Sabtu, 23 Juli 2022

Tukang Giling dan Tikus Besar (2)

"'Dalam apa yang bisa disebut the theory of redistributive corruption, negara itu, bagian yang lebih lemah dalam hubungan negara-rakyat,' sambung Tukang giling, 'Di sini, berbagai kelompok sosial dan ekonomi, kepentingan atau individu, diorganisir dan cukup kuat menarik lebih banyak manfaat dari praktik korupsi yang mereka lakukan, dengan negara sebagai mitra, daripada negara dan elit penguasa. Penerima manfaat utama dari sumber daya yang diekstraksi, diprivatisasi dan dikonsumsi, bukanlah elit-politik dan elit-berbasis negara, melainkan sumber-daya negara habis dan didistribusikan ke berbagai kelompok dan kepentingan, sesuai dengan konfigurasi kekuasaan di masing-masing negara.
Siapa, dalam masyarakat, yang paling diuntungkan dari korupsi semacam ini, tergantung pada distribusi kekuatan lokal. Mungkin kelompok atau klan etnis atau regional yang sangat berkuasa, yang cukup kuat mengambil lebih banyak dari negara daripada membagi dengan adil, investasi publik, proyek pembangunan, bantuan internasional, otonomi daerah dan perwakilan di lembaga nasional. Boleh jadi, kepentingan perusahaan asing atau lokal, yang dapat membeli sumber daya nasional dengan harga murah, konsesi, perlakuan istimewa, izin, dan pembebasan pajak. Bosa jadi pula, masyarakat umum, individu yang mampu membeli tunjangan seperti pembebasan pajak, subsidi, pensiun, atau asuransi pengangguran, atau mendapatkan akses istimewa ke sekolah istimewa, perawatan medis, perumahan, real estat atau kepemilikan saham di perusahaan negara yang diprivatisasi.

Yang kalah dalam permainan ini, ialah negara dan kapasitas pengaturannya. Kala warga negara, bisnis komersial—lokal dan internasional—dan berbagai kelompok kepentingan—formal dan informal, modern dan tradisional—dapat membeli sumber-daya nasional dan publik dengan murah, membeli pengecualian, hak istimewa, kekebalan dan pengecualian dari hukuman melalui penggunaan suap dan mafia metode vis-à-vis pejabat publik, negara akan terkikis. Akibat dari redistributive corruption ini,' negara menjadi tak berdaya dan impoten secara politik. Kapasitas negara menarik pajak dan memberikan pelayanan publik, akan terkikis; kemampuannya menerapkan kebijakan yang koheren, hancur, demikian pula, kemampuan negara mengubah masyarakat dan ekonomi berdasarkan prioritas politik dan untuk melaksanakan kebijakan pembangunan yang rasional, akan hancur pula.
Lebih jauh lagi, redistributive corruption akan, 'terutama menyakiti orang miskin' lantaran sumber daya diprivatisasi dan didistribusikan kembali sesuai dengan kemampuan kelompok, mempengaruhi kebijakan melalui tekanan dan suap, dan bukan melalui prinsip 'one man one vote.' Sumber daya takkan didistribusikan menurut pertimbangan kebutuhan dan keadilan 'universalistik' atau ideologis. Mereka yang sangat membutuhkan redistribusi politik, dalam hal layanan publik dasar, semisal sekolah, kesehatan, layanan sosial, dan perlindungan negara, akan sangat menderita manakala kapasitas negara dilumpuhkan.
Feodalisasi, istilah yang digunakan saat negara lemah, dimanipulasi oleh golongan kuat dalam masyarakat, ketika negara kehilangan kendali atas kekuatan 'sipil'. Feodalisasi merujuk pada 'privatisasi' dan 'desentralisasi' negara, dan menggarisbawahi hubungan klientelishubungan antara individu dengan status ekonomi dan sosial yang tak setara ('bos' dan 'kliennya') yang memerlukan pertukaran timbal balik barang dan jasa berdasarkan hubungan pribadi yang umumnya dianggap sebagai kewajiban moralyang terlibat. Feodalisasi terjadi tatkala seluruh wilayah geografis, sektor ekonomi dan/atau unit militer, diambil-alih oleh kepentingan 'swasta.' Dalam jangka pendek, seorang penguasa, mungkin mendapat manfaat dari feodalisasi yang disengaja dalam hal loyalitas—dari orang kuat lokal atau regional, kelompok klien atau pengikut—dan dalam hal pengiriman suara yang terjamin bagi partai yang berkuasa dalam pemilihan, namun dalam jangka panjang, keutuhan negara, terancam.

