Sabtu, 19 Juli 2025

Tom Lembong dan Politik Lawfare

Belakangan ini, di Indonesia, di mata banyak pengamat dan masyarakat sipil, vonis terhadap Tom Lembong enggak lagi sekadar perkara hukum—tapi udah bau banget nuansa politisnya. Sejak awal, kedekatan Tom dengan Anies "Abah" Baswedan—apalagi sebagai penasihat ekonomi utama saat pilpres—menjadikannya target empuk bagi mereka yang risih ama gagasan perubahan. Yang bikin makin bikin geleng-geleng kepala, hakim sendiri ngaku kalau Tom nggak ngantongin duit sepeser pun dari urusan impor gula, tapi tetep dijeblosin ke penjara 4,5 tahun. Lah, ini gimana logikanya?
Keanehan makin mencolok saat melihat argumen jaksa yang ngotot ada “kerugian negara,” padahal cuma berdasarkan hitung-hitungan yang serba asumsi. Nggak ada bukti Tom ngambil untung buat diri sendiri, nggak ada sogokan, nggak ada aliran dana mencurigakan. Kok bisa keputusan kebijakan publik—yang dibuat lewat jalur resmi dan bisa diperdebatkan secara akademis—dianggap tindak pidana? Dan yang lebih absurd lagi, hakim bilang Tom itu "lebih condong ke kapitalisme ketimbang ekonomi Pancasila." Ini sidang pengadilan atau ujian ideologi negara?
Laju kasus ini juga luar biasa kilat. Bandingin aja dengan kasus-kasus korupsi besar lain yang prosesnya kayak keong, atau malah tenggelam tanpa kabar. Tiba-tiba muncul semangat 45 buat ngebui seorang teknokrat yang dikenal kredibel dan pernah kerja di banyak pemerintahan. Kesannya: ini bukan soal hukum, tapi soal nunjukin kekuasaan. Kalau loe deket-deket ama oposisi, apalagi sama "Abah", siap-siap kena getahnya.
Makanya, banyak yang ngeliat kasus Tom Lembong ini bukan sekadar pengadilan hukum, tapi pertunjukan politik murahan. Ini sinyal keras: di negeri ini, yang penting bukan benar atau salah, tapi loe loyal ke siapa.

Kasus Tom Lembong tuh sebenernya bukan dimulai pas Presiden Prabowo naik menjabat—drama ini udah dimulai dari era sebelumnya. Semua proses awal, mulai dari penyelidikan, pasal-pasal yang ditodongin, sampe manuver-manuver hukum awal itu terjadi pas rezim lama masih duduk manis di singgasana. 
Yang bikin makin nyebelin, semua ini digodok di bawah pemerintahan yang sering banget jualan narasi "NKRI harga mati". Tapi ternyata, di balik layar, mereka justru nyusun strategi buat ngegas orang-orang yang dianggap "nggak nurut." Jadi pas Prabowo masuk, mesinnya udah nyala duluan. Tinggal dilanjut atau disetop—itu nanti kita lihat. Tapi jelas, sumber badai ini bukan datang dari langit pasca Prabowo, tapi dari badai yang udah lama dipelihara sama penguasa sebelumnya.
Ini bukan sekadar warisan hukum—ini warisan politik. Fakta bahwa kasus setajam ini bisa jalan terus di rezim lama nunjukkin satu hal: keroposnya demokrasi kita udah dimulai sebelum Presiden Prabowo naik jabatan. Sekarang kita cuma ngelihat klimaksnya doang.

Durasi hukuman Tom Lembong—tepatnya 4,5 tahun—bukan cuma bikin orang mikir, tapi bikin kecurigaan makin ngebul. Kalau dihitung-hitung, vonis itu akan bikin Tom absen dari panggung politik sampai akhir 2029—pas banget buat nge-cut peluangnya buat bantuin Anies di Pilpres berikutnya. Wah, ini sih udah bukan sekadar vonis, tapi semacam langkah strategis ala bidak catur yang disingkirkan sebelum giliran main.
Tom itu bukan orang sembarangan. Ia teknokrat kelas wahid, punya nama baik di dunia internasional, dan jadi salah satu arsitek ekonomi progresif yang selalu jadi kekuatan utama di balik narasi perubahan. Dengan disingkirkannya Tom Lembong sekarang, bukan cuma satu orang yang dipenjara—tapi gerakan yang direpresentasikannya juga ikut dibungkam. Anies jadi kehilangan “otak kanan”-nya, dan strategi besar buat 2029 jadi pincang sebelum bisa diluncurkan.
Yang lebih ngenes lagi, nama Tom masih bersih di mata publik, pelaku bisnis, bahkan diplomat asing. Sementara itu, banyak tokoh yang jelas-jelas korup malah santai jalan-jalan. Rasanya kayak lagi nonton film distopia, tapi ini kenyataan. Hukuman 4,5 tahun itu bukan angka sembarangan—semacam countdown yang disesuaikan buat memastikan: jangan sampai oposisi sempat bangkit. Skak mat sebelum sempat melawan.

