Kamis, 13 November 2025

Penjaga Ketertiban atau Cermin Kekuasaan? (6)

Mempertahankan Listyo Sigit sebagai Kapolri tuh bikin posisi Presiden Prabowo kayak lagi duduk di kursi pijet: enak tapi deg-degan. Di satu sisi, beliau kagak perlu repot merombak mesin keamanan negara dari nol. Beliau tinggal pakai “paket komplit” yang udah nyala sejak era sebelumnya—jaringannya udah solid, ritme kerja udah kebaca, dan orang-orangnya udah ngerti siapa bos besar yang baru. Buat presiden baru yang harus kelihatan tegas tapi stabil, punya Kapolri yang mapan itu ibarat punya power bank full saat mau roadtrip: aman dulu lah.
Tapi, yaa namanya juga power bank lama, kadang bikin waswas. Indikator baterainya bisa tiba-tiba hanya tinggal setengah atau mungkin seperempat. Sigit itu nempel banget sama drama-drama era sebelumnya, jadi kalau dipertahankan, citra Prabowo bisa ikut kebawa kayak playlist lagu mantan yang gak bisa dihapus. Publik bisa mikir, “Lah, ini mah lanjut season lama, bukan seri baru.” Dan yang paling bahaya, kalau ada salah gerak dari polisi, orang-orang bakal bilang itu bukan warisan, tapi pilihan Presiden Prabowo sendiri. Jadi, Presiden Prabowo dapet stabilitas instan, tapi taruhannya reputasi jangka panjang—macam trade-off antara nyaman sekarang atau viral negatif besok.

Bila kita berdiri dan menggunakan lensa Presiden Prabowo, keuntungan paling gede itu sebenernya ada pada "ganti Kapolri", bukan pertahanin yang sekarang—asal eksekusinya elegan dan gak kayak drama sinetron jam tujuh. Mempertahankan Sigit memang bikin hidup lebih tenang untuk sementara, tapi itu juga bikin beliau nyangkut sama “sisa-sisa season sebelumnya”—drama, konflik internal, dan opini publik yang udah kebentuk sejak lama. Begitu Presiden Prabowo ganti Kapolri, beliau bisa langsung pasang tone baru: “Ini era gue, bukan rerun.” Kapolri baru berarti tim baru, loyalitas baru, dan narasi yang gak ketempelan jejak-jejak masa lalu.
Keuntungan paling jos bukan cuma soal citra, tapi soal kontrol. Dengan wajah baru di pucuk Polri, Presiden Prabowo bisa nge-refresh ulang trust publik, ngerapihin faksi-faksi di dalam tubuh kepolisian, dan ngunci dukungan dari aparat tanpa harus nebeng mesin lama. Memang ada risiko yang dibilang bikin gonjang-ganjing terlalu cepat, tapi payoff jangka panjangnya jauh lebih gede: beliau bisa bangun “arsitektur keamanan” versi dirinya sendiri. Kalau tetep pertahanin Kapolri lama, itu kayak nyetir mobil bekas yang setelannya masih buat pengemudi sebelumnya. Kalau ganti, mobil tersebut di-set ulang, full sesuai gaya nyetirnya Presiden Prabowo.

Buat rakyat Indonesia, mempertahankan Listyo Sigit itu kayak nonton serial lama yang udah hafal polanya: ada rasa aman karena semuanya masih sama, tapi juga ada rasa “yah, gini lagi… gini lagi.” Di satu sisi, warga jadi gak perlu khawatir Polri tiba-tiba gonjang-ganjing gara-gara pergantian pucuk pimpinan. Sistem tetep jalan, rutinitas penyelidikan gak harus di-reset, dan konflik internal bisa ditahan dulu kayak drama keluarga yang ditunda tayang. Buat masyarakat yang udah sering ngeliat instansi keamanan ribut sendiri, stabilitas gini lumayan bikin napas lega.
Tapi yaa, stabilitas sering datang bareng rasa bosan dan kecewa. Banyak orang udah lama ngerasa Polri ini punya PR besar soal integritas, soal tebang pilih, soal drama-drama gede yang bikin trust publik makin tipis kayak layar HP retak. Kalau Sigit tetep dipertahankan, banyak rakyat bakal baca itu sebagai sinyal: “Oke, ternyata kita masih main mode lama.” Harapan buat Polri yang lebih bersih, lebih profesional, dan lebih tegas terhadap pelanggaran bisa terasa makin jauh. Dan kalau nanti ada kasus baru yang viral atau skandal yang muncul lagi, publik bakal mikir, “Nah kan, ini bukti sistemnya belum beres.”
Intinya, rakyat dapat ketenangan jangka pendek, tapi kehilangan peluang buat perubahan jangka panjang. Stabil sih, tapi ya gitu: stabil dalam versi yang belum tentu bikin hati lega.

