Sabtu, 15 November 2025

Transparansi dalam Demokrasi (3)

Kalau dibilang “negara hadir buat rakyat,” maksudnya bukan cuma pemerintah nongol di baliho, tapi beneran jadi pelindung, penyedia, dan pelayan buat warganya. Negara yang hadir itu bukan cuma ngatur dari menara gading, tapi turun ke jalan: memastikan keadilan bersesuaian, layanan publik bisa diakses, dan pemimpinnya tanggungjawab, bukan cuma gaya. Negara yang hadir itu dengerin rakyatnya bukan pas masa kampanye doang, tapi juga saat harga naik, banjir datang, dan hidup makin susah. Intinya, ini janji moral kekuasaan buat berdiri di sisi rakyat, bukan di atas rakyat, terutama pas keadaan lagi berat dan ketimpangan makin terasa.
Nah, kita lihat kasus di Indonesia. Ketika negara bilang “kami hadir untuk rakyat” lalu mengambil alih utang Whoosh, itu rasanya kayak puisi patah hati yang dibacain dengan nada bangga. Tiba-tiba “hadir” bukan berarti melindungi rakyat, tapi nongol tanpa diundang, ngerogoh dompet kita sambil bilang, “Ini semua demi ellu!” Logikanya ajaib: rakyat kagak minta proyeknya, kagak terlalu ngerasain manfaatnya, tapi disuruh ikutan nyicil tagihannya atas nama kebanggaan nasional. Ini kayak kisah cinta ekonomi dimana rakyat jadi pasangan setia yang bayar dinner mewah yang bahkan mereka enggak datengin. Dan ketika pemerintah berteriak, “Negara hadir!”, rakyat cuma bisa nyengir sambil bilang, “Iya deeh, tapi bisa gak yaa, hadirnya entar aja, pas gajian udah turun?”
Pada puncaknya, semuanya berakhir mirip banget dengan adegan penutup Predator: Badlands, debu mereda, kekacauan mulai sepi, dan kok tiba-tiba emaknya si Dek masuk—tenang, kalem, dan kayaknya enggak kaget sama sekali—sementara semua orang masih bingung kenapa ujung-ujungnya mereka yang harus bayar tagihan dari pertempuran yang, bahkan bukan mereka yang memulainya. Lagian, gak ada yang tahu, sekuelnyanya berlanjut, apa kagak.

What Is Transparency? karya Richard W. Oliver (2004, McGraw-Hill) merupakan buku singkat berorientasi manajerial yang berargumen bahwa transparansi merupakan keharusan kompetitif dan etis yang menentukan bagi organisasi modern. Oliver membingkai transparansi sebagai ketersediaan sistemik informasi yang jelas, tepat waktu, dan mudah diakses yang memungkinkan para pemangku kepentingan—pelanggan, karyawan, dan warga negara—guna mengevaluasi kinerja dan niat. Karya ini menekankan bahwa keterbukaan bukan sekadar pengungkapan, melainkan pergeseran budaya organisasi menuju visibilitas, akuntabilitas, dan kepercayaan.
Oliver basically bilang begini: ilmunya soal transparansi bukan hasil meditasi sendirian di ruangan senyap, tapi hasil nongkrong profesional bareng orang-orang yang rajin buka kartu meski kadang bikin keringat dingin. Ia belajar dari bos-bos yang berani ngasih data mentah tanpa polesan, dari obrolan panjang yang kadang lebih panas daripada grup WhatsApp keluarga, dan dari organisasi yang sukses justru karena nggak doyan ngumpet di balik kata-kata ribet ala manajemen. Intinya, transparansi itu bukan teori manis, tapi kebiasaan hidup yang dipelajarinya dari orang-orang yang milih jujur walau ribet, dan milih terbuka walau resikonya bikin jantung deg-degan.
Oliver bilang bahwa era sekarang ini, penuh “drama kebocoran” karena terlalu banyak skandal sampai-sampai publik sudah capek dibohongi, jadi gaya tutup-tutupan udah nggak laku lagi. Setiap sektor, dari korporasi sampai politik, pernah nyoba nyembunyiin aib, dan hasil akhirnya bikin masyarakat makin sinis. Makanya, lahirlah yang ia sebut “transparansi zaman now,” situasi dimana informasi muter lebih cepet dibanding gosip seleb, dan orang cuma percaya kalau mereka bisa ngelihat sendiri datanya, bukan cuma disodorin press release fancy. Tapi ia juga ngingetin soal bentrokan antara privasi dan hak publik untuk tahu, karena di era digital batasannya udah kayak garis parkir yang pudar: kadang sulit bedain mana yang urusan pribadi dan mana yang harus dibuka biar publik bisa mengawasi. Terakhir, Oliver jelasin bahwa stakeholder itu bukan cuma pemegang saham, tapi semua orang yang kena efek keputusan organisasi, dan mereka sekarang maunya jelas, cepat, akurat—pokoknya bukti nyata, bukan janji manis ala iklan susu. Stakeholder zaman sekarang ingin semuanya terang-benderang biar bisa nilai apakah sebuah lembaga itu beneran niat atau cuma jago pencitraan.

