Selasa, 18 November 2025

Penjaga Ketertiban atau Cermin Kekuasaan? (8)

Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia yang lagi “rame-rame-nya”, isu polisi nongkrong di jabatan sipil akhirnya kena spotlight gara-gara putusan terbaru Mahkamah Konstitusi. Lewat Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, MK basically bilang, “Udah cukup ya main selundup-selundup lewat pintu belakang.” Frasa sakti yang dulu bikin polisi bisa numpang jabatan sipil atas nama “penugasan Kapolri” resmi dicoret. Artinya simpel: kalau ada anggota Polri yang kepengin duduk manis di kursi sipil, ya harus pamit dulu—entah lewat pensiun atau resign—nggak bisa lagi modal kartu nama institusi.
Meski putusannya langsung berlaku, pemerintah kasih vibe lebih adem buat polisi yang sudah terlanjur parkir di posisi sipil sebelum putusan keluar. Menkum bilang aturan ini nggak berlaku mundur, jadi yang sudah dapat kursi sipil sebelumnya gak bakal digusur dadakan. Tapi, tentu saja, warganet dan pengamat tetep riuh, karena mereka menilai reformasi sejati butuh garis tegas antara dunia kepolisian dan dunia kesipilan—gak bisa “setengah-setengah”.
Drama ini juga bikin perdebatan lama muncul lagi ke permukaan. Ada pejabat yang bilang bahwa menurut UU ASN, masih ada jabatan tertentu yang boleh banget diisi polisi. Tapi ada juga yang nyeletuk, “Halo, bukannya MK lagi ngejelasin kenapa jabatan sipil tuh harus sipil beneran?” Jadi, efek putusan MK bukan cuma soal frasa hukum yang dihapus, tapi juga “nyentil” perbincangan soal demokrasi, netralitas politik, dan sejauh mana kekuasaan eksekutif boleh ngatur-ngatur.
Putusan MK ini kayak tombol reset yang ngejelasin bahwa alat negara yang punya kekuatan koersif—alias polisi—gak boleh asal nongkrong di ranah sipil. Kalau mau jadi birokrat, ada jalurnya, ada tahapannya, dan ada prosesnya. Kejelasan ini bakal jadi bahan bakar diskusi panjang soal reformasi, akuntabilitas, dan integritas kelembagaan di Indonesia—yang, kalau lihat riuhnya, sepertinya bakal terus jadi trending topic bertahun-tahun ke depan.

Secara teori, urusan polisi duduk di jabatan sipil itu ibarat nyampurin dua vibe yang beda alam. Polisi itu kan bagian dari “mesin koersif” negara—yang kerjanya pakai seragam, wewenang, dan kadang kekuatan. Sementara jabatan sipil itu dunianya aturan administrasi, transparansi, dan akuntabilitas publik, bukan dunia “siap, komandan!”. Makanya teori demokrasi modern biasanya ngasih garis tegas banget: yang pegang tongkat komando nggak boleh sekaligus ngatur meja birokrasi.
Kalau polisi aktif dikasih duduk di jabatan sipil, otomatis ada risiko bias institusional. Cara kerja kepolisian—yang hierarkis dan penuh komando—gak selalu nyambung sama semangat pelayanan sipil yang lebih terbuka dan partisipatif. Belum lagi takutnya kebijakan publik jadi berbau paramiliter, pengawasan sipil makin lemah, dan kekuasaan numpuk di satu kubu yang sebenarnya nggak dirancang buat ikut-ikutan di ranah politik atau administrasi sipil.
Karenanya, dalam teori ideal, polisi kagak boleh menduduki posisi sipil kecuali udah bener-bener ngelepas status keanggotaannya—baik lewat pensiun atau resign. Begitu mereka udah keluar dari struktur komando, barulah sah ikut bersaing atau menduduki posisi sipil seperti warga biasa lainnya. Polanya sederhana: yang tugasnya menegakkan hukum tetep pada jalurnya, dan yang tugasnya mengatur pemerintahan tetep di ranahnya. Dengan begitu, negara tetep dijalankan oleh otoritas sipil, bukan oleh institusi berseragam.

