Kutipan & Rujukan:"Pada akhir abad pertama Masehi, kritikus Quintilian berkata, 'satura quidem tota nostra est,' berkata Laluna, sembari membuka sebuah pesan yang diterimanya, setelah mengucapkan Basmalah dan Salam. "'Setidaknya, satire, benar-benar milik kita,' itulah kira-kira yang dimaksud Quintilian. Ia mengacu pada genre puisi tertentu, bukan pada apa yang, sangat mungin, kita sebut 'semangat satire'. Yang terakhir, seperti yang diharapkan, ditemukan dalam banyak bidang sastra Yunani, semisal, parodi Homer, cercaan Archilochus, fabel Aesop, komedi Aristophanes, dan dialog Lucian. Terdapat pula, di sejumlah penulis Romawi yang bukan 'satiris,' terutama Lucretius, Ovid , dan Tacitus. Sebaliknya, satura, meskipun, dalam maksud tertentu, biasanya bermakna sindiran, namun tak selamanya demikian. Dengan gambaran Horace tentang pendidikannya, pengakuan Persius atas utangnya kepada Cornutus, dan pernyataan Juvenal tentang simpati manusia, kita tak mencerca kebodohan dan kebobrokan.Jika orisinalitas dianggap sebagai penemuan genre baru, maka Lucilius, dalam sastra Latin, 'seng ada lawan.' Horace, penyair lirik Romawi terkemuka pada masa Augustus—juga dikenal sebagai Oktavianus—mewarisi heksameter Lucilius. Korban cercaan Horace, bukanlah kalangan bangsawan, melainkan orang bebas yang terlalu ambisius, orang bakhil, pelacur, filsuf jalanan, badut bayaran, dan penyair buruk. Horace secara sadar tak terlibat dalam politik yang rumit di zamannya, menganjurkan kehidupan yang berfokus pada kebahagiaan dan kebajikan individu.Aku tertarik pada penggalan puisi Horace, yang melukiskan, Cervius menuturkan cerita emak-emak jaman dulu, tentang dua ekor tikus. Lalu, bagaimana jalan ceritanya? Ibarat makanan yang telah beku dalam freezer, kita perlu menghangatkannya kembali. Dan dengan mencampurkan aneka bumbu-dapur seperti, minyak, cabai, bawang merah dan putih, garam, gula, kecap dan saus tomat, setelah digoreng, maka, ceritanya tersaji seperti ini,Mereka yang terkesan sebagai orang yang paling berakal di antara orang-orang zaman dulu, selalu menyarankan Kampung atau Desa, sebagai tempat yang paling tepat bagi kesahajaan, kemudahan, dan kesenangan yang bajik; dan, karenanya, tak mau kehilangan peluang, agar dapat menikmatinya: dan orang-orang dengan jurang perbedaan terlebar di antara insan modern, akan menganggap dirinya, sebagai orang paling bahagia, saat mereka, yang dengan wajar, dapat menghindari pekerjaan yang harus dikerjakan oleh talenta dahsyat mereka, agar dapat menikmati tamasya yang menawan, dari alam pedesaan.Konon, seekor tikus kota—tukang ngibul yang ngebet jadi pelawak—dalam perjalanan ke sebuah perkampungan, bertemu tikus kampung—pensiunan pelawak, yang tinggal di sebuah kampung dan menjadi Lurah. Ada yang menarik dari pensiunan pelawak ini, ia diserang oleh sang Beruang, lantaran ia, tak mau lagi nyetor jatah uang-rokok, sebagaimana yang telah sering dilakukan oleh para Lurah sebelumnya. Keributan ini, membuat para Paman dan Bibi seputaran desa, membujuk sang Beruang, agar menghentikan serangannya, namun sang Beruang menjawab, 'Bodo amat!'Dan begitulah, life goes on, kedua tikus—yang rupanya, sami-mawon : memberangus para tokoh perjuangan kemerdekaan berpendapat—menghabiskan hari bersama dan berkongsi. Tikus kampung membawa sobat barunya ke padang rumput dan kebun sayur—dan tentu saja, tak lupa, gandum, mengajaknya mencicipi segala hal yang baik di kampung itu. Belum pernah melihat keindahan kampung, tikus kota sangat senang, meski makanan tikus kampung, tak seenak makanan kota. Untuk berterima kasih kepada sang ikhwan, atas wisata yang menyenangkan, ia mengundang tikus kampung, mengunjunginya di kota. Dan saat tikus kampung melihat dapur di rumah sang kawan, penuh dengan ham, keju, minyak, tepung, madu, selai, dan tumpukan barang lainnya, ia berdiri tanpa