Kittrie ngebuka borok yang bikin ngeri: hukum yang seharusnya jadi tameng keadilan malah bisa dipelintir jadi cambuk buat nyiksa yang tak sejalan politik. Katanya, kalau hukum udah dipegang penguasa yang lihai dan niatnya kagak beres, maka sistem hukum bisa disulap jadi mesin penghancur yang rapi dan ber-legalitas. Gak pakai tangan besi, tapi pakai toga dan palu hakim.
Hukum yang tadinya simbol perlindungan malah jadi alat buat ngejebak oposisi. Prosesnya kelihatan legal: ada pengadilan, ada dakwaan, ada vonis. Tapi semuanya kayak pertunjukan teater—skenarionya udah diatur buat bikin musuh politik tersingkir secara "sah." Bisa lewat pasal karet, bisa lewat interpretasi ngawur, atau bisa juga lewat penggiringan opini. Semua dibuat seolah-olah taat prosedur, padahal ujungnya: hancurkan orang yang “tidak diinginkan.”
Kittrie bikin kita mikir ulang: hukum itu bukan soal teks undang-undang, tapi siapa yang pegang kendalinya. Kalau yang pegang licik dan rakus kekuasaan, maka hukum pun bisa berubah jadi alat kejam, dingin, dan sangat mematikan. Jadi, jangan heran kalau ada yang bilang: kadang hukum gak lagi bicara soal benar atau salah, tapi soal siapa yang berkuasa dan siapa yang disingkirkan.
Dalam“Judging Statutes: Using and Abusing the Power of the Law” (2019, Liberty Fund), James R. Stoner nyindir tajam: kalau pengadilan udah enggak independen lagi, mereka bukan lagi wasit netral, tapi jadi alat kekuasaan entah itu legislatif atau eksekutif. Ketika hakim-hakim mulai nurut pada titipan atau tekanan politik, hukum gak lagi berdiri di atas keadilan, tapi jadi pelayan kekuasaan. Yang seharusnya jadi pengontrol justru berubah jadi pendukung tirani.
Stoner bilang, ini bahaya banget. Begitu pengadilan jadi politis, kepercayaan publik langsung rontok. Hukum jadi kayak lotre—kadang ditegakkan keras, kadang dibiarkan longgar—bukan karena adil, tapi karena ada yang dipesan. Kalau udah begini, warga bukan cuma kecewa, tapi takut. Mereka gak tahu lagi apakah hukum bisa melindungi mereka atau malah menjatuhkan mereka kapan aja.
Stoner ngajak kita buat balik ke akarnya: pengadilan harus pegang teguh konstitusi dan rendah hati dalam menafsirkan undang-undang. Hakim bukan pelayan partai, tapi penjaga keadilan. Soalnya, cuma dengan pengadilan yang betul-betul independen, negara bisa menyeimbangkan antara kebebasan dan ketertiban tanpa nyungsep ke jurang otoritarianisme. Jadi kalau kita pengen republik yang sehat, jangan biarkan palu hakim jadi alat gebuk politik.
Dalam “The Lula Case: Political Imprisonment in Brazil” (2020, Biteback Publishing), Geoffrey Robertson QC bilang bahwa orang-orang seperti Tom Lembong—teknokrat dan reformis—sering jadi sasaran bukan karena mereka salah berat, tapi karena mereka bikin elite lama gak bisa tidur nyenyak. Bukan soal mereka maling atau kagak, tapi soal mereka berpotensi bikin perubahan dan merusak kenyamanan status quo. Kaya Lula di Brasil, Tom Lembong bisa dilihat sebagai ancaman serius karena doi dipercaya publik, punya visi reformis, dan gak main mata dengan kekuasaan lama.
Robertson ngejelasin bahwa begitu lembaga hukum dicengkeram kekuasaan politik, garis antara keadilan dan penganiayaan jadi kabur banget. Jaksa bisa nyusun dakwaan dari bukti yang rapuh, hakim bisa pura-pura netral padahal udah ada pesanan, dan ruang sidang jadi panggung sandiwara buat menggiring opini publik. Dalam suasana kayak gini, reformis bukan cuma dianggap musuh politik, tapi musuh simbolik. Tujuannya jelas: bikin efek jera. Siapa pun yang mau beresin sistem, siap-siap digilas sistem itu sendiri.
