Rabu, 16 Juli 2025

Aplaus dan Kebenaran Tersembunyi

Tahun 1942, Winston Churchill lagi pidato di parlemen Inggris dengan gaya heroik khas film Hollywood. Isinya penuh semangat: pantang menyerah, Inggris takkan jatuh, blablabla. Begitu pidatonya selesai, seisi ruangan langsung berdiri, tepuk tangan membahana kayak di konsernya Queen. Rekaman pidatonya disiarin ke seluruh penjuru negeri buat nambah semangat rakyat. Taapii, cuma beberapa kilometer dari gedung megah itu, di daerah miskin East London, keluarga-keluarga masih ngeruk puing-puing rumah yang hancur kena bom, nyariin jenazah anggota keluarganya yang belum ketemu. Pemerintah waktu itu nunda-nunda ngasih info soal jumlah korban sipil yang sebenarnya.
Emang sih, pidato Churchill itu ikonik, tapi juga nunjukin gimana suara tepuk tangan di parlemen bisa lebih nyaring dari tangis pilu yamg teredam di jalanan. Bukan berarti doi bo'ong, tapi kenyataan nggak seindah narasi. Kadang, kalimat agung dan sanjungan publik cuma nutupin realitas getir yang nggak masuk kamera. Tepuk tangan itu bukan cerminan keseluruhan kebenaran—cuma sepotong kecil yang udah dipilih buat ditayangin ke dunia.

Di panggung megah masyarakat, pujian kadang datang kayak tepuk tangan konser Coldplay—keras, silau, dan bikin semua ikut terbawa suasana. Tapi di balik tirai gemerlap itu, seringkali ada kenyataan yang lebih sunyi—yang menggigil dalam kesedihan atau bertolak belakang dari sanjungan itu sendiri. Filosofi ngajarin kita bahwa apa yang tampak, acapkali cuma permukaan; kayak dalam kisah Plato dalam elogori sebuah gua, yang kita lihat bisa jadi cuman bayangan dari kenyataan yang lebih dalam dan pahit. Dalam dunia politik, pemimpin yang dielu-elukan sebagai penyelamat bangsa, bisa aja sebenarnya lagi bawa kapalnya ke jurang, ditemani tepuk tangan dari buzzer dan media settingan. Dalam kehidupan sosial, kita kadang ngerayain pencapaian yang, kalau dikulik, ternyata dibangun di atas penderitaan kelompok yang diabaikan. Dan secara budaya, yang sering kita puja itu bisa aja cuma bayangan masa lalu yang udah kosong makna, dipoles nostalgia, bukan karena masih relevan.

