Jumat, 29 Juli 2022

Di Luar Dingin! (4)

"'Kebanyakan profesional, tunduk pada kode etik yang ketat, mengekalkan kewajiban etika dan moral yang ketat. Naifkah bagi seorang pengusaha Muslim, beretika dalam lingkungan global yang kompetitif? Jawabannya, TIDAK!' sambung sang lelaki. 'Dalam Islam,' katanya, 'etika mengatur segala aspek kehidupan. Syarat sukses yang berkesinambungan, atau Falah, dalam Islam, sama bagi semua Muslim—baik dalam menjalankan urusan bisnisnya, maupun dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya. Tanpa memerincikan konteks situasional apapun, Allah menggambarkan orang-orang yang mencapai kesuksesan, sebagai mereka yang 'mengajak kepada semua yang baik (khair), menyuruh yang ma'ruf, dan mencegah kemunkaran. Lantas, adakah pedoman-pedoman yang akan memastikan perilaku etika yang konsisten dalam bisnis seorang Muslim? Al-Qur'an, menjawab pertanyaan besar filsafat, 'Adakah Tuhan itu?' atau 'Mengapa Tuhan mencipta?' atau 'Mengapa kita ada di sini?' Para Ulama sepakat, bahwa pemahaman yang tepat tentang etika Al-Qur'an, semata dapat diperoleh dalam terang perilaku Rasulullah (ﷺ) atau Sunnah, dengan menggabungkan Al-Qur'an dan hadits, dan bahwa perwujudan yang paling lengkap dari etika Al-Qur'an itu, ada di dalam diri Rasulullah (ﷺ). Menurut sebuah hadits yang sangat dikenal, yang sering disebut sebagai hadits Jibril, ada tiga tingkatan keimanan Islam, yang disebut : Islam, Iman, dan Iḥsan. Tingkatan tertinggi, ialah Iḥsan. Tingkatan ini, mencakup beribadah kepada Allah, seolah-olah seseorang melihat Allah, dan menyadari bahwa walau seseorang tak dapat melihat-Nya, Dia sesungguhnya melihat kita. Kata Iḥsan, secara harfiah, bermakna kesempurnaan, atau melakukan sesuatu atau membuat sesuatu menjadi lebih baik atau indah.

Mengapa seseorang hendaknya memasukkan Iḥsan dalam kehidupannya, terutama, semisal, dalam transaksi bisnis? Secara garis besar, ada dua motivasi utama: agar memperoleh keridhaan Allah dan mengikuti perintah-Nya; dan bagi kesejahteraan manusia, ekonomi, dan sosial, serta bahwa sikap seperti itu, tumbuh dalam pengembangan masyarakat yang beradab. Syariah, yang didasarkan pada Hikmah-ilahi, yang mencakup semua, memberikan pedoman bagi seluruh aktivitas dalam masyarakat Islam, dan aturan-aturan ini, selalu punya tujuan yang bermanfaat, yang mendasari peningkatan kesejahteraan umat manusia (Maslahah). Imam As-Syātibi, cendekiawan besar Andalusia, tentang ilmu tujuan Syariah (Maqāṣid), menggambarkan hal ini dengan kata-kata berikut, 'Syariah bermakna keadilan, rahmat, kebijaksanaan, dan kebaikan. Maka, setiap keputusan yang menggantikan keadilan dengan ketidakadilan, rahmat dengan kebalikannya, kebaikan bersama dengan kerusakan, atau kebijaksanaan dengan sesuatu yang nonsens, merupakan keputusan yang tak termasuk dalam Syariah, walau jika dinyatakan demikian menurut beberapa interpretasi.' Syariah dianugerahkan kepada umat manusia agar membawa segala macam manfaat duniawi dan non-duniawi, bagi seluruh umat manusia, dengan tugas menyampaikan petunjuk Allah kepada mereka dan hidup dengan etika Al-Qur’an. Oleh karenanya, kita menemukan bahwa guna mencapai Ihsan, mengharuskan manusia dapat membawa manfaat bagi seluruh umat manusia dan terhindar dari segala macam mara-bahaya.

