[Bagian 8][Perubahan itu sesuatu yang aneh; tak dapat dielakkan ...]Please do not hold on to me, we all must go alone …[Mohon jangan menahanku, kita semua harus berjalan sendirian ...]Me ke aloha kuʻu home ʻo Kahaluʻu …[Dengan cinta, tempat tinggalku di Kahalu'u]Tiga bait syair tersebut merupakan lirik sebuah tembang Hawaii bertajuk “My Dream Chapel at Kahaluʻu”. Tembang-tembang Hawaii yang dibawain Pak Hoegeng, apalagi bareng bandnya The Hawaiian Seniors, sebenernya agak beda sama musik Hawaii asli. Kalau musik Hawaii tradisional biasanya mainin alat-alat asli kayak slack-key guitar, ipu, sama drum pahu, versi Hoegeng lebih fokus ke ukulele dan harmoni ala Barat, jadinya masuk genre hapa-haole—campuran melodi Hawaii ama lirik bahasa Inggris. Gaya ini bikin kidungannya gampang dicerna orang Indonesia di era 60–70an, tapi tetep punya vibe santai dan breezy ala Hawaiian. Tema lagunya juga sering soal cinta, nostalgia, dan refleksi lembut, bukan ngebahas sejarah atau mitologi Hawaii secara ketat. Jadi, musik Hawaii versi Hoegeng bisa dibilang interpretasi lokal—nge-blend elemen musik Hawaii asli ama sensibility penampilan Indonesia, bikin suara unik yang gampang diterima dan nempel banget sama citra publiknya.
Kalau dipikir-pikir lagi, musik Hawaii ini lebih dari sekadar hobi pribadi Hoegeng; juga kayak metafora lembut buat caranya nanganin kasus Sum Kuning. Kayak alunan ukulele yang bisa ngeredam nada keras, Hoegeng nyoba “ngelunakin” kekejaman dan kekacauan birokrasi yang nyelimuti penyelidikan dengan langkah-langkah prinsipil dan hati-hati. Sementara orang lain mungkin pilih nutup mata atau ngikutin tekanan politik, ia tetep jaga ritme integritasnya, persis kayak strum konsisten lagu Hawaii. Musik menjadi simbol ketahanan: kemampuan nyari harmoni di tengah keributan, jaga sisi kemanusiaan pas ketemu korupsi sistemik, dan jalan di medan moral berbahaya tanpa hilang kompas etik. Jadi, ringan dan airy-nya lagu Hawaiian itu nyambung ama kekuatan tenang tapi gak gampang goyah yang ditunjukin Hoegeng waktu bela keadilan buat cewek muda bernama Sum Kuning.
Kisah “Sum Kuning”—ini bukan sekadar cerita kriminal lama, tapi drama nyata banget soal kejahatan, kekuasaan, dan rasa enggak adil yang sampai sekarang bikin bulu kuduk bediri.Jadi, di 21 September 1970, ada wanita muda bernama Sumaridjem, dagang telur keliling, pulang sendirian malam-malam karena bus gak lewat lagi. Pas doski jalan di deket Asrama Polisi Patuk—kalo ngomong soal Asrama Polisi, dari dulu hingga entah sekarang, itu sama dengan ngomong "you are looking for trouble", tiba‑tiba mobil berhenti, segerombolan cowok gondrong naik, pakai pisau, dan nyulik doi. Mereka bawa doski muter kota, terus ngasih obat bius ke Sum. Dalam kondisi setengah sadar itu, ia diperkosa beramai-ramai, dan uang hasil jual telurnya—4.650 rupiah—diambil, ludes des.Setelah kejadian itu, para pelaku nyuruh buang Sum di pinggir jalan (deket Wates–Purworejo), padahal doi lemah banget. Doski cuma punya sisa uang 100 rupiah—sebagai gambaran, 25 rupiah saat itu, cukup buat beli 2 buah permen; terus nyetop becak pas udah pagi, minta dianter ke rumah salah satu pelanggannya. Dari sana doi dibawa ke tempat aman dan dirawat.