Dalam The Presentation of Self in Everyday Life (1956, Doubleday Anchor Books), Erving Goffman ngajak kita ngeliat kehidupan sosial kayak panggung teater raksasa. Orang-orang—termasuk institusi kayak pemerintah, perusahaan, sekolah—itu ibarat aktor yang lagi tampil. Yang kelihatan di permukaan itu namanya “front stage”, tempat dimana mereka tampil rapi, senyum, sopan, dan serba teratur. Disinilah pencitraan dibentuk: pakai jas rapi waktu wawancara, pakai bahasa formal waktu pidato, bikin slogan-slogan manis buat publik.
Tapi begitu tirai ditutup, kita masuk ke “back stage”—area belakang panggung—yang jauh dari spotlight. Di sinilah topeng dilepas, emosi asli keluar, dan kontradiksi mulai kelihatan. Goffman bilang, kalau di depan kita jaga imej dan aturan main sosial, maka di belakang kita bisa marah-marah, bingung, bahkan ngaku kalau semuanya cuma pura-pura. Misalnya, politikus yang keliatan tenang di depan kamera, bisa jadi panik dan maki-maki di rapat internal partai. Institusi yang kelihatan bersih dan profesional, bisa aja di dalamnya penuh drama, inefisiensi, atau main licik.
Goffman ngebedah cara-cara halus dan licin yang orang pakai buat ngatur gimana mereka pengin dilihat oleh orang lain. Karena kehidupan sosial itu kayak panggung, maka tiap orang juga otomatis jadi aktor yang harus ngatur pencitraan. Bukan cuma soal tampil bagus, tapi juga pintar nutupin hal-hal yang bisa ngerusak tampilan.
Goffman jelasin ada dua jurus utama: teknik defensif dan protektif. Yang defensif itu kayak latihan ngomong biar nggak grogi, kontrol ekspresi muka, atau siapin “properti” kayak baju formal atau dokumen biar keliatan kredibel. Yang protektif lebih licik—di sini penonton ikut main peran, misalnya pura-pura nggak lihat kalau loe salah ucap, atau sengaja nggak komentar sewaktu loe lagi jelas-jelas ngeles.
Buat Goffman, manajemen kesan itu bukan cuma akting sepihak, tapi kerja sama diam-diam antara pemain dan penonton. Keduanya sepakat buat jaga ilusi. Kalau ada kesalahan—kayak ritsleting celana belum naik, atau salah ngomong nama—itu harus cepet-cepet ditambal, dibikin kagak kentara. Goffman kayak mau bilang: dunia sosial bukan dijaga ama kejujuran, tapi ama semangat kolektif buat jaga pencitraan bareng-bareng. Asal keliatan oke, semua ikut main, pura-pura percaya.
Pesan utama Goffman jelas banget: banyak interaksi sosial itu bukan soal kejujuran, tapi soal ngatur penampilan. Yang kita anggap asli, bisa jadi cuma akting rapi biar tetap kelihatan sah, biar ego aman, atau biar publik tetap percaya. Realita? Kadang disimpan di balik panggung, jauh dari sorotan.

Dalam esai pendek tapi tajam berjudul On Bullshit (2005, Princeton University Press), filsuf Harry G. Frankfurt ngebedah fenomena omongan yang terdengar meyakinkan—kadang keliatan bijak banget—padahal sebenernya kosong melompong dari niat nyampein kebenaran. Frankfurt bikin pembeda yang penting banget antara pembohong dan bullshitter. Pembohong itu masih “menghormati” kebenaran, karena doi tahu apa yang benar dan sengaja nutupin. Tapi bullshitter jauh lebih bahaya—Lantaran doski kagak peduli itu bener apa nggak. Yang penting: omongannya terdengar keren, bikin orang percaya, atau bisa dipake buat nyari simpati.
Menurut Frankfurt, bullshit muncul ketika orang ngomong tanpa peduli sama kenyataan. Bukan karena mereka mau nipu secara klasik, tapi karena mereka emang kagak mikirin kebenaran sama sekali. Tujuannya bukan buat nyasarin orang dari fakta, tapi buat nyusun cerita sesuai kepentingan—mau itu ngibul, ngeles, atau sekadar pencitraan. Inilah yang bikin bullshit licin banget: susah dikoreksi, tahan banting, dan tumbuh subur di dunia yang lebih mementingkan tampilan daripada substansi.
Frankfurt bilang, dalam masyarakat yang udah kebanyakan performa—dimana orang lebih dihargai karena kedengaran benar daripada memang benar—bullshit jadi mata uang utama dalam komunikasi. Dalam politik, branding perusahaan, bahkan postingan medsos, orang lebih mikirin gimana caranya keliatan yakin, pede, dan cerdas—daripada jujur. Bahayanya, kata Frankfurt, kalau bullshit dibiarin menang, konsep kebenaran itu sendiri bisa hancur. Begitu kebenaran udah dianggap gak penting, percakapan jadi drama, dan tanggungjawab pun lenyap.