Agar menjadi insan yang Ihsan, seorang muslim profesional, seyogyanya, pertama, ikhlas dan punya niat yang benar. Niat sangat penting dalam Islam. Selain punya niat yang benar (melakukan suatu tindakan demi keridhaan Allah), seseorang hendaknya pula, tulus kepada kemanusiaan pada umumnya dan umat Islam yang lebih besar. Seseorang seyogyanya menyempurnakan ibadah kepada Allah dan mempertimbangkan kesempurnaan profesional sebagai kewajiban agama. Seorang Muslim hendaknya memprioritaskan pahala akhirat di atas keuntungan duniawi, dan berjuang demi kampung akhirat, konsisten dengan perintah Ilahi. Kita menemukan dalam tradisi Islam, bahwa pahala yang sebenarnya, menurut kebersatuan niat dan tindakan, dan bisa jadi, pahalanya akan sangat berbeda, sehingga perbuatan yang tampaknya baik, tertolak seluruhnya lantaran cacatnya niat.

Kedua, merangkul sifat-sifat karakter masyarakat Iḥsan. Orang-orang Iḥsan, berkarakter yang indah, mereka ditandai dengan sifat kesabaran, istiqomah, dan musyawarah, serta ditandai dengan ketergantungan total mereka kepada Allah (Tawakkul). Masyarakat Ihsan itu, moderat dan menjauhi ekstremisme dalam segala bentuknya—Al-Qur’an menggambarkan masyarakat Muslim sebagai komunitas menengah yang seimbang (Ummat Al-Wasat). Mereka, orang-orang yang mencari hikmah dan ilmu, berpikiran positif (husnudzon) dan memaknai segala sesuatu secara positif, serta menerima kebaikan dan kesengsaraan dari Allah, dan tak putus asa dari rahmat Allah dalam kegagalan dan kesulitan. Memaknai sesuatu dari sisi positifnya, memungkinkan seseorang akan unggul meskipun—dan terkadang karena—keadaan yang merugikan. Mereka mencintai Allah lebih dari apapun–lebih dari anggota keluarga, lebih dari kekayaan, lebih dari tempat tinggal mereka.

Ketiga, bervisi kehidupan merintis yang bermakna. Masyarakat Iḥsan, menyadari bahwa hidup ini, punya tujuan dan bekerja demi membangun warisan yang produktif. Mereka juga punya kualitas kepemimpinan dan menggunakannya untuk memimpin orang menuju hal-hal yang terpuji dan tujuan yang diinginkan. Mereka bertanggung jawab, dapat dipercaya, dan memegang amanah. Mereka punya kualitas kepemimpinan, dan memimpin orang-orang yang dipercayakan kepada mereka, dengan integritas dan pengorbanan. Mereka, orang-orang yang tabah (Ḥimmah Aliyah) dan tekad yang kuat (Azm yang tinggi). Mereka menerima pekerjaan-tangan dan keterampilan tangan, dan tak jera terhadap pekerjaan manual. Mereka proaktif, aktivis, dan punya bias untuk bertindak; punya semangat usaha dan bersegera menuju kebaikan dan manfaat. Mereka menghargai waktu dan tak malas.

Keempat, berlaku adil dan melampaui dalam pekerjaan profesionalnya. Masyarakat Iḥsan sangat teliti dalam memenuhi hak-hak orang (orang lain, dan di atas semuanya, Allah) atas mereka. Memang benar bahwa manusia, punya banyak peran yang berbeda, dan seseorang berhak memprioritaskan beberapa di atas yang lain, Iḥsan memerlukan kebutuhan untuk memenuhi hak setiap orang dan segala sesuatu yang punya hak atas mereka. Hal ini bermakna, berpegang pada standar etika profesional tertinggi dan menghindari penipuan dan pengkhianatan yang tampak atau tersembunyi. Dalam konteks profesional, hal ini, sangat relevan bagi para pemimpin dan orang-orang yang bertanggung jawab. Keadilan juga merupakan komponen penting, lebih tepatnya, tujuan utama, dari sistem ekonomi Islam–dan karakteristik yang menentukan. Dinyatakan dalam Al-Qur'an bahwa tujuan mengirim utusan ilahi kepada orang-orang yang berbeda, untuk menegakkan manusia di atas keadilan. Masyarakat Iḥsan juga pemilih dalam hal, yang diperbolehkan (Halal) dan yang tak diperbolehkan (Haram), serta bertaqwa. Mereka menyadari bahwa dunia ini, dunia kerja keras dan perjuangan, serta tempat untuk berbuat. Mereka tak malas, sebab tahu bahwa sifat ini, tanda orang munafik, dan sesuatu, yang Rasulullah (ﷺ) mohon perlindungan kepada Allah. Mereka sadar bahwa seseorang bertanggungjawab secara etika (Mukallaf) agar berusaha sebaik-baiknya. Mereka sadar pula bahwa, kesempurnaan itu, perjalanan yang berkelanjutan.

