Rabu, 19 November 2025

Cinta: Apa Itu Cinta? (1)

Mendiang John Lennon pernah menulis sebuah tembang bertajuk "Love". Ia memulainya dengan,  

Love is real, real is love
[Cinta itu nyata, nyata itu cinta]
Love is feeling, feeling love
[Cinta itu rasa, rasa cinta]
Love is wanting, to be loved
[Cinta itu keinginan, untuk dicintai]

Dalam bait-bait ini, Lennon merangkum cinta hingga bentuknya yang paling murni dan rapuh, seolah ia sedang menelanjangi makna cinta dari segala dramatisasi dan menyisakan inti kemanusiaannya. Susunan katanya berputar, ibarat mantra, seakan ia ingin mengingatkan bahwa cinta merupakan awal sekaligus akhir dari perjalanan emosi kita. Saat ia berkata “Cinta itu nyata, dan yang nyata itu cinta,” ia tak mencoba menjelaskan cinta secara logis; ia ingin menunjukkan bahwa cinta hadir kerana dialami, bukan dijabarkan. Kejujuran cinta tak terletak pada ucapan puitis atau aksi besar, melainkan pada keheningan antara dua jiwa yang saling mengenali.

“Cinta itu rasa, rasa cinta” menegaskan bahwa cinta tak bisa dipisahkan dari emosi; cinta bukan konsep, tetapi pengalaman. Ia dirasakan oleh tubuh sebelum dipahami oleh pikiran. Lennon sepertinya hendak mengatakan bahwa cinta bukan sesuatu yang kita fikirkan, tetapi sesuatu yang kita olehkan kita rasakan.

Dan ketika ia menutup dengan “Cinta itu keinginan, untuk dicintai,” ia membuka kerinduan paling mendasar dalam diri manusia—keinginan untuk dipandang, dipeluk, dan diterima. Dengan begitu, Lennon membuat cinta menjadi sebuah cermin: ia memantulkan hasrat kita untuk memberi, sekaligus kelaparan kita untuk menerima.

Cinta itu keyakinan yang tak pernah diucapkan, bahwa kehadiran seseorang dapat mengubah irama harimu dan membuat segala yang biasa terasa diam-diam luar biasa tanpa meminta apa pun sebagai balasan. Cinta itu kehangatan aneh yang menetap di sela-sela percakapan, kesetiaan lembut yang tetap bertahan meskipun suasana hati naik turun, dan kesediaan untuk melihat seseorang bukan hanya sebagaimana dirinya, tetapi pula seberapa jauh kejadian dirinya. Cinta bukan letupan dramatis, melainkan pilihan yang stabil dan sengaja—berulang kali—terutama pada hari-hari ketika pilihan itu terasa kurang nyaman. Cinta itu keberanian agar tetap lembut di dunia yang sering memuja hati yang keras, kesabaran untuk memahami daripada menebak-nebak, dan kelembutan untuk tetap bertahan ketika sebenarnya lebih mudah pergi. Di atas semuanya, cinta itu tindakan memberi secara berterusan tanpa menghitung-hitung, dengan percaya bahwa yang tulus akan kembali dengan caranya sendiri dan pada waktunya sendiri.

Dalam All About Love: New Visions (2000, William Morrow), bell hooks—seorang penulis Amerika yang produktif, feminis, profesor, dan kritikus sosial, ia penting karena karyanya berpengaruh sebagai kritikus budaya, feminis, dan penulis yang mengeksplorasi keterkaitan ras, kelas, dan gender untuk menganalisis sistem penindasan—menjelaskan cinta sebagai pilihan sadar untuk menumbuhkan perkembangan spiritual diri sendiri dan orang lain, bukan sekadar perasaan sesaat atau emosi yang tak dapat dikendalikan. Ia menegaskan bahwa cinta hendaklah dipahami sebagai tindakan yang dijalankan melalui kejujuran, tanggungjawab, rasa hormat, kepercayaan, dan kesediaan untuk peduli, karena kasih sayang tanpa fondasi etis seperti itu mudah berubah menjadi manipulasi atau ketergantungan. Bagi hooks, cinta hanya menjadi bermakna ketika dipraktikkan dengan sengaja, sebagai disiplin harian yang mengubah diri dan memperkuat hubungan antarmanusia. Ia berpendapat bahwa masyarakat modern sering menyamakan cinta dengan hasrat, kepemilikan, atau pencarian validasi, sehingga menghasilkan individu yang takut rentan namun merindukan keintiman. Visi cintanya mengajak pembaca agar menghapus skrip budaya yang merusak tersebut dan merangkul cinta sebagai praktik pembebasan yang menuntut keberanian, keberterusterangan, dan komitmen terhadap kemajuan bersama.

