Kamis, 21 Juli 2022

Mas-mas SCBD (2)

"'Apa yang engkau pilih untuk dikenakan atau tak dikenakan, telah menjadi pernyataan politis,' mas SCBD melanjutkan. 'Engkau tak membeli pakaian—engkau membeli identitas,' itulah ungkapan guna menunjukkan korelasi antara brand fashion dan asalnya. Dan teramatlah konyol bagi kita, bila meremehkan pentingnya fashion dalam masyarakat. Busana dan aksesorisnya itu, ekspresi dari bagaimana perasaan kita, bagaimana kita melihat diri kita sendiri—dan bagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang lain.
Identitas ini, terkait dengan nilai brand atau merek, yang telah dikomunikasikan melalui pemasaran. 'Anggunkah engkau, bertingkah, sopan, bijaksana, intelektual, seksi. . . atau segala hal tersebut, tergantung moodmu? Tak perlu khawatir: kami punya busana yang sesuai.' Itulah yang mereka tawarkan.
Akan tetapi, tak semata pakaian yang ditawarkan. Selama dekade terakhir ini, fashion telah mencuri ke setiap sudut lanskap perkotaan. Ponsel kita, mobil kita, dapur kita, media pilihan kita dan tempat kita bertemu teman-teman kita—semua ini, juga telah menjadi subjek dari keanehan fesyen. Tak cukup semata memakai pakaian; engkau harus pula mengenakan gaya-hidup. Brand fashion telah mendorong perkembangan ini, dengan menambahkan nama mereka ke berbagai objek, memenuhi setiap fungsi yang dapat dibayangkan, dan menjualnya di toko yang menyerupai taman hiburan.
Orang akan berusaha keras mengkonsumsi fashion. Belum lama ini, ada banyak artikel tentang anak-anak yang dirampok—bahkan dibunuh—karena sepatu olahraga mereka. Sementara ada artikel sensasional yang tak biasa, di surat kabar Prancis, Le Figaro, memberitakan bahwa gadis-gadis remaja menjual tubuh mereka, demi mengumpulkan cukup uang guna memuaskan kecanduan mereka pada fesyen. Pada skala yang tak terlalu dramatis, cuma sedikit remaja yang tak menyadari pentingnya brand yang tepat, dengan warna yang tepat, dikenakan dengan cara yang tepat. Dan, karena kita semua remaja kekinian, orang dewasa menjadi sama obsesifnya. Perubahan mode, sangat menjengkelkan dan memikat. Alkimianya misterius. Kebanyakan orang, bahkanpun jika mereka menolak tergoda olehnya, terperdaya oleh fashion.

'Fashion is a factory that manufactures desire.' Dalam fashion, satu yang pasti: walau di batas atas takaran, fashion itu, semata tentang bisnis gedean. Desainer itu, orang-orang yang sangat kreatif, namun mereka bekerja demi para konglomerat global yang jumlahnya, makin menyusut. Sebagian besar ahli, sepakat bahwa fesyen, seperti yang kita kenal sekarang, lahir di ibukota Prancis. Walau nanti kita akan beralih ke New York dan Milan, ke London dan Tokyo, segalanya berawal dari Paris.
Sejak para modiste merancang gaun bagi Permaisuri Eugénie, istri Napoleon III, hingga episode terakhir serial tv Sex and the City—serial televisi yang paling sadar mode—Paris telah menjadi buah bibir terhadap style. Seperti yang ditunjukkan oleh Bruno Remaury, antropolog sosial dan dosen di Institut Français de la Mode, sekolah mode terkemuka Prancis, 'Kata 'fashion' berasal dari bahasa Prancis: façon bermakna bekerja dengan cara tertentu, dan travaux façon itu, istilah Prancis tradisional yang merujuk pada pembuatan busana.'
Brand fesyen menggunakan banyak teknik guna membujuk kita, agar berpisah dengan uang hasil jerih payah kita, sebagai imbalan atas sensasi sementara mengenakan sesuatu yang baru. Dalam hati kita, kita tahu, semuanya semata asap dan cermin—kebanyakan dari kita, punya banyak pakaian untuk dikenakan, dan tiada yang bakal berantakan untuk sementara waktu. Tapi, mengapa kita terus membeli pakaian? Sungguhkah itu, bisa jadi tentang pemasaran?
Seperti yang ditunjukkan oleh pakar mode Bruno Remaury, 'Pemasaran tradisional didasarkan pada kebutuhan. Engkau mengambil produk yang sesuai dengan permintaan yang ada, dan berusaha membuktikan bahwa produkmu itu, yang terbaik di kategorinya. Tapi fashion didasarkan pada penciptaan kebutuhan dimana, pada kenyataannya, tidak ada. Fashion itu, pabrik yang memproduksi hasrat.’

