[Bagian 2]Di seluruh pelosok Nusantara, suara Tot Tot Wuk Wuk udah kayak soundtrack penderitaan rakyat. Bunyinya nyaring, strobonya nyala kayak lampu disko, dan mobil pejabat melaju kayak lagi syuting Fast & Furious versi birokrasi. Dulu katanya cuma buat keadaan darurat, sekarang malah jadi parade harian klan para privilege.Warga, mulai dari Sabang, Jakarta, Jayapura sampai Merauke, udah capek. Sirene itu bukan cuma berisik, tapi juga bikin emosi naik kayak harga cabe. Banyak yang bilang, “Ini bukan suara negara, ini suara stres!” Tapi yang bikin makin nyesek bukan cuma bunyinya—melainkan kesan di baliknya. Fasilitas negara dipakai buat kenyamanan pribadi, bukan buat kepentingan publik. Jalan raya berubah jadi panggung pamer kekuasaan.Yang lucu, katanya rakyat itu bosnya. Demokrasi, katanya, rakyat yang punya kuasa. Tapi kok di jalan, rakyat disuruh minggir, disuruh sabar, disuruh ngalah. Pejabat lewat kayak raja, rakyat kayak figuran. Ironi banget, kaan?Akhirnya, rakyat pun melawan dengan cara kreatif. Meme-meme lucu, video parodi, dan slogan viral kayak “Stop Tot Tot Wuk Wuk” bertebaran di medsos. Kritik berubah jadi karya. Video satiris jadi senjata. Demokrasi nggak cuma soal suara di TPS, tapi juga soal suara di jalanan.Coba bayangin sejenak, jalanan Mesopotamia ribuan tahun lalu: rame sama pedagang, keledai, dan ayam yang lepas dari kandangnya. Seorang penjaga yang pakai baju kulit lusuh melambaikan lempeng tanah liat sambil teriak ke pedagang yang bengong, “Hei, jangan jual ikan sebelum matahari naik!” Si pedagang ngedumel, ayam kabur, dan sang penjaga cuma bisa ngeluh dalam hati, “Dari dulu kerjaan penegak hukum itu memang nggak pernah rapi.”
Kedengarannya kayak adegan lawakan sejarah, tapi menurut Alan Wright (2002) dalam bukunya Policing: An Introduction to Concepts and Practice, itu bisa banget terjadi. Wright bilang, bahkan di zaman Mesopotamia dan Mesir Kuno, udah ada bentuk-bentuk awal kepolisian—kayak penjaga kuil, pengawas pasar, dan ronda malam yang tugasnya jaga ketertiban, meskipun kadang caranya rada ngawur.Menurut Wright, polisi modern lahir karena sistem lama kayak ronda malam, jagal, atau petugas lokal ga cukup lagi buat ngejaga ketenangan di kota-kota yang makin padat, makin kompleks, saat Revolusi Industri dan urbanisasi bikin masalah sosial makin banyak. Era 1800-an di Inggris itu momen dimana negara mulai mikir: “Kita butuh satu badan resmi yang tugasnya bukan cuma nangkep orang jahat, tapi juga mencegah kejahatan, meredam kerusuhan, dan bantu masyarakat.”Dan pekerjaan polisi itu jauh dari cuma “ngejar penjahat”. Polisi modern punya tugas kaya ngejagain ketertiban umum, mencegah kejahatan sebelum terjadi, bantu warga kalau ada masalah, merespons darurat, serta menjadi jembatan antara warga dengan negara. Kadang mereka kudu pakai kekerasan secara sah (arrest, pakai kekuatan jika perlu), tapi banyak juga tugas yang lebih ke melayani: membantu, mencegah, memberikan keamanan agar orang bisa hidup tenang.Wright ngebahas gimana polisi tuh berperan penting dalam menjaga ketertiban sosial. Doski bilang, polisi modern muncul karena negara butuh cara resmi buat ngatur keributan di masyarakat yang makin kompleks. Dulu, orang cuma ngandelin ronda atau petugas lokal, tapi sekarang negara bikin polisi yang tugasnya nggak cuma nangkep penjahat, tapi juga mencegah kerusuhan dan ngatur ketertiban.Wright juga ngomongin