Menurut bell hooks, cinta itu pilihan sadar guna menumbuhkan perkembangan diri sendiri dan orang lain, yang dibangun atas lima elemen penting: kepedulian, tanggungjawab, rasa hormat, pengetahuan, dan kejujuran. Cinta bukan sekadar perasaan atau keinginan sesaat; ia adalah praktik yang disengaja yang membutuhkan perhatian, komitmen etis, pengakuan atas nilai orang lain, pemahaman akan kebutuhan mereka, dan keberanian untuk berkomunikasi dengan jujur. Ketika kelima elemen ini hadir, cinta menjadi transformatif, etis, dan membebaskan.
Mencintai dengan cara yang lebih sehat dan manusiawi membutuhkan pendekatan yang sadar dan disengaja. Cinta tak boleh disamakan dengan sekadar hasrat, emosi sesaat, atau kepemilikan; sebaliknya, cinta hendaklah dipraktikkan sebagai tindakan yang disengaja untuk menumbuhkan diri sendiri dan orang lain. Hooks menekankan bahwa cinta sejati melibatkan kepedulian aktif, dimana seseorang secara penuh perhatian mendukung emosional, fisik, dan spiritual well-being orang yang dicintai. Cinta juga menuntut tanggungjawab dan kejujuran, yang berarti harus bertindak secara etis, berkomunikasi terbuka, dan bertanggungjawab atas dampak tindakan kita. Rasa hormat dan pemahaman sama pentingnya, karena cinta berkembang ketika otonomi, pengalaman, dan nilai intrinsik orang lain diakui dan dihormati. Akhirnya, hooks menekankan pentingnya kesadaran diri dan kesadaran budaya, mengenali bagaimana norma-norma sosial dapat mendistorsi cinta menjadi kontrol atau manipulasi. Intinya, mencintai dengan sehat adalah praktik berkelanjutan yang menggabungkan komitmen etis, perhatian, rasa hormat, kejujuran, dan kepedulian tulus, yang mampu mengubah hubungan dan memperkuat ikatan antarmanusia. Cinta itu pilihan sadar untuk peduli, menghormati, memahami, jujur, dan bertanggungjawab atas perkembangan diri sendiri dan orang lain.

Cinta, menurut bell hooks, bukan sekadar emosi atau pengalaman sesaat, melainkan praktik sadar dan etis yang membutuhkan niat, komitmen, dan pertumbuhan pribadi. Ia berpendapat bahwa masyarakat modern sering menyamakan cinta dengan hasrat, kepemilikan, atau pencarian validasi, yang berujung pada hubungan yang tak sehat dan kerugian emosional. Hooks menekankan bahwa cinta sejati harus dipahami sebagai proses aktif yang melibatkan kepedulian, tanggungjawab, rasa hormat, pengetahuan, dan kejujuran. Dengan mempraktikkan cinta secara sadar dan penuh perhatian, individu dapat membangun hubungan yang lebih mendalam, transformasi diri, dan masyarakat yang lebih penuh kasih serta manusiawi. Pada akhirnya, karya bell hooks ini merupakan ajakan untuk meninjau kembali asumsi budaya tentang cinta dan merangkulnya sebagai kekuatan transformatif yang menuntut keberanian, kesadaran diri, dan integritas etis.