Fashion berasal dari Paris pada akhir abad ke-19. Saat itulah, label desainer pertama dibuat. Meskipun pasar utamanya, Prancis, pendirinya, orang Inggris. Charles Frederick Worth mengubah aturan main. Sebelum kedatangannya, penjahit tak menciptakan style atau mendikte fashion; mereka cuma pemasok, yang membuat salinan gaun yang pernah dilihat klien kaya mereka di jurnal bergambar, atau dikagumi dalam pertemuan masyarakat. Klien sendiri memilih kain dan warna, dan gaun dibangun di sekeliling mereka, seperti perancah. Worth-lah modiste pertama yang memaksakan seleranya sendiri pada wanita—ia, pada dasarnya, prototipe perancang busana selebriti. Jika kita mengikuti perjalanan hidup Worth, maka kita akan tahu tentang banyak bahan pemasaran mode kontemporer: peragaan busana, model selebriti, elitisme, dan, tentu saja, juru bicara brand yang karismatik. Worth lahir di kota Bourne, Lincolnshire pada 13 Oktober 1826, dan pada saat ia meninggal, pada 10 Maret 1885, Worth telah menetapkan pola yang akan diikuti oleh semua desainer lainnya. Tentu saja, ia memamerkan seni tingkat tinggi, namun dari semua penjahit pada periode itu, ia orang pertama yang membungkus namanya sendiri dalam dongeng, dan menjualnya kembali dengan untung.
Worth meninggalkan bisnisnya di tangan kedua putranya yang cakap, Gaston dan Jean-Philippe, brandnya tak dapat tetap menjadi yang terdepan dalam style, selamanya. Worth diikuti oleh seorang desainer muda Paul Poiret, direkrut ke Maison Worth oleh JeanPhilippe. Namun terlepas dari bakatnya, kecakapan pemasarannya, dan pengaruhnya, Poiret tak mampu menghentikan kemajuan mode. Bintangnya sudah memudar setelah Perang Dunia Pertama, dan pada tahun 1920-an, ia terkunci dalam persaingan sengit dengan wanita yang menjadi ikon mode pada zaman itu, Gabrielle 'Coco' Chanel.
Gabrielle Chanel menganggap bahwa gaun Poiret, semata kostum tinimbang busana, dan semakin banyak wanita, tampak setuju dengannya. 'Eksentrisitas sedang sekarat: aku berharap, aku membantu membunuhnya,' katanya, seperti dikutip dalam buku L'Allure de Chanel oleh Paul Morand. Menggosokkan garam ke lukanya, ia menambahkan bahwa mudah menarik perhatian dengan berpakaian seperti Scheherazade, tetapi gaun hitam mungil, menunjukkan lebih berkelas. 'Extravaganza membunuh kepribadian,' katanya. Apapun kebenaran pernyataan ini, tiada yang membantah fakta bahwa Chanel merebut fashion di abad ke-20.

