriman. Banyak hadis yang menekankan memulai perbuatan dengan "Basmalah" agar mendatangkan berkah. Praktik ini mencerminkan pola pikir bahwa berkah dicari dengan mengakui Allah sebagai sumber segala kebaikan.
Rasulullah (ﷺ) berdoa memohon berkah di pagi hari bagi umatnya. Bekerja di pagi hari dianjurkan agar beroleh berkah, karena waktu tersebut diyakini \penuh dengan berkah yang memungkinkan produktivitas lebih tinggi.
Dengan berokah, sumber daya yang terbatas menjadi cukup atau bahkan berlimpah. Misalnya, sebuah keluarga dapat merasakan kepuasan dan kecukupan dari penghasilan yang pas-pasan. Prinsip ini tercermin dalam hadis yang menyebutkan bahwa keberkahan dalam rezeki seseorang mendatangkan kepuasan dan kebercukupan yang melampaui kekayaan materi.
Barokah dapat membuat tindakan seseorang lebih berdampak. Al-Ghazali menyatakan bahwa barokah memberikan kedalaman spiritual pada tindakan, mengubahnya menjadi bentuk ibadah dan bhakti kepada Allah, meskipun tampak biasa saja. Gagasan ini diperluas ketika ia membahas bagaimana pekerjaan yang dilakukan dengan niat yang tulus menjadi sarana agar terhubung dengan Sang Ilahi.
Qalbu yang dipenuhi berkah akan merasakan ketenangan dan kepuasan. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa "Qalbu itu ibarat cermin," yang memantulkan apa yang menjadi fokusnya. Dengan membersihkan qalbu dari gangguan dan masalah duniawi, seseorang akan membukanya untuk menerima berkah Ilahi.
Melalui barokah, waktu terasa berlimpah. Tugas-tugas diselesaikan secara efisien, dan momen-momen dipenuhi dengan produktivitas yang lebih besar. Efek ini dikaitkan dengan pagi hari, waktu yang diberkahi dengan produktivitas sebagaimana ditunjukkan dalam hadis dan ditekankan dalam tradisi Islam.

Dalam karya-karya modern, seperti The Barakah Effect: More with Less (2018) karya Mohammad Faris, barokah dieksplorasi lebih jauh dalam konteks produktivitas dan fungsinya. Faris berpendapat bahwa produktivitas sejati bukanlah melakukan banyak hal, tetapi berfokus pada tindakan-tindakan yang bermakna dengan tujuan Ilahi. Ia menekankan bahwa ketulusan, rutinitas pagi hari, dan keselarasan dengan tujuan-tujuan spiritual seseorang sangat penting agar mengalami barokah. Karyanya merefleksikan ajaran-ajaran klasik, yang menunjukkan bagaimana barokah dapat terwujud dalam kehidupan modern melalui tindakan-tindakan yang disengaja dan qalbu yang terhubung dengan Allah.
Mohammad Faris mendefinisikan berokah sebagai berkah ilahi yang memungkinkan seseorang meraih lebih banyak dengan sedikit usaha, waktu, dan sumber daya. Ia menggambarkan barokah bukan sekadar peningkatan kuantitas, tetapi sebagai bentuk pengayaan spiritual yang meningkatkan kualitas hidup dan usaha seseorang.
Barokah adalah anugerah Allah, dan tak dapat diukur atau dijelaskan sepenuhnya melalui cara-cara material. Barokah seringkali terwujud dalam cara-cara yang tak dapat dihitung dengan kalkulasi biasa, semisal berproduktivitas yang lebih tinggi dalam waktu yang terbatas, kekayaan yang jauh melampaui apa yang tampak mungkin, atau mencapai hasil yang luar biasa dengan usaha yang minimal.

Faris menempatkan fokus yang penting pada manajemen waktu melalui sudut pandang Islam. Ia berpendapat bahwa barokah memungkinkan individu mencapai lebih banyak hal dalam waktu mereka dengan berfokus pada tugas-tugas yang bermakna dan berorientasi pada tujuan daripada sibuk tanpa hasil. Ia menyoroti pentingnya keseimbangan antara tanggungjawab spiritual dan duniawi. Barokah sejati datang ketika individu hidup selaras dengan iman mereka, memberikan perhatian yang semestinya pada kesejahteraan spiritual, fisik, dan emosional. Faris juga menyinggung konsep barokah dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Ketika orang berkontribusi pada well-being orang lain dan memelihara hubungan, Allah menempatkan barokah dalam upaya kolektif mereka.
Barokah dipandang sebagai unsur penting dalam menjalani kehidupan yang terpenuhi, produktif, dan bermakna, dimana ketergantungan yang lebih sedikit diletakkan pada kelimpahan materi dan lebih banyak fokus diberikan pada keberlimpahan spiritual dan keselarasan dengan prinsip-prinsip Islam. Barokah tak dapat diukur atau dikuantifikasi begitu saja; sebaliknya, ia dialami dengan cara-cara yang subtil namun kuat, semisal merasa lebih damai, mencapai tujuan dengan lebih efektif, atau menemukan bahwa waktu cukup untuk mengakomodasi semua tugas.

