Jumat, 29 Juli 2022

Di Luar Dingin! (4)

"'Kebanyakan profesional, tunduk pada kode etik yang ketat, mengekalkan kewajiban etika dan moral yang ketat. Naifkah bagi seorang pengusaha Muslim, beretika dalam lingkungan global yang kompetitif? Jawabannya, TIDAK!' sambung sang lelaki. 'Dalam Islam,' katanya, 'etika mengatur segala aspek kehidupan. Syarat sukses yang berkesinambungan, atau Falah, dalam Islam, sama bagi semua Muslim—baik dalam menjalankan urusan bisnisnya, maupun dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya. Tanpa memerincikan konteks situasional apapun, Allah menggambarkan orang-orang yang mencapai kesuksesan, sebagai mereka yang 'mengajak kepada semua yang baik (khair), menyuruh yang ma'ruf, dan mencegah kemunkaran. Lantas, adakah pedoman-pedoman yang akan memastikan perilaku etika yang konsisten dalam bisnis seorang Muslim? Al-Qur'an, menjawab pertanyaan besar filsafat, 'Adakah Tuhan itu?' atau 'Mengapa Tuhan mencipta?' atau 'Mengapa kita ada di sini?' Para Ulama sepakat, bahwa pemahaman yang tepat tentang etika Al-Qur'an, semata dapat diperoleh dalam terang perilaku Rasulullah (ﷺ) atau Sunnah, dengan menggabungkan Al-Qur'an dan hadits, dan bahwa perwujudan yang paling lengkap dari etika Al-Qur'an itu, ada di dalam diri Rasulullah (ﷺ). Menurut sebuah hadits yang sangat dikenal, yang sering disebut sebagai hadits Jibril, ada tiga tingkatan keimanan Islam, yang disebut : Islam, Iman, dan Iḥsan. Tingkatan tertinggi, ialah Iḥsan. Tingkatan ini, mencakup beribadah kepada Allah, seolah-olah seseorang melihat Allah, dan menyadari bahwa walau seseorang tak dapat melihat-Nya, Dia sesungguhnya melihat kita. Kata Iḥsan, secara harfiah, bermakna kesempurnaan, atau melakukan sesuatu atau membuat sesuatu menjadi lebih baik atau indah.

Mengapa seseorang hendaknya memasukkan Iḥsan dalam kehidupannya, terutama, semisal, dalam transaksi bisnis? Secara garis besar, ada dua motivasi utama: agar memperoleh keridhaan Allah dan mengikuti perintah-Nya; dan bagi kesejahteraan manusia, ekonomi, dan sosial, serta bahwa sikap seperti itu, tumbuh dalam pengembangan masyarakat yang beradab. Syariah, yang didasarkan pada Hikmah-ilahi, yang mencakup semua, memberikan pedoman bagi seluruh aktivitas dalam masyarakat Islam, dan aturan-aturan ini, selalu punya tujuan yang bermanfaat, yang mendasari peningkatan kesejahteraan umat manusia (Maslahah). Imam As-Syātibi, cendekiawan besar Andalusia, tentang ilmu tujuan Syariah (Maqāṣid), menggambarkan hal ini dengan kata-kata berikut, 'Syariah bermakna keadilan, rahmat, kebijaksanaan, dan kebaikan. Maka, setiap keputusan yang menggantikan keadilan dengan ketidakadilan, rahmat dengan kebalikannya, kebaikan bersama dengan kerusakan, atau kebijaksanaan dengan sesuatu yang nonsens, merupakan keputusan yang tak termasuk dalam Syariah, walau jika dinyatakan demikian menurut beberapa interpretasi.' Syariah dianugerahkan kepada umat manusia agar membawa segala macam manfaat duniawi dan non-duniawi, bagi seluruh umat manusia, dengan tugas menyampaikan petunjuk Allah kepada mereka dan hidup dengan etika Al-Qur’an. Oleh karenanya, kita menemukan bahwa guna mencapai Ihsan, mengharuskan manusia dapat membawa manfaat bagi seluruh umat manusia dan terhindar dari segala macam mara-bahaya.

Agar menjadi insan yang Ihsan, seorang muslim profesional, seyogyanya, pertama, ikhlas dan punya niat yang benar. Niat sangat penting dalam Islam. Selain punya niat yang benar (melakukan suatu tindakan demi keridhaan Allah), seseorang hendaknya pula, tulus kepada kemanusiaan pada umumnya dan umat Islam yang lebih besar. Seseorang seyogyanya menyempurnakan ibadah kepada Allah dan mempertimbangkan kesempurnaan profesional sebagai kewajiban agama. Seorang Muslim hendaknya memprioritaskan pahala akhirat di atas keuntungan duniawi, dan berjuang demi kampung akhirat, konsisten dengan perintah Ilahi. Kita menemukan dalam tradisi Islam, bahwa pahala yang sebenarnya, menurut kebersatuan niat dan tindakan, dan bisa jadi, pahalanya akan sangat berbeda, sehingga perbuatan yang tampaknya baik, tertolak seluruhnya lantaran cacatnya niat.

Kedua, merangkul sifat-sifat karakter masyarakat Iḥsan. Orang-orang Iḥsan, berkarakter yang indah, mereka ditandai dengan sifat kesabaran, istiqomah, dan musyawarah, serta ditandai dengan ketergantungan total mereka kepada Allah (Tawakkul). Masyarakat Ihsan itu, moderat dan menjauhi ekstremisme dalam segala bentuknya—Al-Qur’an menggambarkan masyarakat Muslim sebagai komunitas menengah yang seimbang (Ummat Al-Wasat). Mereka, orang-orang yang mencari hikmah dan ilmu, berpikiran positif (husnudzon) dan memaknai segala sesuatu secara positif, serta menerima kebaikan dan kesengsaraan dari Allah, dan tak putus asa dari rahmat Allah dalam kegagalan dan kesulitan. Memaknai sesuatu dari sisi positifnya, memungkinkan seseorang akan unggul meskipun—dan terkadang karena—keadaan yang merugikan. Mereka mencintai Allah lebih dari apapun–lebih dari anggota keluarga, lebih dari kekayaan, lebih dari tempat tinggal mereka.

Ketiga, bervisi kehidupan merintis yang bermakna. Masyarakat Iḥsan, menyadari bahwa hidup ini, punya tujuan dan bekerja demi membangun warisan yang produktif. Mereka juga punya kualitas kepemimpinan dan menggunakannya untuk memimpin orang menuju hal-hal yang terpuji dan tujuan yang diinginkan. Mereka bertanggung jawab, dapat dipercaya, dan memegang amanah. Mereka punya kualitas kepemimpinan, dan memimpin orang-orang yang dipercayakan kepada mereka, dengan integritas dan pengorbanan. Mereka, orang-orang yang tabah (Ḥimmah Aliyah) dan tekad yang kuat (Azm yang tinggi). Mereka menerima pekerjaan-tangan dan keterampilan tangan, dan tak jera terhadap pekerjaan manual. Mereka proaktif, aktivis, dan punya bias untuk bertindak; punya semangat usaha dan bersegera menuju kebaikan dan manfaat. Mereka menghargai waktu dan tak malas.

Keempat, berlaku adil dan melampaui dalam pekerjaan profesionalnya. Masyarakat Iḥsan sangat teliti dalam memenuhi hak-hak orang (orang lain, dan di atas semuanya, Allah) atas mereka. Memang benar bahwa manusia, punya banyak peran yang berbeda, dan seseorang berhak memprioritaskan beberapa di atas yang lain, Iḥsan memerlukan kebutuhan untuk memenuhi hak setiap orang dan segala sesuatu yang punya hak atas mereka. Hal ini bermakna, berpegang pada standar etika profesional tertinggi dan menghindari penipuan dan pengkhianatan yang tampak atau tersembunyi. Dalam konteks profesional, hal ini, sangat relevan bagi para pemimpin dan orang-orang yang bertanggung jawab. Keadilan juga merupakan komponen penting, lebih tepatnya, tujuan utama, dari sistem ekonomi Islam–dan karakteristik yang menentukan. Dinyatakan dalam Al-Qur'an bahwa tujuan mengirim utusan ilahi kepada orang-orang yang berbeda, untuk menegakkan manusia di atas keadilan. Masyarakat Iḥsan juga pemilih dalam hal, yang diperbolehkan (Halal) dan yang tak diperbolehkan (Haram), serta bertaqwa. Mereka menyadari bahwa dunia ini, dunia kerja keras dan perjuangan, serta tempat untuk berbuat. Mereka tak malas, sebab tahu bahwa sifat ini, tanda orang munafik, dan sesuatu, yang Rasulullah (ﷺ) mohon perlindungan kepada Allah. Mereka sadar bahwa seseorang bertanggungjawab secara etika (Mukallaf) agar berusaha sebaik-baiknya. Mereka sadar pula bahwa, kesempurnaan itu, perjalanan yang berkelanjutan.

Kelima, berorientasi pada keahlian atau kemahiran, dan berpandangan profesional: mengutamakan kualitas dibanding kuantitas. Dalam perspektif dunia Islam, konsep Iḥsan itu, autotelic—seseorang atau sesuatu yang punya tujuan, dan tak lepas dari dirinya sendiri—dan seseorang hendaknya terus berbuat tanpa puas dengan berbuat baik. Mereka menyukai ketelitian/profesional/penyelesaian pekerjaan dan menghargai pekerjaannya. Mereka teratur dalam tindakan. Masyarakat Ihsan, menyelesaikan dan melanjutkan urusan yang mereka mulai, dan tak menjadi amatiran, dimana mereka memulai sesuatu urusan dan saat kehilangan tenaga, lalu meninggalkannya, mereka berkomitmen pada kesempurnaan dan tak berpuas diri. Dalam karya Stephen Covey, seseorang hendaknya, secara berkala, memperbarui diri, tetap waspada, dan 'menajamkan gergaji' untuk mempertahankan produktivitas puncak. Mereka mengutamakan kualitas dibanding kuantitas, namun bukan berarti kuantitas tidak penting, hanya diperhitungkan jika, disertai dengan kualitas.

Keenam, seseorang atau sesuatu yang punya tujuan dan tak terlepas dari dirinya sendiri, berguna dan bermanfaat secara sosial bagi orang banyak. Islam sangat mementingkan menjadi berguna secara sosial dan membawa manfaat bagi orang banyak. Teolog Islam yang masyhur, Al-Ghazali, mengakui konsep yang lebih luas dari Maṣlahah sebagai kelanjutan dari tujuan akhir Syariah, yaitu untuk menjaga lima hal berikut: (1) iman; (2) kehidupan; (3) kecerdasan; (4) keturunan; (5) dan kekayaan. Kewajiban utama bagi seorang Ihsan dalam hal ini, menghindari bahaya dan menghindari bahaya timbal-balik, dan khususnya, para profesional Muslim, hedaknya menghindari segala bentuk kecurangan, penipuan, pengecohan, dan penggelapan. Masyarakat Iḥsan itu, orang-orang yang bekerjasama dan memfasilitasi serta membawa kemudahan bagi orang banyak. Mereka mengabdi kepada masyarakat dan membawa manfaat bagi umat manusia dan semua ciptaan Allah.

Ketujuh, menjalani hidup produktif yang menarik Barakah. Jika keunggulan spiritual disebut Iḥsan, maka produktivitas spiritual, disebut Barakah. Dalam Islam, Barakah (diterjemahkan sebagai berkah) ialah pemberian berkah pada sesuatu oleh Allah sedemikian rupa, sehingga segala macam manfaat diperoleh dari yang sedikit. Bagaimana seseorang menarik Berakah? Dari Al-Qur'an dan Sunnah yang otentik, ada banyak cara menarik Barakah. Cara penting menarik Barakah ialah, memenuhi hak orang lain, keluarga, dan bersedekah. Sumber lain untuk menarik Barakah, dengan melakukan perbuatan baik secara konsisten dan teratur, contohnya, petani secara teratur memberikan sepertiga dari panennya sebagai sedekah—dan tak berlebihan—sang petani tak menginvestasikan kembali semua hasil panen, atau memberikan semua hasil panennya untuk amal, atau menghabiskan semua hasil panen, sebaliknya sang petani membelanjakannya pada semua tempat yang seharusnya.
Cara lain menarik Barakah dan mencapai kesempurnaan spiritual itu, dengan memusatkan perhatian pada hal-hal penting, yang berhubungan dengan seseorang dan menghindari hal-hal yang tak berguna atau hal-hal yang tak berhubungan dengan seseorang, dan dengan demikian, memanfaatkan waktu seseorang secara penuh.
Sumber Barakah lain yang kaya, ialah dengan menghindari segala yang Haram dan bertaqwa, yang berarti menjaga diri dari kemurkaan Allah. Ada banyak manfaat Taqwa termasuk Barakah dan perluasan rezeki, yang merujuk pada segala aspek nafkah dan mata-pencaharian seseorang, termasuk, namun tak terbatas pada, kekayaan, status, bisnis dan anak-anak. Sumber Barakah lain yang kaya, dengan menjalin hubungan baik dengan kerabat dekat dan dengan seluruh komunitas Muslim.
Masyarakat Iḥsan dapat membuat pencapaian monumental yang mengejutkan orang dan membuat mereka bertanya-tanya bagaimana beberapa orang dapat mencapai demikian banyak, dalam waktu yang sangat singkat. Salah satu alasan utamanya, bahwa mereka menghargai waktu dan memiliki sistem mengatur waktu mereka, dan menjadikannya produktif. Mereka juga memanfaatkan waktu dimana energi mereka berada pada puncaknya. Kita akan menemukan dalam hadits, anjuran agar mulai bekerja di pagi hari dan tidur setelah shalat Isya. Mereka ahli dalam memprioritaskan dan fokus pada tugas yang sangat penting dan relevan untuk saat ini. Jadi, orang-orang Iḥsan itu, orang-orang yang berterimakasih dan bersyukur,' sang lelaki mengakhiri penjelasannya.
Dan dengan lembut, sang isteri berbisik, 'Sayang, tutup dong jendelanya; di luar dingin!'
Perlahan, ia turun dari tempat tidur, berjalan ke jendela, dan dengan hati-hati, menutup bagian bawah yang terbuka. Seraya tersenyum pada istrinya, ia berkata, 'Sekarang, di luar hangat?' Sang istri memiringkan kepala seolah berpikir, lalu pasang muka nyengir."

