[Bagian 5]Kisah Y2K itu mirip film thriller Hollywood yang paling ditunggu-tunggu, tapi beruntung, ending-nya anti-klimaks! Bayangin gini: Y2K itu 'virus' raksasa yang ngancem seluruh dunia di penghujung tahun 90-an. Masalahnya bukan dari hacker atau malware baru, melainkan dari kesalahan coding zaman purba . Ibaratnya, para programmer jadul itu, biar hemat memori komputer yang super mahal (seperti memori HP di Nokia 3310), cuma pakai dua digit untuk tahun. Contoh, tahun 1998 mereka singkat '98'ajah. Nah, momen "detik-detik menuju 2000" itu sama tegangnya dengan menunggu pengumuman hasil ujian nasional atau hasil pemilu. Semua orang khawatir, begitu jam berganti dari '99' ke '00', komputer bakal bingung dan mengira kita kembali ke tahun 1900 . Dampaknya? Lebih serem dari mati lampu saat ada hantu di film KKN di Desa Penari! Semua sistem penting—ATM, bank, listrik, pesawat terbang—bisa error massal dan lumpuh total . Media saat itu heboh, seperti semua berita infotainment jadi satu; orang-orang panik, menimbun makanan seperti saat ada diskon besar-besaran di minimarket. Tapi, berkat proyek 'tambal sulam' kode yang menghabiskan uang sebanyak total biaya produksi semua sinetron stripping Indonesia, bencana itu berhasil dihindari. Akhirnya, tahun 2000 datang, dan yang terjadi hanyalah pesta kembang api meriah tanpa ada bank yang kolaps . Intinya, Y2K adalah drama besar terakhir abad ke-20, sebelum kita semua sibuk dengan era gadget dan social media di awal 2000-an.Kaitan antara Y2K dengan Transparansi itu bagaikan ending kisah cinta yang viral di media sosial: awalnya tampak baik-baik aja, tapi ternyata ada rahasia terpendam yang bikin ambyar massal!Inti masalah Y2K adalah gagalnya transparansi di masa lalu. Bayangin coba, programmer zaman dulu itu seperti orang yang kebiasaan berhemat chat; mereka singkat-singkat semua informasi penting, termasuk tahun. Mereka ngode '98' saja, padahal maksudnya '1998'. Inilah 'kebohongan putih' yang kagak transparan dan tersimpan rapi sebagai draft selama puluhan tahun.Kenapa jadi masalah? Karena mereka ghosting di tengah jalan! Ketika sistem harus bertemu tahun 2000, 'rahasia' kode dua digit itu terbongkar. Komputer jadi salah server, mengira kita balik ke tahun 1900. Ini membuktikan bahwa sistem yang dari awal kagak jujur (gak transparan) pasti akan menghadapi karma di masa depan.Dampaknya: biaya healing yang super mahal! Seluruh dunia kudu ngeluarin biaya miliaran dolar—setara dengan total biaya endorsement selebriti papan atas selama setahun—hanya untuk mengorek dan mencari transparansi di dalam kode yang sudah seperti labirin. Inilah denda karena mengabaikan prinsip keterbukaan sejak awal.Pelajaran dari Y2K ini sangat relate dengan zaman sekarang: baik itu dalam coding maupun hubungan, transparansi itu adalah self-care terbaik bagi sistem. Jangan pernah nyimpen red flag atau error dalam logika dasar, karena kalau sudah terlanjur akut, biaya untuk membuat semuanya clear dan transparan lagi pasti jauh lebih menguras kantong. Y2K menjadi meme abadi yang mengajarkan bahwa kode yang bersih adalah kode yang transparan dan akuntabel.