Tapi ironi banget: bukannya langsung didukung sebagai korban, Sum malah dituduh bohong. Polisi menutup-nutupin cerita, paksa doski buka baju buat “cek bekas”, bahkan nuduh doi terlibat organisasi terlarang Gerwani. Jaksa mau jeblosin doi tiga bulan penjara, tapi hakim akhirnya bilang: bukti gak cukup—dan Sum dibebaskan.
Masuklah Jenderal Hoegeng ke cerita ini. Beliau Kapolri waktu itu, orangnya jujur banget, jadi ia ngebentuk tim khusus untuk usut kasus Sum Kuning. Tapi desas-desus menyebar: katanya para pemerkosa itu anak pejabat. Ada yang bilang Hoegeng ditekan elite karena ia terlalu serius nyelidiki. Ada yang percaya ini salah satu alasan kenapa karier Hoegeng “diincar”.
Dan soal nama “Sum Kuning” itu sendiri—“Sum” dari Sumaridjem, jelas. Tapi “Kuning”? Kagak ada catatan resmi kenapa dipilih. Mungkin cuma julukan media biar catchy, atau semacam kode publik supaya orang gampang inget. Tapi nama itu sekarang jadi simbol: bukan cuma korban kejahatan seksual, tapi korban sistem dimana orang berkuasa bisa main aman, dan korban orang kecil, bisa menjadi sasaran fitnah.
Meski kasus Sum Kuning penuh gelap dan drama kriminal yang bikin kepala pening, ada sisi manusiawi yang unik dari Pak Hoegeng: kecintaannya sama musik Hawaii. Di tengah ketegangan, ketidakadilan, dan ribetnya birokrasi yang menyelimuti penyelidikan, Hoegeng konon nemu pelarian kecil lewat alunan lagu Hawaii yang santai dan riang. Nada-nadanya yang ringan banget jadi kontras sama gelapnya dunia yang dia hadapi sehari-hari: politik berantakan, kejahatan, dan tanggung jawab moral yang berat. Bayangin aja, setelah seharian melawan ketidakadilan di Yogyakarta, Hoegeng bisa duduk santai, dengerin ukulele, biar musiknya nyelametin sedikit ketenangan di tengah dunia yang penuh korupsi dan kekejaman manusia. Jadi, Hawaian song ini malah kayak simbol ironi: ada harapan dan sisi kemanusiaan yang nyelip, nyambungin kekacauan publik Sum Kuning dengan ketenangan pribadi seorang jenderal yang teguh ama integritas.
Nah, twist-nya keren nih: penderitaan Sum Kuning sama alunan lagu Hawaii Hoegeng itu bisa dibayangin sebagai analoginya dramatis tapi ironis. Perjalanan Sum yang serem banget—ketakutan, dieksploitasi, dan terbentur oleh ketidakadilan sistemik—kayak chord sumbang, bikin sakit telinga, di simfoni politik Indonesia yang lagi kacau. Sementara itu, lagu Hawaii Hoegeng jadi counterpoint, nada lembut yang nggak mau tenggelam sama keributan. Gabungan keduanya kayak duet nggak mungkin: penderitaan mentah kaum tak berdaya vs. keteguhan moral seorang jenderal yang berjuang tegak demi keadilan. Rasanya, senar ukulele itu kayak berbisik, “Meski gelap, masih ada ruang buat grace,” harmoninya cuma sesaat, nggak ngilangin tragedi, tapi ngajarin kita soal keberanian, integritas, dan kemampuan manusia melawan korupsi. Bayangin aja: seorang cewek muda yang trauma sama kekerasan, dan seorang jenderal yang lembut tapi nggak patah karena musik, masing-masing mewakili dua sisi bangsa yang lagi berperang sama nuraninya sendiri.