Ada beberapa buku rujukan yang jadi pegangan para akademisi ketika ngomongin kenapa polisi itu sebaiknya kagak nongkrong di jabatan sipil. Semua buku ini basically bilang hal yang sama: yang pegang kekuatan koersif negara kagak boleh ikut-ikutan ngatur birokrasi sipil. Beda alam, beda vibe.
Pertama, ada kitab sucinya studi civil–military: Samuel P. Huntington – The Soldier and the State (1957, Harvard University Press). Walau bahasannya banyak tentang militer, idenya relevan banget buat polisi: lembaga yang bisa pakai kekuatan harus tunduk ke sipil, bukan malah jadi bagian dari dapur sipil. Doski bilang kalau ini dicampur, negara bisa jadi “too spicy”.

Samuel P. Huntington, lewat The Soldier and the State, basically bilang begini: kalau ada lembaga negara yang dikasih hak pakai kekuatan—militer, polisi, dan kawan-kawan—itu ibarat mereka pegang “cheat code” yang bisa bikin negara auto-patuh. Karenanya, mereka gak boleh jadi bagian dari dapur sipil. Semestinya mereka yang tunduk, bukan malah ngatur-ngatur.
Menurut Huntington, budaya kerja lembaga koersif itu dunia komando: satu suara, satu perintah, dan disiplin tanpa debat. Ini bagus banget kalau lagi perang atau penegakan hukum, tapi kalau mindset ini dibawa ke birokrasi sipil yang seharusnya penuh diskusi, perdebatan, dan transparansi, hasilnya bisa kacau balau. Ibarat nyuruh marching band main di orkestra klasik—enggak cocok, dan semua orang pusing.
Huntington juga ngeri kalau lembaga berseragam diberi ruang di jabatan sipil, karena lama-lama mereka bisa nge–“influence” kebijakan dari dalam. Jabatan sipil itu kan mestinya cerminan suara rakyat: ada yang setuju, ada yang protes, ada yang debat kusir di DPR. Kalau yang masuk malah lembaga yang kerjanya “siap komandan!”, ya lama-lama gaya komando itu bisa menguap ke kebijakan. Ujung-ujungnya, negara jadi makin otoriter tanpa harus deklarasi apa pun.
Huntington menegaskan bahwa supremasi sipil itu bukan cuma aturan konstitusi, tapi “sistem keamanan” bagi demokrasi. Kalau polisi atau militer dibiarin ikut main di ranah sipil, mereka bisa ngatur lembaga yang seharusnya ngatur mereka. Itu kayak bikin anak kecil jadi wasit pertandingannya sendiri—udah pasti skornya menang semua.
Huntington menyimpulkan bahwa biar negara tetep sehat, ranah sipil kudu tetep sipil, dan lembaga yang punya hak pakai kekuatan harus tetep berada di bawah kontrol sipil. Kalau batas ini kabur, ya bersiap-siap aja demokrasi pelan-pelan berubah jadi “regime with extra steps”.

Dalam Policing Politics: Security Intelligence and the Liberal Democratic State (1994, Frank Cass/Routledge), Peter Gill ngomongin soal gimana polisi, terutama cabang intelijen mereka, berinteraksi sama demokrasi. Meski doski enggak secara langsung bahas polisi duduk di jabatan sipil, pemikirannya nyambung banget. Gill bilang, polisi itu bagian dari “mesin koersif negara” yang bisa masuk ke urusan politik dan sosial lewat pengawasan, penyusupan ke organisasi, atau manipulasi informasi. Makanya mereka harus diawasi ketat sama sipil. Kalo enggak, demokrasi bisa tergeser, kepercayaan publik turun, dan institusi yang drharusnya netral, jadi gampang dipolitisasi.
Kalau kita tarik logikanya ke konteks polisi duduk di jabatan sipil, risikonya mirip. Kantor sipil itu seharusnya jalan dengan transparansi, akuntabilitas, dan musyawarah. Tapi kalau ada orang dari institusi koersif masuk, budaya organisasi mereka—yang kaku, hierarkis, dan komando—bisa ngeganggu proses itu. Kebijakan bisa pelan-pelan lebih banyak mikirin “penertiban” daripada kepentingan publik, dan netralitas institusi bisa luntur. Intinya, Gill mau bilang: biar demokrasi tetep sehat, polisi dan institusi sipil harus dijaga batasnya, biar publik gak merasa pemerintah jadi “negara seragam edition.”

