Senin, 11 Juli 2022

Sang Tahanan dan Surat dari Isterinya (1)

"'George Orwell—seorang penulis sosialis demokrat—menulis karyanya 'Nineteen Eighty-Four'—sebuah novel fiksi ilmiah distopia dan dongeng pengingat—pada tahun 1944. Kisahnya, sebuah cerita imajiner, yang terjadi empat puluh tahun kemudian, pada tahun 1984, ketika hampir seluruh dunia, telah menjadi korban perang abadi, pengawasan pemerintah dimana-mana, Negasionisme sejarah, dan Propaganda. Nineteen Eighty-Four telah menjadi rujukan sastra klasik fiksi politik dan distopia—berkaitan dengan, atau menunjukkan negara atau masyarakat imajiner, dimana terjadi penderitaan besar-besaran atau ketidakadilan. Banyak istilah yang digunakan dalam novel ini, menjadi penggunaan umum, termasuk 'Big Brother', 'doublethink', 'Thought Police', 'thoughtcrime', 'Newspeak', dan '2 + 2 = 5,' berkata sang Tahanan Politik dalam sebuah penjara, seraya membuka selembar surat yang diterimanya, dari istrinya," Laluna mengawali sebuah cerita, usai mengucapkan Basmalah dan Salam. "'Dalam situasi yang kualami saat ini,' imbuh sang Tahanan, 'Aku merasakan, Demokrasi bertingkah aneh. Engkau tak dapat menghentikan sebuah sebuah kereta-kuda dengan sebuah kereta-kuda, melainkan harus dengan pasukan berkuda. Engkau takkan bisa melawan seorang Jenderal dengan seorang Jenderal, melainkan dengan sebanyak-banyaknya batallion pasukan bersenjata. Dan engkau takkan sanggup menjatuhkan seorang Raja, atau seorang Penguasa, kecuali bersama rakyat yang sama-sama kompak. Yang paling sial, bagaimana jika rakyatnya, pada ogah kompak?'

Ia terdiam sejenak, lalu dengan lirih, bersenandung,
Oh, it hurts the most 'cause I don't know the cause
[Duhai, sungguh perih, lantaran kutak tahu penyebabnya]
Maybe I shouldn't have cried when you left and told me not to wait
[Mungkin, tak semestinya ku meratap saat engkau pergi dan bilang agar aku tak menunggu]
Oh, it kills the most to say that I still care
[Duhai, sungguh membunuhku bila mengatakan aku masih peduli]
Now I'm left tryna rewind the times you held and kissed me there *)
[Kini, aku dibiarkan berupaya memutar waktu ketika disana engkau memegang dan mengecupku]
Ia kemudian melanjutkan, 'Dan di zamanku ini, dan di negeri tempatku bernaung—di negeri Zamrud, akang, teteh, abah, ambu, mamang, bibi, bahkan aki-nini, semuanya, bakalan masuk penjara, cuma karena mereka disangka mencibir pemerintah, atau lebih tepatnya, apa yang mereka sebut, menghina Lembaga Negara.
Dan aku mulai mempertanyakan, masih adakah Hak Kemerdekaan Berekspresi? Dengan kata lain, apa konsepsi Hak Asasi Manusia yang membingkai pertanyaanku tentang Kemerdekaan Berekspresi? Ketika seseorang menuntut 'Hak asasi manusia', desakan macam apa yang dibuatnya, dan bagaimana ia bisa membenarkannya? Jenis tuntutan Hak Asasi Manusia yang kupentingkan ini, ialah, yang menyamakan Hak Asasi Manusia dengan Hak Moral yang ada, lepas dari pengaturan hukum atau kelembagaan, identitas nasional, etnis, atau agama, tradisi, ataupun keadaan sejarah tertentu. Allen Buchanan dan David Golove, bilang begini, 'Menurut definisi, Hak Asasi Manusia itu, hak moral yang diperoleh semua orang, entah itu anggota pemerintahan, ras, etnis, agama, maupun kelompok sosial tertentu. ' Ringkasnya, Hak Asasi Manusia itu, hak moral yang dapat digunakan secara sah oleh siapapun, kapanpun atau dimanapun.

Didalam Hak asasi manusia sebagai hak moral, terkandung kewajiban terhadap orang lain. Kewajiban, dapat berupa kewajiban negatif—kewajiban agar menahan diri dari tindakan yang menghalangi kebebasan yang dilindungi oleh hak moral atau yang mengancam kebaikan, seperti kehidupan atau hak-kepemilikan, yang dilindungi oleh hak-kepatutan. Sebaliknya, kewajiban dapat berupa kewajiban positif, di kala suatu pihak diharuskan tunduk pada pihak yang menyediakan barang atau jasa tertentu kepada orang lain. Hak atas kemerdekaan berekspresi, biasanya, dianggap sebagai inti dari kewajiban negatif, bahwa pemerintah tak boleh mempidanakan pelaksanaan kebebasan atau serangkaian kebebasan tertentu. Namun demikian, hak kemerdekaan berekspresi, terkadang dianggap menempatkan kewajiban negatif, setidaknya, pada beberapa aktor non-pemerintah. Dan terkadang, digunakan untuk mendukung kewajiban positif—hampir selalu pada pemerintah—guna menyediakan sarana bagi masyarakat—misalnya, media—dan kapasitas—semisal, informasi dan pendidikan—demi mengekspresikan diri.