Cerita Sum Kuning yang tragis sama tembang Hawaii-nya Pak Hoegeng jadi metafora abadi soal keseimbangan antara penderitaan dan keberanian moral. Tragedi Sum nunjukin sakitnya nyata karena ketidakadilan, sementara senar ukulele yang lembut ngingetin kita: meski lorong-lorong kekuasaan gelap, integritas bisa jadi pelarian tenang. Gabungan keduanya nyeritain satu pesan lintas zaman: kejahatan, korupsi, dan ketakutan mungkin menguasai jalanan, tapi semangat manusia—yang ditopang empati, nurani, dan tindakan prinsipil—bisa bikin ruang buat martabat dan harapan. Jadi, memori pahit perempuan muda itu dan nada airy dari lagu jauh itu nyatu buat nunjukin kebenaran dalam: keadilan dan kasih sayang nggak selalu rame atau langsung kelihatan, tapi resonansinya bisa nyebar ke generasi berikut, ngasih inspirasi buat yang mau dengerin dan bertindak dengan berani.
Keterkaitan antara tembang Hawaian dan sosok Jenderal Hoegeng muncul lewat metafora yang sama-sama lembut tapi maknanya dalem—kayak ombak kecil yang kelihatan tenang, tapi sebenarnya lagi bawa pesan hidup. Lagu Hawaii sering banget ngomongin lautan sebagai guru, sekaligus ujian; dalam hal itu, Hoegeng mirip nakhoda yang tetep lurus ngarahin kano-nya meski ombak tekanan politik udah setinggi bukit. Petikan ukulele yang adem itu, yang dalam budaya Hawaii melambangkan harmoni antara alam dan moral, pas banget menggambarkan gaya kepemimpinan Hoegeng: nggak banyak teriak, tapi auranya jelas, tegas, dan bikin orang ikut lurus. Sementara itu, metafora angin Hawaii yang bisa berubah arah kapan aja tuh mirip banget sama suasana politik yang beliau hadapi—bedanya, Hoegeng enggak gampang keseret angin-angin kepentingan. Di percampuran metafora ini, Hoegeng muncul sebagai titik tenang di tengah badai tropis: bukan yang paling berisik, tapi justru pusat kestabilan. Makanya, lagu-lagu Hawaii—yang nadanya menenangkan tapi pesan moralnya nyelekit—serasa pas banget jadi cerminan warisan Hoegeng: melodi integritas yang tetap nempel di hati, meski lagunya udah lama selesai.Menghubungkan kasus Sum Kuning dengan tembang Hawaian dan sosok Jenderal Hoegeng itu kayak bikin satu musik video epik: ada gadis kecil, ada badai politik, dan ada satu cahaya yang nggak mau padam. Lagu Hawaii biasanya ngomongin laut sebagai tempat tenang sekaligus arena perang, tempat angin bisa berubah mendadak dari lembut ke ganas. Dalam metafora ini, Sum Kuning jadi semacam kano kecil yang terombang-ambing di tengah samudra kekuasaan, dengan modal cuma kejujuran dan keberanian ala penjual telur yang cuma pengin pulang. Tapi badai yang nyerangnya bukan badai alam—melainkan badai buatan elit, kayak fanbase politik yang toxic, cuma versi negara.Nah, Jenderal Hoegeng muncul di sini sebagai mercusuar—bukan yang megah, tapi yang kokoh berdiri di batu karang. Senandung Hawaian sering nyebut mercusuar sebagai penjaga kesepian yang harus tetap nyala meski dunia sekitar lebih suka gelap. Begitu pula Hoegeng: ia ngejalanin integritas kayak petikan ukulele yang lembut tapi ngotot, nggak bisa dikalahkan suara drum kekuasaan. Di saat pejabat lain melengkung kena angin politik, Hoegeng malah berdiri keras kepala kayak pohon kamani yang akarnya nancep ke lava tua.
