Selasa, 12 Juli 2022

Sang Tahanan dan Surat dari Isterinya (2)

Seminggu kemudian, sang Tahanan menerima surat lagi dari istrinya, dan saat membuka suratnya, ia berkata, 'Jadi, oleh karena Kemerdekaan Berbicara atau Berekspresi itu, sebuah Hak Moral, ia juga membawa Tanggungjawab Moral. Orang yang punya kesadaran moral yang tinggi, akan lebih memilih mengucapkan kata-kata yang baik, ketimbang ujaran kebencian. Semua masyarakat beradab, akan sepakat dengan hal ini.
Ada tiga jenis kerugian utama yang dihasilkan dari ucapan-ucapan ofensif yang dibuat tentang kelompok tertentu dalam masyarakat: (1) yang dihasilkan oleh reaksi kekerasan oleh korban fitnah kelompok, (2) yang dihasilkan dari kekerasan yang dilakukan oleh orang lain. orang-orang yang dihasut oleh 'penjahat' agar menyerang korban fitnah rasial, dan (3) yang terdiri dari ucapan kata-kata yang sangat menyinggung, terlepas dari kekerasan lebih lanjut yang dilakukan.
Ini bukan mengatakan bahwa takkan terjadi, efek samping, jenis kerugian lain yang dapat diidentifikasi sebagai akibat dari, semisal, fitnah rasial. Di satu sisi, orang dapat berargumen bahwa ada kerugian bagi masyarakat secara umum, terlepas dari kerugian yang lebih spesifik yang ditimbulkan pada target langsung fitnah rasial. Penyiaran atau publikasi materi yang menyinggung kelompok ras atau etnis tertentu, merusak, tak hanya bagi mereka yang secara langsung tersinggung, melainkan pula, bagi masyarakat: ia menurunkan standar kehidupan sehari-hari, kesantunan, kualitas wacana publik. Lebih jauh lagi, ia merusak perdamaian dan harmoni sosial, dan akibatnya, masyarakat secara keseluruhan, menderita.

Gagasan kemerdekaan berbicara bagi semua, agar tersebar luas, relatif terlambat. Secara keseluruhan, ia diperlakukan sebagai hak prerogatif elit, meskipun ada suatu pengecualian awal, yakni Raja Buddha kuno, Asoka, di India, yang mendorong masyarakat dari seluruh kelompok agama, agar hidup dan saling berbicara serta saling belajar.
Ide kemerdekaan berbicara bagi semua afiliasi agama, ditemukan dalam Maklumat-maklumat Asoka, tertera di atas batu prasasti pada abad ketiga SM. Jauh sebelum konsep universal semacamnya, yang ada di Eropa, raja Asoka, setelah memeluk agama Buddha, menghendaki adanya kemerdekaan berbicara bagi semua orang. Prasastinya tak mengatakan bagi seluruh individu, melainkan bagi semua pasanda, atau afiliasi keagamaan. Ia mendorong seluruh pasanda agar diakui menetap dimanapun. Ia tak menginginkan saingan pasandanya, dibungkam. Ia beralih dari kemerdekaan berbicara ke ucapan yang bermanfaat. Merujuk pada semua agama di kerajaan Indianya yang luas, ia menginginkan mereka, melalui harmoni [samowaya] agar belajar, menghormati, dan mengetahui doktrin pasanda lain, dan memperoleh doktrin yang sehat. Jika yang ia maksud itu, bagaimana mempelajari doktrin yang sehat, ia akan mengantisipasi ekstrapolasi John Stuart Mill—filsuf Inggris, ekonom politik, Anggota Parlemen dan pegawai negeri—dari pengacara Romawi, Cicero, yang mengatakan konteks perselisihan hukum yang berbeda, bahwa ia mempelajari kasus lawannya dengan intensitas yang sama besar atau lebih besar dari yang ia punyai. Kesimpulan Mill, bahwa engkau takkan tahu kasusmu sendiri, sampai engkau tahu kasus lawanmu. Pada terjemahan lain, Asoka membutuhkan lebih dari sekedar pengetahuan tentang doktrin orang lain, dan sebaliknya mengatakan bahwa para pasanda hendaknya belajar, menghormati, dan mendengarkan doktrin orang lain. Asoka juga menetapkan batas. Ia menghendaki pengekangan bicara (wakaguti) seperti yang belum diterima secara luas di Barat terhadap hubungan antar komunitas. Ia menghendaki agar mereka semua, menghindari meremehkan pasanda lain, atau memuliakan diri mereka sendiri secara berlebihan. Orang lain boleh dikritik, namun bukan tanpa alasan dan tak berlebihan. Selain itu, prasasti dengan hati-hati menyajikan ini, bukan sebagai hukum, melainkan sebagai keinginan kuat sang raja. Media untuk mempelajari keyakinan orang lain, tak semata, diskusi, yang Mill, di zaman lain, pula menekankan sangat penting, dan daya tarik kehendak sang raja, dibanding perintahnya, menunjukkan bahwa ia menghargai irama dimana pesannya, diekspresikan.
Akan tetapi, meski Asoka berbicara tentang semua kelompok agama, bukan berarti seluruh individu. Kemerdekaan berbicara bukan untuk semua individu, dan masih memiliki kendala hukum lainnya: orang tak boleh mengucapkan apapun yang mereka suka. Selain itu, sejak zaman baheula, masyarakat menganggap kebutuhan akan ucapan yang bermanfaat sebagai alasan, dan terkendala pada bebas berbicara.