Terasa jelas bahwa banyak individu dan brand raksasa yang ogah banget diwajibkan agar menjadi open book alias transparan. Loe bisa lho mendeteksi keengganan ini bukan cuma dari gerak-gerik mereka yang mencurigakan, tapi juga dari nada tersembunyi di balik wawancara atau press release mereka. Inti dari penolakan ini ada di mindset lama: "Informasi itu, power!", dan mereka enggak rela sedikit pun nge-spill rahasia mereka karena takut kehilangan keunggulan kompetitif.Beberapa dari mereka memilih mode defense habis-habisan alias melawan arus tren ini, dan seringnya berakhir dengan kehancuran total kayak drama cancel culture. Tapi ada juga yang cari jalan tikus atau kompromi yang ribet. Misalnya, beberapa perusahaan publik kecil memilih privatisasi hanya untuk menghindari biaya compliance yang gak worth it, sementara kelompok lain teriak-teriak bahwa kalau terlalu transparan, itu sama saja membocorkan resep rahasia yang bisa dimanfaatkan kompetitor untuk menjatuhkan brand mereka.Dalam penjelasan Richard W. Oliver, pelajaran sejarah gak terbantahkan: transparansi bukan lagi sesuatu yang hanya terjadi sesekali. Ia akan tetep ada. Dan seperti para pelaut dalam pusaran Edgar Allen Poe (mereka yang terjebak dalam pusaran kegelapan), perjalanan ini bisa mematikan. Transparansi bahkan menciptakan kebenarannya sendiri.
Ceritanya dituturkan oleh seorang nelayan tua yang literally jadi tua dalam semalam; rambutnya memutih dan wajahnya keriput parah bukan karena usia, tapi karena trauma hebat setelah nyaris end game di Maelström—pusaran air raksasa yang ngeri-nya kayak black hole di laut Norwegia.Awalnya, ada tiga bersaudara nelayan yang sok jago melaut, tapi tiba-tiba perahu mereka diseret badai ke pusaran air Moskenstraumen. Dua saudaranya kena mental duluan! Ada yang kena jump scare badai duluan dan langsung hilang (saudara termuda), ada pula yang pasrah total kayak sudah bikin surat wasiat, menolak ide gila sang narator untuk menyelamatkan diri, dan memilih mati tenggelam bareng perahu (saudara tertua).Nah, sang narator ini yang paling epic. Di tengah ketakutan yang bikin loe blank, doski malah mengaktifkan mode scientist. Doski enggak panik, tapi justru mengamati pusaran air itu seperti sedang nonton eksperimen fisika: ternyata, benda-benda kecil dan bundar turun lebih lambat daripada benda besar. Momen inilah plot twist ceritanya. Dengan skill pengamatan yang jenius, doski mengambil risiko gila: mengikat dirinya ke tong air dan sengaja menjatuhkan diri ke pusaran, menolak takdir kapal yang sudah pasti tamat.Singkat cerita, kecerdikan si bapak ini berhasil! Tong air itu menyelamatkannya hingga ia terlempar keluar dari pusaran saat pergantian pasang surut. Doski selamat, tapi harga yang harus dibayar adalah penampilan yang menua secara drastis. Kisah tiga pelaut ini mengajarkan bahwa dalam bencana paling ekstrem sekalipun, yang bisa survival bukan hanya yang paling kuat, tapi yang mampu menggunakan logika dan akal sehat saat yang lain udah terdistraksi oleh ketakutan.Oliver menyajikan "Sepuluh Kebenaran Transparansi" berdasarkan prinsip-prinsip utama dan esensi dari konsep Transparansi. Menurut Oliver, Sepuluh Kebenaran Transparansi ini adalah Gospel wajib biar hidup loe sebagai organisasi atau brand enggak jadi red flag dan enggak kena ghosting sama publik. Transparansi itu hendaknya dipahami secara fundamental, yaitu bukan goals akhir yang bikin loe dapat like banyak atau followers instan, tapi ia merupakan jembatan wajib yang harus loe lewatin buat sampai ke tujuan utama: Akuntabilitas sejati. Intinya, loe kudu Anti-Ghosting; semua harus clear dan terlihat, karena transparansi itu menghapuskan segala bentuk penyembunyian yang berpotensi jadi bom