Kelima, berorientasi pada keahlian atau kemahiran, dan berpandangan profesional: mengutamakan kualitas dibanding kuantitas. Dalam perspektif dunia Islam, konsep Iḥsan itu, autotelic—seseorang atau sesuatu yang punya tujuan, dan tak lepas dari dirinya sendiri—dan seseorang hendaknya terus berbuat tanpa puas dengan berbuat baik. Mereka menyukai ketelitian/profesional/penyelesaian pekerjaan dan menghargai pekerjaannya. Mereka teratur dalam tindakan. Masyarakat Ihsan, menyelesaikan dan melanjutkan urusan yang mereka mulai, dan tak menjadi amatiran, dimana mereka memulai sesuatu urusan dan saat kehilangan tenaga, lalu meninggalkannya, mereka berkomitmen pada kesempurnaan dan tak berpuas diri. Dalam karya Stephen Covey, seseorang hendaknya, secara berkala, memperbarui diri, tetap waspada, dan 'menajamkan gergaji' untuk mempertahankan produktivitas puncak. Mereka mengutamakan kualitas dibanding kuantitas, namun bukan berarti kuantitas tidak penting, hanya diperhitungkan jika, disertai dengan kualitas.

Keenam, seseorang atau sesuatu yang punya tujuan dan tak terlepas dari dirinya sendiri, berguna dan bermanfaat secara sosial bagi orang banyak. Islam sangat mementingkan menjadi berguna secara sosial dan membawa manfaat bagi orang banyak. Teolog Islam yang masyhur, Al-Ghazali, mengakui konsep yang lebih luas dari Maṣlahah sebagai kelanjutan dari tujuan akhir Syariah, yaitu untuk menjaga lima hal berikut: (1) iman; (2) kehidupan; (3) kecerdasan; (4) keturunan; (5) dan kekayaan. Kewajiban utama bagi seorang Ihsan dalam hal ini, menghindari bahaya dan menghindari bahaya timbal-balik, dan khususnya, para profesional Muslim, hedaknya menghindari segala bentuk kecurangan, penipuan, pengecohan, dan penggelapan. Masyarakat Iḥsan itu, orang-orang yang bekerjasama dan memfasilitasi serta membawa kemudahan bagi orang banyak. Mereka mengabdi kepada masyarakat dan membawa manfaat bagi umat manusia dan semua ciptaan Allah.

