"Pertimbangan, Ingatan, dan Angan-angan; alangkah aneh para aktor ini, dalam sebuah fabel!" kata Laluna setelah mengucapkan Basmalah dan Salam. "Namun bagi siapapun yang melontarkan kritik seperti ini, bukankah ketiganya, ucapanku?" imbuhnya."Pertimbangan akan memberitahukan padanya, bahwa ketiga tokoh ini, menjadi sosok yang sama baiknya dalam fabel, seperti halnya Rubah, Serigala, dan Anak Domba; dan biarlah ia sendiri yang menilai, mampukah aku membentuk citra-citra ini menjadi sebuah potret yang baik. Segalanya boleh, asalkan dari Fabel itu, memaparkan Kebenaran.Fabel terletak pada Moralitas, ketika seorang penulis, merujuk langsung ke sana, Pembaca memperoleh apa yang diinginkannya, jika ia meremehkan dan berdalih, ia punya selera yang buruk. Para Aktor—siapa dan atau apapun mereka—bermakna, tetapi sedikit, dan seseorang bebas memilih, yang mana yang disukainya. Jika aku disini ditentang, aku akan selalu mempertahankannya, bahwa untuk mengakhiri perselisihan, seseorang hendaknya banding ke hakim terbaik, yaitu, akal-sehat, dan jika antagonisku, tak sepakat dengannya, aku takkan tunduk padanya.Selain itu, dengan sangat ketat mengikuti aturan, sesuai urutan abjad, sangat sering menghilangkan Kegairahan dan Semangatnya. Tapi, Aturan ya aturan, ia boleh dilanggar jika engkau berteori, atau belajar memotret, seni dan semacamnya, tapi jangan mencobanya, jika engkau hidup di bawah hukum negara.Montesquieu menulis, bahwaHukum, dalam arti luas, merupakan hubungan yang diperlukan, yang berasal dari sifat sesuatu; dan dalam pengertian ini, semua makhluk, masing-masing punya hukumnya: Keilahian punya hukumnya, dunia materi punya hukumnya, kecerdasan yang lebih tinggi dari manusia punya hukumnya, marga-satwa punya hukumnya, manusia punya hukumnya.
Tuhan [Montesquieu tak pernah menggunakan huruf kapital untuk 'diu' atau 'tuhan,' tapi disini, kita menggunakannya] berhubungan dengan alam semesta, sebagai Pencipta dan Pemelihara; hukum-hukum yang Dia ciptakan, adalah hukum-hukum yang Dia lestarikan; Dia bertindak menurut aturan-aturan ini karena Dia mengetahuinya; Dia mengenalnya karena Dia menciptakannya; Dia membuatnya karena terkait dengan hikmah dan kuasa-Nya.Seperti yang kita saksikan, bahwa dunia, yang dibentuk oleh gerakan materi dan tanpa kecerdasan, masih terus ada, gerakannya pasti memiliki hukum yang tak berubah; dan, jika seseorang bisa membayangkan dunia lain selain ini, ia akan memiliki aturan yang konsisten, jika tidak, akan hancur.Jadi, ciptaan, yang tampak seperti tindakan yang berubah-ubah, mensyaratkan aturan yang tak berubah-ubah, seperti Takdir yang diklaim oleh orang Atheis. Tak masuk akal mengatakan bahwa Sang Pencipta, tanpa aturan-aturan ini, dapat mengatur dunia, karena dunia takkan terus ada tanpa aturan-aturan ini.Aturan-aturan ini, merupakan hubungan yang dibangun secara konsisten. Antara satu benda bergerak dan benda bergerak lainnya, sesuai dengan hubungan massa dan kecepatan dimana segala gerak-gerik diterima, bertambah, berkurang, atau sirna; setiap keberagaman itu, keseragaman, setiap perubahan itu, konsistensi.Oleh karenanya, harus diakui bahwa ada hubungan kewajaran sebelum hukum positif yang menetapkannya, sehingga, misalnya, dengan asumsi bahwa ada masyarakat manusia, akanlah adil mematuhi hukum-hukum mereka; sehingga, jika ada