Senin, 17 November 2025

Transparansi dalam Demokrasi (5)

Di panggung politik negeri +62, justru Purbaya, sang Menteri Keuangan, dapet tepuk tangan karena berani nyentil: media sekarang “mingkem,” kayak lagi kena mute button. Sentilan itu bukan sekadar ngeluh, tapi tantangan—kritik itu bukan dosa, tapi kewajiban. Kalau pers diam, bahayanya lebih gede daripada kalau ribut. Jadi Purbaya kayak nge‑reminder: “Ayo, jangan takut ngomong, tugas kalian ngawasin pemerintah.” Di sisi lain, Menteri Pertanian Amran Sulaiman malah ngegugat Tempo gara‑gara muatin berita soal “beras busuk.” Satu menteri ngajak pers "to wake up", satunya lagi malah nyuruh pers "to sleep". Publik pun ngakak getir: Purbaya jadi semacam hero yang ngajak kritik, Amran jadi villain yang alergi kritik. Meme pun lahir: “Duo Menteri—yang satu bilang ‘Speak up!’, yang satu bilang ‘Shut up!’—panen ironi politik edisi terbaru.”

Balik ke topik kita.

Konsep Opacity Spiral ala Oliver itu kayak drama Korea politik yang sering banget kejadian di Indonesia: awalnya cuma karena pejabat atau institusi males buka data, eh lama-lama jadi keributan nasional. Menurut Oliver, kalau ada yang sengaja atau ogah-ogahan nutup-nutupin informasi, itu bukan cuma bikin orang curiga, tapi langsung memulai spiral kebingungan: dimulai dari aksi diam-diam, terus ada bocoran kecil, terus bantahan, abis itu bocoran yang lebih pedes, bantahan makin kenceng, sampai akhirnya keluar bukti keras yang bikin bantahannya jeblok dan reputasi hancur berkeping-keping. Spiralnya ini kayak auto-pilot: begitu mulai, susah rem.

Di Indonesia, contoh ginian tuh kayak jamur di musim hujan. Paling gampang lihat di proyek-proyek negara yang biaya dan dokumennya gelap gulita. Setiap kali pemerintah cuma kasih “narasi” tanpa bukti, publik langsung curiga. Terus muncul bocoran data, biasanya dari wartawan atau orang dalam. Reaksi resminya? Nggak jauh-jauh dari bantahan plus sedikit serangan balik: “Itu hoaks,” “Media suka lebay,” “Ini framing.” Padahal substansi datanya nggak dibahas. Akhirnya muncul audit atau kesaksian yang bikin semua narasi awal berantakan, dan kepercayaan publik pun rontok kayak daun kering.

Contoh yang paling “Oliver banget” adalah drama proyek infrastruktur raksasa yang tiba-tiba biayanya membengkak tapi datanya nggak pernah benar-benar dibuka. Dokumen kontrak? Samar-samar. Studi kelayakan? Kadang cuma judulnya. Pinjaman luar negeri? Data lengkapnya entah dimana. Pemerintah bilang semuanya aman, tapi nggak nunjukkin rinciannya. Publik makin curiga, wartawan mulai gali, bocoran mulai nongol, bantahan makin keras, lalu… datang audit atau rapat DPR yang nunjukkin fakta beda dari narasi resmi. Nah, inilah momen saat spiral Oliver mencapai puncaknya.

Di era internet, spiral ini makin ganas. Sekali publik ngerasa ada yang ditutup-tutupi, media sosial langsung berubah jadi mesin investigasi kolektif. Apalagi kalau pemimpin atau lembaga memilih bungkam atau cuma kasih jawaban muter-muter, wah, publik makin yakin ada “sesuatu” di balik tirai. Jadi memang Indonesia ini panggung sempurna untuk Opacity Spiral: ekspektasi transparansi rakyat udah naik, tapi kebiasaan buka data instansi masih ketinggalan zaman. Hasilnya? Drama demi drama, episode demi episode, semuanya ngikutin pola yang udah diprediksi Oliver sejak awal.