Dalam banyak chant Hawaii, laut itu suka nyimpan rahasia, tapi kadang balikin kebenaran ke pantai lewat ombak yang nggak bisa disogok. Kasus Sum Kuning adalah ombak macam itu—bolak-balik diganjal, dibenturkan, diputar balik, tapi tetep balik lagi bawa serpihan fakta. Setiap ombak surut, selalu ada jejak: bisikan, lebam, kesaksian, retakan kecil di wajah penguasa. Dan Hoegeng, meski akhirnya “diparkir” secara politis, memastikan ombak itu nggak pernah hilang tanpa meninggalkan tanda kejujuran di pasir sejarah.
Jadi ketika dendang Hawaii bilang para pelaut sejati itu bukan cuma ngikutin bintang tapi juga suara hati, kita langsung paham paralelnya. Sum Kuning adalah pelaut polos yang kejebak badai yang bukan urusannya; Hoegeng adalah navigator yang terus cari titik terang walau angin politik nyoba matiin lentera. Kisah mereka ketemu di udara asin metafora ini: yang satu adalah simbol keberanian yang keinjek, satu lagi simbol integritas yang dihukum. Bareng-bareng mereka jadi semacam balada Hawaii dari Nusantara—dodoi tentang gadis yang ditelan badai dan mercusuar yang sinarnya terlalu terang buat orang-orang yang lebih cinta gelap.
Reformasi Polri, ujung-ujungnya, selalu balik lagi ke satu hal penting: kepercayaan publik. Polisi boleh punya drone canggih, cyber unit keren, atau kursus taktik level internasional, tapi kalau rakyat udah nggak percaya sama mereka, semua itu cuma jadi hiasan tanpa makna. Kepercayaan publik itu kayak “saldo” legitimasi—kalo saldo habis, polisi jadi keliatan menakutkan, bukan meyakinkan.Pemikiran ini dibahas tajam banget di Tom R. Tyler, Why People Obey the Law (2006, Princeton University Press). Tyler nunjukin bahwa orang patuh hukum bukan karena takut polisi, tapi karena merasa polisi bersikap adil. Jadi, kunci reformasi Polri bukan cuma peningkatan alat atau strategi, tapi memastikan setiap warga diperlakukan dengan hormat, dijelaskan alasannya, dan diberi rasa keadilan yang nyata, bukan slogan.Bicara soal akuntabilitas demokratis, Samuel Walker, The New World of Police Accountability (2014, Sage Publications) menjelaskan bahwa polisi di negara demokrasi maju diawasi ketat lewat dewan pengawas sipil, investigasi eksternal, dan laporan publik. Walker bilang, polisi yang dipercaya bukanlah polisi tanpa pengawasan, tapi polisi yang mau diawasi. Ini penting banget buat Polri, karena pengawasan bukan ancaman, tapi bagian dari profesionalisme.Relasi polisi–rakyat juga sebenarnya adalah kontrak sosial, kayak kata Rousseau dalam The Social Contract (1762). Rakyat ngasih sebagian kebebasan mereka supaya negara—lewat polisi—bisa ngasih rasa aman. Kalau polisi gagal, kontraknya retak. Kalau polisi bertindak terhormat, kontraknya makin kuat. Polri harus tampil bukan sebagai “tangan kekuasaan”, tapi “penjaga rasa aman” yang dipercaya.Hal ini juga mirip ide Joyce L. Epstein, School, Family, and Community Partnerships (2011, Westview Press). Meski bukunya bahas sekolah, pesannya masuk banget: hubungan publik cuma bisa sehat kalau semua pihak merasa dihargai. Trust itu bukan dibangun lewat baliho atau tagline, tapi lewat perilaku sehari-hari. Sama kayak Polri: rakyat bakal percaya kalau tiap warga, dari kampung sampai kota metropolitan, diperlakukan