Kalau dilihat dari kacamata rakyat banyak, keuntungan yang paling gede itu sebenarnya ada di ganti Kapolri, bukan pertahanin yang sekarang—asal pergantiannya rapi, gak tiba-tiba kayak plot twist FTV. Mempertahankan Sigit memang bikin suasana stabil untuk sementara, tapi stabilitas itu datang bareng paket lengkap: masalah lama, pola lama, drama lama, plus rasa “kayaknya gak bakal berubah deh.” Buat masyarakat yang sudah capek lihat kasus tebang pilih atau skandal-skandal yang nongol tiap musim, mempertahankan Kapolri lama itu cuma memberi ketenangan sementara tanpa harapan pembenahan.
Kalau diganti—dan yang naik itu orang yang bersih, tegas, dan bener-bener mau reformasi—rakyat punya peluang untuk dapat Polri yang lebih bener. Ganti pimpinan itu bisa nge-refresh kultur internal, bikin aparat lebih hati-hati, dan kasih sinyal ke publik bahwa negara masih peduli sama keadilan, bukan cuma pencitraan. Memang gak bakal instan berubah kayak upgrade HP, tapi setidaknya rakyat merasa ada harapan, bukan stuck di episode lama yang udah bosan ditonton.
Buat rakyat Indonesia, manfaat jangka panjangnya jauh lebih besar kalau Kapolri diganti. Soalnya yang dipertaruhkan bukan cuma siapa yang duduk di kursi, tapi apakah institusi ini bakal tetep gitu-gitu aja atau akhirnya mulai bebenah.

Nah, dari semua tanda-tandanya, bisa dibilang Presiden Prabowo memang kayak lagi nyari momen pas banget buat nge-ganti Kapolri, tapi beliau belum langsung cabut kartu “copot Kapolri” begitu aja. Ada beberapa kode dan strategi yang kelihatan banget, tapi juga enggak semuanya terang-terangan, jadi kesannya seperti “main sabar tapi siap kalau momennya pas.”
Pertama, walaupun rumor pergantian Kapolri terus dipompa netizen dan politisi, Sekretaris Kabinet bilang ke publik kalau Sigit masih rutin lapor bulanan ke Prabowo. Itu bisa dimaknai bahwa Prabowo gak terburu-buru: beliau sadar ganti Kapolri itu bukan cuma soal nama, tapi soal pesan politik besar.
Kedua, Presiden Prabowo sempat muji Sigit di acara panen jagung—beliau ngasih penghargaan dan bilang Polri “menangkap visi” pemerintah soal pertanian. Kalau dilihat strategi politik, ini bisa jadi “gunakan sekarang, tapi bisa diganti nanti kalau perlu”: semacam sinyal kerja sama saat ini + opsi buka kalau waktunya tepat.
Ketiga, tekanan eksternal makin kuat. Ada anggota DPR yang bilang memang “saatnya rotasi Kapolri,” karena Sigit sudah lama menjabat. Di sisi lain, pengamat militer memprediksi Prabowo bakal mengganti Sigit di reshuffle mendatang. Jadi Presiden Prabowo bisa bilang, “Ya, ini bukan murni capres-capresan, tapi memang sudah waktunya regenerasi,” dan publik atau elit bisa terima itu sebagai langkah rasional.
Tapi, ada juga faktor yang membuat Presiden Prabowo cukup santai, gak perlu buru-buru. Menurut aturan pensiun Polri, Sigit bisa tetap Kapolri sampai sekitar Mei 2027. Artinya Presiden Prabowo gak harus ganti sekarang—beliau  bisa menunggu momentum yang benar-benar pas: mungkin sambil nunggu reshuffle kabinet atau sambil nunggu isu reformasi Polri berkembang lebih matang. Selain itu, ada analisa yang bilang Presiden Prabowo masih “butuh” Sigit buat beberapa target strategis, misalnya untuk menjaga stabilitas atau menjaga sinergi di institusi keamanan.
Singkatnya, tampak bahwa Presiden Prabowo memang menaruh opsi untuk mengganti Kapolri, tapi beliau sangat berhati-hati memilih kapan dan bagaimana melakukannya. Beliau lebih memilih main lama (long game), bukan langsung ambil keputusan drastis di awal.