Faris menguraikan kerangka kerja "Budaya Barokah", yang merupakan pendekatan holistik dalam menjalani kehidupan yang seimbang, bermakna, dan penuh tujuan. Kerangka kerja tersebut memiliki tiga komponen utama: pola pikir (mindset), nilai-nilai (values), dan tindakan (action). Pertama, jalani hidup dengan pola pikir berkembang yang menghargai niat, rasa syukur, dan tawakal. Faris berpendapat bahwa atribut-atribut ini memungkinkan seseorang agar tetap fokus pada apa yang benar-benar penting dan tetap tangguh dalam menghadapi tantangan hidup. Kedua, mengadopsi nilai-nilai yang sejalan dengan ajaran Islam dan menekankan kesederhanaan, kepuasan, dan perilaku etis. Dengan memprioritaskan nilai-nilai daripada hasil, Faris menyarankan bahwa orang dapat mencapai berkah yang lebih besar dan, hasilnya, kehidupan yang lebih memuaskan. Mendorong tindakan yang mengundang barokah, seperti tindakan ibadah yang konsisten, disiplin diri, pelayanan kepada orang lain, dan menghindari pemborosan. Faris menekankan tindakan yang bertujuan selaras dengan niat dan nilai-nilai seseorang.
Faris memberikan langkah-langkah praktis untuk menumbuhkan barokah di beberapa area penting. Ia menyarankan memulai hari lebih awal, mengatur waktu dengan istirahat, dan berfokus pada kegiatan yang berdampak tinggi. Ia menyoroti anjuran Rasulullah (ﷺ) agar bekerja di pagi hari, yang dipandang penuh berkah.
Ketimbang hanya mengumpulkan kekayaan, Faris menganjurkan penghasilan yang diperoleh dengan etis, pengeluaran yang penuh kesadaran, dan pemberian sedekah. Ia menjelaskan bahwa harta yang diperoleh secara etis dan dibelanjakan dengan bijak mendatangkan berkah dan seringkali lebih bermanfaat daripada harta yang diperoleh melalui cara-cara yang egoistik atau meragukan.
Berkah dalam kesehatan dicapai melalui perawatan diri, gaya hidup yang seimbang, dan rasa syukur atas physical well-being. Faris menekankan pentingnya melihat kesehatan sebagai amanah dari Allah, merawatnya melalui olahraga yang cukup, pola makan yang tepat, dan menghindari kebiasaan yang merugikan.
Faris menekankan beberapa praktik sehari-hari yang mengundang berkah. Ia menjelaskan bahwa niat hendaknya selaras dengan ridha Allah dan melayani sesama, menjadikan setiap tindakan sebagai sumber berkah yang potensial. Mengungkapkan rasa syukur secara teratur, baik dalam shalat maupun dalam interaksi sehari-hari, mengundang berkah dan melipatgandakan berkah yang sudah ada.
Dengan bersedekah, Faris berpendapat bahwa harta seseorang akan dimurnikan dan diperluas sehingga mendatangkan berkah dan pahala yang tak terduga.
Faris menyajikan strategi untuk mencapai produktivitas disertai tujuannya. Ia menekankan bahwa bekerja dengan barokah perlu memprioritaskan kesehatan dan menghindari dorongan untuk produktivitas tanpa henti. Sebaliknya, Faris menganjurkan pekerjaan yang terfokus, istirahat, dan fleksibilitas. Menetapkan tujuan yang bermakna dan selaras dengan nilai-nilai seseorang, daripada mengejar metrik keberhasilan yang dangkal, mengarah pada kepuasan yang lebih besar dan membuka jalan bagi barakah dalam pekerjaan seseorang. Faris berpendapat bahwa berkontribusi pada well-being orang lain, termasuk keluarga, komunitas, dan masyarakat, mendatangkan barokah karena sejalan dengan tujuan yang lebih besar daripada diri sendiri.
Faris menyajikan barokah sebagai filosofi hidup yang menyentuh setiap aspek kehidupan dan kepemimpinan. Dengan berfokus pada keselarasan antara niat, tindakan, dan kehendak Allah, ia mendorong kita agar menjalani kehidupan yang mengutamakan kualitas, spiritualitas, dan pelayanan daripada materialisme dan persaingan.
Faris menekankan peran keterhubungan dalam menumbuhkan barokah. Ia menyoroti pentingnya ikatan keluarga, hubungan etis, dan dukungan masyarakat. Barokah akan muncul ketika individu memprioritaskan kebutuhan orang lain, entah itu menghabiskan waktu berkualitas dengan keluarga, mendukung teman, atau menjadi relawan di masyarakat.

Puncak dari ibadah haji Aisya adalah perayaan Idul Adha yang penuh suka cita. Saat ia mengikuti shalat berjamaah dan perayaan lainnya, ia merasakan rasa persatuan yang mendalam dengan sesama Muslim. Ia menyadari bahwa Barakah bukan hanya pengalaman individu, melainkan pula pengalaman kolektif. Dengan berbagi iman dan berkah, umat Islam memperkuat komunitas mereka dan berkontribusi pada penyebaran rahmat Ilahi.

Saat Aisya kembali ke rumah, ia membawa serta tujuan baru dan apresiasi yang lebih dalam terhadap konsep Barokah. Ia memahami bahwa itu bukan sekadar berkah yang harus dicari, tapi juga cara hidup, cerminan iman dan pengabdian seseorang kepada Allah."