Everything I Know About Love (2018, Penguin) karya Dolly Alderton merupakan refleksi yang sangat jujur ​​dan jenaka tentang apa arti cinta yang sebenarnya saat ia menjalani usia dua puluhan. Ia menyadari bahwa cita-cita romantis yang ia pegang saat remaja—percaya bahwa pacar akan menyelesaikan segalanya—adalah naif. Seiring waktu, ia belajar bahwa cinta bukan hanya tentang gairah dan kegilaan, melainkan tentang persahabatan, harga diri, dan pertumbuhan. Melalui kesialannya dalam berkencan—kencan pertama yang buruk, putus cinta yang canggung, kencan online—ia menyadari bahwa hubungan seringkali menguji rasa diri Anda. Ia juga menghargai persahabatan jangka panjangnya lebih dari yang ia harapkan: teman tetap menjadi jangkarnya dan menawarkan jenis cinta yang berbeda dan lebih stabil. Yang terpenting, Alderton menyadari bahwa cinta diri itu penting: membentuk bagaimana ia menetapkan batasan, bagaimana ia membiarkan orang lain memperlakukannya, dan bagaimana ia pulih dari patah hati. Di usia akhir dua puluhan, ia telah merangkum pengalamannya menjadi pelajaran berharga—bahwa cinta itu berubah, bahwa perspektif itu penting, dan bahwa sendirian bukan berarti kesepian. Ia mengungkapkan bahwa tiada seorang pun yang bertanggungjawab atas kebahagiaanmu; sebaliknya, kitalah yang membangun kehidupan batin kita sendiri, dan itu menjadi fondasi bagi cinta yang bermakna.
Alderton mengisahkan pengalaman cintanya, persahabatan, dan perjalanan menemukan diri sendiri sepanjang usia dua puluh-an. Ia memulai dengan mengakui kepolosan masa mudanya, ketika ia percaya bahwa hubungan romantis adalah solusi utama atas semua masalahnya. Namun, seiring waktu, ia menyadari bahwa cinta jauh lebih kompleks dan berlapis dibanding yang dibayangkannya. Cinta bukan hanya soal gairah atau ketertarikan sesaat, melainkan pula tentang harga diri, pertumbuhan pribadi, dan ketahanan emosional. Alderton membagikan kekacauan kencan, patah hati, dan perjuangan dalam romansa modern, menyadari bahwa pengalaman-pengalaman itu mengajarkan sama banyaknya tentang dirinya sendiri seperti tentang orang lain.
Salah satu wawasan utama dalam memoir Alderton ini ialah nilai persahabatan, terutama persahabatan wanita, yang memberikan stabilitas, dukungan, dan cinta tanpa syarat dengan cara yang seringkali tak bisa diberikan oleh hubungan romantis. Sama pentingnya, ia menekankan pentingnya mencintai diri sendiri, belajar menetapkan batasan, menghargai diri, dan memahami bahwa kebahagiaannya tak sepenuhnya bergantung pada orang lain. Menjelang akhir dua puluh-an, ia telah mengembangkan pemahaman yang matang bahwa cinta itu berubah, perspektif itu penting, dan sendirian tak selalu berarti kesepian. Pelajaran utama yang ia sampaikan adalah bahwa cinta yang bermakna—apakah romantis, platonis, atau untuk diri sendiri—memerlukan kedewasaan, refleksi, dan pengakuan terhadap nilai intrinsik diri sendiri.

Cinta, dalam pandangan Alderton, tak bisa semata dipahami sebagai romansa belaka. Alderton menekankan bahwa cinta sejati mencakup persahabatan, penghargaan terhadap diri sendiri, pertumbuhan pribadi, dan ketahanan emosional. Ia menunjukkan bahwa hubungan romantis seringkali tak sempurna dan tak dapat diprediksi, tetapi ikatan dengan sahabat, serta kemampuan untuk merawat diri sendiri, memberikan fondasi yang lebih stabil dan bertahan lama bagi kebahagiaan. Melalui memoirnya, ia mendorong pembaca agar menerima kerentanan, merenungkan pengalaman hidup, dan menyadari bahwa mencintai diri sendiri serta memiliki persahabatan yang kuat bukanlah hal sekunder dari romansa—melainkan hal yang esensial. Pada akhirnya, buku Alderton mengajarkan bahwa cinta yang bermakna dalam segala bentuknya membutuhkan kedewasaan, refleksi, dan kesiapan untuk menerima perubahan.