Di berbagai belahan dunia, ada juga lho kasus-kasus yang mirip banget ama yang dialami Tom Lembong—dimana pejabat reformis atau orang-orang yang dianggap "berbahaya" buat kekuasaan malah dijerat hukum secara ngadi-ngadi. Salah satu yang paling mencolok adalah kasus Alexei Navalny di Rusia. Walaupun doski lebih dikenal sebagai aktivis oposisi ketimbang teknokrat, tapi polanya mirip: begitu dianggap ngerecokin stabilitas rezim, langsung dituduh macem-macem—mulai dari penipuan sampai ekstremisme. Padahal, banyak yang bilang tuduhannya itu setipis tisu basah, dan tujuannya cuma satu: masukin doi ke penjara biar nggak bisa nyapres lawan Putin.
Contoh lain datang dari Brasil: Lula da Silva, mantan (dan kini presiden lagi), dulu sempat dijebloskan ke penjara gara-gara kasus korupsi. Waktu itu sempet dianggep sebagai tonggak besar anti-korupsi. Tapi belakangan terungkap kalau jaksa dan hakim main belakang, ngobrol diam-diam buat nyusun strategi ngejebak Lula. Bocoran chat-nya bikin geger, dan akhirnya Mahkamah Agung Brasil membatalkan vonisnya. Banyak yang bilang, itu semua cuma skenario buat ngehalangin doi maju pilpres 2018. Kedengeran familiar nggak?
Di Turki juga nggak kalah serem. Setelah kudeta gagal tahun 2016, ribuan akademisi, hakim, dan pejabat negara ditangkepin atas nama keamanan nasional. Tapi kenyataannya, banyak dari mereka cuma korban karena dianggap nggak loyal ke Presiden Erdoğan. Pokoknya, kalo loe bukan bagian dari geng kekuasaan, bisa-bisa loe kena gebuk pakai pasal-pasal aneh.
Polanya selalu sama: hukum dijadikan alat gebuk politik, bukan buat nyari keadilan. Musuh nggak dikalahin lewat debat atau pemilu, tapi dikurung di balik jeruji besi lewat drama pengadilan. Jadi ya, kasus Tom bukan hal baru—ini udah kayak naskah lama yang diputar ulang di panggung politik Indonesia.

Mempersenjatai hukum demi tujuan politik—juga dikenal sebagai "lawfare", yang merupakan penindasan politik melalui cara peradilan, atau penuntutan strategis untuk melenyapkan oposisi. Dalam bukunya “Lawfare: Law as a Weapon of War” (2016, Oxford University Press), Orde F. Kittrie ngejelasin bahwa lawfare itu intinya kayak “perang” pakai hukum. Bukan lagi ngadu tank sama roket, tapi ngadu pasal, pengadilan, dan aturan internasional. Hukum dijadiin senjata buat nyerang lawan, biar tangannya terikat, biar kehilangan legitimasi, bahkan biar jatuh reputasinya—semuanya tanpa perlu nembak peluru satu pun.
Kittrie ngasih contoh dari dua sisi. Kadang lawfare itu bisa keren—misalnya negara kecil pakai jalur hukum buat ngelawan negara besar yang agresif, biar hukum jadi tameng. Tapi di sisi lain, bisa juga disalahgunain ama rezim otoriter buat ngejebak musuh politiknya, ngurung oposisi, dan dapet panggung seolah-olah itu semua demi "keadilan." Parahnya, hukum yang tadinya kita anggep sakral malah disulap jadi alat buat nyiksa diam-diam.
Kittrie ngingetin para pembuat kebijakan dan akademisi: jangan anggap remeh lawfare. Ini bukan cuma istilah puitis, tapi strategi nyata yang bisa ngubah peta kekuasaan dunia. Bahayanya, kalau hukum udah nggak netral lagi, tapi dijadiin senjata, maka yang kalah bukan cuma satu pihak—yang kalah itu keadilan itu sendiri. Mau pengadilan atau medan perang, yang penting tetap bisa menang—begitulah gaya lawfare.