Paradoks ini—tentang aplaus yang nutupin derita—bukan cuma kata-kata puitis, tapi bener-bener kejadian berulang dalam sejarah manusia. Dari zaman kerajaan sampe negara demokrasi sekarang, pujian publik sering jadi tirai buat nutupin luka pribadi yang nggak sempat disorot kamera atau dimuat dalam buku sejarah.
Kita sering tereak “hebat!” ke pahlawan tanpa mikir dua kali. Tapi jarang banget kita nanya: siapa yang harus bungkam biar doi bisa naik panggung? Setiap kisah sukses besar biasanya diiringi dengan kisah mereka yang “di-skip”—karena terlalu ribet buat dimasukin ke narasi indah.
Sejarah penuh dengan patung dan tugu yang dielu-elukan, tapi jarang ada yang nulis tentang tangan-tangan yang berdarah waktu ngebangun itu semua. Yang kita lihat cuman kemegahan akhirnya, bukan penderitaan yang tertanam di pondasinya.

Zaman sekarang juga masih begitu. Kita ngerayain inovasi tanpa mikirin berapa banyak orang yang kelelahan dan burnout buat nyampe ke situ. Kita kagumi para miliarder, tapi lupa sama karyawan yang lembur terus buat ngedukung kekayaan mereka. Foto-foto kemakmuran disebar, sementara kemiskinan di-crop dari frame.
Media sosial, si panggung digital kita, amat doyan ama aplaus. Yang tampil paling rapi, paling estetik, biasanya yang paling dapet like. Tapi di balik foto yang keliatan bahagia, bisa aja ada cemas, kesepian, atau depresi—hal-hal yang nggak cocok buat feed.
Politik juga sama. Para pemimpin tampil dengan persona kuat dan penuh empati. Tapi di balik konferensi pers dan senyuman kampanye, ada ruang rapat penuh kecemasan, strategi licik, dan keputusan pahit. Yang ditampilkan ke publik cuma topeng yang udah diatur rapi.
Dalam kehidupan pribadi pun, paradoks ini nempel terus. Teman yang selalu keliatan ceria, bisa jadi lagi hancur pelan-pelan. Pasangan yang dikagumi netizen karena “goals banget” bisa aja saling diam-diaman di rumah. Kita jarang lihat lebih dalam, kecuali topengnya mulai retak.
Bahkan kata “kemajuan” yang sering dielu-elukan, seringkali dibangun di atas pengucilan. Siapa sih yang beneran dapet manfaat? Dan siapa yang tertinggal, nggak kebagian kesempatan? Tiap kota baru yang dibangun megah, biasanya ada kampung yang digusur diam-diam.

Dalam institusi juga sama aja. Kampus bisa aja pamer statistik keberagaman, tapi mahasiswa dari minoritas masih harus hadapi candaan rasis atau perlakuan nggak adil. Perusahaan bisa gembar-gembor CSR, tapi di balik layar masih ngotorin lingkungan di negara lain.
Seni pun nggak luput. Seniman yang dielu-elukan bisa jadi ngambil kerja orang lain. Penulis terkenal bisa aja nyontek budaya tanpa ngasih kredit. Galeri yang tampil mewah bisa jadi elit dan cuma buka pintu buat “orang dalam.”

Apa yang disebut Goffman sebagai “front stage” makin lama makin gede. Udah masuk ke kerjaan, hubungan, bahkan identitas. Dan makin besar panggungnya, makin berat juga buat jagain citranya. Yang disembunyiin makin ngendap, makin bikin sesak lama-lama.
Kita hidup dalam masyarakat yang ngasih hadiah buat peran yang dimainkan bagus, bukan buat kejujuran. Sorotan lampu panggung itu bikin silau, dan dikit banget yang berani keluar dari sinarnya. Tepuk tangan itu candu. Kalau nggak kelihatan, rasanya kayak nggak ada.