gimana masyarakat ngarep polisi bisa nangani kerusuhan, demo, atau keributan lain dengan cara yang tetep menghormati hak-hak warga. Polisi nggak cuma harus tegas, tapi juga adil dan transparan. Kalau masyarakat ngerasa polisi sah dan adil, mereka bakal lebih mau kerjasama. Tapi, kalau nggak, bisa-bisa malah timbul ketidakpercayaan dan masalah baru.Wright juga ngulik hubungan polisi sama kelompok sosial, terutama kelas pekerja dan komunitas yang terpinggirkan. Kalau kelompok-kelompok ini ngerasa diperlakukan nggak adil atau nggak didengerin, bisa-bisa timbul konflik dan kepercayaan yang hilang. Makanya, penting banget buat polisi ngerti dan nyambung sama semua lapisan masyarakat biar tugas mereka efektif dan diterima.Wright ngebahas kritik dari para ahli kriminologi soal kerjaan polisi. Ia bilang, meskipun polisi penting buat jagain ketertiban, kritik ini nunjukin kalau polisi kadang malah ngejaga kekuasaan yang udah ada daripada adil buat semua orang. Misalnya, kelompok pekerja atau komunitas terpinggirkan bisa sering kena sorotan lebih keras, dan polisi yang cuma fokus sama hukum aja bisa gak ngerti konteks sosial atau ekonomi yang bikin orang bertindak kriminal. Wright bilang, kritik ini ngajarin kita supaya polisi lebih peka sama konteks, ngerti dinamika sosial, kondisi ekonomi, dan bisa bangun hubungan yang oke sama masyarakat. Intinya, kritik kriminologis ini nyuruh polisi buat ngeimbangin antara kekuasaan sama keadilan, legitimasi, dan pemahaman sosial.
Wright ngajak kita mikir ulang soal arti 'polisi'. Ia bilang, 'polisi' itu bukan cuma tugas polisi negara, tapi juga melibatkan banyak pihak lain yang ikut menjaga ketertiban. Wright ngenalin empat cara utama polisi bekerja: menjaga kedamaian, menyelidiki kejahatan, mengelola risiko, dan keadilan komunitas. Masing-masing punya cara dan tujuan sendiri-sendiri. Intinya, Wright ngajarin kita buat liat polisi itu lebih luas, nggak cuma dari sisi hukum, tapi juga dari berbagai peran dan pihak yang terlibat.
Menurut Alan Wright, tugas polisi itu kayak jalan di atas tali—harus bisa ngejaga keseimbangan antara kebebasan warga dan ketertiban sosial. Di satu sisi, masyarakat pengen polisi ngasih ruang buat orang bebas ngomong, protes, dan bergerak; tapi di sisi lain, mereka juga pengen semuanya tetep aman, kagak rusuh, enggak chaos. Nah, dilema abadi muncul di situ: kalau polisi terlalu ketat, jadinya kayak negara otoriter; tapi kalau terlalu longgar, bisa-bisa masyarakat kacau. Wright bilang, kunci utamanya ada di legitimasi—polisi kudu keliatan adil, wajar, dan bertindak sesuai izin moral dari masyarakat.Tapi, kalau suatu wilayah ngerasa ketertibannya lagi terancam—misalnya ada demo besar, teror, atau kerusuhan—biasanya aparat jadi lebih militeristik. Mulai pakai tameng anti-huru-hara, unit taktis, sampai teknologi pengawasan kayak di film dystopia. Wright ngingetin, gaya kayak gini bisa bikin publik makin waspada bahkan nggak percaya kalau dipakai berlebihan atau tanpa transparansi. Intinya, strategi kepolisian itu cerminan nilai politik dan budaya di masyarakatnya: kalau masyarakatnya menjunjung legitimasi dan akuntabilitas, kekuatan polisi bisa dikontrol; tapi kalau yang dominan rasa takut dan instabilitas, polisi bisa berubah jadi alat represi.Wright ngulik banget soal gimana polisi ngejaga “order maintenance” alias ketertiban sosial tanpa ngerampas kebebasan