makhluk cerdas yang telah menerima kebaikan dari makhluk lain, mereka harus bersyukur karenanya; sehingga, bila ada satu makhluk cerdas telah menciptakan makhluk cerdas lainnya, makhluk yang diciptakan itu, harus tetap berada dalam ketergantungan asalnya; sehingga satu makhluk berakal yang telah mencelakai makhluk berakal lainnya, pantas mendapatkan kerugian yang sama sebagai balasannya, dan seterusnya.Tak diketahui, diaturkah marga-satwa oleh hukum umum gerak atau oleh gerakan khusus bagi diri mereka sendiri. Bagaimanapun, mereka tak memiliki hubungan yang lebih intim dengan Tuhan daripada yang dimiliki dunia materi lainnya, dan perasaan, semata berguna bagi mereka dalam hubungannya satu sama lain, baik dengan makhluk tertentu lainnya, atau dengan diri mereka sendiri.Dengan daya tarik kesenangan, mereka mempertahankan keberadaan khusus mereka; dengan daya tarik yang sama, mereka melestarikan spesies mereka. Mereka memiliki hukum alam karena mereka disatukan oleh perasaan; mereka tak punya hukum positif karena tak disatukan oleh pengetahuan. Namun, mereka tak selalu mengikuti hukum alam mereka; tanaman, dimana kita tak menemukan pengetahuan atau perasaan, lebih baik mengikuti hukum alam mereka.Marga-satwa tak memiliki kelebihan tertinggi yang kita miliki; mereka memiliki beberapa hal yang tak kita punyai. Mereka tak punya asa kita, tapi mereka tak punya rasa-takut kita; mereka merasakan sakitnya kematian seperti kita, tetapi tanpa menyadarinya; kebanyakan bahkan mempertahankan diri mereka lebih baik daripada kita dan tak memanfaatkan nafsu mereka dengan buruk.Manusia, sebagai makhluk fisik, diatur oleh hukum yang tak berubah-ubah seperti tubuh lainnya. Sebagai makhluk cerdas, ia terus-menerus melanggar hukum yang telah ditetapkan Tuhan dan mengubah hukum yang ia tetapkan sendiri; ia harus menuntun dirinya sendiri, namun ia, makhluk yang terbatas; ia tunduk pada ketidaktahuan dan kekeliruan, sama seperti terbatasnya segala wujud kecerdasan; ia bahkan kehilangan pengetahuan yang tak sempurna, yang ia miliki.Sebagai makhluk berperasaan, ia tunduk pada ribuan nafsu. Makhluk seperti ini, dapat setiap saat melupakan Penciptanya; Tuhan telah menyerunya, agar kembali kepada-Nya dengan hukum agama. Makhluk seperti ini, bisa setiap saat melupakan dirinya sendiri; para filsuf telah mengingatkan dirinya dengan hukum moral. Dicipta agar hidup bermasyarakat, ia bisa saja mengabaikan rekan-rekannya; para legislator telah mengembalikannya, kepada kewajibannya, melalui hukum politik dan sipil.Tuan Pertimbangan, Nyonya Ingatan, dan Nona Angan-angan—baik Fabel maupun Sejarah, tak pernah menyebutnya—sampai sekarang, menetap bersama di Rumah yang sama. Mereka hidup bersama, sebab mereka, putra-putri dari Bapak yang sama.Setelah sekian lama, mereka menikmati ranumnya Ketenteraman, tapi ciloko! Ketunggal-ikaan di antara kerabat, jarang bertahan lama; olok-olok yang menyakitkan-hati, seketika menjadikan Saudara dan Saudari ini, berbhinneka; Nona Angan-angan melontarkan kejutekannya; Nyonya Ingatan ngoceh mulu, dan Tuan Pertimbangan sewot banget oleh kebebalan dan gunjingan kejam mereka; dan begitulah yang terjadi, mereka habiskan hari demi hari. Pertengkaran di antara mereka, semakin tumbuh subur, walau itu, cuma masalah sepele. Tiadalah pernah mereka saling-sapa kecuali memakai