Dari sisi ideologi, polisi itu jembatan buat ngejalanin visi negara soal ketertiban, keadilan, dan moral sosial. Polisi ngegambarin norma dan nilai yang dijaga masyarakat, biar tingkah warga sesuai standar etika kolektif.
Secara politik, polisi itu alat negara buat jagain tatatertib, melindungi institusi politik, dan ngejalanin hukum yang ditetapkan pemerintah. Kekuasaan mereka nyambung sama legitimasi sistem politik, dan kadang tindakan mereka nunjukin prioritas politik yang lagi jalan.
Dari sisi ekonomi, polisi itu barang publik yang dananya dari pajak, fungsinya buat ngejaga properti, tegakkan kontrak, dan bikin transaksi lebih aman. Polisi juga berperan soal ketimpangan, karena praktik penegakan hukum bisa mempengaruhi akses ke sumber daya dan kesempatan ekonomi untuk kelompok berbeda.
Secara sosial, polisi jadi mediator konflik, pelindung keamanan komunitas, dan penegak norma masyarakat. Mereka ngebantu bentuk kohesi sosial, kepercayaan warga, dan batas-batas tingkah laku yang diterima di masyarakat.
Dari sisi budaya, polisi itu simbol sekaligus aktor dalam membentuk identitas kolektif. Seragam, lencana, prosedur, semua ngasih sinyal otoritas dan legitimasi. Tingkah laku polisi juga nyeritain budaya, tradisi, dan harapan komunitas yang mereka layani.

Polisi ada karena tugas utamanya buat ngejaga ketertiban umum, tegakin hukum, lindungin warga, dan cegah kejahatan di dalam negeri. Intinya, polisi melayani komunitas, jadi mediator konflik, dan bikin kehidupan sehari-hari aman dan terkendali. Polisi juga dilatih buat pakai diskresi, terapkan hukum secara proporsional, dan berupaya selesaikan masalah tanpa kekerasan, mereka jadi penjaga norma sosial sekaligus kepercayaan publik.
Sementara itu, tentara dibuat untuk pertahanan negara dan keamanan eksternal. Tentara dilatih buat perang, lindungi negara dari ancaman asing, dan jalankan strategi militer yang biasanya butuh kepatuhan penuh pada komando hirarki, tanpa banyak ruang untuk diskresi individu. Polisi beroperasi di bawah kontrol sipil dan hukum perdata, sedangkan tentara bisa beroperasi dengan aturan perang atau protokol pertahanan negara, dimana kekuatan dipakai lebih luas dan berbeda.
Perbedaan utamanya ada di lingkup, fungsi, dan cara pakai kekuasaan: polisi jaga ketenangan internal dan hak warga, secara terukur dan bertanggungjawab; tentara jaga negara dari ancaman luar, pakai kekuatan tempur sebagai alat utama. Keduanya sama-sama melayani negara, tapi peran, prinsip, dan konteks mereka beda banget.

