"'Korupsi itu, penyakit, kanker yang menggerogoti tatanan budaya, politik dan ekonomi masyarakat, serta merusak fungsi organ vital,' kata sang pemilik rumah penggilingan padi—kita sebut saja Tukang giling—sembari memasukkan seekor Tikus besar ke dalam sebuah mangkuk," Laluna mengajun sebuah cerita, usai menyapa dengan Basmalah dan Salam. “Korupsi ada hampir dimana-mana, namun sangat kuat mengakar di negara-negara miskin di Afrika Sub-Sahara, tersebar luas di Amerika Latin, mengakar di banyak negara industri baru, dan mencapai proporsi yang mengkhawatirkan di beberapa negara-negara pasca-komunis. Agak susah memang, bila berupaya mendefinisikan Korupsi. Serangkaian masalah sering dikaitkan dalam diskusi publik tentang Korupsi. Masalah pertama ialah 'Korupsi oleh Pejabat Publik.' Kedua, penyalahgunaan jabatan oleh pejabat publik. Di sini, definisi yang tepat, tak memungkinkan, kamus hanya menyebutkan bahwa penyalahgunaan berarti 'menyelewengkan'' atau 'melakukan sesuatu yang tak pantas,' dan 'menyelewengkan' dan 'tak pantas' sama kaburnya dengan penyalahgunaan. Ilmuwan politik Kanada, Kenneth Gibbons, mengajukan sejumlah perbuatan, yang oleh sebagian orang, mungkin bisa disebut 'penyalahgunaan jabatan':
- Seorang pegawai negeri lebih suka memberikan posisi di kantornya kepada kerabat dibanding pelamar yang lebih berkualitas. [Nepotisme]
- Sebuah partai politik yang memenangkan pemilu, kemudian menghapus seluruh pemegang jabatan yang mendukung partai oposisi. [Patronasi]
- Seorang legislator, punya saham di sebuah perusahaan pertambangan, dan mendukung rancangan undang-undang yang akan memberikan konsesi pajak kepada perusahaan tersebut. [Konflik kepentingan legislatif]
- Birokrat pemerintah menggunakan pengetahuan dan kontak mereka, guna mendirikan perusahaan konsultan paruh-waktu, yang memberikan nasihat kepada klien swasta. [Konflik kepentingan birokrasi]
Kedalam daftar Gibbons, dapat pula ditambahkan : pemberian kontrak pemerintah kepada kawan-sejawat atau pendukung politik yang disukai; berbohong kepada media dan publik; dan berbagai bentuk dana kampanye; semuanya mengangkat masalah serupa : penyalahgunaan jabatan.
Ketiga, korupsi bisnis, penipuan, pencurian, penyalahgunaan, kesalahan dan pemborosan. Penyimpangan ini, berbeda dengan korupsi pejabat dan penyalahgunaan jabatan, lantaran dilakukan oleh seseorang yang bukan pemegang jabatan. Mungkin, aktivitas yang paling sering di bawah kategori ini, menyangkut korupsi bisnis atau 'suap.' Bentuk kedua dari pelanggaran pribadi adalah penipuan. Dan masih ada bentuk-bentuk pelanggaran lain yang dilakukan oleh perusahaan atau pihak swasta.Masalah publik terakhir yang pantas disebutkan ialah 'Kejahatan Terorganisir dan Pemerasan.' Sindikat kejahatan dan pemeras, dapat dan melakukan korupsi pejabat publik guna membatalkan penegakan hukum. Namun, walaupun korupsi itu, alat sindikat kejahatan dan pemeras, ia tak sama. Banyak bentuk korupsi pejabat tak terkait dengan sindikat kejahatan dan pemerasan, dan sindikat kejahatan terkadang dapat beroperasi, meskipun pejabatnya, benar-benar jujur.
Jadi, perbedaan definisi antar negara, menjamin bahwa tiada definisi korupsi yang akan diterima secara merata di setiap negara. Keragaman ini, dapat ditemukan apakah definisi didasarkan pada kriteria undang-undang, pada dampak korupsi terhadap kepentingan umum, atau pada opini publik.