Perang, tentunya, kembali mengubah segalanya. Meski sejumlah rumah mode bermunculan di Paris yang diduduki, termasuk Jacques Fath dan Nina Ricci, fokusnya bergeser ke Amerika Serikat. Sampai saat itu, wanita Amerika yang modis, membeli gaun mahal yang diimpor dari Paris, atau punya salinan yang lebih terjangkau di dekat rumah. Bahkan sebelum perang, pabrikan di Seventh Avenue, New York, telah mulai bereksperimen dengan kain sintetis, teknik produksi yang lebih cepat, dan pakaian yang ringan dan dapat dipertukarkan. Perkembangan ini dipercepat pada tahun 1940-an, dan New York menjadi tempat lahirnya busana siap pakai. Pada saat perdamaian pecah, hegemoni Paris sebagai ibukota mode dunia, sedang ditantang. Inovasi masa perang telah menunjukkan bahwa 'bergaya-jelita' tak melalu bermakna penjahit pribadi atau 'haute couture'. Untuk pertama kalinya, fashion bukan lagi menjadi milik elit kaya.
Bukan berarti Paris telah melepaskan kepentingannya. Tahun 1950-an, terlihat muncul Christian Dior, seorang lelaki yang semangat promosinya bahkan melebihi para pendahulunya. Selain sebagai desainer visioner, penemu 'The New Look' ini, mesin penghasil uang. Ia meluncurkan parfum pertamanya pada tahun 1947 dan toko pakaian siap pakai di New York pada tahun 1948. Pada akhir dekade, ia telah melisensikan mereknya ke berbagai dasi dan stoking. Ia membuka cabang di seluruh dunia, dari London hingga Havana. Pada saat ia meninggal sebelum waktunya, pada tahun 1957, ia telah mempekerjakan lebih dari seribu orang—keadaan yang sebelumnya tak pernah dialami oleh seorang modiste. Lebih dari siapapun sebelum dirinya, Dior menyadari bahwa kemewahan dapat dikemas ulang sebagai produk massal. Tak cuma itu, ia menganggapnya sebagai kunci kelangsungan hidup dan profitabilitas sebuah merek. Seperti dikutip oleh Erner, ia pernah berkomentar, 'Engkau tahu mode: sehari sukses, hari berikutnya turun ke neraka,' ia menambahkan, 'Aku tahu banyak resep, dan suatu hari. . . mereka mungkin berguna. Dior ham? Daging sapi panggang Dior? Siapa tahu?'

Mungkin tak mengherankan bahwa, hari ini, merek Dior dimiliki oleh kerajaan LVMH (Louis-Vuitton Moët Hennessy)—ekspresi tertinggi kemewahan sebagai bisnis besar. Di luar Dior, kediktatoran brand fesyen terus berlanjut. Bahkan di tahun 1960-an, ketika mode didemokratisasi dan semua orang mengklaim haknya terhadap style, para pemasar berada di atas angin. Ketika ditanya siapa yang menemukan rok mini, dirinya sendiri atau desainer Prancis André Courrèges, Mary Quant menjawab dengan rendah-hati, 'Bukan keduanya – ia ditemukan di jalanan.'
Perancang lain seperti itu, dalam skala yang sama sekali berbeda, Pierre Cardin, seorang lelaki yang memperluas brandnya tak lebih dari sebuah perang salib. Dan tak mungkin membicarakan brand fashion tahun 1960-an—atau bahkan 1970-an—tanpa menyebut Yves Saint Laurent. Awalnya penerus Dior, Saint Laurent dengan cepat memisahkan diri mengikuti jalannya sendiri, dan seketika diketahui bahwa ia punya kue dan memakannya pula.