Sebelum pergi, Laluna berkata, "Islam itu, agama Ilahi yang menawarkan kode etika lengkap yang dapat menuntun umat manusia menuju kesejahteraan, efektivitas, dan produktivitas yang lebih besar. Secara khusus, semangat Iḥsan, dalam segala manifestasinya yang beragam, dapat membawa pada sistem keadilan, keindahan, kesempurnaan, kemurahan hati, dan egalitarianisme dimana manusia akan hidup dalam harmoni yang luas dan mencapai kebahagiaan di dunia ini, sembari mencapai kebahagiaan tertinggi dan keridhaan Allah di akhirat. Dengan menganut konsepsi Islam tentang Ihsan, umat Islam akan mampu menjadi pembawa standar moralitas Al-Qur’an dan saksi kebenaran di hadapan umat manusia (Syuhada ‘alan-Naas). Selanjutnya, dengan mengamalkan Iḥsan, akan mengarah pada perkembangan manusia, kebahagiaan, produktivitas spiritual (Barakah), baik di dunia maupun kelak, di akhirat. Wallahu a'lam.'
Kutipan & Rujukan:
- Simon Blackburn, Ethics : A Very Short Introduction, Oxford University Press
- Abbas Mirakhor and Idris Samawi Hamid (Ed.), Handbook of Ethics of Islamic Economics and Finance, De Gruyter
- Rasik Issa Beekun, Islamic Business Ethics, International Institute ofIslamic Thought
- Bernard Williams, Ethics and the Limits of Philosophy, Routledge
- Brian Boone, Ethics 101, Brian Media
- Harold Perkin, The Rise of Professional Society, Routledge

Rabu, 27 Juli 2022

Di Luar Dingin! (3)

"'Etika kerapkali dipersamakan dengan moralitas. Moralitas itu, nilai-nilai perilaku individu atau masyarakat, yang dapat ditemukan dalam kehidupan nyata masyarakat sehari-hari, namun belum tersistematisasikan sebagai sebuah teori. Tatkala perilaku moral dirumuskan menjadi teori, itulah yang disebut etika. Etika mencakup pertanyaan tentang sifat kewajiban moral, prinsip moral dasar apa yang seyogyanya diikuti manusia, dan apa yang baik bagi kemanusiaan.' sang lelaki melanjutkan. 'Inti dari etika itu, berbuat baik dan menjauhi keburukan. Memberdayakan kemauan manusia agar berperilaku baik dan menahan diri dari menyakiti orang lain, dasar dari etika. Sebagai contoh, menuntun orang buta agar menemukan jalannya, bentuk positif dari perilaku etika, sementara membatasi anak dari aktivitas di taman bermain demi keselamatannya, bentuk negatif dari tindakan etika. Setiap inisiatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kesulitan yang dimunculkan oleh anggotanya, contoh lain dari suatu tindakan etika. Bahkan menjaga kesehatan seseorang dengan berolahraga dan menjauhkan diri dari konsumsi narkotika, juga mempraktikkan etika.. Secara keseluruhan, berkontribusi pada perbuatan kebaikan dan menghapuskan keburukan, itulah inti dari Etika.
 
Dari perspektif Islam dan pentingnya penerapan dalam mengembangkan kebajikan dan kesempurnaan manusia, ada dua konsep yang berbeda: Akhlak dan Adab. Adab menunjukkan ekspresi, baik itu, dalam perilaku tertentu bagi individu, atau norma-norma budaya tertentu, atau bahkan keluarga. Singkatnya, adab itu, perilaku dan tata-krama yang benar, umumnya, tanpa memandang sisi spiritual atau agama.  Adab itu, apa yang tampak dari luar. Adab sangat penting  terutama, semisal, hidup bernegara dimana warganya punya beragam ras, suku dan agama. Adab penting dalam hal bagaimana kita berperilaku dan memperlakukan sesama manusia dan lingkungan sekitar, dengan adil.
Dalam Islam, keutamaan atau ciri-ciri karakter moral, disebut dengan Akhlak, yang bermakna kualitas moral dan sifat-sifat yang baik. Al-Akhlāq (jamak dari khuluq/ خُلُق) mengacu pada moralitas, yang bermakna sifat, atau watak atau temperamen bawaan. Arti yang tepat dari khuluq, ialah karakter moral; atau ragam batiniah manusia; pikiran atau jiwanya, serta sifat-sifat dan atribut-atributnya yang khas. Etika dalam bahasa Arab, disebut ‘Ilm al-Akhlāq (ilmu akhlak atau ilmu tentang moralitas), yaitu cabang ilmu yang mempelajari akhlak. Ilmu Akhlaq, tak sekedar melukiskan tentang apa yang baik dan apa yang buruk, melainkan pula, mempengaruhi dan mendorong individu, agar membentuk kehidupan yang lebih bersih bagi kebajikan, yang bermanfaat bagi sesama manusia.
Keutamaan-keutamaan Akhlaq ini, diidentifikasi sebagai sifat-sifat yang disukai dalam Al-Qur’an dan dimanifestasikan melalui praktik Rasulullah (ﷺ) yang menyempurnakannya, dalam kehidupan sehari-hari. Ada banyak rujukan, baik dalam Al-Qur'an dan hadits, tentang hal ini. Semisal, Al-Qur'an meletakkan dasar yang luas, karakter yang disukai manusia, agar melakukan apa yang baik; berlaku shalih; dan mencegah dan menahan diri dari kemunkaran. Setelah penentuan klasifikasi luas perilaku yang diinginkan, Al-Qur'an menyatakan, 'Sesungguhnya, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertakwa.' Hal ini menyiratkan bahwa orang-orang yang mempraktikkan dan menjalankan kebajikan, yang membentuk karakter yang baik, ialah orang-orang yang sukses.
Lebih jauh lagi, Al-Qur'an memberikan dukungan yang kuat terhadap karakter Rasulullah (ﷺ) manakala mengakui karakter (huluq) Rasulullah (ﷺ) sebagai standar adilihung yang dapat dimaknai sebagai ketaatan, dan pengamalan kebajikan, serta nilai-nilai yang suci, membentuk dasar perilaku etika. Selain itu, ada beberapa sabda Rasulullah (ﷺ) yang shahih, yang menunjukkan pentingnya berkarakter dan berkebajikan agar hidup menggapai kesuksesan. Menerapkan kebajikan-kebajikan ini, dianggap sebagai tanda beriman yang sempurna, dan oleh karenanya, sangat dianjurkan memasukkannya ke dalam kehidupan seseorang. Dalam sebuah hadits, Rasulullah (ﷺ) bersabda bahwa, 'Sesungguhnya, aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.'
Mengakui pentingnya sifat atau kebajikan karakter yang baik saja, tak cukup, kecuali seseorang memahami hubungan yang tajam dan kuat antara niat, tindakan, dan hasil. Dalam konsepsi etika Islam, ada penekanan pada kebajikan, niat, tindakan, dan hasil, sebagai dasar menilai apakah suatu tindakan itu, beretika atau tidak. Meskipun niat dari suatu tindakan, memainkan peran penting dalam menentukan aspek hukum dari tindakan tersebut, Islam mengakui signifikansi moral niat dalam menganjurkan ketulusan niat (iḫlas). Setiap kebajikan, dinilai berdasarkan niat di balik praktik kebajikan tersebut. Perbedaan antara berniat untuk melayani kemanusiaan dan perbaikan masyarakat sebagai lawan terhadap mencapai keuntungan pribadi, dapat membuat suatu tindakan itu, etis atau tidak etis.
Ringkasnya, etika kebajikan Islam, terutama berkaitan dengan 'sifat-sifat karakter yang baik,' yang kemudian dapat diteladankan ke dalam tindakan. Hubungan antara kebajikan, niat, dan tindakan, meletakkan dasar perilaku etika sedemikian rupa, sehingga etika kebajikan punya prioritas logis di atas etika yuridis. Tindakan yang didorong oleh niat baik, dan dalam semangat praktik kebajikan akan menjadi perilaku biasa, yang tak semata beretika, melainkan pula konsisten secara internal dalam hal niat, sarana, dan perolehannya.

Nah, untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, mari kita lihat etika Islam dalam bisnis dan ekonomi. Kerangka etika bisnis dalam Islam, dapat dikembangkan dengan mengidentifikasi kebajikan utama yang merupakan ciri-ciri karakter yang disukai manusia. Aksioma inti dan fundamental ideologi Islam adalah Tauhid, yang merupakan akibat wajar dari kesatuan ciptaan, khususnya kesatuan umat manusia. Sumber daya diciptakan bagi semua manusia dari semua generasi, yang membentuk satu umat manusia, keragaman mereka, tidak dan seharusnya tak berarti perpecahan mereka, dan, dengan perjanjian primordial, tak hanya semua manusia mengakui kesatuan mereka sendiri, mereka juga memiliki kesadaran penuh atas diri mereka sendiri. tanggungjawab memelihara kesatuan dan keutuhan ciptaan lainnya, melalui pengabdian kepada umat manusia dan ciptaan lainnya.
Tauhid mengharuskan seseorang agar meyakini bahwa semua ciptaan, hanya memiliki satu Pencipta yang Mahatahu dan Mahahadir, dan bahwa semua ciptaan-Nya, merupakan pula satu kesatuan. Persatuan dan kohesi sosial, teramat sentral di antara tujuan Al-Qur'an bagi umat manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa segala perbuatan yang dilarang oleh Islam, pada akhirnya mengarah pada perpecahan dan disintegrasi sosial. Sebaliknya, semua perilaku kebaikan yang ditentukan oleh Islam, mengarah pada integrasi sosial, kekompakan dan persatuan. Hasilnya, Islam tak semata panggilan bagi individu-individu, melainkan juga, kepada kolektivitas dan telah memberikan kepada individu-individu tersebut, suatu kepribadian dan identitas yang independen, yang akan dinilai berdasarkan kelebihan atau kekurangannya sendiri, secara terpisah dari individu-individu yang membentuk kolektivitas tersebut. Penilaian akhir atas tindakan individu akan mempunyai dua dimensi, satu sebagai individu, dan yang lain, sebagai anggota kolektivitas.
Salah satu implikasi keutamaan menganut kesatuan ciptaan dan umat manusia, bahwa hal tersebut, membangun hubungan persaudaraan dan kesetaraan di antara komunitas dan masyarakat, terlepas dari sistem kepercayaan mereka. Dalam pengertian ini, kesatuan itu, mata uang dengan dua wajah: satu menyiratkan bahwa Tuhan-lah satu-satunya Pencipta alam semesta, dan yang lain, menyiratkan bahwa umat manusia, mitra yang setara atau bahwa setiap orang itu, saudara bagi yang lain. Penerapan kebajikan ini, berimplikasi yang luas terhadap etika bisnis, semisal kerjasama, solidaritas, dan kesetaraan usaha dan kesempatan.