kata-kata, lantaran terkejut.'Aku belum pernah melihat, yang seperti ini! Bolehkah semua hal yang indah ini, dimakan?”"Tentu saja!' pertanyaannya berbalas. "Engkau tamuku, ambillah!' Mereka mulai bancakan, walau untuk sementara, tikus kampung berusaha tak ingin memenuhkan isi perutnya. Ia ingin mencicipi semuanya, sebelum perutnya kenyang.'Engkau tikus paling beruntung yang pernah kutemui!' kata tikus kampung kepada sejawat kotanya.Tikus kota mendengarkan dengan gembira pujian sang sobat, ketika mendadak, suara langkah kaki yang berat, mengganggu kenduri mereka.'Lari!' bisik tikus kota kepada sang kawan. Mereka tepat pada waktunya: sebab kurang satu inci dari mereka, berdiri nyonya rumah berkaki besar. Untungnya, sang nyonya pergi dan kedua tikus kembali menikmati bancakan yang mendadak terhenti.'Aman! Ayo!' kata tikus kota. 'Jangan khawatir. Ia sudah pergi. Nih, madu! Enak banget! Pernahkah engkau mencicipinya?''Ya, dulu, dulu sekali,' tikus kampung berbohong, berusaha terdengar biasa saja. Namun ketika ia mencicipinya, ia berseru, 'Enyaak! Demi raja tikus! Aku belum pernah makan sesuatu yang sangat enak, sepanjang hidupku!'Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki, kali ini, berdentum keras. Kedua tikus, tunggang-langgang. Tuan rumah datang hendak mengambil beberapa botol, dan saat ia melihat madu yang tumpah, ia menggerutu, 'Tikus-tikus bego itu lagi! Aku sangka, aku telah menyingkirkan mereka. Aku akan perintah sang kucing!' Dan dengan gemetar ketakutan, para tikus bersembunyi. Kali ini, bukan hanya kunjungan mendadak yang membuat mereka ketakutan, tapi kata-kata kasar tuan rumah. Para tikus sangat ketakutan, mereka menahan napas, tak mengeluarkan suara. Kemudian, terasa hening, keberanian mereka mulai tumbuh dan mengumpulkan cukup nyali guna keluar dari lubang persembunyian.'Kita bisa keluar sekarang! Tak ada siapapun di sini!' bisik tikus kota.Tiba-tiba, pintu dapur berderit, dan kedua tikus yang malang, menggental ketakutan. Dari cahaya redup, muncul sepasang mata kunyit yang mengerikan. Seekor kucing besar sedang memelototi sekeliling ruangan, mencari mangsanya. Tikus kampung dan tikus kota, berjingkat-jingkat, diam-diam kembali ke lubang persembunyian. Mereka berharap, jantung mereka yang berdebar, berhenti berdetak, karena takut kucing mendengar suaranya. Namun, beruntung, sang kucing menemukan sosis. Lupa akan mengapa sang majikan menyuruhnya ke dapur, alih-alih mengejar para tikus, ia malah makan sosis.Setelah merasa kenyang, sang kucing memutuskan bahwa ia akan menghentikan tamasya berburu tikus, dan menjadwalkannya, ke hari lain. Iapun melompat, seakan tak melihat apa-apa.Sekarang, saat tikus kampung sadar, bahwa bahaya telah berlalu, ia tak mau menunda-nunda lagi, segera berjabat tangan dengan sang kawan, seraya berkata, 'Terima kasih banyak untuk semuanya! Tapi, sekarang, aku harus secepatnya pergi! Aku tak tahan dengan semua kejutan ini! Aku lebih suka, duduk menikmati biji-biji ek dengan damai, di kampung, daripada punya berlimpah makanan lezat, tapi dikelilingi oleh bahaya di segala penjuru dan dengan jantung berdebar-debar!'Tikus kampung pamit, diikuti oleh mata tikus kota, melepas pergi sang ikhwan, dengan bersenandung,Di mana, kau timbun daun yang layu?Makin gelisah, aku menanti matahariDalam rimba kabut pagiSampai kapankah, aku harus menanti?Musim berlalu, resah menantiMatahari pagi, bersinar gelisahKini, semua bukan milikkuMusim itu, telah berlaluMatahari segera berganti *)Seraya menutup Inbox-nya, Laluna berkata, "Andai aku bertanya, 'Seperti apakah, rasa cerita yang telah kusajikan padamu?' Engkau pasti akan menjawab, 'Seperti nano-nano!' Wallahu a'lam."
- Niall Rudd, The Satires of Horace and Persius, Penguin Group
- Rev. George. Fyler Townsend, M.A., Aesop Fables, George Routledge and Sons
*) "Matahari" karya Erros Djarot