Pesan utama Richard W. Oliver lewat What Is Transparency? itu simpel tapi nusuk: transparansi bukan bumbu-bumbu etika yang bisa dipakai kalau lagi mood, tapi fondasi operasional biar sebuah institusi nggak gampang ambyar. Oliver basically bilang kalau zaman sudah berubah: info itu kayak gosip di grup WA keluarga—sekali nyebar, udah nggak bisa balik lagi, dan makin ditutupin malah makin keliatan mencurigakan. Jadi, kalau sebuah organisasi atau pejabat sok misterius, itu sama aja lagi booking tiket one-way masuk ke drama “Opacity Spiral” yang ujungnya biasanya kebongkar juga dan bikin nama jadi hancur-hancuran.
Menurut Oliver, transparansi itu bukan soal pura-pura suci atau biar keliatan malaikat, tapi soal bertahan hidup. Dunia sekarang tuh cepet banget, semua digital, semua inget, dan semua bisa di-screenshot. Jadi kalau masih main sembunyi-sembunyi, siap-siap diperes sama publik, media, dan netizen yang mata dan kupingnya 24 jam standby. Intinya, Oliver mau bilang: “Bro, buka aja dari awal. Kalau loe sembunyiin, yang kebongkar nanti jauh lebih nyakitin.” Transparansi itu bukan cuma baik—itu strategi biar nggak kejebak dalam spiral kehancuran versi era digital.

Open Government, buku kompilasi tahun 2010 yang disunting oleh Daniel Lathrop dan Laurel Ruma, diterbitin O’Reilly Media, isinya kayak peta besar gimana transparansi, akses data, dan gaya pemerintahan yang ngajak rakyat ikut mikir bisa ngubah cara negara berkomunikasi sama warganya. Bukunya ngegas banget bahwa kalau pemerintah bener-bener buka diri, bukan cuma slogan buat pemanis konferensi pers, masyarakat bisa lebih gampang ngintip keputusan pejabat, bantu ningkatin layanan publik, dan bahkan bareng-bareng bikin kebijakan yang jauh lebih waras. Para editornya ngumpulin tulisan dari teknolog, birokrat, jurnalis, sampai aktivis, jadinya kayak kompilasi berbagai suara yang nunjukin bukan cuma potensi keren dari open data, tapi juga drama politik dan birokrasi yang sering banget ngehalangin hal itu jalan. Karya ini juga ngingetin bahwa transparansi itu bukan sekadar upgrade software kantor pemerintahan, tapi perubahan budaya: pejabat harus mulai biasa diawasi, dan masyarakat harus konsisten minta kejelasan, bukan cuma ribut pas lagi viral aja. Walau terbitnya tahun 2010, isi bukunya masih nendang banget di era sekarang—era di mana pemerintah sering ceramah soal keterbukaan, tapi diam-diam ngilang waktu diminta bukti nyata.

Menurut buku ini, transparansi tuh bukan cuma soal nge-upload file PDF atau bikin laporan tahunan, tapi soal nge-reboot mentalitas dan kebiasaan semua orang di birokrasi dan masyarakat. Pemerintah yang bener-bener terbuka itu siap banget kalau ditanya, dikritik, atau ditekan publik—gak cuma pas lagi ada spotlight doang. Transparansi jadi budaya kalau: pertama, pegawai negeri udah biasa mikirin “wah nanti rakyat bisa ngintip nih” tiap kali bikin keputusan; kedua, masyarakat nggak cuma baca doang tapi juga aktif ngecek dan nuntut pejabat buat bertanggung jawab; ketiga, ada aturan dan cara rutin buat bagi informasi yang gampang diakses dan jelas.
Tanpa perubahan sikap dan kebiasaan, semua open data cuma menjadi “hiasan digital” doang yang nggak ngubah apa-apa. Transparansi baru kerasa manfaatnya kalau udah nyatu sama cara kerja sehari-hari—dari bos sampai staf paling bawah, dari warga biasa sampai jurnalis dan aktivis.

Para penulis mengemukakan bahwa gak semua data harus dibuka dalam transparansi. Mereka mengemukakan konsep "Targeted Tranparency". “Targeted Transparency” itu maksudnya transparansi yang gak sembarangan, tapi dibuat strategis dan dengan tujuan tertentu. Jadi bukan cuma asal upload semua data, tapi pilih informasi yang bener-bener penting buat masalah tertentu, audiens tertentu, atau aspek pemerintahan tertentu. Misalnya, fokus nge-share data pengeluaran pemerintah di sektor rawan korupsi, metrik performa layanan publik yang dipakai sehari-hari warga, atau keputusan regulasi yang langsung nyentuh komunitas. Para penulis bilang kalau transparansi diarahkan ke area yang tepat, pemerintah bisa lebih gampang akuntabel, warga bisa ikut berpartisipasi dengan informasi yang jelas, dan data yang dibagi punya dampak nyata. Selain itu, “Targeted Transparency” juga sadar kalau ngelempar semua data tanpa konteks cuma bikin warga bingung, salah paham, atau akhirnya gak ngaruh sama sekali.