Polri sering keliatan kayak tentara karena alasan historis, struktural, dan praktis. Indonesia warisin model kepolisian yang agak militeristik dari zaman kolonial Belanda dan awal kemerdekaan, dimana keamanan nasional dan ketertiban dalam negeri saling nyambung banget. Struktur pangkat, seragam, dan budaya hirarki mirip tentara supaya disiplin terjaga, rantai komando efisien, dan respons cepat saat ada ancaman keamanan. Ditambah lagi, pas zaman politik nggak stabil, polisi sering dapet tugas yang bikin garis antara tugas sipil dan militer jadi blur.
Tapi teori kepolisian modern bilang kalau polisi seharusnya berorientasi sipil, fokus pada pelayanan masyarakat, pakai kekuatan secara proporsional, bertanggungjawab, dan lindungi hak warga, bukan para oligark. Pangkat dan aturan boleh jelas, tapi kagak boleh bikin mindset polisi kayak perang. Budaya polisi seharusnya dorong dialog, penyelesaian konflik, keterlibatan komunitas, dan diskresi etis.
Idealnya, Polri tetep punya tertib dan disiplin lewat aturan internal dan pelatihan tanpa perlu terlalu banyak simbol militer atau mentalitas tempur. Pengawasan sipil, program policing berbasis komunitas, dan pendidikan etika pimpinan bakal nunjukin kalau misi utama Polri itu pelayanan publik, bukan pertahanan wilayah. Tampilan ala tentara cukup jadi simbol kedisiplinan, bukan buat agresi.

Kalau bilang polisi harus berorientasi sipil, maknanya: loyalitas, tujuan, dan mindset operasional mereka diutamakan buat warga dan masyarakat sipil, bukan buat tujuan militer atau kekuasaan politik. Berorientasi sipil itu menekankan kalau tugas polisi adalah jaga hak asasi, tegakkan hukum secara proporsional, selesaikan konflik dengan damai, dan bangun kepercayaan publik.
Polisi yang berorientasi sipil punya beberapa prinsip penting: pertama, akuntabilitas ke komunitas dan badan pengawas sipil; kedua, tak perlu pakai kekerasan kecuali kalau terpaksa dan sesuai proporsi ancaman; ketiga, fokus ke pelayanan, pencegahan, dan dialog daripada paksaan; keempat, keterlibatan komunitas masuk ke perencanaan operasional sehari-hari.
Berorientasi sipil juga butuh perubahan budaya dan simbol. Seragam, pangkat, dan hierarki internal tetap buat tertib dan efisien, tapi nggak bikin mentalitas militer atau tempur. Pelatihan harus fokus ke pengambilan keputusan etis, empati, dan kemitraan komunitas, bukan taktik perang. Intinya, polisi itu pelayan rakyat, bukan pasukan paramiliter atau alat penindas negara. 

Struktur kepangkatan Polri sering keliatan kayak tentara karena ada pangkat Brigadir, Inspektur, dan Jenderal, yang nunjukin hirarki dan rantai komando. Kemiripan ini sejarahnya panjang, buat ngebangun disiplin, kontrol, dan respons cepat. Tapi, kalau dibandingkan standar internasional, banyak polisi yang performanya bagus justru pakai sistem pangkat yang lebih sipil.
Sebagai contoh, Polisi Inggris punya pangkat Constable, Sergeant, Inspector, Chief Inspector, Superintendent, dan Chief Superintendent. Pangkat ini lebih fokus ke fungsi pengawasan dan manajemen, bukan komando militer. Sistem UK juga jelas bedain antara petugas operasional dan pimpinan strategis, bikin budaya keterlibatan komunitas dan akuntabilitas makin kuat.
Di Jerman, polisi (Polizei) punya pangkat seperti Polizeimeister, Polizeikommissar, dan Polizeirat. Hirarki tetep ada, tapi masuk dalam kerangka pegawai negeri sipil, bukan budaya militer. Latihan polisi Jerman fokus ke hukum, etika, dan pengawasan sipil. Disiplin ala militer cuma soal organisasi dan ketepatan waktu, bukan mentalitas tempur.
Di negara Skandinavia, misalnya Swedia dan Norwegia, pangkatnya simpel: Police Officer dan Senior Officer. Hirarki cuma buat administrasi, budaya operasionalnya lebih ke dialog, problem-solving, dan preventive policing. Polisi jarang bawa senjata rutin, nunjukin orientasi sipil dan kepercayaan publik tinggi.