individu. Buatnya, tugas polisi tuh bukan cuma soal nangkep pelanggar hukum, tapi juga soal ngatur dinamika masyarakat biar kagak meledak. Wright bilang, kunci dari peacekeeping sejati ada di “nahan diri”—ngerti batasan sejauh mana paksaan boleh dipakai. Begitu polisi kelewat batas, kepercayaan publik bisa langsung rontok, dan legitimasi mereka pun ikut ambruk. Jadi, penggunaan kekuatan harus proporsional, bisa dipertanggungjawabkan, dan enggak nyenggol etika.Wright lebih jauh nyorot kalau norma dan strategi peacekeeping beda-beda tergantung budaya politiknya. Di negara demokrasi liberal, polisi lebih fokus ke pendekatan “ngobrol dulu deh”—nyari konsensus dan jaga kepercayaan masyarakat. Tapi di negara yang otoriternya kental, gaya yang dipakai lebih ke kontrol, pengawasan, bahkan ancaman kekerasan yang terang-terangan. Buat Wright, ini semua mencerminkan nilai politik dan budaya tiap bangsa: yang cinta pluralisme bakal dorong polisi jadi penjaga kedamaian, sementara yang parno sama instabilitas malah bikin polisi kayak pasukan tempur. Intinya, gaya peacekeeping itu cerminan karakter bangsa—gimana mereka nyari titik tengah antara kebebasan dan ketakutan, antara kuasa dan keadilan.Wright kemudian ngajak kita geser fokus dari “pelisi sebagai penjaga ketertiban” ke “nyelidikin kejahatan”—gimana polisi nyidik, nge-detect, dan merespons aksi kriminal. Wright bilang, di Inggris udah terjadi pergeseran cara kerja penyelidikan polisi: ada yang cuma reaktif (nunggu kejahatan terjadi baru bertindak), ada juga yang proaktif (usaha mencegah sebelum kejadian). Pendekatannya beda-beda juga tergantung jenis kejahatannya—kalau kejahatan rutin yang banyak jumlahnya, polisi pakai cara, waktu, dan sumber daya yang berbeda dibanding waktu mereka hadapi kejahatan serius atau kriminal terorganisir.Wright juga bantah mitos bahwa polisi cuma “penangkap penjahat”. Cerita macam itu sering dibesar-besarkan, katanya, sampai lupa bahwa ada sisi pencegahan, hak asasi, dan kerusakan tak kasat mata yang juga harus diperhatikan. Polisi tuh bukan cuma “aksi” di lapangan, tapi juga jadi gerbang masuk ke sistem peradilan kriminal—mereka yang tentuin kasus mana yang dilanjutkan, mana yang prioritas; mereka yang rancang metode penyelidikan; dan semua itu dipengaruhi oleh budaya institusi, hukum, harapan publik, dan keterbatasan sumber. Meskipun udah ada usaha supaya penyelidikan makin ‘profesional’ atau ilmiah, Wright bilang banyak praktik lama masih terus berjalan karena budaya dan ekspektasi masyarakatnya masih ke sana.Alan Wright lalu ngebahas soal manajemen risiko dalam kepolisian. Jadi, di zaman sekarang, masyarakat tuh lebih fokus ke "apa yang bisa salah?"—mulai dari terorisme, kejahatan dunia maya, bencana alam, sampai krisis kesehatan. Nah, polisi gak cuma nunggu kejadian, tapi mulai proaktif, nyiapin langkah-langkah pencegahan. Wright bilang, penting banget polisi kerja bareng instansi lain dan masyarakat buat ngatur risiko ini.Tapi, Wright juga ngingetin, jangan sampe gara-gara fokus ke risiko, kebebasan individu jadi terabaikan. Polisi harus bisa seimbang: ngamanin masyarakat tanpa ngelanggar hak-hak dasar. Intinya, polisi di era sekarang itu nggak cuma jadi "penjaga gerbang", tapi juga harus pinter ngatur strategi di dunia yang penuh ketidakpastian, tanpa kehilangan nilai-nilai demokrasi.Wright ngobrolin pula soal keadilan komunitas dalam dunia kepolisian. Jadi, doski