Kittrie ngebuka borok yang bikin ngeri: hukum yang seharusnya jadi tameng keadilan malah bisa dipelintir jadi cambuk buat nyiksa yang tak sejalan politik. Katanya, kalau hukum udah dipegang penguasa yang lihai dan niatnya kagak beres, maka sistem hukum bisa disulap jadi mesin penghancur yang rapi dan ber-legalitas. Gak pakai tangan besi, tapi pakai toga dan palu hakim.
Hukum yang tadinya simbol perlindungan malah jadi alat buat ngejebak oposisi. Prosesnya kelihatan legal: ada pengadilan, ada dakwaan, ada vonis. Tapi semuanya kayak pertunjukan teater—skenarionya udah diatur buat bikin musuh politik tersingkir secara "sah." Bisa lewat pasal karet, bisa lewat interpretasi ngawur, atau bisa juga lewat penggiringan opini. Semua dibuat seolah-olah taat prosedur, padahal ujungnya: hancurkan orang yang “tidak diinginkan.”
Kittrie bikin kita mikir ulang: hukum itu bukan soal teks undang-undang, tapi siapa yang pegang kendalinya. Kalau yang pegang licik dan rakus kekuasaan, maka hukum pun bisa berubah jadi alat kejam, dingin, dan sangat mematikan. Jadi, jangan heran kalau ada yang bilang: kadang hukum gak lagi bicara soal benar atau salah, tapi soal siapa yang berkuasa dan siapa yang disingkirkan.

Dalam“Judging Statutes: Using and Abusing the Power of the Law” (2019, Liberty Fund), James R. Stoner nyindir tajam: kalau pengadilan udah enggak independen lagi, mereka bukan lagi wasit netral, tapi jadi alat kekuasaan entah itu legislatif atau eksekutif. Ketika hakim-hakim mulai nurut pada titipan atau tekanan politik, hukum gak lagi berdiri di atas keadilan, tapi jadi pelayan kekuasaan. Yang seharusnya jadi pengontrol justru berubah jadi pendukung tirani.
Stoner bilang, ini bahaya banget. Begitu pengadilan jadi politis, kepercayaan publik langsung rontok. Hukum jadi kayak lotre—kadang ditegakkan keras, kadang dibiarkan longgar—bukan karena adil, tapi karena ada yang dipesan. Kalau udah begini, warga bukan cuma kecewa, tapi takut. Mereka gak tahu lagi apakah hukum bisa melindungi mereka atau malah menjatuhkan mereka kapan aja.
Stoner ngajak kita buat balik ke akarnya: pengadilan harus pegang teguh konstitusi dan rendah hati dalam menafsirkan undang-undang. Hakim bukan pelayan partai, tapi penjaga keadilan. Soalnya, cuma dengan pengadilan yang betul-betul independen, negara bisa menyeimbangkan antara kebebasan dan ketertiban tanpa nyungsep ke jurang otoritarianisme. Jadi kalau kita pengen republik yang sehat, jangan biarkan palu hakim jadi alat gebuk politik.

Dalam “The Lula Case: Political Imprisonment in Brazil” (2020, Biteback Publishing), Geoffrey Robertson QC bilang bahwa orang-orang seperti Tom Lembong—teknokrat dan reformis—sering jadi sasaran bukan karena mereka salah berat, tapi karena mereka bikin elite lama gak bisa tidur nyenyak. Bukan soal mereka maling atau kagak, tapi soal mereka berpotensi bikin perubahan dan merusak kenyamanan status quo. Kaya Lula di Brasil, Tom Lembong bisa dilihat sebagai ancaman serius karena doi dipercaya publik, punya visi reformis, dan gak main mata dengan kekuasaan lama.
Robertson ngejelasin bahwa begitu lembaga hukum dicengkeram kekuasaan politik, garis antara keadilan dan penganiayaan jadi kabur banget. Jaksa bisa nyusun dakwaan dari bukti yang rapuh, hakim bisa pura-pura netral padahal udah ada pesanan, dan ruang sidang jadi panggung sandiwara buat menggiring opini publik. Dalam suasana kayak gini, reformis bukan cuma dianggap musuh politik, tapi musuh simbolik. Tujuannya jelas: bikin efek jera. Siapa pun yang mau beresin sistem, siap-siap digilas sistem itu sendiri.
Menurut Robertson, sidang hukum dalam konteks ini udah kayak reality show politik. Bukan lagi cari kebenaran, tapi cari kendali narasi. Dan yang mau bersih-bersih justru paling duluan dilenyapkan. Makanya, jadi reformis di tengah rawa kekuasaan yang keruh itu bisa jadi tiket ke jeruji—bukan karena salah, tapi karena terlalu benar.