Masalah korupsi, sampai batas tertentu, telah memasuki ilmu politik dan ekonomi, dari minat baru dalam peran negara di negara berkembang, dan khususnya dari gagasan bahwa negara adalah instrumen yang sangat diperlukan bagi pembangunan ekonomi.
Berbeda dengan model pembangunan 'didominasi negara' dan 'tanpa negara' yang sebagian besar ditolak, sekarang ada banyak konsensus tentang relevansi negara berukuran sedang yang efisien dalam pembangunan ekonomi. World Development Report tahun 1997 menyatakan bahwa 'negara yang efektif, sangat penting bagi penyediaan barang dan jasa—dan aturan dan institusi—yang memungkinkan pasar berkembang dan masyarakat menjalani kehidupan yang lebih sehat dan lebih bahagia. Tanpanya, pembangunan berkelanjutan, baik ekonomi maupun sosial, tak mungkin terjadi.'
Korupsi telah muncul sebagai konstituen tematik paradigma baru ini, di mana pembangunan memerlukan reformasi ekonomi, yang sekali lagi bergantung pada reformasi politik dan administrasi, seperti good governance dan civil service reforms (CRS), akuntabilitas, hak asasi manusia, multipartai dan demokratisasi. Selain itu, tingkat korupsi yang sangat tinggi, telah diamati dimana pemerintah dianggap tak sah di mata masyarakat—menyiratkan ketidakhormatan yang meluas terhadap prosedur hukum—dan di negara-negara dimana negara memainkan peran intervensionis dalam perekonomian. Oleh karenanya, peran negara dan politik, sangat penting agar dapat memahami Korupsi.
Peran negara yang menentukan, tercermin pula dalam sebagian besar definisi Korupsi. Korupsi secara konvensional dipahami, dan disebut, sebagai perilaku pencarian kekayaan pribadi dari seseorang yang mewakili negara dan otoritas publik, atau sebagai penyalahgunaan barang publik oleh pejabat publik demi tujuan pribadi. Definisi kerja Bank Dunia, bahwa korupsi itu, penyalahgunaan kekuasaan publik demi keuntungan pribadi.
Dengan kata lain, korupsi itu, hubungan negara-rakyat tertentu (dan, bisa dikatakan, menyimpang). Di satu sisi, negara, yaitu pegawai negeri, pejabat, birokrat, dan politisi, siapa saja yang memegang kekuasaan guna mengalokasikan hak atas (kelangkaan) sumber daya publik atas nama negara atau pemerintah. Korupsi itu, tatkala orang-orang ini, menyalahgunakan kekuasaan publik yang diberikan kepada mereka, untuk keuntungan pribadi. Perbuatan korupsi itu, saat orang yang bertanggung jawab ini, menerima uang atau imbalan dalam bentuk lain, dan kemudian menyalahgunakan kekuasaan resminya, dengan membalas budi yang tak semestinya. Misalnya, tindakan korupsi ketika seorang pejabat negara menerima suap untuk memberikan layanan publik yang seharusnya gratis, atau menuntut lebih dari biaya resminya.
Keterlibatan pejabat negara dalam korupsi, juga ditekankan dalam definisi alternatif, dimana korupsi dipandang sebagai 'suatu bentuk pertukaran sosial rahasia, dimana mereka yang berkuasa—politis atau administratif—mengambil keuntungan pribadi, dari satu atau lain jenis pengaruh, mereka menjalankannya berdasarkan mandat atau fungsi mereka.' Singkatnya, hampir setiap definisi—atau lebih tepatnya konseptualisasi—korupsi berfokus utama pada negara dan politik ('yang korup'), dan perspektif 'demand-oriented.'
Di sisi lain dari perbuatan korupsi itu, tiada lain dari 'supply side,' dan beberapa teori dan konseptualisasi, ada yang menekankan 'koruptor', mereka yang menawarkan suap dan keuntungan yang mereka peroleh. Pemasok ini, masyarakat umum, atau—dengan kata lain—masyarakat non-negara. Rekanan dari pejabat korup ialah individu non-pemerintah dan non-publik, perusahaan dan organisasi, domestik dan eksternal.