adil.Terakhir, Seumas Miller, The Moral Foundations of Policing (2016, Oxford University Press) bilang bahwa polisi cuma bisa sukses kalau para petugasnya punya integritas, kejujuran, dan kemampuan menahan diri. Tapi Miller juga ngingetin: integritas itu harus jadi “budaya sistem”, bukan cuma kerja beberapa orang baik. Jadi reformasi Polri bukan cuma soal ganti aturan, tapi bangun kultur baru yang bikin perilaku etis jadi standar, bukan pengecualian.Di negara demokrasi mana pun, polisi itu nggak bisa cuma jadi mesin ketertiban. Mereka harus jadi institusi yang bentuknya ditentukan rakyat, dapat legitimasi dari rakyat, dan dievaluasi terus-terusan sama rakyat. Inilah yang disebut “mandat sosial”: polisi yang hidup dari budaya demokrasi, kerja sesuai nilai masyarakat, dan selalu diawasi sipil. Tanpa fondasi itu, reformasi cuma jadi bedak tebal—kelihatan rapi, tapi nggak ngubah apa-apa di dalamnya.Pemikiran ini dijelasin banget ama David H. Bayley dalam Police for the Future (1994, Oxford University Press). Bayley bilang, polisi cuma bisa sukses kalau rakyat percaya mereka kerja bareng masyarakat, bukan menguasai masyarakat. Dari risetnya di banyak negara, Bayley nemu pola yang jelas: setiap reformasi yang cuma ubah SOP tanpa ubah hubungan polisi–warga=gagal total. Buat Polri, pesan Bayley jelas banget: reformasi harus transparan, komunikatif, dan siap nemenin masyarakat ngulik luka-luka masa lalu.Lalu, ada juga insight dari Policing and the Legacy of Empire (2008, Palgrave Macmillan) karya Graham Ellison dan Conor O’Reilly. Mereka nunjukin bagaimana polisi di negara bekas koloni—termasuk Indonesia—biasanya mewarisi budaya “kontrol”, bukan budaya “melayani”. Jadi reformasi itu nggak cukup ganti struktur atau sistem; yang harus dibenerin itu “DNA” lembaga. Kalau enggak, polisi tanpa sadar ngulang pola lama: lebih nyaman ngatur rakyat daripada melayani rakyat.Terus, lewat The Politics of the Police (2020, Oxford University Press), Benjamin Bowling, Robert Reiner, dan James Sheptycki ngingetin hal penting: polisi di negara demokrasi harus jauh dari politik. Bukan berarti lepas dari pengawasan sipil, tapi jangan sampai jadi alat kekuasaan. Ukuran demokrasi yang sehat itu kelihatan dari seberapa ketat negara ngejaga polisi supaya nggak diseret-seret buat kepentingan penguasa. Ini cocok banget sama keresahan publik Indonesia sekarang.Secara moral, Jeremy Waldron dalam Law and Disagreement (1999, Oxford University Press) kasih highlight bahwa polisi itu penjaga fairness di tengah masyarakat yang penuh perbedaan. Reformasi Polri artinya memperkuat nilai-nilai dasar: martabat manusia, kesetaraan di depan hukum, dan proses hukum yang adil — meskipun itu bikin pemerintah kadang risih.Kalau semua pemikiran ini disatukan, pesannya sederhana tapi berat: masa depan Polri bukan cuma soal ngatur ulang struktur atau bikin program reformasi baru. Masa depan Polri bergantung pada seberapa kuat mereka nancepin diri sebagai lembaga yang sumber legitimasinya itu rakyat, bukan kekuasaan; lembaga yang akuntabel setiap hari, bukan cuma saat ada skandal; lembaga yang kepemimpinannya etis, bukan cuma tegas. Kepercayaan publik itu bukan hak; ia sesuatu yang harus terus-menerus mereka perjuangkan.
[Bagian 6]