Dalam Love Sense: The Revolutionary New Science of Romantic Relationships (
2013, Little, Brown Spark) Dr Sue Johnson berargumen bahwa cinta romantis bukanlah fenomena acak atau semata-mata “mistik,” melainkan proses biologis yang sangat melekat dan berdasarkan teori keterikatan (attachment theory). Ia menjelaskan bahwa ikatan antara pasangan romantis bekerja dengan cara yang sangat mirip dengan ikatan antara orangtua dan anak: secara evolusioner, kita diprogram untuk mencari koneksi yang aman dan stabil. Ketika kita merasa terputus secara emosional dari pasangan kita, otak kita mempersepsikannya sebagai ancaman—hampir seperti risiko terhadap keselamatan fisik—karena kita sudah terhubung secara biologis untuk merespons pemisahan emosional seolah-olah itu bisa membahayakan kehidupan kita.
Johnson juga mengeksplorasi neurokimia cinta, menunjukkan bagaimana hormon dan proses otak berkontribusi pada keterikatan, keamanan, dan regulasi emosi. Ia menolak anggapan bahwa cinta itu tak logis; sebaliknya, ia melihat cinta sebagai “resep yang teratur dan bijaksana untuk bertahan hidup.” Selain itu, ia menjabarkan tiga tahap dalam hubungan romantis, masing-masing dengan tantangannya sendiri, dan menjelaskan bagaimana pasangan yang sukses bisa melewati fase-fase tersebut dengan memahami “kecerdasan emosi” dan memanfaatkan “logika cinta.”
Guna membangun hubungan romantis yang aman dan hangat, Johnson mengandalkan prinsip-prinsip Terapis Berfokus Emosional (Emotionally Focused Therapy, EFT), yang memang ia bantu kembangkan. Ia menekankan pentingnya aksesibilitas emosional, responsif, dan keterlibatan: pasangan perlu merasa bahwa mereka bisa meraih kenyamanan, dan bahwa pasangannya akan berada di sana untuk merespons. Ia mendorong pasangan untuk mengekspresikan kerentanan, membagikan ketakutan dan kerinduan mereka alih-alih menyalahkan atau mengkritik, karena keterbukaan seperti itu membangun dasar kepercayaan yang aman.
Johnson juga menegaskan bahwa cinta itu bukan sesuatu yang statis; hubungan adalah “makhluk hidup yang bernapas” yang berevolusi. Dengan mengenali dan mengubah pola interaksi negatif (misalnya menjauh, kritik, atau eskalasi), pasangan bisa memperbaharui ikatan keterikatan mereka. Lebih jauh lagi, dia menunjukkan bagaimana cinta yang aman memberi manfaat nyata—tak hanya secara emosional, tetapi juga fisik: merasa terikat secara aman menurunkan hormon stres dan mendukung kesejahteraan psikologis.
Singkatnya, Love Sense memberikan gambaran ilmiah tentang mengapa kita mencintai seperti itu—yang berakar dari biologi dan keterikatan—serta panduan penuh kasih dan praktis tentang bagaimana membangun dan memperbaiki hubungan romantis agar menjadi aman, langgeng, dan secara emosional memuaskan.

Johnson berpendapat bahwa cinta romantis itu bukan hal mistis atau acak, tapi sistem biologis yang dalam dan adaptif, yang dirancang untuk menciptakan keterikatan aman antara pasangan. Johnson menekankan bahwa reaksi emosional kita, kimia otak, dan pola perilaku kita, semuanya diarahkan untuk menjaga kedekatan, rasa aman, dan saling peduli. Dengan memahami “ilmu di balik cinta,” pasangan bisa menyadari bahwa kesulitan-kesulitan umum—semisal konflik, jarak emosional, atau kurangnya chemistry seks—merupakan hal wajar karena cara manusia “terprogram,” bukan karena kita gagal secara moral atau kurang kompeten secara pribadi.
Johnson juga membawa pesan praktis dan penuh harapan: cinta bisa diperbaiki, dirawat, dan diperkuat jika pasangan belajar mengekspresikan kerentanan mereka, saling merespons kebutuhan emosionalnya, dan menghentikan siklus interaksi negatif. Johnson menunjukkan bahwa hubungan yang aman dan selaras secara emosional tak hanya “dihasrati”, tapi penting bagi well-being mental dan fisik. Membangun cinta semacam ini butuh kesadaran, usaha, dan keberanian emosional. Pada akhirnya, Johnson membingkai cinta sebagai praktik yang berbasis ilmu, dimana memahami “sistem biologis dan emosional” kita memberi kekuatan bagi pasangan untuk membangun ikatan romantis yang hangat, aman, dan tahan lama.

A General Theory of Love, karya Thomas Lewis, Fari Amini, dan Richard Lannon (2007, Knopf Doubleday Publishing Group), para penulis basically bilang bahwa cinta itu bukan cuma puisi atau vibes mellow, tapi sebuah kekuatan biologis yang nempel langsung di otak kita. Para penulis ngejelasin bahwa hidup emosional kita digerakkan oleh sistem limbik—bagian otak yang kuno banget—yang ngatur keterikatan, resonansi, dan stabilitas perasaan, jadi cinta itu sebenarnya proses neurologis yang nge-shape siapa diri kita dan gimana kita connect sama orang lain. Mereka bilang manusia belajar mencintai, percaya, dan merasa aman bukan lewat logika atau mikir panjang, tapi lewat “limbic tuning” dan “limbic revision,” yaitu proses ketika hubungan dekat literally nge-recalibrate pola emosional kita pelan-pelan. Karya ini nunjukin bahwa cinta yang sehat bikin hidup lebih stabil karena pasangan yang selaras secara emosional bisa nenangin sistem saraf satu sama lain, bikin dua orang tumbuh jadi versi diri yang lebih kuat dan lebih solid. Intinya, menurut mereka, cinta itu kekuatan biologis yang bisa nge-transformasi kepribadian, nyembuhin luka batin, dan nentuin suasana emosional yang bikin seseorang bisa berkembang maksimal.