Keadilan dalam Islam itu, konsep beragam aspek, dan ada beberapa kata atau istilah bagi setiap aspek. Kata yang paling umum digunakan, yang mengacu pada konsep keadilan secara keseluruhan, ialah adl. Kata ini dan banyak sinonimnya menyiratkan konsep 'hak', sebagai padanan dari 'keadilan', 'menempatkan sesuatu pada tempatnya yang benar', 'kesetaraan', 'menyamakan', 'keseimbangan', 'kesederhanaan', dan 'sikap tak berlebihan.' Keadilan dalam Islam, agregasi nilai-nilai moral dan sosial, yang menunjukkan keadilan, keseimbangan, dan kesederhanaan. Implikasinya bagi perilaku individu, pertama-tama, bahwa individu tak boleh melanggar batas-batasnya dan, kedua, bahwa seseorang, hendaknya memberikan kepada orang lain, dan juga dirinya sendiri, apa yang menjadi haknya.
Ekonomi yang adil, bagian dari masyarakat yang adil, sehat, dan bermoral, yang merupakan tujuan utama Islam bagi kolektivitas manusia. Apa yang mendasari semua aturan perilaku yang ditentukan oleh Islam, ialah konsepsi keadilannya, yang menyatakan bahwa semua perilaku, terlepas dari konten dan konteksnya, harus, dalam konsepsi dan pelaksanaannya, didasarkan pada standar yang adil seperti yang didefinisikan oleh Syariah. Islam menganggap ekonomi, dimana perilaku agennya dipahami, sebagai ekonomi yang giat, terarah, makmur, dan berbagi, dimana semua anggota masyarakat menerima imbalan yang adil. Ekonomi seperti ini, dibayangkan sebagai ekonomi dimana kesenjangan ekonomi yang mengarah pada segmentasi sosial dan perpecahan, tak ada secara mencolok. Keadilan ekonomi yang digambarkan dalam Islam, tak menuntut kesetaraan pendapatan dan kekayaan. Fokus keadilan ekonomi, tak semata-mata ditempatkan pada hasil. Dengan demikian, kerangka sentral dan operasi aturan tentang kehidupan ekonomi dan sosial, ialah keadilan.
Dalam Islam, keadilan ekonomi dipusatkan pada pemberian kesempatan yang sama (sarana) kepada semua manusia, agar berkembang sambil memberikan kehidupan yang bermartabat bagi penyandang cacat dan menghapus kemiskinan dimana-mana. Semua manusia, seyogyanya punya kesempatan dan kebebasan yang sama, guna mencapai tujuan ekonomi mereka (dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan gizi dasar) melalui kerja keras, sambil menjaga hak (jangan disamakan dengan amal) dari penyandang cacat dan kurang istimewa. Setelah manusia bekerja dan menerima upah yang adil, maka mereka hnedaknya membantu yang kurang beruntung memberantas kemiskinan dan menghindari disparitas kekayaan yang besar; inilah ujian bagi manusia guna menunjukkan cinta mereka kepada Pencipta mereka dan ciptaan-Nya, dibandingkan dengan cinta kekayaan yang cepat berlalu. Individu maupun negara, harus menghapus semua hambatan yang penting, termasuk penindasan, dari jalur pembangunan manusia. Setiap ketidakadilan yang dilakukan oleh individu terhadap manusia lain dan terhadap ciptaan lainnya, pada akhirnya merupakan ketidakadilan bagi diri sendiri. Manusia seyogyanya menjalani kehidupan yang adil dan berdiri tegak serta memberantas ketidakadilan, dimana pun mereka menemukannya.

Etika dalam Islam, dapat dipahami dengan baik berdasarkan prinsip-prinsip yang mengatur hak-hak individu, masyarakat, dan negara; undang-undang yang mengatur kepemilikan properti; dan kerangka kontrak. Pengakuan dan perlindungan Islam terhadap hak, tak terbatas pada manusia saja, tetapi mencakup semua bentuk kehidupan dan lingkungan. Setiap unsur ciptaan Allah, telah dikaruniai hak-hak tertentu dan masing-masing wajib menghormati dan menghargai hak-hak orang lain. Hak-hak ini, dibundel dengan tanggung jawab dimana manusia, harus bertanggungjawab.

Islam secara paksa menambatkan semua hubungan sosial-politik-ekonomi pada kontrak. Secara lebih umum, keseluruhan struktur Hukum Ilahi itu, kontraktual dalam konseptualisasi, isi, dan penerapannya. Muslim terus-menerus diingatkan akan pentingnya perjanjian kontrak, karena mereka diwajibkan oleh iman mereka, agar menghormati kontraknya.
Dalam Syariah, konsep keadilan, kesetiaan, pahala, dan hukuman, terkait dengan pemenuhan kewajiban yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan kontrak. Keadilan menghubungkan manusia dengan Allah dan dengan sesamanya. Ikatan inilah, yang membentuk landasan kontraktual Syariah, yang menilai keutamaan keadilan dalam diri manusia, tak semata dari kinerja materialnya, namun pula, dari atribut esensial niatnya (niyyah), yang dengannya, ia mengadakan setiap kontrak. Niat ini, terdiri dari ketulusan, kebenaran, dan desakan pada pemenuhan yang ketat dan setia dari apa yang telah ia setujui untuk dilakukan (atau tidak dilakukan). Kesetiaan pada kewajiban kontrak ini, sangat penting bagi kepercayaan Islam. Menjaga kesucian kontrak dan akuntabilitas terhadap komitmen seseorang terhadap perjanjian kontrak, merupakan sifat dan kebajikan karakter utama.

Jujur ​​dan menjaga ucapan seseorang, ciri-ciri inti dari manusia sejati. Hal ini lebih ditekankan ketika seorang pedagang atau pengusaha, berlaku jujur ​​dalam transaksinya. Seorang mukmin sejati, diharapkan jujur ​​dalam bertransaksi, berkomitmen yang kuat terhadap perkataannya, dan berbicara kebenaran. Perkara terakhir dari komitmen terhadap kejujuran, bahwa seseorang diharapkan jujur ​​saat memberikan bukti, bahkan jika itu, bertentangan dengan dirinya sendiri. Seorang pedagang yang jujur ​​dan benar, akan diberi kabar gembira dari Sang Pencipta, sedangkan jika tak ada sifat-sifat tersebut, maka transaksinya, tak ada berkahnya. Kejujuran atau transparansi, juga meningkatkan kepercayaan antara para pihak dan di pasar dan dalam segala keadilan, masing-masing pihak mengharapkan transparansi dan pengungkapan penuh mengenai transaksi.
Integritas, kebajikan utama lain yang sangat dihargai dalam Islam. Rasulullah (ﷺ) dikenal sebagai orang yang jujur ​​dan amanah, yang selalu menepati janjinya. Mengingat status Rasulullah (ﷺ) sebagai arketipe dan panutan, setiap Muslim diharapkan menjaga kebenaran dan integritas. Integritas seseorang atau entitas, menunjukkan bahwa orang atau entitas tersebut, jujur, tulus, dan menghormati kata-katanya, yang menyiratkan bahwa orang atau entitas tersebut, kemungkinan besar akan memenuhi komitmen dan janjinya secara penuh dan tepat waktu. Menghormati ucapanmu bermakna engkau jujur ​​dan tak menyembunyikan informasi yang relevan, dan tak ada unsur penipuan atau pelanggaran kontrak atau hak milik. Integritas penting bagi individu, kelompok, organisasi, dan masyarakat, karena integritas mengembangkan modal sosial yang berharga dari kepercayaan dalam masyarakat. Perilaku seperti, sebagai karyawan atau sebagai manajer atau pemimpin organisasi, akan mengarah pada integritas entitas, yang dipercaya oleh semua pelaku ekonomi dan oleh karenanya, mencapai efisiensi dan kinerja yang lebih tinggi.

Islam sangat menekankan amanah dan menganggap amanah sebagai sifat kepribadian yang wajib. Pada tataran filosofis, peran manusia di muka bumi, bertindak sebagai khalifah atau wali Sang Pencipta. Akar kata “kepercayaan” (amanah) sama dengan kata “keyakinan” (ῑmān), karena al-Qur’an menegaskan bahwa sinyal kuat dari keyakinan yang benar, ialah kesetiaan pada kontrak dan janji. Jelaslah bahwa melakukan kewajiban atau janji kontraktual, karakteristik penting dan wajib dari seorang mukmin sejati.
Kontrak dan kepercayaan saling bergantung. Tanpa kepercayaan, kontrak menjadi sulit dinegosiasikan dan disimpulkan, serta mahal untuk dipantau dan ditegakkan. Ketika kepercayaan lemah, perangkat administratif yang rumit dan mahal, diperlukan demi menegakkan kontrak.
Lemahnya kepercayaan, menciptakan masalah kurangnya komitmen kredibel yang muncul ketika pihak-pihak dalam pertukaran, tak dapat berkomitmen atau tak percaya bahwa orang lain, dapat berkomitmen melakukan kewajiban kontrak.

Kasih-sayang (rahma), kebajikan yang sangat diinginkan dan dikagumi. Kasi- sayang ditekankan dalam Al-Qur'an sebagai sifat dasar Tuhan dan semua manusia diharapkan mengamalkan dan menunjukkannya. Kasing-sayang menuntut agar memperlihatkan belas-kasihan, kebaikan, dan semangat terhadap orang lain, dalam segala masalah ekonomi dan sosial. Salah satu penerapan kasih sayang, ialah kelonggaran transaksi ekonomi jika terjadi kesulitan dan merasakan sakit dan penderitaan orang lain. Kelonggaran terutama diberikan terhadap debitur yang berada dalam kondisi sulit, asalkan mereka melakukan upaya yang tulus guna memenuhi kewajibannya.
Kedermawanan, kebajikan yang menuntut pemberian hak seseorang melebihi harapan normal dan berbagi waktu, kekayaan, dan pengetahuan seseorang, dengan orang lain. Kedermawanan dapat berbentuk seperti kedermawanan terhadap orang lain dalam menebus hak mereka, atau kedermawanan dalam kontribusi kesejahteraan sosial sukarela, atau tak mengambil keuntungan dari pelanggan. Kebajikan kasih-sayang dan kedermawanan, memainkan peran penting dalam memperkuat ikatan sosial di antara manusia dan mendekatkan manusia.

Peran manusia sebagai khalifah Sang Pencipta, memikul tanggungjawab yang sangat berat agar bertindak dengan kehati-hatian, sebab setiap pelanggaran terhadap amanah ini sendiri, akan menjadi tidak etis. Tanggungjawab ini, menuntut pengelolaan yang bijaksana atas sumber daya organisasi atau negara serta bumi; perawatan dan kepedulian terhadap hewan; dan perlindungan lingkungan alam. Pemanfaatan sumber daya, baik langka maupun melimpah, memerlukan pengelolaan yang cermat dengan tetap memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan masyarakat. Tak seorang pun diizinkan menghancurkan atau menyia-nyiakan sumber daya yang diberikan Tuhan. Pemborosan sumber daya sangat dikutuk dalam Islam. Islam menyerukan sikap yang tak berlebihan dan berkeseimbangan dalam urusan sosial dan ekonomi. Kehati-hatian menuntut pemulihan keseimbangan dalam mengelola dan memanfaatkan sumber-daya guna mengoptimalkan manfaat dan kesejahteraan bagi semua. Kehati-hatian merupakan keutamaan penting bagi mereka yang berada dalam posisi kepemimpinan atau manajemen.
Kerendahan hati, suatu kebajikan yang berharga, mengingat seseorang sepenuhnya, hendaknya sadar akan keadaan manusia yang berhubungan dengan Sang Pencipta. Kerendahan-hati, dihargai, dan kesombongan, dianggap sebagai kejahatan terburuk. Kesombongan sangat tak disukai karena menjadi akar penyebab banyak kejahatan lainnya. Secara spiritual, kesombongan menandakan klaim manusia memiliki pengetahuan yang lebih baik daripada Sang Pencipta, dan oleh sebab itu, mengembangkan rasa percaya diri dan superioritas yang berlebihan terhadap manusia lain. Sejarah menjadi saksi kehancuran peradaban atau pemimpin karena kesombongannya.

Jujur ​​dalam transaksi bisnis, sifat yang paling mendasar dari seorang mukmin. Al-Qur’an mengikat iman dan perbuatan melalui amal shalih, sebagai hal yang tak terpisahkan. Rasulullah (ﷺ) secara eksplisit menyatakan kejujuran sebagai pasal iman, lantaran beliau (ﷺ) mengatakan bahwa tak ada iman bagi orang yang tak punya kejujuran. Kejujuran tak semata datang dari sikap jujur, tetapi membutuhkan penghindaran kejahatan bagi keuntungan duniawi. Ada beberapa sifat buruk yang sangat dihindari ketika seseorang melakukan transaksi bisnis. Contoh, dengan sengaja menipu orang lain, terlibat dalam kecurangan dan penipuan, dan dengan sengaja menyimpan atau memanipulasi informasi yang berkaitan dengan transaksi. Ada satu surah penuh dari Al-Qur'an, mendedikasikan tentang memanipulasi takaran dan timbangan, dengan mengurangi takaran seraya menuntut takaran penuh dari orang lain. Surah ini menekankan konsekuensi serius dari perilaku seperti itu. Al-Qur'an juga merujuk pada komunitas Nabi Syu'aib, alaihissalam, yang dikenal terlibat dalam praktik bisnis yang menipu, terutama manipulasi timbangan. Akibatnya, komunitas ini, musnah oleh penipuan yang merajalela. Jadi, kejujuran dalam transaksi bisnis, hendaknya menjadi inti dari setiap pelaku bisnis.

Islam berusaha membimbing manusia agar mengarahkan tindakan individu dan partisipasi yang bertanggungjawab dalam urusan ekonomi, dengan cara yang mengikatnya pada solidaritas dan kerja sama komunitas, sehingga menghasilkan ekonomi yang dinamis dan berkembang. Dengan demikian, individu harus bertanggung jawab atas efek moral dari tindakan sosialnya, termasuk dalam urusan ekonomi, sehingga transformasi dan pertumbuhan pribadi-spiritual batiniahnya, terikat pada kemajuan komunitas.
Oleh sebab itu, Islam memanfaatkan kerjasama dan persaingan dalam penataan masyarakat yang ideal melalui harmonisasi dan rekonsiliasi antara dua kekuatan yang berlawanan, tapi sama-sama lebih awal dan berguna di setiap tingkat organisasi sosial. Dari perspektif ini, orang dapat berargumentasi bahwa salah satu ciri pembeda terbesar Islam, penekanannya yang kuat pada integrasi masyarakat manusia sebagai konsekuensi penting dari keesaan Allah. Untuk tujuan ini, kepribadian Rasulullah (ﷺ) tak dapat dipisahkan dari apa yang Al-Qur’an anggap sebagai pendekatan optimal yang diperlukan untuk munculnya solidaritas dalam masyarakat manusia. Setiap dimensi kepribadian Rasulullah (ﷺ), yang termanifestasi dalam berbagai peran sosialnya di masyarakat, diarahkan pada integrasi dan harmoni yang maksimal dalam masyarakat. Selain itu, setiap aturan perilaku, termasuk di bidang ekonomi, dirancang membantu proses integrasi. Sebaliknya, segala praktik yang dilarang, ialah praktik yang, dengan satu atau lain cara, mengarah pada disintegrasi sosial.