Menurut Oliver, zaman sekarang semua orang itu kayak punya CCTV portable: publik ngintip pemerintah, pemerintah ngintip publik, media ngawasin semuanya, dan internet bikin semua gerak-gerik langsung terekam tanpa filter. Organisasi udah nggak bisa lagi berharap kelakuan mereka lolos radar, karena masyarakat sekarang bukan cuma penonton pasif; mereka jadi “stalker profesional” yang ngecek apa yang dilakukan institusi, kapan dilakukannya, dimana lokasinya, dan apa motifnya. Menurut Oliver, pengawasan model begini muncul karena publik makin ingin memastikan apakah omongan cocok dengan tindakan atau cuma gimmick marketing. Jadi persoalannya bukan lagi “ada yang nonton atau tidak,” tapi apakah organisasi siap hidup di dunia dimana semua lampu sorot selalu menyala dan semua langkah bisa ditanyain balik kapan saja.

Oliver mengatakan bahwa Transparansi merupakan semboyan baru dalam setiap aspek kehidupan: ekonomi, sosial, dan budaya. Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa transparansi itu, konsep Barat. Namun, jelas bahwa individu dan organisasi di seluruh dunia, terlepas dari ras, keyakinan, atau kebangsaan mereka, merangkul transparansi.
Oliver nggak bicara soal transparansi kayak lampu bohlam yang kita bisa nyalakan, tapi lebih seperti “pamer” dengan niat baik—bukan sekadar membiarkan orang intip, tapi aktif ngasih tahu apa yang terjadi di balik layar. Transparansi dalam pemerintahan, bermakna bahwa bukan cuma buka pintu sebatas bisa diintip, tapi benar-benar menampilkan proses-proses penting: keputusan, anggaran, rencana—biar publik bisa ngerti dan nggak cuma dibohongi dari balik tirai.
Tapi, ya, nggak semua harus diumbar. Oliver paham betul ada dilema: sebagian rahasia itu sah-sah aja, tapi kalau terlalu banyak rahasia, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan. Makanya, transparansi menurut Oliver itu kayak tarian: harus seimbang antara “hak publik tahu” dan “kebutuhan kerahasiaan”.
Doski juga sangat menyoroti “penonton”: media, LSM, bahkan whistle-blower. Kalau cuma dibuka tapi nggak ada yang ngelihat, efeknya bakal datar—seperti bikin konser tapi nggak ada yang dateng. Jadi, ungkapannya aja gak cukup; kudu ada yang ngaawasin, analisis, dan pakai informasi itu buat memberi tekanan atau kritik.
Yang keren dari pandangan Oliver: transparansi pemerintahan itu bukan cuma soal idealisme demokrasi, tapi juga berguna banget secara praktis. Dengan membuka informasi, pemerintah bisa dapat masukan, memperbaiki diri, dan membangun kepercayaan publik. Transparansi itu, suatu cara, bukan cuma untuk jujur, tapi juga lebih smart dan lebih dipercaya.

