"Ragotin, seekor anjing Picardy, yang wangi, setia, dan anjing terbaik yang pernah ada. Ia punya ribuan sifat bajik, menawarkan diri dengan perhatiannya yang penuh semangat, kepada induk dan semangnya, anak-anak, pelayan, dan semua orang. Engkau mungkin pernah melihatnya, menyertai sang majikan, dan memainkan ratusan trik kecil agar mengalihkan perhatiannya; ia ikut serta dalam suka atau duka, tergantung saat ia melihatnya, tertawa atau menangis. Singkatnya, dirinyalah segalanya, dan tak seorang pun di dalam keluarga, menjadi musuhnya, kecuali Miss Tabby, sang kucing, yang ia jewer, suatu hari, saat memperebutkan tulang. 'Awwas lu ya! Bakalan lu rassaain nanti!' ujar Miss Tabby, dengan hati menghitam dan mata merah menyala. Walakin Ragotin, tak ambil pusing soal ancamannya, tak mengurangi sedikitpun makan dan tidurnya," Laluna menaja sebuah cerita, usai mengucapkan Basmalah dan Salam. "Lalu, apa tanggapan Ragotin tentang peranannya dalam keluarga?" lanjutnya, "Jawabannya rada membingungkan, lantaran sewaktu di soal, yang ditanya apa, yang di jawab apa, nggak nyambung jek! Responsnya seperti ini, 'Informasi telah berkembang di bumi selama miliaran tahun. Sementara pandangan naif tentang informasi itu, sesuatu yang lembut, tak berbentuk, tak berbobot, tak bermateri, dan sebagainya, pada kenyataannya, informasi tak pernah berada di luar substrat fisik. Informasi dapat berupa pola tinta di atas kertas, gelombang suara, pulsa listrik, gelombang radio, pola fluks magnet, koneksi neuron, molekul, atau takik pada tongkat. Sebuah teori fisika kuantum, bahkan mengusulkan bahwa unit fisik paling mendasar yang membentuk alam semesta kita, ialah informasi.
Namun, 'informasi' berbeda dengan 'makna'; informasi itu, apa yang ditransmisikan oleh buku atau kabel serat optik, sedangkan makna, ialah interpretasi manusia. Dikeseluruhan dunia fisik, 'makna' muncul dari interaksi antara keadaan sistem. Jika tiada interaksi, tiada maknanya. Agar makna hadir, keadaan tertentu dari suatu sistem, harus memiliki efek tertentu pada sistem lain—semisal, saat kita menerima informasi, akan mengubah perilaku kita.
Pada sebagian besar sejarah manusia, satu-satunya cara menyebarkan informasi, ialah dengan ucapan. Agar mengetahui apa yang terjadi di antara suku yang jauhnya puluhan kilometer, seseorang harus mengunjunginya atau mendengarkan laporan seorang utusan. Dengan perkembangan bahasa tulis, keterbatasan ini, tak dapat diatasi: hambatan bahasa dan buta huruf yang meluas, tetap menjadi hambatan kuat bagi arus informasi antar kelompok, dan gulungan-kertas masih perlu dikirimkan. Orang-orang Nasrani terdahulu, misalnya, terbatas pada teks tulisan tangan dan ucapan. Mereka disebut penginjil, sebab mereka harus—dan tiada cara lain bagi mereka—menyebarkan informasi tentang keyakinan mereka, selain dengan berkhotbah, kepada siapapun yang mau mendengarkan.
Setelah tulisan-tangan pada surat dan buku, perkembangan besar berikutnya dalam komunikasi, terjadi di Cina, dengan penemuan percetakan pada abad ketujuh, dan kemudian di Afrika, dengan perkembangan 'drum yang bisa berbicara'. Dengan membuat sandi pesan yang diucapkan menjadi ketukan drum, yang dapat didengar berkilo-kilometer jauhnya, dan ditransmisikan kembali oleh drummer lain, pesan dapat dikomunikasikan lebih dari seratus kilometer dalam waktu satu jam. Sementara itu, di Eropa, satu-satunya cara mengkomunikasikan sejumlah besar informasi, ialah dengan bersurat; dan hanya pada abad keempat belas, rute surat diatur antara kota-kota perdagangan besar, sementara itu, membutuhkan waktu hingga akhir abad ketujuh belas, agar surat dapat diakses oleh masyarakat umum.
Sementara mesin cetak pertama dengan jenis logam bergerak, ditemukan di Korea pada awal abad kelima belas, segera setelah itu, Gutenberg memperkenalkan teknologi tersebut ke Eropa. Dampaknya tak ternilai. Dengan mengurangi tenaga manusia yang dibutuhkan guna mereproduksi buku, mesin cetak memungkinkan lebih banyak salinan dan jenis buku yang akan diproduksi. Lebih banyak salinan buku, menstabilkan dan melestarikan pengetahuan yang ada—yang telah mengalami perubahan yang lebih besar dari waktu ke waktu di era transmisi lisan dan manuskrip—dan dengan adanya lebih banyak jenis buku, menghasilkan kritik otoritas yang lebih luas. Mesin cetak diperlukan bagi Martin Luther guna menyebarkan kritiknya terhadap Gereja Katolik, dan begitu pesannya meyakinkan banyak orang, mesin cetak memungkinkan pengembangan propaganda politik pertama, mengilhami dan memicu pertumpahan darah besar-besaran dalam perang agama di Eropa.