Dari pandangan alternatif, dalam apa yang bisa disebut the theory of extractive corruption, negara, pihak yang lebih kuat dalam hubungan negara-rakyat. Menurut teori ini, yang korup—negara atau beberapa agen negara—yang paling diuntungkan dari korupsi dan koruptor, kurang lebih, pemain pasif. Pada hakekatnya ,elite penguasa, merupakan kekuatan yang paling kuat adalah masyarakat, elite atau kelas ini, menggunakan aparatur negara sebagai instrumennya guna mengekstraksi sumber daya dari masyarakat, dan ia melakukannya, demi kepentingan penguasa. Teori ini sebagian didasarkan pada operasi negara-negara otoriter pada umumnya, dan pada pengalaman negara-negara neo-patrimonial pada khususnya.
Teori ini, terutama berlaku dimana negara bukan hanya kekuatan terkuat dalam masyarakat, tetapi juga dimana elit penguasa telah berkembang menjadi kelas dominan dan penguasa yang mengendalikan kekuasaan negara. Teori ini, juga menekankan pernyataan terkenal bahwa 'semua kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut pasti korup.' Maknanya, semakin banyak kekuatan politik terkonsentrasi secara eksklusif di tangan segelintir orang, semakin besar godaan penyalahgunaan kekuasaan, pencarian kekayaan yang egois, dan ekstraksi primitif.

Lantas, apa penyebab Korupsi? Ada hubungan yang kuat antara tingkat pendapatan—rendah, menengah-bawah, menengah-atas, dan tinggi—dengan korupsi. Semakin tinggi taraf income di sebuah negara, semakin rendah tingkat korupsinya.
Telah dirumuskan sebuah 'hukum' atau aturan umum yang menyatakan, bahwa tingkat korupsi, berbanding terbalik dengan tingkat kekuasaan yang bersifat konsensual. Maknanya, semakin tinggi tingkat keabsahan kekuasaan, semakin sedikit korupsi. Tingkat korupsi dan bentuknya, juga agak bervariasi secara sistematis dengan latarbelakang politik. Tingkat dan bentuk korupsi, berbeda-beda menurut jenis rezim dimana korupsi itu terjadi. Satu asumsi umum yang dipegang secara luas, bahwa tingkat korupsi, berhubungan negatif dengan demokratisasi, yakni tingkat korupsi menurun, dengan meningkatnya tingkat demokrasi.

Lalu, apa akibat dari Korupsi? Korupsi dapat menyebabkan banyak kerugian bagi masyarakat, semisal ketika mengarah pada pembalakan liar di hutan hujan tropis dan tak mematuhi peraturan bangunan yang dirancang untuk menjamin keselamatan publik. Korupsi dapat pula menyebabkan warga negara tak aman, politisi spekulatif, dan administratur negara, terombang-ambing antara peluang besar, risiko besar, dan tekanan yang berlipat-ganda.

Dalam hubungannya dengan ekonomi, korupsi tak selalu buruk. Misalnya, dalam tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat investasi asing langsung, di negara-negara yang sangat korup. Di beberapa negara, tingkat pertumbuhan tampaknya tak menurun, karena telah dipertahankan pada tingkat yang tinggi selama bertahun-tahun, meskipun ada korupsi sistemik. Ini terutama terjadi di beberapa negara Asia Tenggara. Di negara-negara lain, terutama di Afrika, tingkat korupsi yang tinggi, telah menghambat pertumbuhan. Namun demikian, dampak ekonomi dari korupsi, bergantung pada jenis korupsi di masing-masing negara, pada cara korupsi diorganisasikan atau tidak.
Akan tetapi, di negara-negara dengan korupsi yang merajalela, korupsi selanjutnya akan meningkatkan biaya operasional pemerintah, pendapatan akan bocor dan sumber daya yang tersedia bagi layanan publik, akan berkurang. Pengambilan keputusan pemerintah akan terdistorsi, dan pemerintah takkan mampu memberikan layanan publik yang sangat dibutuhkan. Dilema lain, bahwa dalam sistem non-demokrasi atau semi-demokratis (neo-patrimonial), dimana kekuatan politik terutama digunakan mengejar kepentingan elit penguasa, peningkatan efisiensi negara, mungkin dengan sendirinya merugikan pembangunan nasional. Akan sangat mungkin, menyiratkan ekstraksi sumber-daya yang lebih efisien, bagi kepentingan elit penguasa.