Pada awal tahun 1965, bisnis barang-barang kulit dan bulu Italia, Fendi, bekerja dengan seorang desainer muda berbakat bernama Karl Lagerfeld, yang membantu mengubah perusahaan kecil itu menjadi brand yang menggairahkan. Dan Fendi bukan satu-satunya pemain Italia; di antara banyak lainnya : Armani, Gucci, Cerruti, Krizia dan Missoni, bila ingin menyebutkan beberapa. London tahun 1970-an membanggakan banyak ide segar, terkait dengan nama-nama seperti Ossie Clark, Anthony Price, Zandra Rhodes, dan toko konsep berumur pendek Biba, tetapi pembangkit tenaga listrik masa depan yang sebenarnya sedang diciptakan di Milan. Sampai seorang taipan Prancis bernama Bernard Arnault mulai meletakkan dasar bagi LVMH pada 1980-an, orang-orang Milan tampaknya memonopoli atas kemewahan sebagai sebuah bisnis. Mereka berjiwa pedagang, dan mereka tahu bagaimana mengawinkan seni dengan perdagangan, dengan cara yang belum dipahami oleh banyak label Prancis.

Kapan fashion berhenti menjadi modis? Mengutip Hemingway, ia bakal terjadi dengan perlahan, lalu berlangsung dengan sangat cepat. Kemungkinan, pembusukan terjadi di sekitar pertengahan hingga akhir 1980-an, dipicu oleh boom-to-bust economyserangkaian peristiwa dimana peningkatan pesat dalam kegiatan bisnis dalam perekonomian, diikuti oleh penurunan yang cepat dalam kegiatan bisnis, dan proses ini, terus berulangdan kemunculan AIDS, sebagai metafora yang kuat bagi mabuk tertunda di era tahun 1970-an. Efek dari penyakit ini, sangat nyata, sebab merobek ekonomi kreatif, merampas beberapa bintang yang kemunculannya, sangat terang.
Ralph Lauren, merupakan brand yang sempurna di tahun 1980-an, ketika fashion menjadi tak sepenting 'gaya hidup'. Walau dengan munculnya supermodel, rupanya, media lebih tertarik pada bagaimana para model itu hidup, ketimbang pakaian yang mereka kenakan.
Pabrik glamor telah merencanakan kebangkitannya selama ini, bersenandung di latar belakang sepanjang akhir 1990-an, sementara pengamat industri, lebih peduli tentang meningkatnya gelombang 'smart casual,' dan mas SCBD pun menutup percakapan.

Ngomong-ngomong, aku hampir lupa memberitahumu, bahwa mas-mas SCBD kita ini, ditemani oleh seekor monyet kurus dan tak terurus, bertengger di bahunya. Jadi, saat ia sedang berjalan di trotoar, ia melewati seorang polisi yang dengan ramah—dan sepertinya merasa iba pada sang monyet—berkata kepadanya, 'Mas mas, mending mas bawa deh monyetnya, ke kebon binatang, kasihan tauk!'
Kawan kita, sepakat dengan pak polis, dan beberapa saat kemudian, bak Michael Jackson, yang memainkan topi fedoranya, ia bergegas menuju bonbin seraya bersenandung,
I'm too sexy for my shirt
Too sexy for my shirt
So sexy it hurts
And I'm too sexy for Milan
Too sexy for Milan
New York, and Japan
And I'm too sexy for your party
Too sexy for your party
No way I'm disco dancing

I'm a model, you know what I mean
And I do my little turn on the catwalk
Yeah, on the catwalk, on the catwalk, yeah
I do my little turn on the catwalk *)
Laluna menangkup ceritanya dengan menambahkan, "Keesokan harinya, mas SCBD kita, sedang berjalan dengan monyet di pundaknya, lagi, ketika ia melewati polisi yang sama. Pak polis berkata, 'Lho, kan mas udah dibilangin, bawa monyetnya ke bonbin!' Kawan kita menjawab, 'Udah pak, kemaren! Sekarang, aku mau membawanya ke bioskop, nonton!' Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Diana Crane, Fashion and Its Social Agenda, The University of Chicago Press
- Mark Tungate, Fashion Brands - Branding Style from Armani to Zara, Kogan Page
*) "I'm too Sexy" karya Fred Fairbrass, Richard Fairbrass & Rob Manzoli