Dengan munculnya surat kabar pada abad keenam belas, ancaman terhadap otoritas yang diwakili oleh mesin cetak, semakin meningkat. Pemerintah menyensor surat kabar dan menggunakannya demi mengamankan kekuasaan mereka. Hukuman bila mencetak bahan yang tak pantas, sangatlah berat, termasuk mematahkan anggota badan dan menggunakan jarum yang menembus lidah. Meskipun demikian, materi berghibah, terus dicetak dan didistribusikan. Sementara pemerintah dapat melakukan kontrol atas percetakan di dalam perbatasan mereka, keragaman politik Eropa memungkinkan karya-karya kritis diterbitkan di tempat lain, dengan tujuan diimpor ke negara target. Berkat ketidakefektifan sensor negara, sekelompok kecil orang terpelajar di Eropa, memiliki akses ke dalam ide-ide yang menantang legitimasi para pemimpin politik dan agama mereka. Elit terpelajar ini, mengembangkan kesadaran politik yang menolak kedaulatan mutlak raja dan menuntut agar diperintah oleh hukum umum yang disepakati oleh opini publik.
Mesin cetak menciptakan kondisi yang diperlukan guna munculnya ruang publik, dimana benih-benih Pencerahan, dan revolusi Amerika dan Prancis, dipupuk. Menyadari kekuatan mesin cetak dan opini publik, Napoleon memperingatkan bahwa 'empat surat kabar yang bermusuhan, lebih ditakuti daripada 100.000 bayonet' dan Edmund Burke mencatat bahwa 'ada Tiga Estate di Parlemen; tapi, di Galeri Reporter, di sana, ada Estate Keempat yang jauh lebih penting ketimbang mereka semua.' Sejak awal, media merupakan kekuatan revolusioner. Sebuah media massa sejati, masih dalam tahap embrio. Dan inilah yang diinginkan oleh elit konservatif di Eropa: takkan membuat massa pekerja terdidik, membaca tentang politik, meningkatkan harapan mereka, dan membuat mereka tak puas dengan jerih-payah dan kerja keras mereka.
Pada tahun 1735, sebuah percetakan bernama John Peter Zenger, menerbitkan artikel yang menyerang penyalahgunaan kekuasaan seorang gubernur kerajaan. Perkembangan pra-revolusioner penting lainnya ialah pengenaan pajak yang sangat berat oleh Parlemen Inggris pada tahun 1765 atas surat kabar, pamflet, dan materi cetak lainnya. Pers Amerika awal, sangat partisan, dan partai politik pertama tumbuh dari basis organisasi yang disediakan oleh surat kabar. Sementara itu, di Inggris, tahun 1800-an pertumbuhan surat kabar tumbuh agresif dan radikal, yang memajukan perjuangan kelas pekerja.
Pada tahun 1910-an, ketika radio muncul sebagai teknologi yang dapat diakses oleh para penghobi di AS, sebelum program radio dalam bentuknya yang sekarang ada, radio terutama merupakan alat komunikasi dan pendidikan. Bagi kita yang mengalami internet pada awal hingga pertengahan 1990-an, deskripsi radio pra-siaran pada tahun 1920 oleh Lee de Forest—dipandang sebagai 'bapak radio'—'Ia menawarkan batas terluas, daya tarik paling menonjol, baik untuk persaingan ketat dengan orang lain, dekat dan jauh, maupun guna belajar dengan tenang dan semata kesenangan jam-jam malam saat engkau menyambut pengunjung yang ramah dari seluruh dunia.
Dari seluruh dunia luas ke World Wide Web. Sama seperti banyak orang di masa awal internet yang merasa bahwa itu akan selalu menjadi alat komunikasi dan pendidikan internasional, penggemar radio awal, merasa bahwa media mereka akan secara kuat dan eksklusif, melayani kepentingan publik. Pada awal 1920-an, gelombang udara dipenuhi dengan stasiun-stasiun nirlaba yang sebagian besar berafiliasi dengan perguruan tinggi dan universitas. Stasiun komersial sebagian besar merupakan pelengkap bisnis batu-bata dan mortir—surat kabar, department store, dan perusahaan listrik—sehingga, pada tahun 1929, hanya sedikit yang mendapatkan laba.
Sama seperti komersialisasi surat kabar, komersialisasi radio berjalan menurut logika pasar yang berbeda dari agregat preferensi konsumen sejati. Pada 1950-an, pesaing kuat radio telah muncul di AS: televisi. Pasar televisi AS mencapai kejenuhan pada pertengahan 50-an, dan pada pertengahan 60-an, televisi telah meledak secara global.
Namun, meski begitu, masa depan televisi, tak begitu terbuka; di Amerika Serikat, jaringan siaran radio yang sudah kuat, menentukan masa depan televisi. Mereka menerapkan model bisnis yang sama, menyediakan hiburan yang ringan dan tak ofensif, demi menarik audiens terbesar—dan yang paling kaya—guna dijual kepada para pengiklan.
Akibatnya, televisi berkembang menjadi media seperti radio, dengan kritik yang mengangkat keprihatinan yang sama. Pada tahun 1980, the United Nations’ Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menerbitkan sebuah laporan yang memperingatkan bahwa media, dan tekanan ekonomi yang beroperasi di atasnya, dapat menyebabkan ketidaksetaraan, hierarki, dan peningkatan kontrol sosial yang lebih besar. Penulis laporan tersebut, menulis bahwa mengingat sentralitas media untuk semua aktivitas sosial, ekonomi, dan politik di seluruh dunia, 'sejarah manusia menjadi semakin berpacu antara komunikasi dan bencana. Penggunaan penuh komunikasi dalam segala bentuknya yang bervariasi sangat penting demi memastikan bahwa umat manusia memiliki lebih dari sekadar sejarah … bahwa anak-anak kita, menanggung masa depan.'"