Nah, pangkat ala militer Polri kadang bikin publik mikir polisi mentalitas “force-first”, walau pelatihan community policing udah ada. Para reformis bilang, kalau Polri pakai nama pangkat lebih sipil—kayak UK atau Skandinavia—simbolik bisa nguatkan misi pelayanan publik dan ngurangin kesan tempur.

Reformasi institusi sebesar dan sedalam Polri nggak cuma butuh pemikiran filosofi atau aspirasi etis; hendaklah ada strategi praktis dan implementasi sistematis. Salah satu strategi pertama adalah audit dan evaluasi institusi. Reformasi nggak bakal jalan kalau kelemahan sistem nggak terlihat. Audit independen rutin, mencakup keuangan, efisiensi operasi, dan kepatuhan prosedur, bisa bantu identifikasi titik rawan korupsi. Contohnya, di Inggris, inspectorate independen secara rutin menilai kinerja polisi dan laporannya dipublikasikan, bikin transparansi dan akuntabilitas. Polri bisa adaptasi model ini untuk deteksi area yang butuh penguatan etika.

Strategi berikutnya adalah pelatihan etika dan pengembangan kepemimpinan. Berdasarkan ide Ortmeier dan McLean, reformasi Polri harus menanamkan etika ke praktik sehari-hari. Program latihan mencakup penalaran moral, keterlibatan komunitas, fairness prosedural, dan resolusi konflik. Pemimpin harus jadi role model, bukan cuma peserta. Di sektor publik lain di Indonesia, pelatihan etika wajib terbukti meningkatkan persepsi publik dan kepatuhan internal; Polri bisa skala dan institusionalisasi program serupa di seluruh negeri.

Policing berbasis komunitas dan keterlibatan publik juga krusial. Masyarakat harus melihat polisi sebagai partner, bukan cuma penegak aturan. Program seperti liaison officer lingkungan, dewan penasihat komunitas, dan laporan transparan bisa bangun kepercayaan dan legitimasi. Misalnya, di Jepang, Koban (pos polisi kecil) punya hubungan erat dengan warga, bikin polisi bisa mencegah masalah daripada cuma merespon. Polri bisa coba program serupa yang sesuai budaya lokal.

Mekanisme akuntabilitas transparan harus ditanam di semua level institusi. Termasuk penanganan keluhan, perlindungan whistleblower, dan publikasi tindakan disipliner. Contohnya, Singapura punya Corrupt Practices Investigation Bureau yang bekerja sama dengan polisi untuk cegah suap, menunjukkan pengawasan eksternal bisa melengkapi reformasi internal. Polri bisa bentuk unit pengawas independen dengan kerja sama masyarakat sipil.

Teknologi juga bisa jadi alat reformasi. Platform pelaporan digital, body-cam, dan dashboard publik meningkatkan transparansi dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Kanada dan AS udah buktiin, penerapan teknologi bikin akuntabilitas meningkat dan kepercayaan publik bertambah. Polri bisa pakai strategi ini untuk memperkuat integritas operasional sekaligus buktiin komitmen reformasi.

Akhirnya, perubahan budaya institusi adalah kunci reformasi yang tahan lama. Aturan, teknologi, dan pelatihan aja nggak cukup kalau budaya organisasi lebih menghargai kepentingan cepat daripada prinsip. Program manajemen perubahan harus beri insentif perilaku etis, reward transparansi, dan ada konsekuensi nyata buat pelanggaran. Pemimpin harus komunikasi terus bahwa kepolisian etis itu wajib, dan anggota harus lihat nilai ini dijalankan setiap hari.