Keutamaan Ihsan, yang bermakna kebajikan, kebaikan, dan kesempurnaan, diakui dalam Al-Qur'an serta dalam sabda Rasulullah (ﷺ). Konsep Ihsan, ialah perwujudan kebaikan dan kesempurnaan dalam interaksi dan perilaku pada tingkat pribadi, tingkat organisasi, dan masyarakat. Sebagai proyeksi kebaikan, secara praktis dan spiritual, mencakup belas-kasih, keadilan, pengampunan, toleransi, dan perhatian. Konsep Ihsan, jauh lebih luas, yaitu berbuat baik kepada orang lain, mencakup upaya mencapai kesempurnaan dalam kebaikan sedemikian rupa, sehingga seseorang bersedia melampaui apa yang diharapkan sesuai norma-norma, guna mencapai kesejahteraan sesama manusia, komunitas, atau masyarakat. Kita akan membahas Ihsan pada bagian 4.'"

English 

Selasa, 26 Juli 2022

Di Luar Dingin! (2)

"'Pembicaraan etika bisnis modern, dimulai pada akhir 1960-an, sebagai hasil dari gerakan aktivisme sosial dan politik. Isu-isu seperti kualitas sosial dan akuntabilitas pemerintah, muncul di garis depan kepentingan publik, dan semakin banyak orang mulai mencermati otoritas, praktik, dan motivasi perusahaan besar,' sang lelaki melanjutkan. 'Etika bisnis itu, nilai moral yang digunakan perusahaan dalam membentuk strategi dan praktiknya, dan/atau dalam menciptakan standar yang dipegang oleh karyawannya. Seperti individu, etika hendaknya mengatasi masalah Big Picture—bagaimana kalangan bisnis itu, berbisnis—dan individu—bagaimana karyawan diperlakukan. Menentukan tindakan apa yang bermoral atau tidak, hal yang rumit bagi sebuah bisnis—bisnis bukanlah individu, namun juga, bisnis bukanlah entitas tunggal dengan kekuatan nalar—bukan pula, bergantung pada pendapat dan kepentingan banyak orang—bisnis, juga bukan merupakan badan pengatur dengan kewajiban moral kepada orang-orangnya.

Adakah tempat bagi Etika dalam dunia bisnis? Itu tergantung pada apa yang engkau anggap sebagai keharusan bisnis. Orang dapat berargumen bahwa bisnis tak perlu memusingkan tentang etika, sebab mereka bukan makhluk rasional yang harus mematuhi kode moral—bahwa mereka ada semata-mata untuk menghasilkan uang bagi pemilik atau pemegang sahamnya. (Yang, di satu sisi, tak berbeda dengan tujuan akhir kebahagiaan manusia). Dari perspektif Machiavellian, bisnis hendaknya, diperbolehkan melakukan apapun demi menghasilkan uang, dan uang sebanyak mungkin, namun sebenarnya, mereka takkan bisa. Mereka harus melakukannya, sembari tetap beroperasi dalam batas-batas hukum. Dari sudut pandang etika, melanggar hukum—atau memusuhi karyawannya, atau terlibat dalam penipuan harga, atau menjual produk yang salah—akan bertentangan dengan kepentingan bisnis, lantaran akan merusak citra publik dari bisnis tersebut. Menurunnya kepercayaan publik, belum lagi tuduhan merugikan, menyebabkan penurunan pendapatan, sehingga merugikan keharusannya demi menghasilkan uang.
Sebuah perusahaan yang beroperasi dengan cara yang sepenuhnya legal, mungkin tak melakukannya dengan cara yang adil atau bahkan menyenangkan. Misalnya, sebuah bisnis yang memecat sejumlah besar karyawan, lalu mengalihkan uang itu ke eksekutif, memang tak berperilaku ilegal, akan tetapi, tindakan ini, akan berdampak yang sangat negatif terhadap banyak orang dan membuat para pengambil keputusan perusahaan, terkesan negatif. . Bahkanpun jika praktik semacam ini, benar-benar legal, sebagian besar sekolah etika, boleh jadi, akan menganggapnya, sebagai tersangka secara moral.
Akan tetapi, bisnis itu, bagian dari masyarakat, dan berpengaruh—mereka hadir di depan umum, dan berdampak besar pada perekonomian dengan cara menjual barang atau jasa, membayar karyawan, membayar pajak, dan sebagainya. Oleh alasan ini, bisnis tak kebal terhadap standar moral yang memandu individu atau pemerintah. Pada akhirnya, kepentingan terbaik perusahaanlah yang menjaga hubungan baik dengan publik (dan pemegang sahamnya, serta pelanggannya) dengan beroperasi, dari sudut pandang moral yang baik.

Relativisme berperan besar dalam etika bisnis. Kita ambil contoh di Amerika Serikat, dianggap tak etis—dan sebenarnya ilegal—membayar pekerja, kurang dari upah minimum. (Beberapa orang akan memperdebatkan standar yang lebih tinggi, seperti upah 'adil' atau 'layak huni', tetapi standar tersebut lebih sulit didefinisikan.) Meskipun upah minimum bervariasi dari satu negara bagian ke negara bagian lain, upah minimum ditetapkan pada tingkat federal dan tiada seorangpun, dapat dibayar kurang dari upah minimum per jam. Karena alasan ini, biaya tenaga kerja manufaktur di Amerika Serikat, cukup tinggi. Inilah lasan utama mengapa, banyak perusahaan Amerika, memindahkan operasinya ke luar negeri. Sebuah pabrik sepatu, misalnya, dapat memilih mengoperasikan sebuah pabrik di negara berkembang dan membayar pekerja, merakit sepasang sepatu, sedangkan operasi yang sama di AS, dapat menghabiskan biaya seratus kali lipat dalam hal tenaga kerja. (Pula, ada jauh lebih sedikit peraturan pabrik dan kondisi kerja di negara lain, yang keduanya membutuhkan biaya dan memperlambat produksi.) Yang juga berpotensi bermasalah, mengenai masalah pekerja anak-anak. Di Amerika Serikat, undang-undang perburuhan, melarang anak-anak bekerja di pabrik, dan tentu saja tak selama delapan belas jam sehari, sebagian karena praktik semacam itu, dianggap tak bermoral dalam budaya Amerika. Negara-negara lain, punya standar berbeda, dalam hal pekerja anak-anak.
Pada akhirnya, bisnis beroperasi di luar negeri agar memaksimalkan keuntungan. Namun bisnis seperti ini, sebenarnya mengabaikan hukum AS yang berbasis moral. Sebuah bisnis terlibat dalam eksploitasi ketika membayar pekerja di luar negeri sesedikit mungkin, semata karena agar dapat lolos begitu saja. Ini semua, dikarenakan relativisme moral. Seseorang mungkin berusaha menjelaskan praktik-praktik ini, dengan menggunakan prinsip relativisme moral. Namun argumen seperti ini, ambyar, lantaran perbandingan relatif itu sendiri, keliru: Dua budaya yang berbeda dan dua cetak biru moral yang berbeda, diperbandingkan secara relatif. Perusahaan sepatu tersebut, mengeksploitasi perbedaan budaya di lokasi luar negeri, guna menurunkan biaya dan menaikkan keuntungan—ia tak menyediakan pekerjaan berupah rendah, demi menghormati standar moral budaya lain.

Ada lebih banyak lagi landasan moral yang tergoyahkan di bidang periklanan dan pemasaran. Iklan 'berdaya-guna' terhadap semua orang, bahkan terhadap konsumen jetsetpun, karena pesan tentang produk, menemukan cara agar dapat tertanam di otak kita, dari waktu ke waktu. (Jika iklan tak berdaya-guna, ia takkan diberdayakan.) Namun, masalah etika, menyertai kekuatan tersebut, agar memanipulasi. Misalnya, sebagian besar orang dewasa yang cukup cerdas, memahami bahwa pernyataan iklan, dilebih-lebihkan. Pernyataan tersebut, dapat dinyatakan secara langsung (semisal, "Inilah makanan anjing yang paling disukai anjingmu!") Atau didramatisasi atau sangat dianjurkan (misalnya, seekor anjing dengan riang memakan makanannya dan kemudian menari dengan kaki belakangnya, berkat keajaiban visual khusus efek). Dengan kata lain, iklan berbokis.
Beretikakah bila menyatakan dusta, walau orang tahu, pernyataan tersebut, salah, dan menerimanya seakan itu benar? Mungkin tidak, sebab ada penonton, yang sangat mudah terpengaruh, terutama anak-anak. Menjelang akhir abad kedua puluh, pemerintah federal AS, menindak iklan terhadap anak-anak lantaran banyak yang menduga, kepercayaan dan kepolosan mereka, dieksploitasi. Pemasok utama iklan anak-anak pada saat itu, pembuat sereal gula dan makanan cepat saji, produk yang dapat dikaitkan dengan epidemi obesitas, yang berkembang di masa kanak-kanak. Kalangan bisnis bertanggungjawab agar tak merugikan klien mereka, dalam upaya menghasilkan uang, dan praktik periklanan, dapat dengan mudah menyebabkan perusahaan melewati batasan ini.

Dalam bidang Politik, kembali ketika filsafat dimulai sebagai pedoman bagi para politisi. Di Yunani kuno—dan bagi para filsuf besar seperti John Locke dan Niccolo Machiavelli—filsafat dan politik saling terkait. Socrates, Plato, dan lain-lain, sering menulis dan membahas tentang cara terbaik dimana manusia—hanya kaum lelaki, pada saat itu—dapat menjangkau jauh ke dalam dan menerapkan kebajikan terhormat yang mereka punyai, untuk memimpin orang lain dengan cara yang adil dan beretika. Dasar dari etika pribadi, menginformasikan politik, namun kemudian, etika pribadi, juga menjadi subjek keingintahuannya sendiri.
Saat ini, dengan begitu banyaknya pekerjaan yang telah dilakukan demi mengembangkan etika dan mencermati makna dari istilah-istilah seperti 'adil' dan 'beretika,' kewajiban para politisilah, untuk memimpin dengan cara yang beretika. Politisi yang dipilih oleh rakyat—atau dilahirkan untuk berkuasa—menghadapi banyak tantangan etika tertentu, semua pada akhirnya, bermuara pada kebutuhan memerintah, dan memerintah dengan cara yang adil dan berimbang. Walakin, bagaimana mereka melakukannya, dan siapa yang paling mereka ladeni?
Mengemban jabatan atau memegang posisi terpilih, membawa kekuasaan besar ... dan tanggungjawab besar. Sebuah suara bagi seorang kandidat itu, ekspresi kepercayaan, dan politisi, seyogyanya berusaha mewakili kepentingan pemilih dan memegang janji kampanye mereka sendiri, sekuat tenaga mereka. Namun politisi, pada umumnya, tak punya reputasi sebagai sekelompok orang yang punya banyak integritas atau serat moral. Setiap musim pemilihan, ketidaksenangan antar sesama politisi, membasahi eter budaya, terutama berkisar pada kampanye negatif, pembengkokan kebenaran atau kebohongan, dan keingintahuan kolektif tentang mengapa seseorang tertarik mengejar kekuasaan.
Kebanyakan politisi, punya minat yang tulus dalam pelayanan publik, namun banyak politisi, punya ide yang berbeda tentang apa maknanya. Cukup mendefinisikan siapa itu 'publik,' bisa menjadi tantangan. Melayani rakyatkah para politisi itu? Bila demikian, lalu, rakyat yang mana? Semua orang, ataukah cuma pemilih atau konco-konco mereka? Melayani kepentingan suatu daerahkah mereka, dan berbedakah kebutuhan individu di daerah itu, dengan kebutuhan lembaga atau pengusaha besar yang juga menempati daerah tersebut? Ataukah tanggungjawab seorang politikus, semata untuk mengabdi pada konstruksi hukum, cita-cita, atau konstitusi dalam upaya menjaga ketenangan? Semua target ini, mungkin punya nilai yang saling bertentangan. Demokrasi berjalan lambat, dan perubahan, teramat susah datangnya, maka, komitmen agar berubah ke arah kebaikan moral, membutuhkan tekad.

Masalah etika lain, yang berkaitan dengan politisi, tentang kehidupan pribadi mereka. Di AS, ada banyak contoh pejabat terpilih yang, ketika berita perselingkuhan mereka dipublikasikan, harus mengeluarkan permintaan maaf publik, dan kemudian, mengundurkan diri dari posisinya. Di negara lain, seperti Prancis, berselingkuh, lebih dapat diterima secara budaya bagi orang dewasa, dan politisi. Konstituen di negara-negara tersebut, dapat memisahkan kehidupan pribadi politisi dari kehidupan publiknya, lalu menilai kinerja politik pejabat terpilih mereka, semata-mata berdasarkan hal itu. Inlah Etika yang membingungkan, menentukan, sungguh pribadikah, kehidupan pribadi para politisi, padahal mereka juga, public figures. Apalagi, opini para tokoh politik, bisa berubah jika mereka gagal menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang telah lama dianut—dan kinerja mereka sebagai public figures, bisa dipertanyakan.
Duit, tentu pula dapat mengaburkan kebersihan etika para politisi. Saat berkampanye, menerima uang dari individu atau organisasi yang bukan merupakan konstituen mereka, potensi konflik kepentingan tercipta. Siapa politisi yang didanai dengan baik, sungguh terikat pada: donor atau pemilih mereka?