Transparansi pemerintah merupakan prinsip yang meluas mulai dari dewan kota setempat hingga ke pemerintah federal di setiap negara. Ia juga merupakan isu penting bagi pemerintahan global dan badan-badan kuasi-pemerintah, semisal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Dunia. Selain itu, terdapat sejumlah badan regional besar dan kuat yang reputasinya turut dipengaruhi oleh tingkat transparansi mereka, termasuk Organisasi Perjanjian Atlantik Utara (NATO), Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), Uni Eropa, dan puluhan kelompok dagang lainnya.

Gak pernah ada kekurangan krisis di seluruh dunia, dan kemungkinan besar takkan pernah ada. Diktator, rezim nakal, dan perang sipil tampaknya menjadi bagian yang hampir tak terhindarkan dari sejarah kita. Namun, seiring dengan meningkatnya komunikasi di seluruh dunia dan meluasnya berita internasional melalui TV satelit dan Internet, dorongan transparansi seringkali terjadi lebih cepat dan lebih tersebar luas. Sebagian besar peningkatan kemakmuran di negara-negara seperti Korea Selatan, Thailand, Chili, dan Republik Ceko berasal dari sistem demokrasi yang terbuka, dimana tindakan pemerintah dapat dikaji dengan jelas.

Transparency International (sebuah organisasi global yang didedikasikan untuk mengekang korupsi dalam transaksi internasional) mendefinisikan transparansi sebagai “prinsip yang memungkinkan pihak-pihak yang terkena dampak oleh keputusan administratif, transaksi bisnis, atau pekerjaan amal untuk mengetahui tak hanya fakta dan angka dasar, melainkan pula mekanisme dan prosesnya.” Organisasi ini menyatakan bahwa “Adalah tugas pegawai negeri sipil, manajer, dan wali untuk bertindak secara terlihat, dapat diprediksi, dan dapat dipahami.”

Organisasi-organisasi seperti IMF sering mengaitkan bantuan dan pinjaman dengan tingkat transparansi (meskipun mereka sendiri kadang-kadang mendapat kecaman karena dianggap kurang terbuka!). Pedoman IMF untuk transparansi pemerintah berfokus pada empat aspek utama: Kejelasan peran dan tanggung jawab; Ketersediaan informasi untuk publik; Persiapan, pelaksanaan, dan pelaporan anggaran yang terbuka; dan jaminan integritas

Organisasi birokrasi yang besar, semisal PBB dan IMF, yang paling sering dikritik karena kurangnya transparansi. Meskipun mereka gak nerima sumbangan langsung dari warga negara, kelangsungan hidup mereka sangat bergantung pada pendanaan dari pemerintah. Ketika kurangnya transparansi dianggap ada, seringkali terjadi perselisihan mengenai pendanaan dan pelaporan, seperti yang diilustrasikan oleh keretakan antara Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa selama beberapa tahun terakhir. Salah satu dari banyak isu yang muncul dalam protes antiglobalisasi yang terjadi di seluruh dunia adalah kerahasiaan di balik keputusan-keputusan oleh IMF dan Bank Dunia. Agar organisasi-organisasi ini memiliki kredibilitas dan rasa hormat, tindakan mereka harus sama transparan dengan tindakan yang mereka tuntut dari penerima bantuan atau donasi.