Buku ini bilang bahwa transparansi paling ngefek kalau dipakai dengan strategi, disesuaikan konteks, dan nyambung sama kebutuhan publik sekaligus kapasitas pemerintah. Transparansi bukan solusi ajaib yang otomatis bikin pemerintahan lebih oke; manfaatnya tergantung sama kualitas data yang dibagi, kemampuan warga buat baca dan pake info tersebut, dan kesediaan institusi buat nanggepin pengawasan publik. Transparansi itu paling berguna dalam situasi dimana pengawasan publik bisa mencegah korupsi, ningkatin layanan, atau ngebantu bikin keputusan kebijakan yang lebih tepat. Tapi buku ini juga ngasih peringatan: kalau data disalahpahami, dipilih-pilih, atau cuma dijadiin pajangan, transparansi malah bisa jadi sia-sia. Jadi konteks budaya dan institusi itu kunci biar transparansi beneran ngefek.

Para editor buku ini bilang, transparansi itu nggak cuma soal nge-share info doang, tapi juga bikin publik bisa ngeliat, ngerti, dan nge-respon perilaku pemerintah. Kalau warga diberdayain jadi “mata dan telinga” negara, mereka bisa bantu nemuin inefisiensi, nyorot korupsi, dan ngasih saran perbaikan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan lokal mereka. Keterlibatan warga itu bikin transparansi nggak cuma soal buka data doang, tapi menjadi proses interaktif buat akuntabilitas. Tapi catatannya, supaya sistem ini jalan lancar, warga harus dikasih akses ke data yang jelas dan gampang dimengerti, plus ada jalur buat nyampein pengamatan mereka ke pejabat yang bener-bener mau denger dan bertindak.

Keterlibatan warga itu paling efektif kalau pemerintah nggak cuma ngasih akses info, tapi juga nyediain tools, platform, dan kesempatan yang bikin warga gampang ikut nimbrung. Contohnya, portal digital yang gampang dipake, data terbuka yang gampang dimengerti, sama jalur yang jelas buat ngasih feedback atau kolaborasi. Para penulis bilang bahwa engagement itu bukan cuma soal minta pendapat doang, tapi bikin mekanisme dimana masukan warga bener-bener bisa ngaruh ke keputusan, kebijakan, dan layanan publik. Edukasi dan sosialisasi juga penting, karena warga kudu ngerti hak mereka dan cara ikut nimbrung supaya pengaruhnya kerasa. Civic engagement itu jalan dua arah: pemerintah harus aktif bikin partisipasi gampang, dan warga harus termotivasi serta siap pake kesempatan itu dengan efektif.

Platform kayak Twitter, Facebook, sama blog bikin warga bisa nge-share info, sorotin aksi pemerintah, dan bikin pengawasan bareng-bareng dalam waktu nyata—cepat dan dalam skala besar. Media sosial bikin keputusan publik gampang dikritik langsung, bikin pejabat harus cepet dan bener-bener tanggap. Para penulis juga bilang kalau ini nge-boost jurnalis, aktivis, dan warga biasa buat kolaborasi, ngangkat suara, dan nge-bongkar hal-hal yang biasanya disembunyiin. Tapi, perlu diinget bahwa media sosial bisa nyebarin hoaks, dan nggak semua warga punya akses atau literasi digital yang sama, jadi usaha transparansi harus dibarengin edukasi, fact-checking, dan strategi engagement yang oke. Intinya, media sosial itu senjata ampuh buat ngedukung transparansi, tapi harus dipakai dengan bijak biar hasilnya maksimal.

Keterbukaan itu nggak cuma urusan teknis atau prosedural, tapi lebih ke praktik budaya dan partisipatif yang butuh komitmen dari pemerintah dan warga. Transparansi paling ngefek kalau dipakai dengan tujuan jelas, strategis, dan nyatu sama kerja sehari-hari pemerintahan. Nge-share data doang nggak cukup; pemerintah harus bikin info yang jelas, gampang diakses, dan bisa dipake, sementara warga harus diberdayain dan termotivasi buat pakai info itu buat ngawasin pejabat, ikut diskusi kebijakan, dan ningkatin layanan publik. Transparansi itu jalan dua arah: berhasil kalau pejabat biasa akuntabel, dan warga aktif, kritis, dan konsisten. Transparansi itu senjata buat ngebangun kepercayaan, ningkatin partisipasi warga, dan bikin pemerintahan lebih oke, tapi cuma jalan kalau jadi budaya terbuka yang nyata, bukan cuma pajangan doang.