Salah satu contoh paling menarik yang bisa dipakai dalam strategi praktis reformasi Polri datang dari Brenda J. Bond‑Fortier lewat karyanya Organizational Change in an Urban Police Department: Innovating to Reform (2020, Routledge). Bond‑Fortier mendokumentasikan transformasi selama 25 tahun di Kepolisian Lowell (Massachusetts), dimana lembaga polisi itu berhasil melewati tantangan organisasi, politik, dan budaya lewat refleksi diri, kemitraan dengan masyarakat, dan kepemimpinan yang adaptif. Penelitian ini nunjukin kalau reformasi sejati bukan proyek sekali jalan, tapi upaya berkelanjutan: mereka nggak sekadar ubah aturan, tapi ubah pola pikir. Ini sangat sinkron dengan argumen bahwa Polri harus institusionalisasi perubahan — bukan “tampal sana-sini,” tapi transformasi mendalam dan jangka panjang.
Dari studi Lowell ini, reformis Polri bisa tiru beberapa strategi: bikin mekanisme pengawasan independen, jalin kemitraan nyata dengan komunitas, dan adakan asesmen organisasi secara berkala untuk ukur kinerja sekaligus legitimasi. Model adaptif seperti ini membantu Polri jadi lembaga yang bisa belajar, introspeksi, dan merespons kebutuhan publik dengan cepat tetapi bijak.

Referensi lain yang sangat berguna adalah Scott W. Phillips & Dilip K. Das (ed.), lewat Change and Reform in Law Enforcement: Old and New Efforts from Across the Globe (2017, Routledge). Dalam karya ini, reformasi di banyak negara dibahas—mulai dari pelatihan polisi, pendidikan, hingga manajemen korupsi dan kepercayaan publik. Beberapa penulis menekankan bahwa reformasi paling awet itu kombinasi antara perubahan kebijakan dan transformasi budaya—persis yang harus dijalankan Polri. Mereka juga menyebut bahwa petugas lapangan dan perwira menengah sangat penting dalam desain dan eksekusi reformasi karena mereka punya pemahaman langsung soal praktik operasional sehari‑hari.
Berdasarkan pelajaran itu, strategi implementasi praktis untuk Polri bisa melibatkan pembentukan “working group” reformasi yang terdiri dari pimpinan atas, petugas patroli, pelatih, dan perwakilan warga. Kelompok ini bisa merancang kebijakan baru, mengetes pilot program (misalnya polisi lingkungan), dan memberikan umpan balik secara berkelanjutan. Struktur reformasi “dari bawah dan dari atas” seperti ini membantu agar perubahan tidak cuma formalitas, tapi benar-benar menancap di akar budaya organisasi.
Terakhir, pengembangan kepemimpinan harus disertai dengan reformasi struktural. Berdasarkan ide dari Michael L. Birzer, Gerald J. Bayens & Cliff Roberson dalam Principles of Leadership and Management in Law Enforcement (2012, Routledge), Polri bisa membuat kurikulum pelatihan yang mencampurkan teori kepemimpinan, pengambilan keputusan etis, perencanaan strategis, dan manajemen modern. Menurut Birzer dkk., pemimpin polisi nggak cuma harus jago perintah, tapi juga bisa mendidik, reflektif, dan berpikir jangka panjang. Program pelatihan seperti itu akan menyiapkan pemimpin Polri yang bisa seimbang antara tuntutan operasi dan imperatif etika.
Dengan memasukkan rujukan-rujukan ini ke roadmap reformasi Polri, strategi reformasi jadi punya landasan empiris dan model nyata yang sudah terbukti. Jadi reformasi Polri nggak cuma wacana idealis, tapi dibangun dari pelajaran dunia nyata dengan tetap sensitif terhadap konteks budaya dan organisasi di Indonesia.

Kesimpulannya, reformasi Polri butuh pendekatan multi-layer: audit sistematis, pelatihan etika, keterlibatan komunitas, akuntabilitas transparan, teknologi, dan perubahan budaya. Semua komponen saling menguatkan, menciptakan sistem yang tahan banting, dimana kepemimpinan etis jadi praktik nyata dan legitimasi terjaga. Reformasi bukan proyek sekali jalan, tapi perjalanan berkelanjutan, butuh kewaspadaan, kejelasan moral, dan komitmen untuk samakan kekuasaan dengan kepercayaan publik.

[Bagian 7]
[Bagian 5]