Kita bisa juga kepoin tentang niat para politisi. Tentu saja ada keuntungan dari pekerjaan itu—menjadi tenar dan mempeoleh kekuasaan serta pengaruh yang luar biasa, sangat menarik bagi sebagian orang. Namun pekerjaan politik, membawa serta pengawasan dan kritik yang intens. Segala yang diucapkan, dilakukan, atau dipilih, seyogyanya permainan yang adil. Yang membuat seseorang bertanya-tanya, mengapa ada orang yang ingin menjadi politisi. Ada banyak alasan, dan datangnya berasal dari seluruh spektrum etika. Ada politisi yang berkeinginan tulus melakukan perubahan melalui undang-undang, atau bekerja dari dalam 'perut jahanam.' Yang lain, mungkin berasal dari kepentingan pribadi—hasrat akan kekuasaan, misalnya. Motivasi, tentulah, dapat beragam, dan beberapa politisi merasa terdorong oleh keinginan untuk mengalahkan 'kejahatan'—atau lawan mereka, yang, jika iklan kampanye negatif dapat dipercaya, akan menjadi pilihan yang sangat buruk bagi pemilih. Tapi apapun alasan yang diberikan politisi dalam kampanye demi mendambakan pekerjaan itu, kita tak bisa tidak, bertanya-tanya, mengapa mereka benar-benar ingin mencalonkan diri.

Terlepas dari klise yang berkanjang bahwa semua politisi itu, pembohong yang merusak, kita berharap, para politisi dapat dipercaya dan jujur. Mungkin ini dikarenakan kita diharuskan—kita mesti memilih seseorang, dan kita ingin meyakini, bahwa kandidat yang kita pilih, lebih unggul secara moral. Demi kepentingan diri kita sendirilah, dan kebaikan yang lebih besar, memilih kandidat yang kita anggap paling bajik, dan menyangkal kandidat yang akan mudah terpengaruh oleh uang dan cuan. Dalam demokrasi Amerika, 'checks and balances' bawaan dalam sistem (bersama dengan whistle-blower, pers yang bebas, dan proses pemakzulan) telah ditetapkan untuk membantu membatasi korupsi semacam itu, dan gagasan bahwa para pemimpin, tak terjangkau hukum.
Kita berkeinginan, dan berharap, para politisi kita, sedikit lebih baik dari rata-rata. Kita mendambakan, mereka memimpin dengan keteladanan dan menjadi yang terbaik dari yang terbaik (sebuah citra yang kerapkali, kita paksakan pada mereka, dengan semangat-membara dan hagiografi, mengangkat mereka ke status setengah-dewa, dengan cara membenarkan pemberian begitu banyak kekuasaan dan meyakini bahwa mereka sanggup menggunakannya dengan bijak). Kita ingin, mereka menunjukkan etika kebajikan dan menjadi yang terbaik. Kita ingin, mereka jujur dan bertanggung jawab, peduli, dan bekerja keras demi menemukan solusi atas masalah yang kita hadapi.

Falsafah moral, terkait dengan menentukan kebajikan dan alasan di balik etika. Hukum itu, aplikasi praktis, politis, dan terkodifikasi dari etika tersebut. Di antara kedua sistem ini, terdapat etika sosial, nama formal bagi standar moral, norma, dan kode etik tak resmi, yang diharapkan dari seseorang di dunia, atau dalam masyarakat, budaya, atau komunitas tertentu.
Etika sosial, dibangun di atas nilai-nilai bersama dari banyak orang. Tetapi nilai-nilai sosial, berbeda dengan nilai-nilai individual itu.
Nilai-nilai individu itu, kebajikan-kebajikan yang dicari setiap orang, bagi dirinya sendiri, dan nilai-nilai itu, bisa beragam seperti orangnya. Nilai-nilai pribadi ini, tak serta merta menjadi nilai-nilai sosial, pula, tak menjadi bagian dari kerangka etika sosial. Hal ini lantaran maksud dari nilai itu sendiri. Nilai-nilai individu, meskipun bajik dan baik (contohnya : berani, gagah-perkasa, dan berintegritas) semata menguntungkan individu, atau setidaknya, membingkai bagaimana individu itu, harus menjalani kehidupan pribadinya. Nilai-nilai sosial, sebaliknya, secara eksplisit berkaitan dengan kesejahteraan orang lain. Dorongan untuk membantu orang lain—atau bahkan gagasan abstrak tentang 'orang lain'—yang membuat nilainya, menjadi nilai sosial. Mempunyai nilai-nilai sosial dalam benak, mempengaruhi pikiran dan perilaku individu. Individu kemudian mengambil etika ini, dan itu, pada gilirannya, membantu membangun etika sosial suatu masyarakat.
Kewajiban kepada orang lain dalam suatu komunitas inilah, yang mendorong etika sosial. Kita berkewajiban untuk membantu orang lain, baik mereka yang kurang beruntung atau tidak, sebab berbagi itu, bahan bakar masyarakat. Masing-masing dari kita, bagian dari masyarakat, dan saat kita menikmati manfaat hidup dalam masyarakat itu, kita berkewajiban mengambil bagian di dalamnya guna membantunya, berfungsi. Bagian darinya adalah, berbagi, baik secara langsung, melalui pemberian uang atau makanan kepada yang kurang beruntung, misalnya, atau tak langsung, dengan menggunakan setiap bakat dan kemampuan unik kita, agar saling-menopang, sehingga kita dapat membantu masyarakat, beroperasi, dan berkembang. Akuntabilitas sosial, juga menjadi faktor dalam etika sosial. Karena kita masing-masing memiliki peran, kita dipercaya menjalankan peran itu, dan dengan demikian, kita bertanggungjawab atas tindakan kita. Hubungan antara individu dan masyarakat ini, sangat berharga dan rapuh, sebab orang lain mengandalkanmu, dan kontribusimu untuk membantu, menjadikan masyarakat bersenandung. Penolakan berperan, memengaruhi orang lain—dan tidaklah beretika jika melanggar kebahagiaan orang lain, atau menghalangi mereka, menjalani kehidupan terbaiknya.
Meskipun setiap masyarakat atau budaya, punya standar etikanya sendiri, bagaimana hal ini dibuat atau dikembangkan sepanjang waktu? Beberapa faktor tersebut antara lain, keyakinan agama yang dominan, faktor ekonomi, dan kepraktisan. Nilai-nilai sosial yang berlaku inilah, yang membantu masyarakat mencapai tujuannya, terutama yang berhubungan dengan perdamaian dan kemakmuran. Organisasi pemerintah, kemudian menanggapi norma-norma yang muncul, dengan menetapkan undang-undang berdasarkan standar etika yang berlaku. Yang ini, bisa menjadi tugas yang sulit, sebab beberapa topik yang lebih kontroversial dalam masyarakat modern, kontroversial khususnya dikarenakan sifat etisnya, tak jelas.'

Hening sejenak, lalu sang istri bertanya, 'Bagaimana Moral dan Etika dalam perspektif Islam?' Sang lelaki menjawab, 'Kita sambung ke bagian 3.'"

Senin, 25 Juli 2022

Di Luar Dingin! (1)

"Socrates berkata, '... apa yang kita bicarakan, ialah bagaimana semestinya seseorang menjalani hidup.' Seperti Socrates, Plato berpikir bahwa, filsafat dapat menjawab pertanyaan itu. Ia berharap, seseorang dapat mengarahkan hidupnya, bilamana perlu, mengarahkannya kembali, melalui pemahaman yang khas filosofis—yaitu, umum dan abstrak, reflektif rasional, dan peduli dengan apa yang dapat diketahui, melalui berbagai macam pertanyaan,'" Laluna memulai perbincangan setelah ucapan Basmalah dan Salam. "Dan malam itu, aku mengarahkan sinarku ke sebuah rumah dimana seorang lelaki sedang berbaring di tempat tidur bersama istrinya, dan istrinya membangunkannya, berkata, 'Paa, tutup jendelanya sayang, di luar dingin!' Ia melengos, berguling, dan kembali tidur. Sang isteri mencoleknya. 'Paa, tutup dong jendelanya; di luar dingin.' Ia mendesah, menarik selimut, dan tidur lagi. Sesaat kemudian, sang isteri menyepaknya dengan kuat dan mendorongnya dengan kedua lengannya. 'Ayo dong paa. Tutup jendelanyaa; di luar diingiin!'

Sang lelaki bangun, lalu duduk di tepi tempat tidur sambil berkata, 'Etika, yang disebut pula, falsafah moral itu, pembagian filsafat yang berkaitan dengan bagaimana seseorang hendaknya bersikap dalam sesuatu hal yang dianggap benar atau baik secara moral. Kedengarannya seperti ide sederhana—bagaimana menjadi baik, dan mengapa menjadi baik itu penting—namun konsep inilah, yang telah memikat dan menyiksa para filsuf moral selama lebih dari 2.000 tahun.
Etika bermakna, mencoba mencari tahu, mengapa seseorang harus berperilaku secara moral, serta memahami faktor-faktor pendorong bagi perilaku tersebut. Ia mencermati pula apa, tepatnya, yang menjadikan sesuatu itu, 'baik' atau 'buruk'. Misalnya: Sesuatu yang secara alamikah, perasaan baik atau buruk itu, ada di dalam diri kita, atau di tempatkan di sanakah perasaan itu, oleh makhluk ilahi? Mengikuti kode moralkah kita? Bertindak secara moralkah kita, lantaran sering kali, demi kepentingan diri kita sendiri? Perilaku etiskah, segala tentang sifat konsekuensi dari tindakan kita?
Etika bisa dibilang, salah satu jenis filsafat yang mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Filsafat mengajukan pertanyaan besar seperti, 'Nyatakah Tuhan itu?' atau 'Mengapa kita ada di sini?' Namun pertanyaan-pertanyaan besar ini, tak secara langsung membahas bagaimana menjalani hidup seseorang. Etika itu, langkah yang hilang antara menyikapi ketidakterbatasan alam semesta dan mendamaikannya dengan kehidupan sehari-hari di bumi. Jika filsafat mendorong perilaku moral dengan mengajukan pertanyaan besar 'mengapa', maka etika, mengeksplorasi perilaku moral, dan berupaya merumuskan jawaban konkret 'apa' dan 'bagaimana' atas pertanyaan yang diajukan filsafat.
Etika, dapat dan harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Engkau dapat menyesuaikan etika agar sesuai dengan kehidupanmu, dan engkau dapat menggunakan etika, untuk membuat keputusan dan mengambil tindakan yang secara moral 'benar' di bidang-bidang seperti kedokteran, bisnis, dan disiplin ilmu lainnya. Penggunaan etika, juga memunculkan teka-teki etika lain—mengapa penting mempertimbangkan, mengapa seseorang harus bertindak dengan cara tertentu? Jawabannya terletak pada konsep kebahagiaan. Sederhananya, kebahagiaan itu, hasil dari etika, baik itu, kebahagiaan diri sendiri, maupun kebahagiaan orang lain. 
''Idiih, papa ngomong apa sih? Tapi sepertinya menarik, lanjutin sayang!' kata sang istri. Sang lelaki melanjutkan, 'Setidaknya, di dunia Barat (Eropa dan Amerika), Filsafat, seperti yang kita ketahui, bermunculan sekitar abad keenam SM di Yunani. Banyak filsuf menulis dan mengajar di Yunani kuno. Namun era keemasan filsafat Yunani ini, didominasi oleh tiga pemikir paling masyhur dan berpengaruh dalam sejarah Barat: Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Aliran pemikiran Yunani, mendominasi filsafat dan segala bagiannya, sampai abad pertama Masehi. Socrates (ca. 470–399 SM) membuat banyak kerangka kerja dan metodologi, cara mendekati filsafat dan etika. Diantaranya, inovasi 'metode Socrates.' Yang mengikuti tradisi Socrates, salah satu siswa utamanya, Plato (ca. 428-348 SM). Di Athena, Plato membentuk lembaga pendidikan tinggi pertama di Barat, Akademi. Salah satu kontribusi utamanya pada filsafat moral, ialah teori bentuk, yang mengeksplorasi bagaimana manusia dapat menjalani kehidupan, yang bahagia di dunia materi, yang selalu berubah.
Pilar ketiga filsafat Yunani kuno, Aristoteles (384–322 SM)—ia dipekerjakan oleh Phillip II dari Makedonia, yang merupakan pekerjaan yang cukup enak—seorang mahasiswa Plato di Akademi, dan kemudian menjadi profesor di institusi yang sama. Salah satu teori utamanya, berkaitan dengan teori universal. Teori ketiga filsuf ini, menciptakan kanon filosofis Barat, dan mewakili entri besar pertama ke dalam studi etika.

