Tahun 1942, Winston Churchill lagi pidato di parlemen Inggris dengan gaya heroik khas film Hollywood. Isinya penuh semangat: pantang menyerah, Inggris takkan jatuh, blablabla. Begitu pidatonya selesai, seisi ruangan langsung berdiri, tepuk tangan membahana kayak di konsernya Queen. Rekaman pidatonya disiarin ke seluruh penjuru negeri buat nambah semangat rakyat. Taapii, cuma beberapa kilometer dari gedung megah itu, di daerah miskin East London, keluarga-keluarga masih ngeruk puing-puing rumah yang hancur kena bom, nyariin jenazah anggota keluarganya yang belum ketemu. Pemerintah waktu itu nunda-nunda ngasih info soal jumlah korban sipil yang sebenarnya.Emang sih, pidato Churchill itu ikonik, tapi juga nunjukin gimana suara tepuk tangan di parlemen bisa lebih nyaring dari tangis pilu yamg teredam di jalanan. Bukan berarti doi bo'ong, tapi kenyataan nggak seindah narasi. Kadang, kalimat agung dan sanjungan publik cuma nutupin realitas getir yang nggak masuk kamera. Tepuk tangan itu bukan cerminan keseluruhan kebenaran—cuma sepotong kecil yang udah dipilih buat ditayangin ke dunia.Di panggung megah masyarakat, pujian kadang datang kayak tepuk tangan konser Coldplay—keras, silau, dan bikin semua ikut terbawa suasana. Tapi di balik tirai gemerlap itu, seringkali ada kenyataan yang lebih sunyi—yang menggigil dalam kesedihan atau bertolak belakang dari sanjungan itu sendiri. Filosofi ngajarin kita bahwa apa yang tampak, acapkali cuma permukaan; kayak dalam kisah Plato dalam elogori sebuah gua, yang kita lihat bisa jadi cuman bayangan dari kenyataan yang lebih dalam dan pahit. Dalam dunia politik, pemimpin yang dielu-elukan sebagai penyelamat bangsa, bisa aja sebenarnya lagi bawa kapalnya ke jurang, ditemani tepuk tangan dari buzzer dan media settingan. Dalam kehidupan sosial, kita kadang ngerayain pencapaian yang, kalau dikulik, ternyata dibangun di atas penderitaan kelompok yang diabaikan. Dan secara budaya, yang sering kita puja itu bisa aja cuma bayangan masa lalu yang udah kosong makna, dipoles nostalgia, bukan karena masih relevan.
Dalam The Presentation of Self in Everyday Life (1956, Doubleday Anchor Books), Erving Goffman ngajak kita ngeliat kehidupan sosial kayak panggung teater raksasa. Orang-orang—termasuk institusi kayak pemerintah, perusahaan, sekolah—itu ibarat aktor yang lagi tampil. Yang kelihatan di permukaan itu namanya “front stage”, tempat dimana mereka tampil rapi, senyum, sopan, dan serba teratur. Disinilah pencitraan dibentuk: pakai jas rapi waktu wawancara, pakai bahasa formal waktu pidato, bikin slogan-slogan manis buat publik.Tapi begitu tirai ditutup, kita masuk ke “back stage”—area belakang panggung—yang jauh dari spotlight. Di sinilah topeng dilepas, emosi asli keluar, dan kontradiksi mulai kelihatan. Goffman bilang, kalau di depan kita jaga imej dan aturan main sosial, maka di belakang kita bisa marah-marah, bingung, bahkan ngaku kalau semuanya cuma pura-pura. Misalnya, politikus yang keliatan tenang di depan kamera, bisa jadi panik dan maki-maki di rapat internal partai. Institusi yang kelihatan bersih dan profesional, bisa aja di dalamnya penuh drama, inefisiensi, atau main licik.Goffman ngebedah cara-cara halus dan licin yang orang pakai buat ngatur gimana mereka pengin dilihat oleh orang lain. Karena kehidupan sosial itu kayak panggung, maka tiap orang juga otomatis jadi aktor yang harus ngatur pencitraan. Bukan cuma soal tampil bagus, tapi juga pintar nutupin hal-hal yang bisa ngerusak tampilan.Goffman jelasin ada dua jurus utama: teknik defensif dan protektif. Yang defensif itu kayak latihan ngomong biar nggak grogi, kontrol ekspresi muka, atau siapin “properti” kayak baju formal atau dokumen biar keliatan kredibel. Yang protektif lebih licik—di sini penonton ikut main peran, misalnya pura-pura nggak lihat kalau loe salah ucap, atau sengaja nggak komentar sewaktu loe lagi jelas-jelas ngeles.Buat Goffman, manajemen kesan itu bukan cuma akting sepihak, tapi kerja sama diam-diam antara pemain dan penonton. Keduanya sepakat buat jaga ilusi. Kalau ada kesalahan—kayak ritsleting celana belum naik, atau salah ngomong nama—itu harus cepet-cepet ditambal, dibikin kagak kentara. Goffman kayak mau bilang: dunia sosial bukan dijaga ama kejujuran, tapi ama semangat kolektif buat jaga pencitraan bareng-bareng. Asal keliatan oke, semua ikut main, pura-pura percaya.Pesan utama Goffman jelas banget: banyak interaksi sosial itu bukan soal kejujuran, tapi soal ngatur penampilan. Yang kita anggap asli, bisa jadi cuma akting rapi biar tetap kelihatan sah, biar ego aman, atau biar publik tetap percaya. Realita? Kadang disimpan di balik panggung, jauh dari sorotan.Dalam esai pendek tapi tajam berjudul On Bullshit (2005, Princeton University Press), filsuf Harry G. Frankfurt ngebedah fenomena omongan yang terdengar meyakinkan—kadang keliatan bijak banget—padahal sebenernya kosong melompong dari niat nyampein kebenaran. Frankfurt bikin pembeda yang penting banget antara pembohong dan bullshitter. Pembohong itu masih “menghormati” kebenaran, karena doi tahu apa yang benar dan sengaja nutupin. Tapi bullshitter jauh lebih bahaya—Lantaran doski kagak peduli itu bener apa nggak. Yang penting: omongannya terdengar keren, bikin orang percaya, atau bisa dipake buat nyari simpati.Menurut Frankfurt, bullshit muncul ketika orang ngomong tanpa peduli sama kenyataan. Bukan karena mereka mau nipu secara klasik, tapi karena mereka emang kagak mikirin kebenaran sama sekali. Tujuannya bukan buat nyasarin orang dari fakta, tapi buat nyusun cerita sesuai kepentingan—mau itu ngibul, ngeles, atau sekadar pencitraan. Inilah yang bikin bullshit licin banget: susah dikoreksi, tahan banting, dan tumbuh subur di dunia yang lebih mementingkan tampilan daripada substansi.Frankfurt bilang, dalam masyarakat yang udah kebanyakan performa—dimana orang lebih dihargai karena kedengaran benar daripada memang benar—bullshit jadi mata uang utama dalam komunikasi. Dalam politik, branding perusahaan, bahkan postingan medsos, orang lebih mikirin gimana caranya keliatan yakin, pede, dan cerdas—daripada jujur. Bahayanya, kata Frankfurt, kalau bullshit dibiarin menang, konsep kebenaran itu sendiri bisa hancur. Begitu kebenaran udah dianggap gak penting, percakapan jadi drama, dan tanggungjawab pun lenyap.