Selain, Government Transparency, Oliver juga menyebutkan Commercial Transparency. Menurut Oliver, commercial transparency itu ibarat perusahaan membuka tirai dapur mereka, biar pelanggan, investor, dan regulator gak cuma makan hasil jadinya, tapi tahu juga gimana masakannya dibuat. Kalau transparansi pemerintah itu soal menjaga demokrasi biar kagak dibajak, transparansi bisnis itu soal memastikan pasar gak berubah jadi “Wild West” penuh tipu-tipu.
Oliver bilang, perusahaan yang transparan itu jelas soal harga, jujur soal risiko, nggak lebay soal klaim produk, dan terang-terangan soal rantai pasoknya. Intinya: bukan cuma jualan barang, tapi nunjukin prosesnya—dari keputusan manajemen sampai keamanan produk. Dan ini bukan nunggu skandal pecah baru ngomong. Di dunia Oliver, perusahaan yang baik itu “ngomong duluan sebelum ditanya”.

Bedanya sama pemerintah? Simple:
Pemerintah transparan karena itu hak rakyat.
Perusahaan transparan karena kalo bo'ong, pasar bakal ngamuk.
Pemerintah buka data demi legitimasi politik, sementara perusahaan buka data demi reputasi dan kelangsungan hidup. Pemerintah bisa digulingkan kalau terlalu gelap, sementara perusahaan bisa bangkrut kalau terlalu misterius.

Jadi, transparansi bisnis versi Oliver itu semacam survival skill: kalau gagal, bukan cuma satu perusahaan yang kena, tapi bisa merembet jadi krisis kepercayaan satu industri. Mirip efek domino, tapi versi korporasi.

Oliver bilang bahwa orang-orang yang setia sama profesi mereka—semisal akuntan, atlet, aktor, pengacara, jurnalis, guru, dan dokter—disebut profesional. Kata “profesional” sendiri udah bikin kita otomatis berharap kalau kerjaan mereka jelas, transparan: kenapa mereka ngelakuin itu dan gimana cara mereka ngelakuinnya. Banyak yang bahkan udah disumpah buat melayani kepentingan publik, jadi kalau ketahuan nggak transparan, rasanya kayak betrayal banget.
Selain itu, skill atau kemampuan mereka juga penting banget. Kadang ada yang jago, kadang nggak, dan publik makin kepo sama hal ini. Makanya sekarang makin banyak profesi publik—terutama dokter dan pengacara—yang dinilai atau digrade, dan hasilnya bisa dilihat di media atau internet. Intinya, masyarakat sekarang gak cuma pengen layanan, tapi pengen layanan yang bisa dipercaya, jelas, dan terbuka.

Banyak yayasan dan organisasi amal punya anggaran yang lebih besar daripada produk nasional kotor negara kecil, dan pengaruhnya nggak main-main di wilayah mereka beroperasi. Keputusan mereka bisa literally menentukan hidup atau mati orang. Media dan pengawas biasanya menilai organisasi nonprofit dari seberapa efisien mereka pakai dana donatur dan rekam jejak pencapaian mereka. Kalau catatan mereka buram dan donasi nggak jelas, bisa-bisa mereka kena krisis keuangan sekaligus kehilangan kepercayaan pemimpin lokal.

Transparansi juga penting banget buat kredibilitas, dari NGO kecil kayak Greenpeace sampai raksasa global seperti Palang Merah. Organisasi yang bergantung pada donasi itu diawasi lebih ketat daripada hampir semua entitas lain. Orang memang “voting pake dompet” setiap hari, tapi soal donasi, keputusan itu lebih emosional; rasa percaya dan nyaman jadi penentu utama. Kalau ada indikasi menutup-nutupi atau skandal publik, donasi bisa anjlok parah, dan membangun kembali kepercayaan bisa makan waktu bertahun-tahun.

Lembaga keagamaan sering kesulitan soal transparansi, biasanya dengan alasan semua urusan mereka itu antara mereka dan Tuhan. Tapi, seperti organisasi lain yang punya stakeholder jelas, kurangnya transparansi bisa bikin donasi kering dan dukungan jemaat menipis. Supaya agama terorganisir bisa berjalan lancar, mereka harus jelas soal “neraca” finansial dan spiritual mereka.