julukan seperti—dalam konteks cerita ini—Mak Nyinyir, Lambe Turah, Hantu Belau dan masih banyak lagi.'Kita harus berpisah, Sistah,' kata Pertimbangan, suatu hari, 'Bagaimana menurut kalian? Hidup ini, takkan pernah bisa berlanjut lama, itu pasti; menurutku, kita dilahirkan, untuk hidup terpisah.''Bro, teganya engkau, Bro!' tanggap sang Nona Badung, 'Kami masih perlu nasihat baikmu, walau memang, sebuah Topi, nggak bakal muat buat tiga kepala.''Sesungguhnya,' kata sang Nyonya—setelah ngomong ngalor-ngidul selama dua jam—'takdir menentukan lain.'Maka, sejak saat itu, mereka semua, memutuskan berpisah. Keteladanan itu, mulia, dan mereka akan mengikutinya; kata-perpisahan itu, penjelajahan yang baik, dan karenanya, mereka berkemas, dan masing-masing, dalam pengembaraannya, mencari tempat tinggal baru.Tak lama berselang, mereka telah mempertontokan pertunjukan, dan inilah keadaan, dimana tiga kerabat yang saling-berseteru, yang takkan pernah saling-bertemu, yang paling menguntungkan di dunia bagi mereka.Ia yang dikepalanya, Ingatan bersarang, akan menjadi sangat terpelajar, dan tahu segala sesuatu dengan caranya, Bahasa, Opini, Adat-istiadat, Fabel, Sejarah, pokoknya, buwaanyak deh!Demikian pula Angan-angan, dengan cepat menjadikan gebetannya, Penyair hebat, namun yang paling tak terkendali di dunia Gairah Ekstravaganza; singkatnya, sebagai penemu jempolan segala macam yang tidak sehat, dan alat perangkai kata-kata dahsyat, yang sesuai sifatnya, saling-merisaukan.Tuan Pertimbangan, terbentuk dalam cetakan lain, dan dengan cermat, merawat Majikannya yang suka menolong. Dalam sekejap mata, ia menjadi seorang Filsuf; bukan, aku keliru, seorang lelaki berakal; orang yang menilai segala sesuatu, menurut nilai intrinsiknya, kawan Kebenaran dan Keadilan, selalu berperilaku santun, dan tak pernah takut pada apapun, jika tak mengetahui dengan baik, kausa sebenarnya.Para kerabat ini, mulai berpikir bahwa boleh jadi, mereka dapat saling mengambil keuntungan. Fakta-fakta solid, dipunyai oleh orang terpelajar, yang mungkin melengkapinya dengan orang bijak dan penyair. Orang bijak menertawakan dirinya dari jejak-jejak orang lain: akal-sehat, mulai sekarang dan nanti, harus melepaskan diri dan beralih. Penyair, di sisi lain, memandang bahwa sebaiknya ia menggunakan nasihatnya sebagai panduan yang baik ke Parnassus—kumpulan puisi atau literatur yang elegan.Adapun orang yang terpelajar, ia memandang rendah—siapa? Seluruh dunia, dan pula, para kerabatnya, tak meragukannya. Namun sebaiknya, ia sesekali, chatting, dan menurutmu, dengan siapa? Mengapa tidak dengan para kerabatnya, dan ia melakukannya."Laluna lalu menyimpulkan dengan, "Demi kebaikan bersama umat manusia, bahwa di Dunia ini, seluruh Talenta, tak dimiliki oleh satu orang. Tiada manusia yang punya semuanya. Namun pembagian ini, Mata-rantai dari seluruh masyarakat. Wallahu a'lam ."
Kutipan & Rujukan:
- Sieur De La Motte, One Hundred New Court Fables, Peter-Nofter-Row
- Charles Louis Montesquieu, The Spirit of the Laws, translated by Anne M. Cohler, Basia C. Miller, & Harold Stone, Cambridge University Press
- Sieur De La Motte, One Hundred New Court Fables, Peter-Nofter-Row
- Charles Louis Montesquieu, The Spirit of the Laws, translated by Anne M. Cohler, Basia C. Miller, & Harold Stone, Cambridge University Press