Rabu, 06 Juli 2022

Mengapa Kita Beralasan?

“Pernahkah engkau bertanya, mengapa orang memberikan alasan tentang apa yang telah mereka lakukan; apa yang telah orang lain lakukan terhadap mereka; atau lebih umum lagi, terhadap apa yang terjadi di dunia?” berkata Laluna sambil membolak-balik sebuah bundel, usai mengucapkan Basmalah dan Salam. Ia sedang mencari lembar piagam penghargaan sebagai juru-damai, yang telah lama hilang—kali-kali aja, kalo nemu, bisa diajuin buat dapetin hadiah Nobel. "Memberi alasan, menghubungkan orang, satu dengan yang lain, meskipun mungkin, para pengamat menemukan alasannya : lemah, dibuat-buat, atau fantastis," lanjutnya. "Dalam keadaan yang tak pasti, kebanyakan orang, pertama-tama menyesuaikan alasan atas apa yang terjadi, dari model yang telah mereka pelajari, melalui interaksi dengan orang lain. Model yang tersedia, bervariasi secara dramatis dari satu kelompok ke kelompok lain, dari sebuah situasi ke situasi lain, dan interaksi antar hubungan. Terlepas dari isinya, alasan meletakkan dasar orisinil agar berperilaku dengan satu atau lain cara, serta berbagi cerita, tentang apa yang terjadi. Pula, membuat pernyataan tentang hubungan antara orang yang memberi dan menerima alasan tersebut.
Seorang aki-aki, berumur 94 tahun, berkunjung ke dokter guna check-up rutinnya. Sang dokter bertanya kepada sang aki-aki, bagaimana perasaannya, dan sang aki-aki berusia 94 tahun tersebut, berkata, 'Mantap jiwa, dan aku tak pernah merasakan sedahsyat ini! Aku sekarang punya pasangan baru berusia 20 tahun, yang sedang mengandung anakku. Bagaimana pendapatmu, Dok?'
Sang dokter, menimbang-nimbang pertanyaan tersebut barang sebentar, lalu, mulai bercerita. 'Aku punya teman yang lebih tua, seperti Aki, pemburu yang rajin dan tak pernah melewatkan satu musim berburupun.
Suatu hari, ia pergi berburu. Saking buru-burunya, ia secara tak sengaja, boro-boro mengambil senapannya, ia malah membawa tongkatnya.
Tatkala mendekati sebuah danau, ia menemukan berang-berang jantan yang amat besar, duduk di tepian. Ia baru sadar, bahwa ia telah meninggalkan senjatanya di rumah, maka, ia tak bisa menembak makhluk mempesona itu. Lantaran kebiasaan, ia mengangkat tongkatnya, mengarahkannya ke sang satwa, seolah-olah sang tongkat, menjadi senapan berburu favoritnya, dan berteriak 'dor dor'. Ajibnya, terdengar dua kali tembakan, dan sang berang-berang, mati.'
'Sekarang, bagaimana pendapat Aki?' tanya sang dokter.
Sang warga senior menjawab, 'Nalar kita akan sangat merekomendasikan, bahwa orang lainlah, yang menembak berang-berang itu.'
Sang dokter menanggapi, 'Percis seperti yang kumaksud,' sekaligus menjawab pertanyaan sang aki-aki.
Menurut Charles Tilly, baik pejabat publik, pekerja darurat, maupun mahasiswa perguruan tinggi, tak memberikan diri mereka sendiri dan orang lain, alasan, lantaran terdapat keinginan universal kebenaran atau koherensi. Mereka sering puas, oleh alasan yang dangkal, kontradiktif, tidak benar, atau—setidaknya, dari sudut pandang pengamat—tak masuk akal. Apapun yang mereka lakukan saat mereka beralasan, orang-orang dengan jelas, sedang menegosiasikan kehidupan sosial mereka. Mereka mengatakan sesuatu tentang hubungan antara mereka sendiri, dan mereka yang mendengar alasan mereka. Pemberi dan penerima mengkonfirmasi, menegosiasikan, atau memperbaiki koneksi yang tepat.