Korupsi mempengaruhi cara negara dikelola. Namun, seperti halnya dengan konsekuensi ekonomi, konsekuensi politik dari korupsi, sebagian besar tergantung pada jenis korupsi yang terjadi, dan konsekuensinya, sangat berbeda sesuai dengan cara penggunaan sumber-daya yang diekstraksi. Di negara-negara yang lemah, di negara-negara dimana elit penguasa hanya mempunyai sedikit kontrol atas siapa yang akan mendapatkan berapa banyak dari korupsi jenis apa, legitimasi negara seperti ini. akan berkurang dengan kurangnya pelayanan. Korupsi yang tak terkendali dan tak dibatasi, akan berdampak umum pada pelemahan institusi negara dan legitimasi politik.
Negara kuat, di sisi lain, negara dengan kontrol eksklusif dan tak terbantahkan atas kebijakan ekonomi, baik formal maupun informal, cara akumulasi, redistribusi, dan konsumsi. Di sini, korupsi ekstraktif apapun, akan menjadi bagian terpadu dari kontrol keseluruhan atas aparatur negara dan operasinya, termasuk alokasi sumber daya yang otoritatif. Pemimpin yang kuat, akan melakukan kontrol yang kuat atas berbagai bentuk korupsi, dan akan dapat memutuskan siapa yang akan mendapatkan berapa banyak dari jenis korupsi apa. Oleh karena itu, tingkat korupsi dapat stabil, dapat diprediksi, dan dapat diterima oleh bisnis dan masyarakat umum. Di negara-negara kuat, lembaga-lembaga negara belum tentu menderita korupsi.
Selain itu, legitimasi dan efisiensi negara, dan akibatnya, sikap umum terhadap korupsi, bergantung pada penghargaan keseluruhan sistem pemerintahan di mata rakyat. Sistem politik—otoritas politik dan agen-agen negara—disepakati dan dipatuhi oleh sebagian besar warga negara ketika masyarakat pada umumnya menganggap otoritas politik itu, bajik. Legitimasi tergantung pada layanan yang diberikan dan kemampuan memenuhi tuntutan rakyat, lebih dari cara negara dioperasikan. Selain itu, karisma pemimpin politik, penting pula dalam hal legitimasi. Oleh karenanya, negara yang efisien, dapat mempertahankan tingkat korupsi yang relatif tinggi dan stabil, atau mengelola tingkat korupsi pada tingkat yang rendah, sesuka hatinya. Kekuatan negara dan kemauan politik inilah, yang menjelaskan rendahnya tingkat korupsi di negara-negara otoriter seperti Singapura, Hongkong dan Taiwan.
Tingkat korupsi dan dampak politiknya di Eropa, hampir tak sebanding dengan dampak buruk yang terlihat di sebagian besar negara Afrika dan beberapa negara Asia. Di negara-negara demokrasi, atau lebih tepatnya, di negara-negara yang diatur oleh hukum dan dimana hak asasi manusia dan pembagian kekuasaan antara lembaga dan kelompok, dihormati dan efektif, tindakan korupsi politik dapat diungkapkan oleh pers yang bebas dan media lain, oleh oposisi, dengan mengaudit dan mengendalikan badan atau oleh polisi, dan pelanggar dapat kehilangan jabatan melalui prosedur hukum atau dalam pemilihan berikutnya. Skandal korupsi, sebenarnya bisa mempertajam instrumen kontrol. Oleh karena itu, institusi demokrasi, tak serta merta terancam oleh insiden korupsi politik yang terisolasi. Bahkan bisa diperkuat, jika kasus korupsi politik, ditangani dengan baik. Namun demikian, korupsi politik yang sistematis dan endemik, dapat membahayakan sistem demokrasi manapun.