Vonis atas Tom Lembong ini kayak bom asap yang ngegulung pelan-pelan tapi pasti bikin suasana politik Indonesia makin pengap. Buat banyak orang yang masih waras dan mikirin reformasi, kasus ini ngasih pesan keras: “Mau sebersih apapun loe, kalau deket sama kubu yang keliru, siap-siap digas.” Ini bukan cuma bikin politisi oposisi ciut, tapi juga bikin kalangan birokrat, akademisi, dan pengusaha mikir dua kali sebelum ngedukung perubahan. Ancaman halusnya jelas—kalau loe nggak ikut barisan, loe bakal diseret, bukan lewat debat, tapi lewat meja hijau dan bui.
Efeknya, panggung politik kita bisa makin sempit dan sumpek. Kalo orang model Tom—yang pinter, berintegritas, dan gak punya dosa keuangan—aja bisa disingkirin, sisa-sisanya cuma penjilat dan politisi palsu yang kerjaannya asal “siap, Pak!” terus. Meritokrasi jadi barang langka, dan banyak orang pintar bakal mundur, mikir, “Ngapain gue capek-capek masuk pemerintahan kalo ujungnya bisa dikriminalisasi?” Lama-lama, sistemnya rusak sendiri—bukan karena oposisi kuat, tapi karena isinya orang-orang yang cuma jago cari muka.
Buat "Abah" Anies dan timnya, hukuman ini jelas jadi tamparan keras. Bukan cuma kehilangan otak strategi, tapi juga kena hantaman psikologis. Mereka dipaksa ngeh, jalan ke 2029 gak bakal mulus—isinya ranjau hukum semua. Tapi di sisi lain, ini juga jadi momen krusial: mundur dan main aman, atau lawan balik dengan kepala tegak? Apapun pilihannya, kasus Tom bisa jadi titik balik sejarah—momen dimana integritas teknokratik bukan lagi nilai tambah, tapi justru dianggap dosa politik.

Kasus Tom Lembong ini kayak gema dari pola global yang makin bikin waswas—hukum yang tadinya jadi tameng rakyat dari tirani, malah dipelintir buat ngebungkam para reformis dan teknokrat yang dianggap "gangguin pemandangan politik". Di tempat-tempat dimana independensi hukum udah mulai rapuh, penegakan hukum seringnya bukan lagi soal keadilan, tapi soal menyingkirkan suara beda. Ketika tokoh pembaharu kayak Tom Lembong malah dijadiin korban drama hukum berkepanjangan, publik cuma bisa bertanya: sistem hukum ini buat rakyat atau buat ngamanin kekuasaan?
Kalau hukum udah dipakai jadi senjata politik alias "lawfare", yang hancur bukan cuma nasib satu orang—tapi kepercayaan rakyat ke lembaga negara. Kita udah lihat ini di kasus Lula da Silva di Brasil dan banyak lagi di negara lain. Ketika hukum disulap jadi alat balas dendam politik, yang runtuh itu fondasi demokrasi itu sendiri. Dan hukuman 4,5 tahun buat Tom Lembong bisa jadi bukan cuma luka pribadi, tapi juga bayang-bayang kelam buat masa depan politik Indonesia.
Akhirnya, kasus ini bukan cuma cerita tragis tapi juga sirene peringatan. Buat warga negara yang masih percaya sama keadilan, transparansi, dan semangat reformasi, penjara buat seorang teknokrat yang kesalahannya terasa dipaksakan harusnya enggak disambut diam-diam. Kita butuh kewaspadaan, rasa saling dukung, dan yang paling penting: keberanian buat menuntut tanggungjawab dari lembaga negara. Bukan cuma atas apa yang mereka lakukan—tapi juga atas apa yang mereka biarkan terjadi dalam diam.