Sang lelaki berhenti sebentar, lalu menyambung, 'Moralitas itu, tentang dualitas baik-buruk. Dalam pengertian umum, moralitas mengacu pada kode atau aturan dimana tindakan-tindakan dinilai terhadap bagaimana ia menyimpulkan nilai-nilai bersama. Ada hal-hal yang 'benar', sementara yang lain, 'salah'. Sedangkan Etika, mengacu pada aturan-aturan yang membentuk kode-kode moral tersebut dan yang juga berasal dari kode-kode moral dimaksud.
Gagasan tentang sifat alam semesta secara logis mengarah pada gagasan bahwa semua orang terkoneksi. Kita semua menempati planet yang sama, dan di dalamnya, masing-masing masyarakat dan negara, punya standar perilaku mereka sendiri. Mengapa standar tersebut, ada? Jawabannya sederhana,: menjaga kedamaian dan menjaga agar segala sesuatunya, tetap berjalan lancar sehingga beberapa, banyak, atau semuanya, dapat menjalani kehidupan yang berharga dan memuaskan. Di sinilah cabang filosofis dari falsafah moral berperan.
'Falsafah moral'—istilah yang digunakan secara bergantian dengan Etika—ada bidang studinya sendiri. Ia terpisah dari ide-ide luas filsafat umum, serta cabang-cabang filsafat lainnya.
Etika jelas merupakan konstruksi peradaban yang penting, lahir dari kebutuhan dasar manusia untuk memahami dunia. Tapi mengapa, tepatnya, etika itu penting? Sebab umat manusia membutuhkan struktur guna memahami dunia. Saat kita mengumpulkan informasi, kita menyusun dan mengkategorikannya. Hal ini membantu kita, memecahkan kode alam semesta yang luas dan tampaknya mustahil dipahami. Etika itu, bagian dari perang decoding yang sedang berlangsung ini.
Jika pengetahuan mendefinisikan 'apa' dari alam semesta, maka Filsafat, berupaya membuka kunci 'mengapa.' Etika kemudian menjawab, bagaimana 'mengapa' dilakukan, memberi kita standar, kebajikan, dan aturan, yang kita gunakan mengarahkan bagaimana kita berperilaku, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam skema besar.'

'Mengapa kita bertindak secara etika?' sang isteri kepo. Sang lelaki menjawab, 'Para filsuf telah menunjukkan beberapa alasan berbeda, mengapa manusia dapat dan seyogyanya bertindak dengan cara yang bajik. Ada beberapa:
  • Sebagai persyaratan untuk hidup. Inilah keharusan biologis kita sebagai manusia agar bertahan hidup dan berkembang, dan Etika itu, bagian dari struktur kemanusiaan yang rumit, yang membantu kita menentukan cara terbaik untuk bertindak, sehingga kita masing-masing dapat menjalani kehidupan yang panjang dan produktif. Bertindak dengan bajik, membantu memastikan bahwa tindakan kita, bukan tanpa tujuan, tanpa arah, atau acak. Dengan mempersempit luasnya alam semesta menjadi pengalaman hidup dengan tujuan dan makna—terutama jika ia dipunyai bersama oleh masyarakat atau kelompok budaya—tujuan dan kebahagiaan, lebih mudah dijangkau.
  • Sebagai persyaratan bagi masyarakat. Agar menjadi anggota masyarakat yang bereputasi baik, seseorang hendaknya mengikuti kode dan hukum yang mengatur budaya itu. Setiap orang punya peran yang dimainkannya, dan jika tatanan sosial rusak, kebahagiaan orang lain terancam. Etika membangun hubungan, baik secara individu maupun dalam skala besar. Kebaikan itu penting, dan ia membantu menempa ikatan mendasar yang menyatukan masyarakat.
  • Untuk tujuan keagamaan. Sebagian orang yang berusaha bertindak dengan cara yang sangat mulia secara moral dalam pandangan mereka, dan mereka mendapatkan petunjuk dari agama. Hal ini memainkan jenis etika yang disebut teori perintah ilahi. Orang yang menganut etika jenis ini, bertindak sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh agama yang terorganisir, dan aturan tersebut berasal dari teks-teks suci atau arahan dari entitas ilahi.
  • Untuk kepentingan pribadi. Beberapa ahli etika, yakin bahwa manusia pada akhirnya, bertindak melayani diri sendiri, bahwa mereka melakukan sesuatu dengan mempertimbangkan kepentingan mereka sendiri. Sudut pandang ini, bahkan menginformasikan perilaku moral mereka. Seperti yang diisyaratkan dalam 'the Golden Rule'—perlakukan orang lain seperti engkau perlakukan dirimudan gagasan karma Timur yang serupa, menjadi baik bisa menjadi pengejaran yang mementingkan diri sendiri. Oleh karena itu, jika seseorang yang perilakunya, bermoral, penuh hormat, dan ramah kepada orang lain—untuk alasan apapun, dan bahkan jika alasan itu dimotivasi oleh kepentingan pribadi—hal baik akan terjadi pada orang itu.
  • Karena manusia itu baik. Inilah tema utama falsafah moral. Pertanyaan esensialnya : Etiskah manusia lantaran memang demikian, atau mengejar kehidupan moralkah manusia, karena tindakan tertentu secara alami baik, atau secara alami buruk? Sebagai sebuah tindakan, hal ini memainkan gagasan bahwa manusia, pada umumnya, secara alami baik, dan mereka berusaha bertindak sesuai.
Inti dari perbincangan tentang etika itu, gagasan tentang kebajikan. Falsafah moral, sangat banyak diinvestasikan dalam menentukan, tak semata, bagaimana seharusnya manusia bertindak, melainkan pula, caranya bertindak. Etika mengarah pada nilai-nilai yang dapat diukur, dan nilai-nilai itu, segenggam kualitas yang mengarahkan perilaku yang baik. Hampir setiap sudut pandang yang berbeda tentang etika, berkaitan dengan kebajikan, karena kebajikan, tak punya ikatan dengan agama tertentu atau ideologi etis. Dan banyak yang universal—ada juga yang tidak, namun itulah pertanyaan yang semestinya diperdebatkan oleh para ahli etika.'

'Dan bagaimana kita menerapkan etika?' sang isteri mengajukan pertanyaan. Sang lelaki menjawab, 'Etika tak cuma ada sebagai teori dan gagasan ; etika dimaksudkan agar menuntun langsung ke arah tindakan. Oleh karenanya, kita punya etika terapan, atau falsafah moral dalam tindakan dan praktik.
Walau falsafah moral yang paling menonjol telah dipalsukan berabad-abad yang lalu, poin-poin pentingnya, tetap terbuka untuk dipertanyakan. Etika tiada dalam ruang hampa, dan tak berdiri diam. Etika merupakan sistem yang berisi banyak aturan praktis, yang dapat dipelajari dan diadaptasi ke dalam sejumlah situasi kehidupan nyata. Memang, ahli etika telah berusaha menemukan moralitas universal yang berlaku bagi semua manusia dan, tampaknya, bagi seluruh lapisan masyarakat. Etika itu, bagian besar dari proses pengambilan keputusan di banyak profesi dan bidang saat ini, dan sangat relevan karena dunia menghadapi tantangan yang berubah dengan cepat dan belum diketahui, baik di masa kini maupun di masa depan.
Baik Etika, maupun Kebajikan, alat vital dalam masyarakat beradab, dan berlaku di hampir setiap sektor dunia profesional. Ada beberapa bidang yang bisa dijadikan contoh terapan etika, antara lain, lanjut ke bagian 2.'"

Sabtu, 23 Juli 2022

Tukang Giling dan Tikus Besar (2)

"'Dalam apa yang bisa disebut the theory of redistributive corruption, negara itu, bagian yang lebih lemah dalam hubungan negara-rakyat,' sambung Tukang giling, 'Di sini, berbagai kelompok sosial dan ekonomi, kepentingan atau individu, diorganisir dan cukup kuat menarik lebih banyak manfaat dari praktik korupsi yang mereka lakukan, dengan negara sebagai mitra, daripada negara dan elit penguasa. Penerima manfaat utama dari sumber daya yang diekstraksi, diprivatisasi dan dikonsumsi, bukanlah elit-politik dan elit-berbasis negara, melainkan sumber-daya negara habis dan didistribusikan ke berbagai kelompok dan kepentingan, sesuai dengan konfigurasi kekuasaan di masing-masing negara.
Siapa, dalam masyarakat, yang paling diuntungkan dari korupsi semacam ini, tergantung pada distribusi kekuatan lokal. Mungkin kelompok atau klan etnis atau regional yang sangat berkuasa, yang cukup kuat mengambil lebih banyak dari negara daripada membagi dengan adil, investasi publik, proyek pembangunan, bantuan internasional, otonomi daerah dan perwakilan di lembaga nasional. Boleh jadi, kepentingan perusahaan asing atau lokal, yang dapat membeli sumber daya nasional dengan harga murah, konsesi, perlakuan istimewa, izin, dan pembebasan pajak. Bosa jadi pula, masyarakat umum, individu yang mampu membeli tunjangan seperti pembebasan pajak, subsidi, pensiun, atau asuransi pengangguran, atau mendapatkan akses istimewa ke sekolah istimewa, perawatan medis, perumahan, real estat atau kepemilikan saham di perusahaan negara yang diprivatisasi.

Yang kalah dalam permainan ini, ialah negara dan kapasitas pengaturannya. Kala warga negara, bisnis komersial—lokal dan internasional—dan berbagai kelompok kepentingan—formal dan informal, modern dan tradisional—dapat membeli sumber-daya nasional dan publik dengan murah, membeli pengecualian, hak istimewa, kekebalan dan pengecualian dari hukuman melalui penggunaan suap dan mafia metode vis-à-vis pejabat publik, negara akan terkikis. Akibat dari redistributive corruption ini,' negara menjadi tak berdaya dan impoten secara politik. Kapasitas negara menarik pajak dan memberikan pelayanan publik, akan terkikis; kemampuannya menerapkan kebijakan yang koheren, hancur, demikian pula, kemampuan negara mengubah masyarakat dan ekonomi berdasarkan prioritas politik dan untuk melaksanakan kebijakan pembangunan yang rasional, akan hancur pula.
Lebih jauh lagi, redistributive corruption akan, 'terutama menyakiti orang miskin' lantaran sumber daya diprivatisasi dan didistribusikan kembali sesuai dengan kemampuan kelompok, mempengaruhi kebijakan melalui tekanan dan suap, dan bukan melalui prinsip 'one man one vote.' Sumber daya takkan didistribusikan menurut pertimbangan kebutuhan dan keadilan 'universalistik' atau ideologis. Mereka yang sangat membutuhkan redistribusi politik, dalam hal layanan publik dasar, semisal sekolah, kesehatan, layanan sosial, dan perlindungan negara, akan sangat menderita manakala kapasitas negara dilumpuhkan.
Feodalisasi, istilah yang digunakan saat negara lemah, dimanipulasi oleh golongan kuat dalam masyarakat, ketika negara kehilangan kendali atas kekuatan 'sipil'. Feodalisasi merujuk pada 'privatisasi' dan 'desentralisasi' negara, dan menggarisbawahi hubungan klientelishubungan antara individu dengan status ekonomi dan sosial yang tak setara ('bos' dan 'kliennya') yang memerlukan pertukaran timbal balik barang dan jasa berdasarkan hubungan pribadi yang umumnya dianggap sebagai kewajiban moralyang terlibat. Feodalisasi terjadi tatkala seluruh wilayah geografis, sektor ekonomi dan/atau unit militer, diambil-alih oleh kepentingan 'swasta.' Dalam jangka pendek, seorang penguasa, mungkin mendapat manfaat dari feodalisasi yang disengaja dalam hal loyalitas—dari orang kuat lokal atau regional, kelompok klien atau pengikut—dan dalam hal pengiriman suara yang terjamin bagi partai yang berkuasa dalam pemilihan, namun dalam jangka panjang, keutuhan negara, terancam.

Dari pandangan alternatif, dalam apa yang bisa disebut the theory of extractive corruption, negara, pihak yang lebih kuat dalam hubungan negara-rakyat. Menurut teori ini, yang korup—negara atau beberapa agen negara—yang paling diuntungkan dari korupsi dan koruptor, kurang lebih, pemain pasif. Pada hakekatnya ,elite penguasa, merupakan kekuatan yang paling kuat adalah masyarakat, elite atau kelas ini, menggunakan aparatur negara sebagai instrumennya guna mengekstraksi sumber daya dari masyarakat, dan ia melakukannya, demi kepentingan penguasa. Teori ini sebagian didasarkan pada operasi negara-negara otoriter pada umumnya, dan pada pengalaman negara-negara neo-patrimonial pada khususnya.
Teori ini, terutama berlaku dimana negara bukan hanya kekuatan terkuat dalam masyarakat, tetapi juga dimana elit penguasa telah berkembang menjadi kelas dominan dan penguasa yang mengendalikan kekuasaan negara. Teori ini, juga menekankan pernyataan terkenal bahwa 'semua kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut pasti korup.' Maknanya, semakin banyak kekuatan politik terkonsentrasi secara eksklusif di tangan segelintir orang, semakin besar godaan penyalahgunaan kekuasaan, pencarian kekayaan yang egois, dan ekstraksi primitif.

Lantas, apa penyebab Korupsi? Ada hubungan yang kuat antara tingkat pendapatan—rendah, menengah-bawah, menengah-atas, dan tinggi—dengan korupsi. Semakin tinggi taraf income di sebuah negara, semakin rendah tingkat korupsinya.
Telah dirumuskan sebuah 'hukum' atau aturan umum yang menyatakan, bahwa tingkat korupsi, berbanding terbalik dengan tingkat kekuasaan yang bersifat konsensual. Maknanya, semakin tinggi tingkat keabsahan kekuasaan, semakin sedikit korupsi. Tingkat korupsi dan bentuknya, juga agak bervariasi secara sistematis dengan latarbelakang politik. Tingkat dan bentuk korupsi, berbeda-beda menurut jenis rezim dimana korupsi itu terjadi. Satu asumsi umum yang dipegang secara luas, bahwa tingkat korupsi, berhubungan negatif dengan demokratisasi, yakni tingkat korupsi menurun, dengan meningkatnya tingkat demokrasi.