Menurut Robertson, sidang hukum dalam konteks ini udah kayak reality show politik. Bukan lagi cari kebenaran, tapi cari kendali narasi. Dan yang mau bersih-bersih justru paling duluan dilenyapkan. Makanya, jadi reformis di tengah rawa kekuasaan yang keruh itu bisa jadi tiket ke jeruji—bukan karena salah, tapi karena terlalu benar.
Vonis atas Tom Lembong ini kayak bom asap yang ngegulung pelan-pelan tapi pasti bikin suasana politik Indonesia makin pengap. Buat banyak orang yang masih waras dan mikirin reformasi, kasus ini ngasih pesan keras: “Mau sebersih apapun loe, kalau deket sama kubu yang keliru, siap-siap digas.” Ini bukan cuma bikin politisi oposisi ciut, tapi juga bikin kalangan birokrat, akademisi, dan pengusaha mikir dua kali sebelum ngedukung perubahan. Ancaman halusnya jelas—kalau loe nggak ikut barisan, loe bakal diseret, bukan lewat debat, tapi lewat meja hijau dan bui.
Efeknya, panggung politik kita bisa makin sempit dan sumpek. Kalo orang model Tom—yang pinter, berintegritas, dan gak punya dosa keuangan—aja bisa disingkirin, sisa-sisanya cuma penjilat dan politisi palsu yang kerjaannya asal “siap, Pak!” terus. Meritokrasi jadi barang langka, dan banyak orang pintar bakal mundur, mikir, “Ngapain gue capek-capek masuk pemerintahan kalo ujungnya bisa dikriminalisasi?” Lama-lama, sistemnya rusak sendiri—bukan karena oposisi kuat, tapi karena isinya orang-orang yang cuma jago cari muka.
Buat "Abah" Anies dan timnya, hukuman ini jelas jadi tamparan keras. Bukan cuma kehilangan otak strategi, tapi juga kena hantaman psikologis. Mereka dipaksa ngeh, jalan ke 2029 gak bakal mulus—isinya ranjau hukum semua. Tapi di sisi lain, ini juga jadi momen krusial: mundur dan main aman, atau lawan balik dengan kepala tegak? Apapun pilihannya, kasus Tom bisa jadi titik balik sejarah—momen dimana integritas teknokratik bukan lagi nilai tambah, tapi justru dianggap dosa politik.
Kasus Tom Lembong ini kayak gema dari pola global yang makin bikin waswas—hukum yang tadinya jadi tameng rakyat dari tirani, malah dipelintir buat ngebungkam para reformis dan teknokrat yang dianggap "gangguin pemandangan politik". Di tempat-tempat dimana independensi hukum udah mulai rapuh, penegakan hukum seringnya bukan lagi soal keadilan, tapi soal menyingkirkan suara beda. Ketika tokoh pembaharu kayak Tom Lembong malah dijadiin korban drama hukum berkepanjangan, publik cuma bisa bertanya: sistem hukum ini buat rakyat atau buat ngamanin kekuasaan?
Kalau hukum udah dipakai jadi senjata politik alias "lawfare", yang hancur bukan cuma nasib satu orang—tapi kepercayaan rakyat ke lembaga negara. Kita udah lihat ini di kasus Lula da Silva di Brasil dan banyak lagi di negara lain. Ketika hukum disulap jadi alat balas dendam politik, yang runtuh itu fondasi demokrasi itu sendiri. Dan hukuman 4,5 tahun buat Tom Lembong bisa jadi bukan cuma luka pribadi, tapi juga bayang-bayang kelam buat masa depan politik Indonesia.
Akhirnya, kasus ini bukan cuma cerita tragis tapi juga sirene peringatan. Buat warga negara yang masih percaya sama keadilan, transparansi, dan semangat reformasi, penjara buat seorang teknokrat yang kesalahannya terasa dipaksakan harusnya enggak disambut diam-diam. Kita butuh kewaspadaan, rasa saling dukung, dan yang paling penting: keberanian buat menuntut tanggungjawab dari lembaga negara. Bukan cuma atas apa yang mereka lakukan—tapi juga atas apa yang mereka biarkan terjadi dalam diam.