'Drama Viral' tentang social experiment yang menelpon hampir 30 Gereja cuma buat minta sekotak susu bayi, tapi justru di-reject, dan malah Masjid yang langsung 'sat set' ngasih bantuan, itu benar-benar memicu 'Debat Panas' di jagat maya. Video ini 'Nge-Spill' terang-terangan soal 'Level Empati' dan 'Kepekaan Institusi' agama dalam menghadapi kebutuhan darurat yang super mendasar.
Kasus ini memang intinya tentang amal dan kasih sayang, tapi juga 'mengandung bawang' soal prinsip transparansi. Kritik utamanya memang menyasar 'Aksi No Compassion' gereja atau 'Birokrasi yang Ribet' banget. Tapi, penolakan massal itu membuka borok besar tentang 'Transparansi Mekanisme Operasional' dan 'Prioritas Anggaran' mereka.
Begini logikanya: Lembaga yang beneran 'all-out' dalam misi amalnya harusnya punya SOP bantuan darurat yang 'Gampang dan Cepat'. Aksi menolak penelepon atau cuma mengarahkan ke 'Kantor Dinas Sosial' itu seolah-olah menunjukkan alokasi dana mereka 'tersembunyi' alias 'tidak transparan'. Ini menimbulkan kecurigaan bahwa dana yang dikumpulkan untuk 'Pelayanan Umat' malah lebih banyak 'dikorup' untuk 'Biaya Maintenance Gedung' atau 'Gaji Admin yang Gede', bukannya 'Ready Stock' untuk kebutuhan mendadak dan krusial.
Karenanya, respons Masjid yang langsung 'Gercep' dan 'No Drama' itu jadi contoh 'Transparansi Prosedural': tindakannya 'visible' (terlihat), 'predictable' (sesuai janji), dan 'understandable' (mudah dimengerti) sesuai komitmen amal mereka. Sebaliknya, kegagalan banyak gereja dalam memberikan bantuan langsung memunculkan 'Red Flag' tentang 'Transparansi Komitmen Nilai' mereka—apakah 'Iklan Welas Asih' mereka beneran 'sinkron' dengan 'Aksi Lapangan'—dan 'Akuntabilitas Keuangan' atas donasi publik yang mereka terima. Skrutini dari Netizen setelah experiment ini adalah 'Tuntutan Publik' agar lembaga agama 'terbuka' soal 'Kemana' dan 'Bagaimana' dana umat itu disalurkan di saat-saat genting.
Selain duit, masalah yang lebih penting adalah kepercayaan spiritual. Kalau lembaga keagamaan nggak transparan, kepercayaan pengikut bisa goyah. Banyak orang menganggap dunia sekuler memang jarang transparan, tapi transparansi dan kepercayaan adalah fondasi agama terorganisir. Jadi, kalau ada gosip atau skandal soal ketidaktransparanan pendeta atau organisasi keagamaan, hal itu bisa bikin pengikut galau berat.

Menurut Oliver, kondisi dimana semua info, proses, atau tindakan tertutup, nggak jelas, atau sengaja disembunyikan dari orang yang pengen ngeliat itu ibarat "opasitas". Bisa dibilang, opasitas itu kebalikan dari transparansi: keputusan, motivasi, atau data nggak bisa dipahami, dicek, atau diakses oleh publik, stakeholder, atau pengawas. 
Oliver bilang, opasitas bikin orang nggak percaya dan penuh risiko. Di pemerintahan, kalau prosesnya gak transparan, warga bisa mulai skeptis sama kebijakan atau keputusan yang diambil. Di organisasi nonprofit, laporan keuangan yang buram bisa bikin donatur males nyumbang. Di profesi atau lembaga keagamaan, opasitas bisa ngejatuhin kepercayaan klien atau jemaat yang tergantung sama integritas profesional atau moral mereka.
Yang menarik, opasitas nggak cuma soal nyembunyiin info, tapi juga soal kondisi dimana orang lain gak ngerti atau nggak bisa ngevaluasi apa yang lagi terjadi, entah karena ribet, jargon susah, atau sengaja ditutup-tutupi. Menurut Oliver, opasitas itu penghalang utama buat legitimasi, akuntabilitas, dan kepercayaan, mulai dari pemerintah, bisnis, profesi, organisasi amal, sampai institusi agama.