David H. Bayley
Patterns of Policing (1985, Rutgers University Press) menjelaskan bahwa demokrasi modern bergantung pada polisi yang profesional, tapi tidak masuk ke ranah politik atau jabatan sipil. Kalau polisi aktif duduk di jabatan sipil, itu kayak mixing playlist ballad sama dangdut koplo—bisa, tapi hasilnya nggak tepat sasaran.
Bayley bilang bahwa polisi itu nggak boleh nyemplung ke politik atau jabatan sipil karena dunia mereka beda banget. Polisi tugasnya menegakkan hukum pakai kekuatan, hierarki, dan disiplin, sementara kantor sipil itu dunia musyawarah, negosiasi, dan akuntabilitas publik. Kalau dicampur, logika “pakai kekuatan dulu, tanya belakangan” bisa masuk ke kebijakan sipil—transparansi lenyap, demokrasi keropos, dan netralitas hilang.
Bayley juga bilang soal role confusion: kalau polisi mulai duduk di jabatan sipil atau politik, mereka bisa punya loyalitas atau kepentingan yang bikin tugas menegakkan hukum jadi nggak murni. Budaya komando bisa bikin kebijakan sipil jadi lebih keras, paranoid, dan fokus ke keamanan daripada pelayanan publik. Dari studi bandingnya, Bayley ngelihat demokrasi jalan paling mulus kalau polisi profesional, terpisah dari politik, dan tetep diawasi sipil—misal lewat parlemen atau lembaga independen.
Intinya, Bayley menegaskan: memisahkan polisi dari politik dan jabatan sipil itu penting supaya hukum tetep adil, masyarakat percaya, dan birokrasi sipil tetep bisa jalan dengan musyawarah, transparan, dan netral. Kalau dicampur, vibe negara bisa berubah jadi “negara seragam yang main komando”.

Menurut Bayley, kalau polisi mulai duduk di jabatan sipil, efeknya ke masyarakat itu nggak langsung kelihatan, tapi lumayan greget. Garis antara “yang mengatur” dan “yang menegakkan hukum” jadi blur, bikin rakyat ngerasa negara lebih banyak main paksa daripada musyawarah. Kebijakan bisa pelan-pelan jadi fokus ke pengawasan, disiplin, dan kontrol, bukan pelayanan publik, partisipasi, atau engagement warga. Akibatnya, masyarakat bisa ngerasa kayak lagi diawasi terus-menerus, bukan dilayani atau diwakili, dan kepercayaan ke institusi sipil maupun polisi sendiri bisa luntur.
Bayley juga bilang, netralitas polisi bisa terganggu. Kalau mereka punya posisi sipil, loyalitas atau kepentingan politik bisa muncul dan bikin keputusan penegakan hukum gak adil. Budaya komando yang nyemplung ke birokrasi sipil bisa bikin kebijakan pilih kasih, memperkuat hierarki sosial, dan bikin proses demokrasi terasa gak fair. Lama-lama, masyarakat cuma nurut karena takut atau segan, bukan karena kesadaran atau tanggungjawab sebagai warga. Partisipasi publik menurun, akuntabilitas pemerintah juga melemah.
Singkatnya, Bayley ngingetin: kalau polisi masuk ke jabatan sipil, bukan cuma institusi yang kena imbas, tapi hubungan negara–warga ikut berubah. Kalau pemerintahan mulai kebanyakan logika paksa, kepercayaan sosial menipis, musyawarah melemah, dan rakyat ngerasa hidupnya diatur lebih kayak game komando daripada hasil kesepakatan bareng.

Kontroversi seputar polisi yang duduk di jabatan sipil sebenarnya jadi pintu masuk paling pas buat ngomongin Reformasi Polri secara lebih serius. Begitu batas antara kekuasaan sipil dan kewenangan aparat mulai blur, muncul pertanyaan besar: ini masih negara demokratis atau sudah mulai geser ke arah yang enggak sehat? Masalahnya bukan sekadar soal administrasi jabatan—ini soal prinsip. Polisi yang merambah ke ranah sipil itu ibarat pelan-pelan keluar dari tugas utamanya sebagai pelindung masyarakat, lalu mulai terlihat seperti alat politik yang bisa dipakai siapa saja. Ketegangan antara “apa seharusnya polisi itu” dan “apa jadinya kalau polisi kebablasan” inilah yang bikin isu reformasi jadi urgent banget. Indonesia butuh penegasan ulang: polisi itu melayani publik, bukan melayani kekuasaan. Dari sinilah jalur menuju Reformasi Polri jadi bukan cuma wajar, tapi wajib—demi ngebalikin kepercayaan publik, ngejaga supremasi sipil, dan memastikan aparat bekerja dalam batas-batas yang memperkuat demokrasi, bukan malah merusaknya. 