Lalu, apa akibat dari Korupsi? Korupsi dapat menyebabkan banyak kerugian bagi masyarakat, semisal ketika mengarah pada pembalakan liar di hutan hujan tropis dan tak mematuhi peraturan bangunan yang dirancang untuk menjamin keselamatan publik. Korupsi dapat pula menyebabkan warga negara tak aman, politisi spekulatif, dan administratur negara, terombang-ambing antara peluang besar, risiko besar, dan tekanan yang berlipat-ganda.

Dalam hubungannya dengan ekonomi, korupsi tak selalu buruk. Misalnya, dalam tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat investasi asing langsung, di negara-negara yang sangat korup. Di beberapa negara, tingkat pertumbuhan tampaknya tak menurun, karena telah dipertahankan pada tingkat yang tinggi selama bertahun-tahun, meskipun ada korupsi sistemik. Ini terutama terjadi di beberapa negara Asia Tenggara. Di negara-negara lain, terutama di Afrika, tingkat korupsi yang tinggi, telah menghambat pertumbuhan. Namun demikian, dampak ekonomi dari korupsi, bergantung pada jenis korupsi di masing-masing negara, pada cara korupsi diorganisasikan atau tidak.
Akan tetapi, di negara-negara dengan korupsi yang merajalela, korupsi selanjutnya akan meningkatkan biaya operasional pemerintah, pendapatan akan bocor dan sumber daya yang tersedia bagi layanan publik, akan berkurang. Pengambilan keputusan pemerintah akan terdistorsi, dan pemerintah takkan mampu memberikan layanan publik yang sangat dibutuhkan. Dilema lain, bahwa dalam sistem non-demokrasi atau semi-demokratis (neo-patrimonial), dimana kekuatan politik terutama digunakan mengejar kepentingan elit penguasa, peningkatan efisiensi negara, mungkin dengan sendirinya merugikan pembangunan nasional. Akan sangat mungkin, menyiratkan ekstraksi sumber-daya yang lebih efisien, bagi kepentingan elit penguasa.

Korupsi mempengaruhi cara negara dikelola. Namun, seperti halnya dengan konsekuensi ekonomi, konsekuensi politik dari korupsi, sebagian besar tergantung pada jenis korupsi yang terjadi, dan konsekuensinya, sangat berbeda sesuai dengan cara penggunaan sumber-daya yang diekstraksi. Di negara-negara yang lemah, di negara-negara dimana elit penguasa hanya mempunyai sedikit kontrol atas siapa yang akan mendapatkan berapa banyak dari korupsi jenis apa, legitimasi negara seperti ini. akan berkurang dengan kurangnya pelayanan. Korupsi yang tak terkendali dan tak dibatasi, akan berdampak umum pada pelemahan institusi negara dan legitimasi politik.
Negara kuat, di sisi lain, negara dengan kontrol eksklusif dan tak terbantahkan atas kebijakan ekonomi, baik formal maupun informal, cara akumulasi, redistribusi, dan konsumsi. Di sini, korupsi ekstraktif apapun, akan menjadi bagian terpadu dari kontrol keseluruhan atas aparatur negara dan operasinya, termasuk alokasi sumber daya yang otoritatif. Pemimpin yang kuat, akan melakukan kontrol yang kuat atas berbagai bentuk korupsi, dan akan dapat memutuskan siapa yang akan mendapatkan berapa banyak dari jenis korupsi apa. Oleh karena itu, tingkat korupsi dapat stabil, dapat diprediksi, dan dapat diterima oleh bisnis dan masyarakat umum. Di negara-negara kuat, lembaga-lembaga negara belum tentu menderita korupsi.
Selain itu, legitimasi dan efisiensi negara, dan akibatnya, sikap umum terhadap korupsi, bergantung pada penghargaan keseluruhan sistem pemerintahan di mata rakyat. Sistem politik—otoritas politik dan agen-agen negara—disepakati dan dipatuhi oleh sebagian besar warga negara ketika masyarakat pada umumnya menganggap otoritas politik itu, bajik. Legitimasi tergantung pada layanan yang diberikan dan kemampuan memenuhi tuntutan rakyat, lebih dari cara negara dioperasikan. Selain itu, karisma pemimpin politik, penting pula dalam hal legitimasi. Oleh karenanya, negara yang efisien, dapat mempertahankan tingkat korupsi yang relatif tinggi dan stabil, atau mengelola tingkat korupsi pada tingkat yang rendah, sesuka hatinya. Kekuatan negara dan kemauan politik inilah, yang menjelaskan rendahnya tingkat korupsi di negara-negara otoriter seperti Singapura, Hongkong dan Taiwan.
Tingkat korupsi dan dampak politiknya di Eropa, hampir tak sebanding dengan dampak buruk yang terlihat di sebagian besar negara Afrika dan beberapa negara Asia. Di negara-negara demokrasi, atau lebih tepatnya, di negara-negara yang diatur oleh hukum dan dimana hak asasi manusia dan pembagian kekuasaan antara lembaga dan kelompok, dihormati dan efektif, tindakan korupsi politik dapat diungkapkan oleh pers yang bebas dan media lain, oleh oposisi, dengan mengaudit dan mengendalikan badan atau oleh polisi, dan pelanggar dapat kehilangan jabatan melalui prosedur hukum atau dalam pemilihan berikutnya. Skandal korupsi, sebenarnya bisa mempertajam instrumen kontrol. Oleh karena itu, institusi demokrasi, tak serta merta terancam oleh insiden korupsi politik yang terisolasi. Bahkan bisa diperkuat, jika kasus korupsi politik, ditangani dengan baik. Namun demikian, korupsi politik yang sistematis dan endemik, dapat membahayakan sistem demokrasi manapun.

Korupsi terus berlangsung dalam jangka waktu yang lama—walaupun belum sampai dua lusin abad. Korupsi memang tak mudah diberantas. Korupsi sistemik mengakar kuat dalam struktur sosial dan sejarah politik yang mendasarinya.
Sejarah sebuah negara, membentuk taraf kejujuran dalam pemerintahan: pemerataan ekonomi dan negara yang cukup kuat untuk memberikan pelayanan kepada warganya. Pelayanan terpenting yang dapat diberikan oleh suatu negara, ialah Pendidikan. Negara-negara dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi di masa-lalu, di masa-kini, mengalami lebih sedikit korupsi.
Mengapa pendidikan? Pendidikan mendorong pemerataan ekonomi. Keterkaitan antara kesetaraan dan tingkat korupsi yang lebih rendah, telah terjalin dengan baik. Dan pendidikan menggalakkan nilai-nilai kewarganegaraan yang mendasari 'pemerintahan yang baik' –atau kejujuran dalam pemerintahan. Pendidikan memberikan dasar bagi orang-orang biasa, turut-serta dalam pemerintahan mereka–dan mengambil-alih kekuasaan dari para pemimpin yang korup.
Pendidikan memberdayakan orang membuat jalan mereka sendiri di dunia, tanpa harus bergantung pada pemimpin klientelistik terhadap mata pencaharian mereka. Ketika orang bergantung pada 'pelindung' bagi kesejahteraan mereka, keselamatan mereka, bahkan rezeki mereka, terikat pada kesetiaan mereka. Mereka mungkin 'menoleransi' korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin ini, baik karena 'orang-orang besar' ini membela mereka dari orang lain, yang mungkin mengeksploitasi mereka lebih jauh, atau, karena orang biasa tak punya sumber pendapatan alternatif. Hubungan patron-klien didasarkan pada ketidaksetaraan.
Pendidikan menggalakkan pula loyalitas kepada negara dibanding pemimpin lokal—atau suku. Ketika pemerintah menyediakan layanan seperti pendidikan, masyarakat akan mentautkan manfaat dengan negara, dan akan lebih cenderung punya identitas yang luas dengan sesama warganya. Identitas yang lebih luas ini, dasar dari kepercayaan umum–kepercayaan pada orang yang tak kita kenal, yang mungkin tak seperti kita. Tingkat kepercayaan yang lebih tinggi sangat terkait dengan korupsi yang lebih rendah. Identitas bersama, seperti kepercayaan, hanya mungkin terjadi jika ada kesetaraan yang lebih besar. Hubungan agregat yang kuat antara kepercayaan dan rata-rata tahun sekolah pada tahun 1870 (r2 = .462) menunjukkan bahwa pendidikan itu, bagian dari 'jebakan ketidaksetaraan,' bahkan mungkin, ukuran pengganti bagi kepercayaan.'"

'Aduh bosque!' Tikus yang malang menyela lagi, 'uang kecil yang gua ambil, cuma dari tangan ke mulut, dan itu murni buat butuh menjaga kehidupan dan jiwa tetap bersama,' sang Tikus memohon di satu sisi, di lain sisi, Tukang giling melemparkan masalah hati-nurani dan kejujuran dari mulutnya, ke mulut yang lain, dan berkhotbah tentang pilihan kenyamanan politik, dengan mencontohkan maling seperti dirinya, bagi kebajikan publik.
'Tapi Bosque!' kata sang Tikus sekali lagi, 'Coba bosque pikir-pikir lagi deh; gua pedagang beras, bosque juga, jadi kita berdua, semestinya punya rasa senasib-sepenanggungan; gua kan cuma ngambil sebiji, tapi bosque, nyolong seribu.'
'Ini bukan bahasa yang harus ditanggung oleh orang jujur,' teriak Tukang giling, gusar; 'tapi yang terbaik, hei dongok, lidahmu, bukan fitnahmu,' maka iapun menyerahkan kepada sang Kucing, agar melakukan apa yang kita sebut di dunia sebagai, eksekusi keadilan.
Setelah menjalankan tugasnya, dengan berjalan santai, sang Meong berdendang,

Tikus-tikus tak kenal kenyang
Rakus-rakus, bukan kepalang
Otak tikus memang bukan otak udang
Kucing datang, tikus menghilang *)

Sebagai penutup, Laluna berkata, "Korupsi, secara luas diakui sebagai penyimpangan yang tak pantas, BUKAN semata lantaran masalah norma 'BERANI JUJUR HEBAT,' melainkan karena MEMPERHEBAT JURANG KETIDAKSETARAAN. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Inge Amundsen, Political Corruption: An Introduction to the Issues, Chr. Michelsen Institute
- Eric M. Uslaner, The Historical Roots of Corruption, Cambridge Univesity Press
- Arnold J. Heidenheimer & Michael Jihnston (ed.), Political Corruption : Concept & Contexts, Transactions Publishers
*) "Tikus-tikus Kantor" karya Iwan Fals

Jumat, 22 Juli 2022

Tukang Giling dan Tikus Besar (1)

"'Korupsi itu, penyakit, kanker yang menggerogoti tatanan budaya, politik dan ekonomi masyarakat, serta merusak fungsi organ vital,' kata sang pemilik rumah penggilingan padi—kita sebut saja Tukang giling—sembari memasukkan seekor Tikus besar ke dalam sebuah mangkuk," Laluna mengajun sebuah cerita, usai menyapa dengan Basmalah dan Salam. “Korupsi ada hampir dimana-mana, namun sangat kuat mengakar di negara-negara miskin di Afrika Sub-Sahara, tersebar luas di Amerika Latin, mengakar di banyak negara industri baru, dan mencapai proporsi yang mengkhawatirkan di beberapa negara-negara pasca-komunis.
Agak susah memang, bila berupaya mendefinisikan Korupsi. Serangkaian masalah sering dikaitkan dalam diskusi publik tentang Korupsi. Masalah pertama ialah 'Korupsi oleh Pejabat Publik.' Kedua, penyalahgunaan jabatan oleh pejabat publik. Di sini, definisi yang tepat, tak memungkinkan, kamus hanya menyebutkan bahwa penyalahgunaan berarti 'menyelewengkan'' atau 'melakukan sesuatu yang tak pantas,' dan 'menyelewengkan' dan 'tak pantas' sama kaburnya dengan penyalahgunaan. Ilmuwan politik Kanada, Kenneth Gibbons, mengajukan sejumlah perbuatan, yang oleh sebagian orang, mungkin bisa disebut 'penyalahgunaan jabatan':
  • Seorang pegawai negeri lebih suka memberikan posisi di kantornya kepada kerabat dibanding pelamar yang lebih berkualitas. [Nepotisme]
  • Sebuah partai politik yang memenangkan pemilu, kemudian menghapus seluruh pemegang jabatan yang mendukung partai oposisi. [Patronasi]
  • Seorang legislator, punya saham di sebuah perusahaan pertambangan, dan mendukung rancangan undang-undang yang akan memberikan konsesi pajak kepada perusahaan tersebut. [Konflik kepentingan legislatif]
  • Birokrat pemerintah menggunakan pengetahuan dan kontak mereka, guna mendirikan perusahaan konsultan paruh-waktu, yang memberikan nasihat kepada klien swasta. [Konflik kepentingan birokrasi]
Kedalam daftar Gibbons, dapat pula ditambahkan : pemberian kontrak pemerintah kepada kawan-sejawat atau pendukung politik yang disukai; berbohong kepada media dan publik; dan berbagai bentuk dana kampanye; semuanya mengangkat masalah serupa : penyalahgunaan jabatan.
Ketiga, korupsi bisnis, penipuan, pencurian, penyalahgunaan, kesalahan dan pemborosan. Penyimpangan ini, berbeda dengan korupsi pejabat dan penyalahgunaan jabatan, lantaran dilakukan oleh seseorang yang bukan pemegang jabatan. Mungkin, aktivitas yang paling sering di bawah kategori ini, menyangkut korupsi bisnis atau 'suap.' Bentuk kedua dari pelanggaran pribadi adalah penipuan. Dan masih ada bentuk-bentuk pelanggaran lain yang dilakukan oleh perusahaan atau pihak swasta.Masalah publik terakhir yang pantas disebutkan ialah 'Kejahatan Terorganisir dan Pemerasan.' Sindikat kejahatan dan pemeras, dapat dan melakukan korupsi pejabat publik guna membatalkan penegakan hukum. Namun, walaupun korupsi itu, alat sindikat kejahatan dan pemeras, ia tak sama. Banyak bentuk korupsi pejabat tak terkait dengan sindikat kejahatan dan pemerasan, dan sindikat kejahatan terkadang dapat beroperasi, meskipun pejabatnya, benar-benar jujur.