Menurut A General Theory of Love, emosi dan ikatan jiwa itu kebentuk dari kerja keras sistem limbik—bagian otak yang jadi pusat “sinyal-sinyal halus” kayak rasa dekat, nyambung, dan nge-blend sama orang lain. Para penulis bilang bahwa ketika dua orang sering bareng dalam hubungan yang emosionalnya deep, sistem limbik mereka mulai saling “nge-tune,” kayak dua alat musik yang makin lama makin kompak. Proses ini bikin kita bisa kerasa mood orang lain, bisa nenangin mereka tanpa banyak kata, dan bisa kebawa ritme emosinya secara otomatis, makanya ada hubungan yang bikin kita merasa adem dan ada yang bikin chaotic. Lama-lama, pertukaran emosi yang terus-menerus ini ngebentuk “limbic revision,” yaitu momen ketika pola emosi yang kita pelajari sejak kecil pelan-pelan berubah karena ada seseorang yang rutin ngasih rasa aman, hangat, dan perhatian. Jadi, keterikatan itu bukan konsep “mistis-mistis,” tapi hasil sinkronisasi biologis yang terbentuk dari interaksi sehari-hari yang akhirnya nge-rewire otak kita. Buat penulisnya, inilah cara ikatan paling dalam—yang sering kita sebut ikatan jiwa—terbentuk: lewat hubungan yang stabil, selaras, dan konsisten, yang ngerubah kita dari dalam banget, sampai level neurologis.

Pesan utama yang hendak disampein para penulis A General Theory of Love adalah bahwa cinta itu bukan bumbu romansa, tapi kekuatan biologis yang ngebentuk manusia dari level emosional sampai level otak paling dalam, dan cuma lewat hubungan yang sehat seseorang bisa tumbuh maksimal. Mereka ngekritik dunia modern yang terlalu nge-worship logika dan kemandirian, sampai lupa kalau koneksi emosional itu bukan pilihan, tapi kebutuhan dasar kayak oksigen bagi mental kita. Para penulis pengen pembaca paham bahwa sistem limbik bikin kita saling bergantung secara alami, jadi kesehatan batin kita sangat tergantung pada orang-orang yang ngasih kehangatan, perhatian, dan konsistensi. Mereka juga mau nunjukin bahwa hubungan yang tulus bisa nge-rewrite pola emosi jadul, nyembuhin luka lama, dan ngasih stabilitas yang nggak bisa dikasih oleh kecerdasan atau tekad sekuat apa pun. Intinya, kalau mau ngerti diri sendiri—dan bener-bener berubah—kita kudu ngakuin kenyataan biologis bahwa cinta itu kebutuhan pokok, bukan bonus manis atau sentimental tambahan dalam kehidupan.

Kesimpulan umum dari A General Theory of Love adalah bahwa cinta itu bukan riasan hidup yang manis-manis doang, tapi kebutuhan biologis yang bikin manusia bisa tumbuh, pulih, dan berfungsi dengan benar. Para penulis menegaskan bahwa sistem limbik ngatur hidup emosional kita sedalam itu, sampai-sampai kita nggak bisa ngatur emosi sendiri tanpa kehadiran orang lain yang care, nyambung, dan konsisten ada buat kita. Mereka nyimpulin bahwa kualitas hubungan kita bener-bener nentuin “arsitektur batin” kita—mulai dari seberapa kuat kita, seberapa stabil, seberapa empatik, sampai gimana kita ngeliat diri sendiri. Buku ini juga bilang bahwa kesepian itu bisa bikin mental rusak dengan cara dimana kecerdasan nggak bisa betulin, sedangkan hubungan yang sehat bisa nge-rewrite luka lama dan nge-reshape otak jadi lebih sembuh. Intinya, cinta itu sumber rapuhnya manusia, tapi juga satu-satunya tempat dimana manusia bisa jadi utuh.