Perjalanan reformasi Polri itu, kalau dipikir-pikir, bukan cuma urusan ngerombak struktur atau bikin SOP baru yang tebalnya kayak buku tahunan sekolah. Inti persoalannya jauh lebih emosional: apakah negara mau “berkuasa” lewat ketakutan, atau “memerintah” lewat kepercayaan? Selama kita ngobrolin topik ini, satu hal makin kelihatan jelas—polisi itu dihormati bukan karena galaknya, tapi karena integritasnya.

Data dan riset yang kita bahas nunjukin situasi yang rada campur aduk. Banyak warga Indonesia yang ngaku kalau Polri punya peran penting buat jaga keamanan dan ketertiban. Tapi di sisi lain, masih ada rasa “hmmm… beneran berubah nggak sih nih institusi?” Orang masih waswas soal independensi, soal akuntabilitas, soal apakah reformasi ini beneran reformasi atau cuma rebranding pakai lampu neon. Jadi walaupun struktur organisasi Polri udah modern, mentalitas lamanya kadang masih nongol kayak cameo pemain senior di sinetron Ramadan.

Kritik lain juga lumayan pedes: kalau reformasi cuma diatur petinggi Polri doang tanpa libatkan masyarakat sipil, ya jatuhnya cuma jadi omon-omon, alias janji-janji manis yang bubar begitu closing statement konferensi pers selesai. Reformasi yang asli itu butuh transparansi, butuh pengawasan publik, dan butuh mekanisme biar rakyat punya suara—bukan cuma jadi penonton.

Tapi bukan berarti semuanya gelap gulita. Ada juga kabar baik. Survei-survei dalam beberapa tahun terakhir nunjukin kepercayaan publik terhadap Polri itu naik perlahan. Nggak dramatis kayak babak final anime, tapi pelan-pelan terlihat. Kenaikan kecil itu penting, karena kepercayaan itu dibangun bukan lewat pidato berapi-api, tapi lewat perilaku baik yang konsisten setiap hari.

Ke depan, masa depan Polri cuma bisa kuat kalau didukung dua hal. Pertama, kepemimpinan etis: pemimpin yang rendah hati, mau mendengar, dan sadar bahwa seragam itu amanah, bukan aksesori cosplay kekuasaan. Kedua, keterlibatan masyarakat: publik dilibatkan, diajak ngomong, bukan dipinggirkan. Kalau dua hal ini ketemu, reformasi bukan cuma kata-kata, tapi kenyataan.

Daftar praktis untuk menilai apakah reformasi benar-benar nyata (hal-hal yang perlu dipantau publik):

  • Komposisi dan independensi badan reformasi (tanpa konflik kepentingan; ada representasi masyarakat sipil yang jelas).
  • Perubahan hukum dan prosedural dipublikasikan secara terbuka, dengan kerangka waktu dan rencana implementasi.
  • Pelaporan transparan atas tindakan disipliner dan hasilnya (bukan sekadar pengumuman).
  • Audit independen dan eksternal atas anggaran, pengadaan, dan penanganan pengaduan.
  • Keterlibatan komunitas yang berkelanjutan serta perbaikan terukur dalam penyelesaian pengaduan dan pengurangan pelanggaran.

Jika indikator-indikator tersebut terpenuhi dan dijalankan secara konsisten, sentimen publik kemungkinan akan bergeser dari skeptisisme menuju kepercayaan bersyarat; jika tidak, sebagian besar komentar publik memperkirakan reformasi akan dinilai sebagai “omon-omon.”

Pada akhirnya, negara yang kuat itu bukan yang bikin rakyat keder, tapi yang bikin rakyat percaya. Indonesia butuh Polri yang bukan cuma tangguh secara institusi, tapi juga dipercaya secara moral. Ketika rakyat percaya, negara otomatis kokoh—bukan karena takut, tapi karena yakin.

Dan di situlah Indonesia bisa bener-bener melangkah dari “negara kuat” menuju polisi yang dipercaya.

[Bagian 1]
[Bagian 7]