Jadi, perbedaan definisi antar negara, menjamin bahwa tiada definisi korupsi yang akan diterima secara merata di setiap negara. Keragaman ini, dapat ditemukan apakah definisi didasarkan pada kriteria undang-undang, pada dampak korupsi terhadap kepentingan umum, atau pada opini publik.
Masalah korupsi, sampai batas tertentu, telah memasuki ilmu politik dan ekonomi, dari minat baru dalam peran negara di negara berkembang, dan khususnya dari gagasan bahwa negara adalah instrumen yang sangat diperlukan bagi pembangunan ekonomi.
Berbeda dengan model pembangunan 'didominasi negara' dan 'tanpa negara' yang sebagian besar ditolak, sekarang ada banyak konsensus tentang relevansi negara berukuran sedang yang efisien dalam pembangunan ekonomi. World Development Report tahun 1997 menyatakan bahwa 'negara yang efektif, sangat penting bagi penyediaan barang dan jasa—dan aturan dan institusi—yang memungkinkan pasar berkembang dan masyarakat menjalani kehidupan yang lebih sehat dan lebih bahagia. Tanpanya, pembangunan berkelanjutan, baik ekonomi maupun sosial, tak mungkin terjadi.'
Korupsi telah muncul sebagai konstituen tematik paradigma baru ini, di mana pembangunan memerlukan reformasi ekonomi, yang sekali lagi bergantung pada reformasi politik dan administrasi, seperti good governance dan civil service reforms (CRS), akuntabilitas, hak asasi manusia, multipartai dan demokratisasi. Selain itu, tingkat korupsi yang sangat tinggi, telah diamati dimana pemerintah dianggap tak sah di mata masyarakat—menyiratkan ketidakhormatan yang meluas terhadap prosedur hukum—dan di negara-negara dimana negara memainkan peran intervensionis dalam perekonomian. Oleh karenanya, peran negara dan politik, sangat penting agar dapat memahami Korupsi.

Peran negara yang menentukan, tercermin pula dalam sebagian besar definisi Korupsi. Korupsi secara konvensional dipahami, dan disebut, sebagai perilaku pencarian kekayaan pribadi dari seseorang yang mewakili negara dan otoritas publik, atau sebagai penyalahgunaan barang publik oleh pejabat publik demi tujuan pribadi. Definisi kerja Bank Dunia, bahwa korupsi itu, penyalahgunaan kekuasaan publik demi keuntungan pribadi.
Dengan kata lain, korupsi itu, hubungan negara-rakyat tertentu (dan, bisa dikatakan, menyimpang). Di satu sisi, negara, yaitu pegawai negeri, pejabat, birokrat, dan politisi, siapa saja yang memegang kekuasaan guna mengalokasikan hak atas (kelangkaan) sumber daya publik atas nama negara atau pemerintah. Korupsi itu, tatkala orang-orang ini, menyalahgunakan kekuasaan publik yang diberikan kepada mereka, untuk keuntungan pribadi. Perbuatan korupsi itu, saat orang yang bertanggung jawab ini, menerima uang atau imbalan dalam bentuk lain, dan kemudian menyalahgunakan kekuasaan resminya, dengan membalas budi yang tak semestinya. Misalnya, tindakan korupsi ketika seorang pejabat negara menerima suap untuk memberikan layanan publik yang seharusnya gratis, atau menuntut lebih dari biaya resminya.

Keterlibatan pejabat negara dalam korupsi, juga ditekankan dalam definisi alternatif, dimana korupsi dipandang sebagai 'suatu bentuk pertukaran sosial rahasia, dimana mereka yang berkuasa—politis atau administratif—mengambil keuntungan pribadi, dari satu atau lain jenis pengaruh, mereka menjalankannya berdasarkan mandat atau fungsi mereka.' Singkatnya, hampir setiap definisi—atau lebih tepatnya konseptualisasi—korupsi berfokus utama pada negara dan politik ('yang korup'), dan perspektif 'demand-oriented.'
Di sisi lain dari perbuatan korupsi itu, tiada lain dari 'supply side,' dan beberapa teori dan konseptualisasi, ada yang menekankan 'koruptor', mereka yang menawarkan suap dan keuntungan yang mereka peroleh. Pemasok ini, masyarakat umum, atau—dengan kata lain—masyarakat non-negara. Rekanan dari pejabat korup ialah individu non-pemerintah dan non-publik, perusahaan dan organisasi, domestik dan eksternal.
Korupsi juga terjadi di dalam dan di antara sektor swasta, di dalam organisasi non-pemerintah, dan di antara individu dalam urusan pribadi mereka, tanpa melibatkan lembaga negara atau pejabat negara. Ada juga korupsi dalam bentuk penyuapan, penipuan, dan metode mafia di dalam dan di antara bisnis swasta, ada individu pengkhianat dan karyawan yang tak setia di perusahaan swasta. Korupsi semacam ini, bahkan mungkin berdampak pada sistem politik karena merusak moral publik, dan mungkin merupakan gejala bagi perkembangan ekonomi dan moral masyarakat secara umum.
Namun, sebagian besar definisi korupsi akan mengecualikan korupsi intra-masyarakat ini, dan menekankan korupsi sebagai hubungan negara-rakyat. Hal ini cukup tepat, asalkan fokusnya tak semata pada aspek personal, budaya dan sosial dari korupsi. Korupsi internal bisnis, dapat dan biasanya akan ditangani sebagai masalah disiplin dalam perusahaan, sebagai masalah yudisial dalam kerangka hukum tertentu, atau sebagai masalah moral dalam lingkungan budaya. Oleh karenanya, berbeda dengan hubungan negara-rakyat yang korup, korupsi internal bisnis tak serta-merta harus mempertimbangkan masalah politik dan ekonomi yang lebih luas.

Dalam definisi yang dianut oleh sebagian besar ilmuwan politik, Political Corruption ialah setiap transaksi antara aktor sektor swasta dan publik dimana barang-barang kolektif secara tidak sah, diubah menjadi imbalan yang berkaitan dengan pribadi. Dalam definisi yang lebih ketat, korupsi politik melibatkan political decisionmakers. Political Corruption, atau Grand Corruption, terjadi di tingkat tinggi sistem politik. Saat itulah, para politisi dan agen negara yang berhak membuat dan menegakkan hukum atas nama rakyat, korup. Political corruption terjadi manakala pembuat keputusan politik menggunakan kekuatan politik yang mereka penyai, mempertahankan kekuasaan, status, dan kekayaan mereka. Dengan demikian, korupsi politik, dapat dibedakan dari Bureaucratic Corruption atau Petty Corruption, yaitu korupsi dalam administrasi publik, pada akhir pelaksanaan politik.
Political corruption tak hanya menyebabkan mis-alokasi sumber daya, melainkan juga mempengaruhi cara pengambilan keputusan. Political corruption itu, manipulasi institusi politik dan aturan prosedur, dan karenanya, mempengaruhi institusi pemerintahan dan sistem politik, serta seringkali mengarah pada pembusukan institusional. Oleh karena itu, korupsi politik lebih dari sekadar penyimpangan dari norma hukum formal dan tertulis, dari kode etik profesi dan putusan pengadilan. Political corruption terjadi ketika undang-undang dan peraturan, kurang lebih secara sistematis, disalahgunakan oleh penguasa, dilanggar, diabaikan, atau bahkan disesuaikan dengan kepentingan mereka. Political corruption merupakan penyimpangan dari nilai-nilai dan prinsip-prinsip hukum-rasional negara modern, dan masalah mendasarnya ialah, lemahnya akuntabilitas antara yang memerintah dan yang diperintah. Khususnya di negara-negara otoriter, dasar hukum, yang menjadi dasar penilaian dan penilaian praktik korupsi, lemah, dan lebih jauh lagi, tunduk pada perambahan oleh penguasa.
Oleh sebab itu, kerangka hukum formal negara, tak cukup sebagai kerangka acuan untuk menilai dan mempertimbangkan masalah Political Corruption. Tolok ukur moral, normatif, etika, dan bahkan politik pun, paling tidak, hendaknya dimasukkan, lantaran perlunya membedakan legalitas dari legitimasi dalam hal Political Corruption. Selain itu, sementara Bureaucratic Corruption biasanya dapat ditangani melalui audit, legislasi, dan pengaturan kelembagaan, efek degeneratif dari Political Corruption tak dapat diatasi dengan pendekatan administratif saja. Korupsi politik endemik, menyerukan reformasi politik radikal.
Political corruption—biasanya didukung oleh Bureaucratic Corruption atau Petty Corruption yang meluas—selanjutnya, mesti dianggap sebagai salah satu modus dasar operasi rezim otoriter. Namun, esensi masalah Political corruption sangat berbeda antara rezim demokrasi otoriter dan liberal. Di negara-negara demokratis, masalah Political corruption lebih bersifat insidental dan sesekali, dan dapat ditangani dalam sistem politik yang ada; dengan mereformasi, memperkuat dan menghidupkan lembaga-lembaga politik checks and balances yang ada.

Klasifikasi korupsi kedua, yang secara analitis penting, yaitu antara bentuk korupsi pribadi dan kolektif. Sejauh mana uang atau keuntungan yang dikumpulkan melalui korupsi 'diprivatisasi', berbeda-beda. Ia mungkin ekstraksi untuk kepentingan individu yang takkan berbagi apa-apa atau sangat sedikit manfaat dengan orang yang sederajat, atau mungkin ekstraksi demi kelompok tertentu dengan beberapa koherensi dan kesatuan. Sifat korupsi yang 'pribadi,' individu dan intim berulang kali digarisbawahi karena sifat transaksi korupsi yang ilegal dan sembunyi-sembunyi. Ilegalitas dan imoralitas korupsi mengharuskan adanya kolusi atau persekongkolan antar individu, atau setidaknya suatu kedekatan dan kerahasiaan tertentu.
Namun, korupsi juga bisa bersifat 'kolektif'. Pertama-tama karena korupsi berefek ekonomi yang substansial secara agregat, namun oleh korupsi itu sendiri, mungkin merupakan cara yang disengaja untuk mengekstraksi sumber daya demi kepentingan kelompok yang lebih besar. Beberapa definisi korupsi juga menekankan poin bahwa penguasa sebagai kelompok atau kelas, atau sebagai institusi atau organisasi, menggunakan pengaruh mereka secara tak adil, mengekstraksi sumber daya untuk kepentingan kelompok tersebut.
Korupsi berkecenderungan kuat untuk 'kolektivisasi'. Agar tetap diam dan secara bertahap mengambil bagian dalam praktek, biasanya jauh lebih murah daripada meniup peluit, menginformasikan, dan mempertentangkan. Konspirasi antar individu dengan mudah diperluas ke dalam praktik yang lebih besar, yang melibatkan rekan kerja, mitra, asisten, patron, dan atasan. Oleh karenanya, contoh Petty Corruption dapat berkembang menjadi jaringan yang lebih besar, dan rasa-sepenanggungan, dan akhirnya menjadi korupsi institusional skala besar jika tak dikendalikan, bila ada 'ruang bermanuver.'

Untuk kepentingan siapa korupsi terjadi, dan siapa yang paling diuntungkan dari korupsi? Berbagai definisi korupsi menyatakan bahwa negara—atau beberapa agen negara—selalu terlibat, dan bahwa korupsi pada dasarnya, hubungan negara-rakyat tertentu. Selanjutnya, dipertahankan bahwa hubungan ini, didasarkan pada pertukaran keuntungan bersama, bahwa pertukaran itu, dimana baik negara—agen negara—dan masyarakat—warga negara individu, klien atau pengusaha—akan menarik beberapa keuntungan langsung dan pribadi. Namun, hubungan pertukaran timbal-balik ini, jarang berimbang. Secara keseluruhan, praktik korupsi akan menghasilkan aliran sumber daya, baik dari masyarakat ke negara—extractive corruption, atau bentuk korupsi dari atas—maupun dari negara ke masyarakat—redistributive corruption, atau korupsi dari bawah.'

Sang Tikus tiba-tiba menyela, 'Boleh ngomong nggak Bosque?' Tukang giling menyahut, 'Enggak, kamu terima aja hukumanmu, dengarkan ini, tentang kekotoran hidup dan dosa nyolong yang keji; perbuatan mencurimu, akan kembali padamu, dan aku akan bilang dengan jujur: sang Kucing akan memperhitungkan semua yang telah kamu curi. Jadi, dengarkan apa yang bakal kuomongkan!'"
[Bagian 2]