jelasin gimana pendekatan ini nggak cuma fokus ke penegakan hukum, tapi juga nyambungin polisi sama komunitas yang mereka layani. Wright bahas gimana strategi kepolisian berkembang, dari model tradisional yang top-down ke pendekatan yang lebih deket ama masyarakat. Perubahan ini nunjukin kalo masyarakat makin sadar pentingnya keterlibatan komunitas dalam menjaga ketertiban dan keadilan.Tapi, Wright juga nyorot tantangan dalam nerapin keadilan komunitas. Doski bilang, meskipun model ini pengen lebih inklusif dan responsif sama kebutuhan komunitas, itu butuh perubahan besar dalam budaya dan praktik kepolisian. Bab ini nunjukkin pentingnya polisi buat bangun kepercayaan dan kerja bareng sama warga, sambil ngertiin dinamika budaya yang ada di tiap komunitas. Wright bilang, keadilan komunitas itu nggak cuma soal ngatasi kejahatan, tapi juga ngerti dan nyelesain masalah sosial yang jadi akar perilaku kriminal.Wright liat keadilan komunitas sebagai pendekatan progresif dalam kepolisian, yang nyoba seimbangin penegakan hukum dengan promosi kesetaraan sosial dan kesejahteraan komunitas. Doski ngedukung model kepolisian yang fleksibel, sensitif budaya, dan bener-bener nyambung sama nilai dan kebutuhan masyarakat.Wright ngebahas juga soal politik kepolisian di zaman modern sekarang. Doski bilang, polisi sekarang nggak cuma dipengaruhi oleh hukum dan keadilan, tapi juga oleh politik, ekonomi, dan dinamika sosial. Wright nyorot gimana pengaruh politik bisa nentuin prioritas polisi, alokasi sumber daya, dan strategi operasional, yang kadang malah bikin polisi fokus ke jenis kejahatan atau komunitas tertentu aja.Wright juga ngomongin tantangan buat ngejaga legitimasi polisi di masyarakat yang beragam dan cepat berubah. Doi bilang, kepercayaan publik ke polisi tergantung dari persepsi keadilan, akuntabilitas, dan transparansi. Kalau tindakan polisi dianggap bermotif politik atau bias, itu bisa ngerusak kepercayaan publik dan ngeganggu efektivitas polisi. Doski nunjukin pentingnya ngerancang praktik kepolisian yang sesuai dengan nilai demokrasi dan hak asasi manusia, dan mendorong reformasi yang lebih akuntabel dan melibatkan masyarakat dalam keputusan kepolisian.
Kesimpulannya, Wright bilang masa depan kepolisian tergantung dari kemampuannya buat beradaptasi dengan kompleksitas masyarakat modern sambil tetep ngejaga prinsip keadilan dan kesetaraan. Doi ngajak buat ngebayangin ulang kepolisian yang gak cuma fokus pada kontrol dan penegakan hukum, tapi juga lebih inklusif, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan semua komunitas. Visi ini melibatkan pergeseran ke arah kepolisian yang nggak cuma efektif, tapi juga adil dan sah di mata publik.
Pesan utama Wright ialah bahwa kepolisian itu, bukan cuma soal ngejar penjahat atau jaga ketertiban doang. Polisi itu kompleks banget dan punya banyak peran: dari menjaga kedamaian, nyidik kejahatan, ngatur risiko, sampai memastikan keadilan komunitas—semuanya dipengaruhi sama konteks sosial, politik, dan budaya. Wright bilang, biar polisi efektif, mereka harus bisa ngeimbangin kekuasaan sama legitimasi, pastiin tindakan proporsional, akuntabel, dan sesuai nilai masyarakat. Intinya, masa depan kepolisian tergantung dari kemampuan beradaptasi, tanggungjawab etis, dan keterlibatan nyata sama masyarakat. Polisi tuh nggak cuma jaga hukum, tapi juga bangun kepercayaan dan kohesi sosial.