Ketujuh, menjalani hidup produktif yang menarik Barakah. Jika keunggulan spiritual disebut Iḥsan, maka produktivitas spiritual, disebut Barakah. Dalam Islam, Barakah (diterjemahkan sebagai berkah) ialah pemberian berkah pada sesuatu oleh Allah sedemikian rupa, sehingga segala macam manfaat diperoleh dari yang sedikit. Bagaimana seseorang menarik Berakah? Dari Al-Qur'an dan Sunnah yang otentik, ada banyak cara menarik Barakah. Cara penting menarik Barakah ialah, memenuhi hak orang lain, keluarga, dan bersedekah. Sumber lain untuk menarik Barakah, dengan melakukan perbuatan baik secara konsisten dan teratur, contohnya, petani secara teratur memberikan sepertiga dari panennya sebagai sedekah—dan tak berlebihan—sang petani tak menginvestasikan kembali semua hasil panen, atau memberikan semua hasil panennya untuk amal, atau menghabiskan semua hasil panen, sebaliknya sang petani membelanjakannya pada semua tempat yang seharusnya.
Cara lain menarik Barakah dan mencapai kesempurnaan spiritual itu, dengan memusatkan perhatian pada hal-hal penting, yang berhubungan dengan seseorang dan menghindari hal-hal yang tak berguna atau hal-hal yang tak berhubungan dengan seseorang, dan dengan demikian, memanfaatkan waktu seseorang secara penuh.
Sumber Barakah lain yang kaya, ialah dengan menghindari segala yang Haram dan bertaqwa, yang berarti menjaga diri dari kemurkaan Allah. Ada banyak manfaat Taqwa termasuk Barakah dan perluasan rezeki, yang merujuk pada segala aspek nafkah dan mata-pencaharian seseorang, termasuk, namun tak terbatas pada, kekayaan, status, bisnis dan anak-anak. Sumber Barakah lain yang kaya, dengan menjalin hubungan baik dengan kerabat dekat dan dengan seluruh komunitas Muslim.
Masyarakat Iḥsan dapat membuat pencapaian monumental yang mengejutkan orang dan membuat mereka bertanya-tanya bagaimana beberapa orang dapat mencapai demikian banyak, dalam waktu yang sangat singkat. Salah satu alasan utamanya, bahwa mereka menghargai waktu dan memiliki sistem mengatur waktu mereka, dan menjadikannya produktif. Mereka juga memanfaatkan waktu dimana energi mereka berada pada puncaknya. Kita akan menemukan dalam hadits, anjuran agar mulai bekerja di pagi hari dan tidur setelah shalat Isya. Mereka ahli dalam memprioritaskan dan fokus pada tugas yang sangat penting dan relevan untuk saat ini. Jadi, orang-orang Iḥsan itu, orang-orang yang berterimakasih dan bersyukur,' sang lelaki mengakhiri penjelasannya.
Dan dengan lembut, sang isteri berbisik, 'Sayang, tutup dong jendelanya; di luar dingin!'
Perlahan, ia turun dari tempat tidur, berjalan ke jendela, dan dengan hati-hati, menutup bagian bawah yang terbuka. Seraya tersenyum pada istrinya, ia berkata, 'Sekarang, di luar hangat?' Sang istri memiringkan kepala seolah berpikir, lalu pasang muka nyengir."

Sebelum pergi, Laluna berkata, "Islam itu, agama Ilahi yang menawarkan kode etika lengkap yang dapat menuntun umat manusia menuju kesejahteraan, efektivitas, dan produktivitas yang lebih besar. Secara khusus, semangat Iḥsan, dalam segala manifestasinya yang beragam, dapat membawa pada sistem keadilan, keindahan, kesempurnaan, kemurahan hati, dan egalitarianisme dimana manusia akan hidup dalam harmoni yang luas dan mencapai kebahagiaan di dunia ini, sembari mencapai kebahagiaan tertinggi dan keridhaan Allah di akhirat. Dengan menganut konsepsi Islam tentang Ihsan, umat Islam akan mampu menjadi pembawa standar moralitas Al-Qur’an dan saksi kebenaran di hadapan umat manusia (Syuhada ‘alan-Naas). Selanjutnya, dengan mengamalkan Iḥsan, akan mengarah pada perkembangan manusia, kebahagiaan, produktivitas spiritual (Barakah), baik di dunia maupun kelak, di akhirat. Wallahu a'lam.'
Kutipan & Rujukan:
- Simon Blackburn, Ethics : A Very Short Introduction, Oxford University Press
- Abbas Mirakhor and Idris Samawi Hamid (Ed.), Handbook of Ethics of Islamic Economics and Finance, De Gruyter
- Rasik Issa Beekun, Islamic Business Ethics, International Institute ofIslamic Thought
- Bernard Williams, Ethics and the Limits of Philosophy, Routledge
- Brian Boone, Ethics 101, Brian Media
- Harold Perkin, The Rise of Professional Society, Routledge