waktu.Walaupun loe dituntut terbuka, loe juga enggak perlu spill semua hal yang enggak penting di timeline, melainkan hanya saat ada kebutuhan publik yang valid—misalnya, soal uang kas perusahaan atau kebijakan yang menyangkut keselamatan banyak orang—baru loe wajib buka-bukaan. Pokoknya, mindset-nya harus udah ganti! Standar bakunya adalah buka, bukan tutup, sehingga loe harus wajib spill duluan, dan kalau ada pihak yang mau nyembunyiin informasi, dialah yang harus repot-repot menjelaskan alasannya.Kenapa ini penting? Karena administrasi yang benar itu harus punya tiga pilar good vibes yang seimbang: Transparansi, Akuntabilitas, dan Keadilan (Fairness). Kalau loe gak transparan, siap-siap aja misscom massal yang pasti menghambat komunikasi, ujung-ujungnya bikin keputusan jadi zonk dan loe bakal underperform secara sistematis. Sebaliknya, Transparansi itu justru competitive edge! Buka-bukaan adalah senjata rahasia yang bikin loe dipercaya investor dan customer di pasar global. Nah, vibes keterbukaan ini harus dimulai dari atas: Pemimpin harus open mic, accessible, dan open banget demi menumbuhkan kesetiaan dan produktivitas karyawan. Tapi ingat, ini bukan cuma wacana atau janji politik! Transparansi itu harus terstruktur, pakai metric jelas yang diukur dan dilaporkan secara sistematis. Pada akhirnya, Transparansi adalah aturan main dan kode etik yang memastikan semua orang tahu apa yang harus dilakukan, jadi kinerja bisa terprediksi dan mudah dimengerti semua orang.Opacity atau keburaman, lawan kata transparansi, didefinisikan sebagai keadaan yang sulit dipahami, tidak jernih, atau tidak jelas. Ketika informasi tidak jernih, informasi tersebut tidak dipercaya. Ketika informasi disembunyikan, wajar diyakini bahwa memang ada sesuatu yang disembunyikan.Berkali-kali, individu dan organisasi terjebak dalam pola opacity yang dapat diprediksi. Seseorang atau organisasi melakukan tindakan secara rahasia. Kabar bocor. Penyangkalan menyusul. Informasi lebih lanjut bocor. Penyangkalan terus berlanjut. Bukti tak terbantahkan bermunculan. Pada akhirnya, organisasi atau individu tersebut dirusak atau dihancurkan oleh spiral paparan media, tekanan publik, dan, seringkali, litigasi yang tak henti-hentinya.Oliver punya konsep yang namanya Spiral Opasitas, dan ini lingkaran setan alias toxic cycle yang dialami brand atau perusahaan yang hobinya main rahasia-rahasiaan secara sistematis. Spiral ini disebabkan oleh ketakutan akut para pemimpin untuk mengakui kesalahan atau menghadapi kenyataan pahit, didorong oleh self-interest dan naluri defensif untuk menjaga image dan power mereka, karena mereka meyakini bahwa jujur itu sama dengan merugi—seperti kena cancel culture massal—makanya mereka memilih Defiance alias menantang keterbukaan sejak awal. Spiral ini mulai ngegas ketika rahasia kecil-kecilan itu tercium bau amisnya oleh whistleblower atau media. Bukannya gentle dan melakukan disclosure (terbuka), mereka malah panik dan doubling down dengan kebohongan yang lebih besar, memanipulasi data, dan mengintimidasi orang-orang di sekitar mereka; di titik ini, Opasitas sudah jadi sistem yang berjalan otomatis. Akibatnya? Mereka masuk ke fase Destruksi yang gak ada obatnya: pertama, publik dan investor akan kehilangan trust total, menganggap brand itu palsu dan value-nya langsung drop parah. Kedua, penutupan rapat-rapat itu malah mengundang regulator dan cyber police untuk datang dan membongkar semua rahasia secara paksa, yang ujungnya denda gila-gilaan atau tuntutan pidana. Puncaknya, nilai perusahaan hancur dan berakhir di kebangkrutan atau diakuisisi dengan harga receh, membuktikan bahwa usaha menutupi masalah hanya berfungsi sebagai tombol fast-forward menuju kehancuran.