Kemerdekaan berekspresi bagi semua orang itu, talenta yang teramat agung, dimenangkan oleh keberanian besar dengan mengorbankan bahaya pribadi, dan untuk tujuan kebebasan politik, agama, dan sosial. Amat penting menyadari, betapa merusaknya, jika kemerdekaan seperti ini, ditampik.
Selain keterhubungannya dengan demokrasi, beberapa derajat kemerdekaan berekspresi, tentunya akan berkontribusi pada realisasi hal-hal lain yang kita nilai positif. Jadi, beberapa derajat kemerdekaan berekspresi, menggalakkan pengetahuan yang berguna bagi kita, dalam peran kita sebagai konsumen atau produsen di pasar. Beberapa derajat kemerdekaan berekspresi, berkontribusi pada kehidupan artistik yang berkembang—sekali lagi, sebagai produsen atau konsumen. Beberapa derajat kemerdekaan berekspresi, diperlukan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang paling penting, beberapa derajat kemerdekaan berekspresi, berkontribusi pada pengetahuan yang kita butuhkan, agar berfungsi sebagai agen moral yang bertanggungjawab. Dan ada banyak lagi hal lain–dan tentu pula, sisi “buruk”nya–yang digalakkan oleh kemerdekaan berekspresi pada tingkat tertentu, secara instrumental atau konstitutif.

Ketiadaan hak asasi manusia atas kemerdekaan berekspresi, kita tak punya pilihan selain ikut dalam prediksi yang cukup spekulatif dan berdasarkan firasat, tentang berapa derajatkah kebebasan berekspresi akan membuahkan hasil yang baik, yang dalam kaitannya dengan teori normatif apapun yang kita pegang, akan lebih besar dibanding hasil buruk yang dihasilkannya. Aku harus menekankan bahwa dengan menanyakan berapa derajatkah kebebasan berekspresi akan menghasilkan hasil yang baik secara seimbang, aku tak menanyakan, apakah tanda ekspresi tertentu akan menghasilkan hasil seperti itu. Yurisprudensi yang menanyakan apakah tanda ekspresi tertentu akan bermanfaat secara seimbang dalam beberapa latar belakang teori normatif, bukanlah yurisprudensi kemerdekaan berekspresi, karena tak dapat membedakan pendekatannya terhadap tanda ekspresi dari pendekatannya terhadap tanda-perbuatan pada umumnya. Jika suatu tanda-perbuatan menghasilkan hasil yang baik yang berimbang—dan tak bertentangan dengan batasan moral, semestinya diperbolehkan—atau diamanatkan—terlepas dari apakah itu, tindakan ekspresi atau tanda dari beberapa jenis tindakan lainnya. Hanya jika beberapa kelompok tanda ekspresi dinilai sebagai sekumpulan konsekuensinya, dan bukan tanda demi tanda, kita memiliki bentuk kemerdekaan berekspresi. Penyeimbangan kasus per kasus biaya dan manfaat dari tindakan ekspresif tertentu, tak konsisten dengan apa yang disebut dengan benar sebagai kemerdekaan berekspresi.'

Sesaat kemudian, ia membaca suratnya. Sang isteri, melaporkan padanya,
'Kangmasku sayang, kangmas takkan percaya pada apa yang telah terjadi. Beberapa orang datang membawa sekop ke rumah dan menggali taman belakang. Mereka tak menemukan apa-apa selain membolak-balik tanahnya, hingga menjadi gembur dan tampaknya, baik buat di tanemi.'
Sang Tahanan menulis kembali,
'Bebebku sayang, sekaranglah, waktu terbaik buat nanem seladanya.'
Sembari memasukkan lembaran suratnya ke dalam amplop, kali ini, tidak dengan nada sedih, namun dengan tersenyum, sang Tahanan bersenandung, 
I'm not crying 'cause you left me on my own
[Aku tak meratap lantaran engkau meninggalkanku sendiri]
I'm not crying 'cause you left me with no warning
[Aku tak meratap lantaran engkau meninggalkanku tanpa isyarat]
I'm just crying 'cause I can't escape what could've been
[Aku cuma meratap lantaran aku tak bisa lepas dari apa yang mungkin terjadi]
Are you aware when you set me free?
[Sadarkah engkau saat engkau melepaskanku?]
All I can do is, let my heart bleed *)
[Yang bisa kulakukan hanyalah, membiarkan hatiku terluka]

Sebelum undur-diri, Laluna menutup ceritanya dengan berkata, "Lebih baik mendidik daripada menghukum. Kemerdekaan berekspresi dan berbicara, tak semata tanggungjawab individu, melainkan tanggungjawab moral kita semua. Alangkah tak sehatnya, bila ada di sebuah negeri, setiap orang, takut ngomong. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Larry Alexander, Is There a Right of Freedom of Expression?, Cambridge University Press
- Wojciech Sadurski, Freedom of Speech and Its Limits, Kluwer Academic Publisher
- Richard Sorabji, Freedom of Speech and Expression, Oxford University Press
- George Orwell, 1984, Signet Classics
*) "Don't Watch Me Cry" karya Jorja Alice Smith