Korupsi terus berlangsung dalam jangka waktu yang lama—walaupun belum sampai dua lusin abad. Korupsi memang tak mudah diberantas. Korupsi sistemik mengakar kuat dalam struktur sosial dan sejarah politik yang mendasarinya.
Sejarah sebuah negara, membentuk taraf kejujuran dalam pemerintahan: pemerataan ekonomi dan negara yang cukup kuat untuk memberikan pelayanan kepada warganya. Pelayanan terpenting yang dapat diberikan oleh suatu negara, ialah Pendidikan. Negara-negara dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi di masa-lalu, di masa-kini, mengalami lebih sedikit korupsi.
Mengapa pendidikan? Pendidikan mendorong pemerataan ekonomi. Keterkaitan antara kesetaraan dan tingkat korupsi yang lebih rendah, telah terjalin dengan baik. Dan pendidikan menggalakkan nilai-nilai kewarganegaraan yang mendasari 'pemerintahan yang baik' –atau kejujuran dalam pemerintahan. Pendidikan memberikan dasar bagi orang-orang biasa, turut-serta dalam pemerintahan mereka–dan mengambil-alih kekuasaan dari para pemimpin yang korup.
Pendidikan memberdayakan orang membuat jalan mereka sendiri di dunia, tanpa harus bergantung pada pemimpin klientelistik terhadap mata pencaharian mereka. Ketika orang bergantung pada 'pelindung' bagi kesejahteraan mereka, keselamatan mereka, bahkan rezeki mereka, terikat pada kesetiaan mereka. Mereka mungkin 'menoleransi' korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin ini, baik karena 'orang-orang besar' ini membela mereka dari orang lain, yang mungkin mengeksploitasi mereka lebih jauh, atau, karena orang biasa tak punya sumber pendapatan alternatif. Hubungan patron-klien didasarkan pada ketidaksetaraan.
Pendidikan menggalakkan pula loyalitas kepada negara dibanding pemimpin lokal—atau suku. Ketika pemerintah menyediakan layanan seperti pendidikan, masyarakat akan mentautkan manfaat dengan negara, dan akan lebih cenderung punya identitas yang luas dengan sesama warganya. Identitas yang lebih luas ini, dasar dari kepercayaan umum–kepercayaan pada orang yang tak kita kenal, yang mungkin tak seperti kita. Tingkat kepercayaan yang lebih tinggi sangat terkait dengan korupsi yang lebih rendah. Identitas bersama, seperti kepercayaan, hanya mungkin terjadi jika ada kesetaraan yang lebih besar. Hubungan agregat yang kuat antara kepercayaan dan rata-rata tahun sekolah pada tahun 1870 (r2 = .462) menunjukkan bahwa pendidikan itu, bagian dari 'jebakan ketidaksetaraan,' bahkan mungkin, ukuran pengganti bagi kepercayaan.'"

'Aduh bosque!' Tikus yang malang menyela lagi, 'uang kecil yang gua ambil, cuma dari tangan ke mulut, dan itu murni buat butuh menjaga kehidupan dan jiwa tetap bersama,' sang Tikus memohon di satu sisi, di lain sisi, Tukang giling melemparkan masalah hati-nurani dan kejujuran dari mulutnya, ke mulut yang lain, dan berkhotbah tentang pilihan kenyamanan politik, dengan mencontohkan maling seperti dirinya, bagi kebajikan publik.
'Tapi Bosque!' kata sang Tikus sekali lagi, 'Coba bosque pikir-pikir lagi deh; gua pedagang beras, bosque juga, jadi kita berdua, semestinya punya rasa senasib-sepenanggungan; gua kan cuma ngambil sebiji, tapi bosque, nyolong seribu.'
'Ini bukan bahasa yang harus ditanggung oleh orang jujur,' teriak Tukang giling, gusar; 'tapi yang terbaik, hei dongok, lidahmu, bukan fitnahmu,' maka iapun menyerahkan kepada sang Kucing, agar melakukan apa yang kita sebut di dunia sebagai, eksekusi keadilan.
Setelah menjalankan tugasnya, dengan berjalan santai, sang Meong berdendang,

Tikus-tikus tak kenal kenyang
Rakus-rakus, bukan kepalang
Otak tikus memang bukan otak udang
Kucing datang, tikus menghilang *)

Sebagai penutup, Laluna berkata, "Korupsi, secara luas diakui sebagai penyimpangan yang tak pantas, BUKAN semata lantaran masalah norma 'BERANI JUJUR HEBAT,' melainkan karena MEMPERHEBAT JURANG KETIDAKSETARAAN. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Inge Amundsen, Political Corruption: An Introduction to the Issues, Chr. Michelsen Institute
- Eric M. Uslaner, The Historical Roots of Corruption, Cambridge Univesity Press
- Arnold J. Heidenheimer & Michael Jihnston (ed.), Political Corruption : Concept & Contexts, Transactions Publishers
*) "Tikus-tikus Kantor" karya Iwan Fals