Korupsi juga terjadi di dalam dan di antara sektor swasta, di dalam organisasi non-pemerintah, dan di antara individu dalam urusan pribadi mereka, tanpa melibatkan lembaga negara atau pejabat negara. Ada juga korupsi dalam bentuk penyuapan, penipuan, dan metode mafia di dalam dan di antara bisnis swasta, ada individu pengkhianat dan karyawan yang tak setia di perusahaan swasta. Korupsi semacam ini, bahkan mungkin berdampak pada sistem politik karena merusak moral publik, dan mungkin merupakan gejala bagi perkembangan ekonomi dan moral masyarakat secara umum.
Namun, sebagian besar definisi korupsi akan mengecualikan korupsi intra-masyarakat ini, dan menekankan korupsi sebagai hubungan negara-rakyat. Hal ini cukup tepat, asalkan fokusnya tak semata pada aspek personal, budaya dan sosial dari korupsi. Korupsi internal bisnis, dapat dan biasanya akan ditangani sebagai masalah disiplin dalam perusahaan, sebagai masalah yudisial dalam kerangka hukum tertentu, atau sebagai masalah moral dalam lingkungan budaya. Oleh karenanya, berbeda dengan hubungan negara-rakyat yang korup, korupsi internal bisnis tak serta-merta harus mempertimbangkan masalah politik dan ekonomi yang lebih luas.
Dalam definisi yang dianut oleh sebagian besar ilmuwan politik, Political Corruption ialah setiap transaksi antara aktor sektor swasta dan publik dimana barang-barang kolektif secara tidak sah, diubah menjadi imbalan yang berkaitan dengan pribadi. Dalam definisi yang lebih ketat, korupsi politik melibatkan political decisionmakers. Political Corruption, atau Grand Corruption, terjadi di tingkat tinggi sistem politik. Saat itulah, para politisi dan agen negara yang berhak membuat dan menegakkan hukum atas nama rakyat, korup. Political corruption terjadi manakala pembuat keputusan politik menggunakan kekuatan politik yang mereka penyai, mempertahankan kekuasaan, status, dan kekayaan mereka. Dengan demikian, korupsi politik, dapat dibedakan dari Bureaucratic Corruption atau Petty Corruption, yaitu korupsi dalam administrasi publik, pada akhir pelaksanaan politik. Political corruption tak hanya menyebabkan mis-alokasi sumber daya, melainkan juga mempengaruhi cara pengambilan keputusan. Political corruption itu, manipulasi institusi politik dan aturan prosedur, dan karenanya, mempengaruhi institusi pemerintahan dan sistem politik, serta seringkali mengarah pada pembusukan institusional. Oleh karena itu, korupsi politik lebih dari sekadar penyimpangan dari norma hukum formal dan tertulis, dari kode etik profesi dan putusan pengadilan. Political corruption terjadi ketika undang-undang dan peraturan, kurang lebih secara sistematis, disalahgunakan oleh penguasa, dilanggar, diabaikan, atau bahkan disesuaikan dengan kepentingan mereka. Political corruption merupakan penyimpangan dari nilai-nilai dan prinsip-prinsip hukum-rasional negara modern, dan masalah mendasarnya ialah, lemahnya akuntabilitas antara yang memerintah dan yang diperintah. Khususnya di negara-negara otoriter, dasar hukum, yang menjadi dasar penilaian dan penilaian praktik korupsi, lemah, dan lebih jauh lagi, tunduk pada perambahan oleh penguasa.
Oleh sebab itu, kerangka hukum formal negara, tak cukup sebagai kerangka acuan untuk menilai dan mempertimbangkan masalah Political Corruption. Tolok ukur moral, normatif, etika, dan bahkan politik pun, paling tidak, hendaknya dimasukkan, lantaran perlunya membedakan legalitas dari legitimasi dalam hal Political Corruption. Selain itu, sementara Bureaucratic Corruption biasanya dapat ditangani melalui audit, legislasi, dan pengaturan kelembagaan, efek degeneratif dari Political Corruption tak dapat diatasi dengan pendekatan administratif saja. Korupsi politik endemik, menyerukan reformasi politik radikal.