Kurangnya Transparansi, yang disebut Oliver sebagai 'Opasitas', yang bikin 'Damage' parah itu dimulai dari 'Konspirasi Level Dewa' bernama Skandal Watergate. Inilah 'Plot Twist' politik yang akhirnya membuat seorang 'Ketua Geng' (Presiden) 'tumbang' dan seluruh 'Tim Inti-nya' bubar jalan, membuktikan bahwa kekuasaan itu 'rapuh' kalau 'nggak transparan'. Drama ini lalu disusul oleh Skandal Savings and Loan yang 'mega-besar', yang menunjukkan 'Lobang Gede' dalam regulasi dan 'kejujuran internal' sektor keuangan, yang ujung-ujungnya memaksa 'Pemerintah Pusat' harus 'nombok' dengan dana publik yang gak sedikit.
'Aksi Bohong' yang disengaja terus berlanjut ke Industri Rokok, dimana mereka 'secara sadar' menahan info soal efek adiktif dan bahaya dari Nikotin—sebuah 'Opasitas Keji' yang mengutamakan 'Cuan' di atas kesehatan banyak orang. Belum lagi, 'Integritas' olahraga global ikut 'Tercoreng' dengan terbongkarnya Komite Olimpiade Internasional (IOC) yang ketahuan 'main kotor' dengan 'suap-suapan' dan 'transaksi gelap' saat memilih 'Tuan Rumah Event Olahraga', benar-benar mengkhianati semangat fair play.

Di saat yang sama, dunia korporat 'Kena Tsunami' akibat Skandal Akuntansi Masif di perusahaan 'Raksasa' macam Enron, WorldCom, dan Xerox. 'Ketidak-transparan-an' yang sistematis ini menghancurkan 'Trust' investor, 'menguapkan' miliaran dolar, dan membuat puluhan ribu karyawan langsung jadi 'Pengangguran Dadakan'. Dan yang paling 'Menyakitkan Hati' adalah 'Cover-up' alias Penutupan Rahasia yang sistemik di dalam Gereja Katolik, yang membuat para 'Pelaku Kejahatan' terhadap anak-anak diizinkan terus bekerja, menunjukkan 'Opasitas Institusi' yang melindungi pelaku kejahatan dengan mengorbankan 'Korban', meninggalkan kerusakan emosional yang tak terukur.

Menurut Oliver, yang paling menderita karena opasitas itu adalah para pengamat dan stakeholder yang butuh informasi supaya bisa bikin keputusan yang tepat atau tetap percaya. Kalau transparansi kagak ada, warga, klien, donatur, dan pengikut bakal bingung dan gak bisa nilai apakah tindakan itu adil, kompeten, atau etis.
Di pemerintahan, proses yang buram bikin warga rentan sama kebijakan yang ngawur atau nggak akuntabel. Di nonprofit, donatur bisa males nyumbang atau cabut dukungan. Di profesi dan lembaga agama, klien atau jemaat kehilangan kepercayaan sama kompetensi, integritas, atau bimbingan moral mereka. Pokoknya, Oliver melihat opasitas sebagai kekuatan yang nge-reduce power orang-orang yang tergantung sama kejujuran dan keterbukaan organisasi, bikin mereka terpapar risiko, salah paham, dan potensi kerugian.

[Bagian 4]
[Bagian 2]