Alasan yang biasa diberikan, masih menurut Tilly, masuk dalam empat kategori yang saling tumpang-tindih. Pertama, Konvensi: alasan yang diterima secara konvensional karena kelalaian, penyimpangan, perbedaan, atau nasib-baik: 'keretaku datang terlambat,' 'giliranmu akhirnya datang,' 'ia berkembang biak,' 'ia cuma pria yang beruntung,' dan seterusnya. Kedua, Cerita: narasi penjelasan yang menggabungkan sumber sebab-akibat dari fenomena asing atau peristiwa luar biasa, seperti bencana 9/11, tetapi juga seperti pengkhianatan oleh seorang teman, memenangkan hadiah besar, atau bertemu dengan teman sekelas sewaktu di sekolah, di Piramida Mesir, dua puluh tahun setelah lulus. Ketiga, Kode yang mengatur tindakan seperti penilaian hukum, penebusan dosa agama, atau pemberian medali. Keempat, Catatan Teknis hasil dalam tiga yang disebutkan: bagaimana seorang insinyur bangunan, dokter kulit, atau ahli bedah ortopedi dapat menjelaskan apa yang terjadi pada Elaine Duch di lantai 88 World Trade Center setelah sebuah pesawat yang dibajak menghantam gedung pada 9/11.
Masing-masing dari empat cara memberikan alasan tersebut, punya sifat yang berbeda. Konten masing-masing bervariasi, tergantung pada hubungan sosial antara pemberi dan penerima. Masing-masing di antara konsekuensi lain, berakibat pada hubungan sosial, mengkonfirmasi hubungan yang ada, memperbaiki hubungannya, mengklaim hubungan baru, atau menolak klaim relasional. Namun keempat macam pemberian alasan tersebut, berbeda secara signifikan dalam bentuk dan isi. Masing-masing bisa valid dengan cara yang tak dapat dilakukan oleh yang lain.
Keempat jenis alasan, umumnya berdaya-guna relasional. Daya-guna yang paling tak terlihat, semata menegaskan hubungan antara pemberi dan penerima. Lebih terlihat, pemberian alasan seringkali membangun hubungan, seperti dalam kasus pewawancara yang menjelaskan tujuan survei ketika menelepon guna menanyakan preferensi makanan, televisi, atau politik. Kadang-kadang menegosiasikan hubungan, seperti ketika penulis akun-teknis, menampilkan surat-mandat profesional agar dapat menarik penghargaan dan kepatuhan pendengar.
Akhirnya, hampir semua alasan, membangun hubungan perbaikan, karena seseorang yang telah menimbulkan kerugian pada orang lain menceritakan sebuah cerita, guna menunjukkan bahwa kerugian itu, tak disengaja atau tak dapat dihindari, dan oleh karenanya, meskipun terlihat, tak mencerminkan hubungan yang buruk antara pemberi dan penerima. Ungkapan ”Maaf, tapi . . . ” seringkali memulai sebuah cerita yang melakukan perbaikan relasional. Rumus dan sumber sebab-akibat, melakukan pekerjaan relasional.
Seorang lelaki, masuk ke sebuah bar dengan anjing terrier Jack Russell mungilnya. Ia meletakkan sang anjing di kursi bar, di sebelahnya. Sang bartender, berjalan mendekat dan sang lelaki berkata, 'Minta sepoci ya Bang, makasih.' Sang anjing berkata, 'Pesen margarita dong!'
Sang bartender agak terkejut dan melihat ke arah sang anjing dan bertanya, 'Ellu, yang barusan ngomong?'
'Yoo'i,' jawab sang anjing.
'Astaga!' kata sang bartender. 'Hebaaat. Ajib. Nggak nyangka: seekor anjing bisa ngomong, di sini, di barku? Ceritakan padaku lebih banyak lagi tentang dirimu. Hidupmu pasti luar biasa, sebagai anjing yang bisa ngomong.’
Sang anjing duduk santai tapi berbicara dengan serius, 'Bolehlah dibilang, ini suatu perjalanan yang besar. Gue pernah berlatih sebentar dengan Marinir AS. Melihat sedikit aksi di Irak—nggak boleh di omongin, soalnya, rahasia. Gue juga pernah ditugasin gabung dengan Bolshoi Ballet. Kerja keras tapi sangat memuaskan. Di waktu luang, gue juga nulis beberapa novel terlaris. Sangat menyenangkan. Ada juga sih, tawaran film, acara TV. Anggur, wanita dan lagu. Semua pokoknya.'
Mendengarnya, sang bartender sangat girang. Ia menoleh kepada sang lelaki. 'Kita bisa menghasilkan banyak uang. Kita dapat mengundang orang supaya datang ke bar ini dan mendengar anjingmu, ngomong. Berapa biaya yang ellu kenakan agar mengizinkan anjingmu, ngomong di sini?’
"Sekitar $10," jawab sang lelaki.
'Kenapa cuma $10? Itu gila!’ seru sang bartender.
Sang lelaki menjawab, 'Nggak juga kali. Soalnya, die bokis. Nggak semua yang die omongin itu, bener!'
Laluna menutup percakapan dengan berkata, "Seorang lelaki, yang masuk ke sebuah bar, cuma dengan menenteng sebuah iPad, tak serta-merta menjadikannya seorang 'Kingmaker,' apalagi, 'Peacemaker.' Wallahu a'lam.”
Kutipan & Rujukan:
- Charles Tilly, Why, Princeton University Press
- Billy Brownless, A Man Walks into a Bar..., Allen & Unwin