Pas Eropa masuk ke abad pertengahan, konsep “kepolisian” mulai agak serius. Clive Emsley (1996) dalam The English Police: A Political and Social History nyeritain gimana masyarakat nunjuk warga biasa jadi penjaga malam—semacam “satpam kampung” yang teriak-teriak kalo ada maling. Mereka belum sehebat Sherlock Holmes, tapi lumayan lah buat bikin maling mikir dua kali.
Terus muncullah Sir Robert Peel di tahun 1829 yang bikin Metropolitan Police Service di London. Dalam Principles of Law Enforcement, Peel ngajarin bahwa polisi itu bukan buat nakut-nakutin rakyat, tapi buat dapetin kepercayaan mereka. Intinya, polisi itu warga juga—cuma bedanya, mereka pakai seragam dan tanggungjawabnya gede.
Charles Reith (1956) dalam A Short History of the British Police bilang, fungsi dasar polisi dari dulu sampai sekarang itu tetep sama: melindungi orang, menegakkan norma, dan menjaga kedamaian. Bedanya cuma di alat dan teknologinya aja—dulu pakai lempeng tanah liat, sekarang pakai database digital.
Pada dasarnya, kepolisian didirikan di sebuah negara karena dua kebutuhan manusia yang paling klasik: keamanan dan ketertiban sosial. Secara filosofis, polisi hadir untuk menyeimbangkan antara kebebasan individu dan keselamatan bersama. Mereka jadi perwujudan dari konsep social contract ala Thomas Hobbes dan John Locke, dimana rakyat rela mengorbankan sebagian kebebasannya supaya dapat perlindungan dan hukum ditegakkan secara konsisten. Tanpa polisi, masyarakat gampang kacau, yang kuat menindas yang lemah, dan kekacauan menggantikan keadilan.
Polisi juga merupakan manifestasi nyata dari otoritas negara. Menurut Herbert L. Packer (1968) dalam The Limits of the Criminal Sanction, polisi berada di persimpangan antara hukum dan moral: mereka adalah alat kekuasaan negara, tapi idealnya tetep dibatasin oleh norma etika dan pengawasan demokratis. Tujuannya bukan sekadar menghukum, tapi mencegah bahaya, menjaga kepercayaan publik, dan memberi rasa aman yang konsisten. Tanpa polisi yang kredibel, kontrak sosial bisa rapuh, dan kepercayaan rakyat terhadap keadilan mudah luntur.
Lebih lanjut, pakar modern seperti Peter K. Manning (2008) dalam The Technology of Policing bilang bahwa polisi bukan cuma penegak hukum, tapi juga simbol nilai-nilai kolektif. Mereka memberi tahu masyarakat: perilaku apa yang nggak bisa ditoleransi, hak apa yang dilindungi, dan ekspektasi apa yang berlaku bagi rakyat maupun negara. Filosofisnya, polisi itu bukan cuma soal penegakan, tapi soal menegakkan tatanan sosial, norma etika, dan memberi rasa aman bahwa, di masyarakat yang teratur, kesalahan akan diperbaiki dan orang bisa hidup tanpa takut terus-terusan.
Singkatnya, polisi ada karena tiap masyarakat selalu menghadapi ketegangan: antara kebebasan dan ketertiban, antara tindakan individu dan tanggung jawab kolektif, serta antara keadilan dan kekuasaan. Alasan keberadaan mereka adalah menengahi ketegangan ini, menjadikan hukum dan moral abstrak jadi nyata, sehingga warga bisa hidup tanpa takut kekerasan, pencurian, atau penindasan.
Jadi, pas Presiden Prabowo ngomong soal reformasi besar di tubuh Polri, mungkin kisah si penjaga Mesopotamia yang capek ngejar ayam itu masih relevan banget: tiap reformasi kepolisian pada dasarnya adalah usaha manusia buat menata ulang kekacauan yang udah ada sejak pertama kali kota diciptain.