“Opacity Spiral” itu ibarat drama seri yang selalu punya plot twist sama dari musim ke musim: semuanya dimulai karena ada yang melakukan sesuatu diam-diam, sambil berharap publik sibuk nonton series lain. Tapi ya namanya juga rahasia—pasti ada aja yang bocor. Begitu bocor, pihak yang bersangkutan langsung gaslighting publik dengan bilang, “Enggak kok, nggak ada apa-apa.” Masalahnya, info tambahan terus keluar seperti spoiler di Twitter, bikin penyangkalan tadi makin keliatan absurd. Mereka tetap berkutat dengan jurus “deny, deny, deny,” seolah-olah kalau diulang terus bakal dianggap kebenaran. Sampai akhirnya bukti yang nggak bisa dibantah muncul ke permukaan, dan citra mereka runtuh kayak rating sinetron yang ketahuan plagiat. Pada titik itu, kerugiannya jauh lebih parah daripada kalau dari awal mau jujur. Spiral ini—didukung media, tekanan publik, dan kadang gugatan hukum—menunjukkan bahwa ketertutupan bukan cuma menutupi masalah, tapi memperbesar dan memperburuk semuanya, putaran demi putaran seperti roller coaster tanpa rem.
Opacity Spiral itu ibarat drama scandal yang makin lama makin liar karena semua orang sibuk nutupin fakta. Awalnya cuma ada satu tindakan yang dilakukan diam-diam, seolah-olah “gak bakal ada yang tahu kok.” Tapi namanya juga dunia nyata, bukan sinetron sihir—info kecil pasti bocor juga. Begitu ada gosip keluar, pihak yang terlibat langsung panik dan mulai mengeluarkan jurus klasik: “Itu tidak benar.” Tapi bukannya meredam, bantahan malah bikin publik makin curiga.Lalu bocoran demi bocoran muncul, entah dari orang dalam yang udah muak, atau dari mereka yang nggak mau ikut-ikutan pura-pura bego. Setiap bocoran baru yang muncul bikin bantahan sebelumnya kelihatan kayak lelucon nasional. Pelan-pelan publik mulai mikir, “Kalau dari awal nggak ada apa-apa, kenapa sih nutup-nutupin?”Sampai akhirnya bukti telak muncul, dan semua pertahanan langsung roboh laksana tenda pasar malam kena angin ribut. Di tahap ini, yang rusak bukan cuma tindakan awalnya, tapi seluruh sandiwara penyangkalannya. Media ngambil popcorn, publik makin panas, dan kadang-kadang pengacara sudah siap ambil nomor antrian. Yang tadinya cuma satu rahasia kecil berubah jadi spiral kehancuran yang makan reputasi orang, institusi, bahkan karier. Intinya, Opacity Spiral itu pengingat keras: makin ditutupin, makin bikin orang curiga, dan makin besar pula dramanya.Di Indonesia, drama soal ijazah Presiden Joko Widodo bukan lagi sekadar soal secarik kertas, tapi soal rasa penasaran publik yang makin panas karena jawaban yang ditunggu-tunggu tak kunjung tampil di panggung. Opacity Spiral biasanya mulai dari hal yang sebenarnya bisa diselesaikan dalam lima menit, tapi justru dijawab dengan narasi berputar, sikap defensif, atau langkah hukum yang kelihatannya “lebih heboh daripada masalahnya.” Dan ketika masyarakat melihat bantahan demi bantahan plus aksi yang tampak nggak selaras dengan pertanyaan awal, yang tumbuh bukan klarifikasi, tapi kecurigaan.Di titik itu, fokus publik geser dari “asli atau tidaknya ijazah” menjadi “kok penjelasannya makin muter?” Setiap bocoran memicu reaksi, reaksi bikin spekulasi baru, dan absennya bukti yang ditunjukkan langsung bikin cerita berkembang kemana-mana. Dalam suasana kayak gini, proses hukum yang sebenarnya sah pun bisa terlihat seperti upaya membungkam tanya-jawab ketimbang menyelesaikan masalah. Opacity—entah disengaja atau tidak—nyaris selalu menimbulkan kerusakan reputasi, bukan karena sudah terbukti salah, tapi karena publik mulai membaca diam atau menghindar sebagai tanda ada yang disembunyikan. Jadilah kasus ini contoh hidup bagaimana Opacity Spiral bekerja: sekali udah muter, bukan cuma nyeret isu awal, tapi juga kepercayaan publik