Transparansi itu lebih dari sekadar kata keren; ia merupakan tulang punggung pemerintahan modern dan kepercayaan publik. Di zaman dimana informasi ngebut lebih cepet dari gossip dan pengawasan publik konstan, transparansi jadi tameng sekaligus cermin: ia lindungin pemerintah dari kecurigaan sekaligus nunjukin tindakan mereka apa adanya ke warga. Kalau institusi bener-bener buka diri, mereka ngajak dialog, kolaborasi, dan akuntabilitas, bikin ekosistem dimana keputusan bisa dipahami, kelihatan, dan bisa dipertanggungjawabkan. Transparansi itu bukan cuma soal nge-share data, tapi soal nge-bangun kebiasaan jujur dan responsif yang nyebar ke semua lapisan pemerintahan.

Tapi, transparansi itu nggak otomatis dan nggak selalu ngefek positif. Dampaknya tergantung konteks, kejelasan, dan aksesibilitas. Ngelempar data mentah ke publik tanpa penjelasan bisa bikin warga overwhelmed, salah paham, atau malah kontra-produktif. Begitu juga kalau cuma milih-milih info yang enak dilihat, kepercayaan bisa luntur. Transparansi yang bener butuh usaha sengaja: pemerintah harus fokus ke data yang bener-bener penting, bikin info gampang dicerna, dan jaga jalur engagement warga tetep jalan. Cara strategis ini bikin transparansi jadi alat buat nyelesain masalah, bukan cuma pajangan doang.

Aspek penting lain dari transparansi adalah pemberdayaan warga. Keterbukaan baru maksimal kalau warga bisa ngeliat, ngerti, dan bertindak berdasarkan info itu. Artinya, akses aja nggak cukup—harus ada edukasi, platform buat ikut nimbrung, dan mekanisme buat feedback. Kalau warga jadi “mata dan telinga” negara, mereka jadi partner pemerintahan, bukan cuma penonton kebijakan. Hubungan simbiotik ini ningkatin pengawasan, nge-reduce korupsi, dan ngebuka jalan buat solusi kreatif dari pengalaman nyata. Transparansi, jadi, nggak bisa dipisahin dari partisipasi; ia berkembang dimana warga termotivasi, siap, dan didukung buat aktif.

Selain itu, transparansi itu soal budaya. Ia nggak bisa dipaksain cuma lewat aturan atau teknologi; kudu nyatu sama cara kerja, nilai, dan mindset institusi sehari-hari. Birokrasi yang nganggep transparansi cuma proyek sesekali atau formalitas doang bakal gagal, sama kayak warga yang cuma nimbrung pas lagi viral. Transparansi sejati butuh komitmen terus-menerus dari pimpinan, staf, dan publik, bikin lingkungan dimana keterbukaan jadi kebiasaan, bukan istimewa. Kalau transparansi jadi ekspektasi bersama dan praktik standar, akuntabilitas, kepercayaan, dan legitimasi bukan cuma ideal, tapi nyata dan membentuk pemerintahan secara konkret.

Kesimpulannya, transparansi itu alat praktis sekaligus kewajiban moral. Transparansi itu nge-bridge jarak antara pemerintah dan warga, bikin data jadi pengetahuan, dan akuntabilitas jadi aksi nyata. Tapi keberhasilannya nggak cuma soal info tersedia atau enggak, tapi soal nge-bangun kepercayaan, literasi warga, dan budaya terbuka yang terus hidup. Pemerintah dan warga harus bareng-bareng ngejalanin transparansi sebagai praktik sehari-hari, tanggungjawab bersama, dan fondasi buat pemerintahan yang lebih oke. Baru deh, transparansi bisa bener-bener janjiin: nge-empower warga, ningkatin pengambilan keputusan, dan bikin ruang publik dimana kepercayaan, keadilan, dan kejelasan bukan hak istimewa, tapi norma sehari-hari.

[Bagian 1]
[Bagian 4]