Tapi mungkin yang paling menyedihkan bukan aktingnya, tapi kenyataan bahwa kita semua ikut andil dalam ngejaga panggung itu. Kita lebih milih ilusi. Lebih nyaman ngeliat yang cantik daripada yang jujur. Scroll terus kalo liat curhatan, tapi berhenti lama-lama kalo liat estetik.
Tiap tepuk tangan berdiri pasti ada bayangannya. Ada yang nggak hadir. Ada cerita yang disembunyiin. Ada harga yang nggak disebut. Panggungnya mungkin berkilau, tapi di belakang tirai penuh serpihan—dari yang dikorbankan demi pertunjukan sempurna.
Menyadari paradoks ini bukan berarti kita harus berhenti mengagumi, tapi belajar mengagumi dengan lebih dalam. Lihat lebih jeli. Hargai yang tersembunyi. Ingat bahwa kadang, suara paling keras itu justru menutupi penderitaan paling halus.

Baik teater pencitraan ala Goffman maupun bedah omong kosong versi Frankfurt nunjukin bahwa dunia kita makin lama makin dikuasai oleh tampilan, bukan isi. Nilai kejujuran makin tenggelam ketika semua jadi soal performa. Yang penting bukan lagi “ini bener apa nggak”, tapi “ini keliatan keren nggak?”, “bikin orang terharu nggak?”, atau “strategis buat kepentingan gue nggak?”. Dalam suasana kayak gitu, batas antara tulus dan manipulatif jadi super tipis dan bahaya.

Ini bukan berarti semua performa itu jahat, atau semua kata-kata manis pasti bohong. Tapi kita diingatkan bahwa di era penuh tepuk tangan, likes, dan persona yang dikurasi kayak konten brand, kita harus lebih waspada. Berpikir kritis itu bukan gaya-gayaan—itu kebutuhan. Ngelihat balik ke balik pencitraan, dengerin yang nggak diucapkan di balik slogan, dan peduli sama kebenaran meskipun nggak enak—itu udah jadi bentuk perlawanan intelektual zaman now.

Menolak budaya bullshit dan pencitraan itu soal berdamai lagi sama kebenaran. Soal milih isi daripada sensasi, kedalaman daripada permukaan, dan integritas daripada tepuk tangan. Di dunia yang penuh ilusi, jujur—even pelan-pelan—itu udah tindakan revolusion

Di dunia yang makin dikuasai tampilan, seni ngomong panjang lebar tanpa makna jadi semacam ciri khas zaman sekarang. Tepuk tangan setelah pidato penuh jargon, postingan yang viral karena kata-katanya keliatan bijak, atau pernyataan besar yang kedengeran megah—semuanya bisa penuh bullshit kalau lebih mikirin efek dramatis daripada kejujuran. Kayak yang Frankfurt bilang, bahaya terbesar bukan dari orang yang sengaja bohong, tapi dari budaya yang udah bodo amat sama mana yang bener, mana yang asal cuap.

Budaya pencitraan ini bikin dunia dimana kejujuran keliatan culun, dan manipulasi dianggap pintar. Tokoh publik sibuk poles imej, institusi nulis narasi biar keliatan wibawa, dan orang biasa pun tiap hari ikut tampil “on brand” di medsos. Batas antara jujur dan akting makin kabur. Lama-lama, kita nggak peduli lagi ucapan itu tulus apa nggak—asal terdengar meyakinkan. Dan kalau bullshit udah jadi standar, kebenaran bukan cuma dianggap gangguan, tapi malah dianggep nggak relevan.

Kalau kita nggak mau tenggelam dalam segala omong kosong, ya harus mulai berani balik ke yang hakiki: kebenaran. Itu artinya siap nanya hal yang nggak enak, siap nerima jawaban yang bikin nyesek, dan sadar bahwa kejujuran itu sering nggak populer—tapi penting banget. Di zaman yang penuh drama dan pencitraan, jujur itu jadi aksi revolusioner. Mungkin, kebenaran yang paling lengang jauh lebih berharga daripada tepuk tangan yang paling ramai.