pada pihak yang mencoba mengontrol narasinya.Sebagian besar skandal transparansi, baik yang historis maupun yang baru-baru ini terjadi, mengikuti pola ini. Spiral ini berlaku untuk politik (Watergate, kasus Iran-Contra, skandal seks Clinton), pasar keuangan (krisis S&L, BCCI, Enron, WorldCom), lembaga nirlaba (Gereja Katolik, Feed the Children, United Way), dan banyak upaya penyembunyian lainnya yang melibatkan penyalahgunaan dana atau inflasi resume.Begitu sebuah organisasi memasuki spiral ini, kejadian yang mengganggu biasanya hanyalah puncak gunung es. Kebocoran informasi yang semakin banyak mengenai pastor pedofil di Boston akhirnya mengarah pada bukti adanya upaya penyembunyian yang meluas di gereja Katolik. Tuduhan seorang whistleblower di sebuah perusahaan tembakau mengarah pada bukti bahwa seluruh industri telah berkonspirasi untuk menutup-nutupi temuan kecanduan nikotin. Bagi keduanya, biaya hukum dan persepsi publik sangat besar. Politisi dan pendeta televisi dijatuhkan oleh skandal seks yang awalnya mereka coba bantah. Lembaga amal mengalami eksodus donatur setelah semakin banyak bukti penyelewengan muncul. Begitu spiral ini dimulai, sulit untuk dihentikan. Semakin lebar spiralnya (jurang pemisah antara kebenaran dan pengakuan), semakin buruk hasilnya. Dan Semakin panjang spiralnya (dalam waktu dan peristiwa), semakin berat hukuman publiknya.Menurut Oliver, punya akses ke data itu wajib, sih—tapi, yang jauh lebih penting adalah siapa yang nonton, apa yang bisa dilihat, dan bagaimana caranya supaya bisa dipahami. Transparansi bukan cuma soal buka-bukaan data, tapi soal bagaimana info itu bisa dicerna, dianalisis, dan diuji. Kalau data cuman dibuka tapi nggak ada yang ngamatin, atau orang lain nggak ngerti maksudnya, ya itu cuma basa-basi aja, bukan transparansi beneran.
Dalam pandangan Oliver, watchdogs itu ibarat “satpam moral” yang selalu mantau para pejabat, lembaga, korporasi, sampai tokoh publik biar enggak macem-macem. Watchdogs bisa berwujud jurnalis, auditor, lembaga pengawas, LSM, akademisi, sampai netizen yang rajin ngulik data pakai internet. Tugas mereka bukan cuma ngeliatin, tapi juga ngecek, ngebongkar, dan nyeledik kalau ada keputusan aneh, motif tersembunyi, atau kuasa yang dipakai ngaco.Oliver bilang, watchdogs itu penting banget karena semua institusi, kalau dibiarin gitu aja, makin lama makin gelap—alias makin hobi nutup-nutupin. Kekuasaan itu memang suka gelap-gelapan, dan tanpa watchdogs yang bawel, nanya terus, dan siap ngasih spotlight, masyarakat bakal kehilangan kemampuan buat ngegas kalau ada yang salah.Buat Oliver, watchdogs yang paling manjur itu yang independen, nggak gampang diintimidasi, punya akses ke informasi, dan berani ngomong apa adanya. Mereka adalah “penjaga kepercayaan publik” yang nggak dapat gaji resmi tapi efeknya luar biasa—karena keberadaan mereka bikin lembaga dan pejabat mikir dua kali sebelum ngibul.Dalam dunia Oliver, watchdogs merupakan alasan mengapa skandal bisa ketahuan sebelum meledak lebih gede, dan itulah kenapa para penguasa enggak bisa sembarang main asap-asapan di belakang layar.Menurut Oliver, para watchdog ini kayak “anjing penjaga” informasi—bukan sekadar ngeliat-liat doang, tapi aktif ngintip, menganalisa, dan nanya-nanya: kenapa organisasi ini bilang gini, tapi tindakannya kok malah gitu. Watchdog bisa siapa aja: wartawan, LSM, lembaga pengatur, atau tim compliance di dalam organisasi.Kalo datany aja diungkapin tanpa ada yang mantau, transparansi bisa jadi cuman sandiwara—laporan ada, tapi gak dipakai apa-apa. Makanya watchdog itu penting banget: mereka ngubah info mentah jadi insight, lalu publik bisa pakai insight itu buat minta tanggungjawab dari organisasi.Selain itu, keberadaan