Political corruption—biasanya didukung oleh Bureaucratic Corruption atau Petty Corruption yang meluas—selanjutnya, mesti dianggap sebagai salah satu modus dasar operasi rezim otoriter. Namun, esensi masalah Political corruption sangat berbeda antara rezim demokrasi otoriter dan liberal. Di negara-negara demokratis, masalah Political corruption lebih bersifat insidental dan sesekali, dan dapat ditangani dalam sistem politik yang ada; dengan mereformasi, memperkuat dan menghidupkan lembaga-lembaga politik checks and balances yang ada.
Klasifikasi korupsi kedua, yang secara analitis penting, yaitu antara bentuk korupsi pribadi dan kolektif. Sejauh mana uang atau keuntungan yang dikumpulkan melalui korupsi 'diprivatisasi', berbeda-beda. Ia mungkin ekstraksi untuk kepentingan individu yang takkan berbagi apa-apa atau sangat sedikit manfaat dengan orang yang sederajat, atau mungkin ekstraksi demi kelompok tertentu dengan beberapa koherensi dan kesatuan. Sifat korupsi yang 'pribadi,' individu dan intim berulang kali digarisbawahi karena sifat transaksi korupsi yang ilegal dan sembunyi-sembunyi. Ilegalitas dan imoralitas korupsi mengharuskan adanya kolusi atau persekongkolan antar individu, atau setidaknya suatu kedekatan dan kerahasiaan tertentu.
Namun, korupsi juga bisa bersifat 'kolektif'. Pertama-tama karena korupsi berefek ekonomi yang substansial secara agregat, namun oleh korupsi itu sendiri, mungkin merupakan cara yang disengaja untuk mengekstraksi sumber daya demi kepentingan kelompok yang lebih besar. Beberapa definisi korupsi juga menekankan poin bahwa penguasa sebagai kelompok atau kelas, atau sebagai institusi atau organisasi, menggunakan pengaruh mereka secara tak adil, mengekstraksi sumber daya untuk kepentingan kelompok tersebut.
Korupsi berkecenderungan kuat untuk 'kolektivisasi'. Agar tetap diam dan secara bertahap mengambil bagian dalam praktek, biasanya jauh lebih murah daripada meniup peluit, menginformasikan, dan mempertentangkan. Konspirasi antar individu dengan mudah diperluas ke dalam praktik yang lebih besar, yang melibatkan rekan kerja, mitra, asisten, patron, dan atasan. Oleh karenanya, contoh Petty Corruption dapat berkembang menjadi jaringan yang lebih besar, dan rasa-sepenanggungan, dan akhirnya menjadi korupsi institusional skala besar jika tak dikendalikan, bila ada 'ruang bermanuver.'
Untuk kepentingan siapa korupsi terjadi, dan siapa yang paling diuntungkan dari korupsi? Berbagai definisi korupsi menyatakan bahwa negara—atau beberapa agen negara—selalu terlibat, dan bahwa korupsi pada dasarnya, hubungan negara-rakyat tertentu. Selanjutnya, dipertahankan bahwa hubungan ini, didasarkan pada pertukaran keuntungan bersama, bahwa pertukaran itu, dimana baik negara—agen negara—dan masyarakat—warga negara individu, klien atau pengusaha—akan menarik beberapa keuntungan langsung dan pribadi. Namun, hubungan pertukaran timbal-balik ini, jarang berimbang. Secara keseluruhan, praktik korupsi akan menghasilkan aliran sumber daya, baik dari masyarakat ke negara—extractive corruption, atau bentuk korupsi dari atas—maupun dari negara ke masyarakat—redistributive corruption, atau korupsi dari bawah.'
Sang Tikus tiba-tiba menyela, 'Boleh ngomong nggak Bosque?' Tukang giling menyahut, 'Enggak, kamu terima aja hukumanmu, dengarkan ini, tentang kekotoran hidup dan dosa nyolong yang keji; perbuatan mencurimu, akan kembali padamu, dan aku akan bilang dengan jujur: sang Kucing akan memperhitungkan semua yang telah kamu curi. Jadi, dengarkan apa yang bakal kuomongkan!'"