Dari perspektif Islam dan pentingnya penerapan dalam mengembangkan kebajikan dan kesempurnaan manusia, ada dua konsep yang berbeda: Akhlak dan Adab. Adab menunjukkan ekspresi, baik itu, dalam perilaku tertentu bagi individu, atau norma-norma budaya tertentu, atau bahkan keluarga. Singkatnya, adab itu, perilaku dan tata-krama yang benar, umumnya, tanpa memandang sisi spiritual atau agama. Adab itu, apa yang tampak dari luar. Adab sangat penting terutama, semisal, hidup bernegara dimana warganya punya beragam ras, suku dan agama. Adab penting dalam hal bagaimana kita berperilaku dan memperlakukan sesama manusia dan lingkungan sekitar, dengan adil.
Dalam Islam, keutamaan atau ciri-ciri karakter moral, disebut dengan Akhlak, yang bermakna kualitas moral dan sifat-sifat yang baik. Al-Akhlāq (jamak dari khuluq/ خُلُق) mengacu pada moralitas, yang bermakna sifat, atau watak atau temperamen bawaan. Arti yang tepat dari khuluq, ialah karakter moral; atau ragam batiniah manusia; pikiran atau jiwanya, serta sifat-sifat dan atribut-atributnya yang khas. Etika dalam bahasa Arab, disebut ‘Ilm al-Akhlāq (ilmu akhlak atau ilmu tentang moralitas), yaitu cabang ilmu yang mempelajari akhlak. Ilmu Akhlaq, tak sekedar melukiskan tentang apa yang baik dan apa yang buruk, melainkan pula, mempengaruhi dan mendorong individu, agar membentuk kehidupan yang lebih bersih bagi kebajikan, yang bermanfaat bagi sesama manusia.
Keutamaan-keutamaan Akhlaq ini, diidentifikasi sebagai sifat-sifat yang disukai dalam Al-Qur’an dan dimanifestasikan melalui praktik Rasulullah (ﷺ) yang menyempurnakannya, dalam kehidupan sehari-hari. Ada banyak rujukan, baik dalam Al-Qur'an dan hadits, tentang hal ini. Semisal, Al-Qur'an meletakkan dasar yang luas, karakter yang disukai manusia, agar melakukan apa yang baik; berlaku shalih; dan mencegah dan menahan diri dari kemunkaran. Setelah penentuan klasifikasi luas perilaku yang diinginkan, Al-Qur'an menyatakan, 'Sesungguhnya, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertakwa.' Hal ini menyiratkan bahwa orang-orang yang mempraktikkan dan menjalankan kebajikan, yang membentuk karakter yang baik, ialah orang-orang yang sukses.
Lebih jauh lagi, Al-Qur'an memberikan dukungan yang kuat terhadap karakter Rasulullah (ﷺ) manakala mengakui karakter (huluq) Rasulullah (ﷺ) sebagai standar adilihung yang dapat dimaknai sebagai ketaatan, dan pengamalan kebajikan, serta nilai-nilai yang suci, membentuk dasar perilaku etika. Selain itu, ada beberapa sabda Rasulullah (ﷺ) yang shahih, yang menunjukkan pentingnya berkarakter dan berkebajikan agar hidup menggapai kesuksesan. Menerapkan kebajikan-kebajikan ini, dianggap sebagai tanda beriman yang sempurna, dan oleh karenanya, sangat dianjurkan memasukkannya ke dalam kehidupan seseorang. Dalam sebuah hadits, Rasulullah (ﷺ) bersabda bahwa, 'Sesungguhnya, aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.'
Mengakui pentingnya sifat atau kebajikan karakter yang baik saja, tak cukup, kecuali seseorang memahami hubungan yang tajam dan kuat antara niat, tindakan, dan hasil. Dalam konsepsi etika Islam, ada penekanan pada kebajikan, niat, tindakan, dan hasil, sebagai dasar menilai apakah suatu tindakan itu, beretika atau tidak. Meskipun niat dari suatu tindakan, memainkan peran penting dalam menentukan aspek hukum dari tindakan tersebut, Islam mengakui signifikansi moral niat dalam menganjurkan ketulusan niat (iḫlas). Setiap kebajikan, dinilai berdasarkan niat di balik praktik kebajikan tersebut. Perbedaan antara berniat untuk melayani kemanusiaan dan perbaikan masyarakat sebagai lawan terhadap mencapai keuntungan pribadi, dapat membuat suatu tindakan itu, etis atau tidak etis.
Ringkasnya, etika kebajikan Islam, terutama berkaitan dengan 'sifat-sifat karakter yang baik,' yang kemudian dapat diteladankan ke dalam tindakan. Hubungan antara kebajikan, niat, dan tindakan, meletakkan dasar perilaku etika sedemikian rupa, sehingga etika kebajikan punya prioritas logis di atas etika yuridis. Tindakan yang didorong oleh niat baik, dan dalam semangat praktik kebajikan akan menjadi perilaku biasa, yang tak semata beretika, melainkan pula konsisten secara internal dalam hal niat, sarana, dan perolehannya.