Ada orang yang mungkin berpendapat, bahwa aku telah keliru mencirikan Hak Asasi Manusia dengan menganggapnya sebagai Hak Moral. Mereka akan berpendapat, bahwa, Hak Asasi Manusia itu, hak hukum yang ditetapkan oleh perjanjian dan konvensi internasional atau oleh hukum kebiasaan internasional. Dengan demikian, Pasal 19 dari The Universal Declaration of Human Rights menyatakan bahwa, 'Setiap orang, berhak atas kemerdekaan berpendapat dan berekspresi.'
Dan Pasal 19 the International Covenant on Civil and Political Rights, bagian 2, menyatakan bahwa, 'Setiap orang, berhak atas kemerdekaan berekspresi.'
Konvensi-konvensi internasional inilah, dan kesepakatannya oleh negara-negara di dunia, yang menciptakan dan mendefinisikan hak kemerdekaan berekspresi. Hak asasi manusia akan kemerdekaan berekspresi itu, hak hukum yang diajukan dan dapat ditentukan tanggalnya, bukan hak moral abadi, yang sebelumnya telah ada dalam instrumen hukum internasional.
Aku tak melihat bahwa argumen tersebut, persuasif. Memang benar bahwa the Universal Declaration of Human Rights dan the International Covenant on Civil and Political Rights itu, instrumen-instrumen hukum, setidaknya, manakala banyak negara yang menganutnya, atau tatkala telah menjadi norma hukum kebiasaan internasional. Namun, pendapat ini mengakui, bahwa pemeriksaan bahasa dokumen-dokumen ini, mengungkapkan ia mengakui hak kebebasan berekspresi yang sudah ada sebelumnya, yang mereka rujuk dan nyatakan sebagai hak di bawah hukum internasional. Dalam hal ini, mirip-mirip dengan Amandemen Pertama Konstitusi Amerika Serikat, yang dengan sendirinya mengacu pada 'kemerdekaan berbicara,' seolah-olah isi dan ruang lingkup kemerdekaan itu, independen dan sudah ada sebelumnya, dari Amandemen Pertama itu sendiri.

Kemerdekaan berbicara, yang sering digunakan bersinonim dengan kemerdekaan berekspresi, selalu dianggap mencakup lebih dari apa yang secara harfiah berbicara, yaitu berbahasa lisan. Misalnya, tiada yang membantah bahwa ia mencakup bahasa tulis dan bahasa lisan. Selain itu, sulit melihat bagaimana hal tersebut dapat disembunyikan dari bahasa isyarat, piktograf, gambar, film, drama, dan sebagainya; dan, memang, perlindungan hukum yang diberikan kemerdekaan berbicara di negara-negara seperti Amerika Serikat, telah diperluas ke segala media komunikasi dan ekspresi, serta seni abstrak dan pertunjukan musik.
Biasanya, kemerdekaan berbicara mengacu pada—dan sering disebut sebagai—kemerdekaan berekspresi atau kemerdekaan berkomunikasi. Hal ini, hal yang biasa guna membedakan antara 'ucapan' dan 'ucapan simbolik'.
Semua ucapan menggunakan simbol, baik itu suara, bentuk, gerakan, gambar, atau media lainnya. Dengan demikian, tiada yang namanya ucapan non-simbolis; yang ada, ucapan yang menggunakan simbol-simbol yang, kurang atau lebih, konvensional. Hal yang sama, berlaku pula bagi setiap perbedaan yang diakui antara ucapan atau ekspresi serta 'perilaku' atau 'tindakan'. Semua ekspresi membutuhkan perilaku tertentu, dan perilaku apapun, dapat komunikatif. Kesimpulan yang dapat ditarik, bahwa KEMERDEKAAN BERBICARA ATAU BEREKSPRESI, haruslah dianggap sebagai KEMERDEKAAN BERKOMUNIKASI, dan bahwa, TIADA BATASAN APRIORI pada media komunikasi yang dicakup oleh kemerdekaan tersebut.'

Sesaat kemudian, ia membuka suratnya, dan membacanya. Sang isteri, bertanya dengan singkat, 
'Kangmas sayang, aku udah mutusin, mau nanem selada di kebun belakang rumah kita. Kapan waktu terbaik buat menanamnya?'
Lantaran tahu betul bahwa para penjaga penjara, membaca semua surat, masuk dan keluar, setelah berpikir, bernalar dan menimbang-nimbang, sang Tahanan menjawab dengan sebuah surat,
'Beb, apapun yang bebeb lakukan, mohon jangan sentuh taman belakang. Di situlah kangmas sembunyikan semua uangnya.'
Sembari memasukkan lembaran suratnya ke dalam amplop, sang Tahanan bersenandung,
Oh, it's harder when you can't see through their thoughts
[Duhai, teramat berat bila engkau tak dapat melihat melalui otak mereka]
Not that I wanna get in but I want to see how your mind works
[Bukannya kuingin masuk, tapi kuingin melihat, bagaimana otakmu bekerja]
No, it's harder when they don't know, what they've done
[Tidak, lebih sulit ketika mereka tak tahu, apa yang telah mereka lakukan]
Thinking it's best that they leave, meaning that I'll have to move on *)
[Mengira, sebaiknya mereka pergi, berarti aku harus 'move on']
Setelah itu, ia berkata, 'Apa yang akan terjadi, kita lihat nanti!'