watchdog bikin transparansi jadi lebih sah: nerima tugas buat ngecek apakah organisasi bener-bener terbuka, bukan cuma sok jujur di depan publik. Mereka menjaga supaya transparansi nggak jadi omon-omon dan mencegah “spiral opasitas”—dimana organisasi makin tertutup karena cuek atau pura-pura terbuka.Bagi Oliver, watchdog itu nggak bisa digantiin: mereka yang nonton, kritik, dan mastiin kalau keterbukaan itu nyata, bukan sekadar propaganda.Kalo ada salah kelakuan, korupsi, atau tindakan nggak etis yang disembunyiin dari pengamat luar dan nggak bisa ketahuan lewat sistem pengawasan biasa, peran whistleblower jadi penting banget. Mereka dibutuhin kalo sistem internal gagal ngejaga akuntabilitas, kalau pimpinan malah ikutan, atau kalau mekanisme transparansi tipis atau kagak ada sama sekali. Whistleblower muncul buat nge-bocorin info penting supaya stakeholder aman, standar etika dijaga, atau publik nggak kena dampak buruk. Intinya, whistleblower itu penjaga terakhir ketika rahasia atau opasitas dalam organisasi mulai ngerusak kepercayaan, keselamatan, atau integritas.Oliver menggunakan istilah “institutionalized whistleblowers”, semacam whistleblower yang dibuat resmi di dalam organisasi. Jadi, bukan cuma orang nyelonong sendiri yang berani buka-bukaan, tapi ada sistem, aturan, atau posisi khusus yang memang dibuat buat ngintip kesalahan, pelanggaran, atau korupsi.Whistleblower biasa kadang berisiko, yang institutionalized ini, punya perlindungan dan prosedur jelas. Sistem ini bikin organisasi bisa lebih gampang ngejaga kepatuhan etika, akuntabilitas, dan transparansi secara konsisten. Intinya, institutionalized whistleblower itu kayak “watchdog internal resmi”: fungsi pengawasan sudah dibangun jadi bagian permanen organisasi, gak cuma ngandelin keberanian individu yang muncul cuman sesekali.Pers yang bebas merupakan elemen penting transparansi. Ketika Oliver ngomong soal “Transparency Police,” doski bukan lagi ngebahas polisi beneran yang datang pakai seragam, bawa borgol, lalu gedor pintu kantor pemerintah. Yang doski maksud itu polisi versi metafora—semacam kekuatan sosial yang sekarang ngejar-ngejar siapa pun yang mencoba ngumpetin sesuatu. Anggotanya? Ya wartawan, whistle-blower, auditor, aktivis, sampai netizen gabut yang modal HP dan akun medsos. Mereka nggak punya markas, nggak punya komandan, tapi punya insting yang sama: kalau ada yang disembunyiin, ya dibongkar; kalau ada narasi resmi yang meragukan, ya ditantang; kalau ada yang ngeles, ya disorot bareng-bareng.Menurut Oliver, keberadaan “pasukan” ini bikin perilaku pejabat dan institusi sekarang berubah total. Zaman dulu orang berkuasa masih pede kalau bisa nyembunyiin sesuatu lama-lama, tapi sekarang? Sorry to say—semua orang bisa jadi paparazzi, semua bisa jadi jurnalis dadakan. “Transparency Police” selalu mengintai, siap rekam, siap viralkan. Kadang caranya acak-acakan, kadang terlalu heboh, dan kadang tidak sepenuhnya adil. Tapi satu hal jelas: mereka bikin peta kekuasaan berubah. Dalam versi Oliver, “Transparency Police” itu kayak sistem imun masyarakat—begitu ada tanda-tanda manipulasi atau kegelapan informasi, mereka langsung bereaksi, ngegas, dan memaksa lembaga publik buat buka-bukaan.Oliver ngasih contoh negara kayak Korea Selatan, Thailand, Chile, sama Republik Ceko, dimana demokrasi lumayan oke dan publik bisa ngawasin pemerintahnya. Jadi, “Transparency Police” itu sebenernya jaringan rakyat dan lembaga sosial yang nggak takut ngomong “hei, bro, jangan main belakang layar!”.Intinya: di era ini, begitu ada yang mulai gelap-gelapan, “Transparency Police” bakal langsung nyala kayak alarm tengah malam—dan nggak bakal berhenti sampai lampu ruangannya dinyalain terang-benderang.
[Bagian 3]