Nah, untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, mari kita lihat etika Islam dalam bisnis dan ekonomi. Kerangka etika bisnis dalam Islam, dapat dikembangkan dengan mengidentifikasi kebajikan utama yang merupakan ciri-ciri karakter yang disukai manusia. Aksioma inti dan fundamental ideologi Islam adalah Tauhid, yang merupakan akibat wajar dari kesatuan ciptaan, khususnya kesatuan umat manusia. Sumber daya diciptakan bagi semua manusia dari semua generasi, yang membentuk satu umat manusia, keragaman mereka, tidak dan seharusnya tak berarti perpecahan mereka, dan, dengan perjanjian primordial, tak hanya semua manusia mengakui kesatuan mereka sendiri, mereka juga memiliki kesadaran penuh atas diri mereka sendiri. tanggungjawab memelihara kesatuan dan keutuhan ciptaan lainnya, melalui pengabdian kepada umat manusia dan ciptaan lainnya.
Tauhid mengharuskan seseorang agar meyakini bahwa semua ciptaan, hanya memiliki satu Pencipta yang Mahatahu dan Mahahadir, dan bahwa semua ciptaan-Nya, merupakan pula satu kesatuan. Persatuan dan kohesi sosial, teramat sentral di antara tujuan Al-Qur'an bagi umat manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa segala perbuatan yang dilarang oleh Islam, pada akhirnya mengarah pada perpecahan dan disintegrasi sosial. Sebaliknya, semua perilaku kebaikan yang ditentukan oleh Islam, mengarah pada integrasi sosial, kekompakan dan persatuan. Hasilnya, Islam tak semata panggilan bagi individu-individu, melainkan juga, kepada kolektivitas dan telah memberikan kepada individu-individu tersebut, suatu kepribadian dan identitas yang independen, yang akan dinilai berdasarkan kelebihan atau kekurangannya sendiri, secara terpisah dari individu-individu yang membentuk kolektivitas tersebut. Penilaian akhir atas tindakan individu akan mempunyai dua dimensi, satu sebagai individu, dan yang lain, sebagai anggota kolektivitas.
Salah satu implikasi keutamaan menganut kesatuan ciptaan dan umat manusia, bahwa hal tersebut, membangun hubungan persaudaraan dan kesetaraan di antara komunitas dan masyarakat, terlepas dari sistem kepercayaan mereka. Dalam pengertian ini, kesatuan itu, mata uang dengan dua wajah: satu menyiratkan bahwa Tuhan-lah satu-satunya Pencipta alam semesta, dan yang lain, menyiratkan bahwa umat manusia, mitra yang setara atau bahwa setiap orang itu, saudara bagi yang lain. Penerapan kebajikan ini, berimplikasi yang luas terhadap etika bisnis, semisal kerjasama, solidaritas, dan kesetaraan usaha dan kesempatan.
Keadilan dalam Islam itu, konsep beragam aspek, dan ada beberapa kata atau istilah bagi setiap aspek. Kata yang paling umum digunakan, yang mengacu pada konsep keadilan secara keseluruhan, ialah adl. Kata ini dan banyak sinonimnya menyiratkan konsep 'hak', sebagai padanan dari 'keadilan', 'menempatkan sesuatu pada tempatnya yang benar', 'kesetaraan', 'menyamakan', 'keseimbangan', 'kesederhanaan', dan 'sikap tak berlebihan.' Keadilan dalam Islam, agregasi nilai-nilai moral dan sosial, yang menunjukkan keadilan, keseimbangan, dan kesederhanaan. Implikasinya bagi perilaku individu, pertama-tama, bahwa individu tak boleh melanggar batas-batasnya dan, kedua, bahwa seseorang, hendaknya memberikan kepada orang lain, dan juga dirinya sendiri, apa yang menjadi haknya.
Ekonomi yang adil, bagian dari masyarakat yang adil, sehat, dan bermoral, yang merupakan tujuan utama Islam bagi kolektivitas manusia. Apa yang mendasari semua aturan perilaku yang ditentukan oleh Islam, ialah konsepsi keadilannya, yang menyatakan bahwa semua perilaku, terlepas dari konten dan konteksnya, harus, dalam konsepsi dan pelaksanaannya, didasarkan pada standar yang adil seperti yang didefinisikan oleh Syariah. Islam menganggap ekonomi, dimana perilaku agennya dipahami, sebagai ekonomi yang giat, terarah, makmur, dan berbagi, dimana semua anggota masyarakat menerima imbalan yang adil. Ekonomi seperti ini, dibayangkan sebagai ekonomi dimana kesenjangan ekonomi yang mengarah pada segmentasi sosial dan perpecahan, tak ada secara mencolok. Keadilan ekonomi yang digambarkan dalam Islam, tak menuntut kesetaraan pendapatan dan kekayaan. Fokus keadilan ekonomi, tak semata-mata ditempatkan pada hasil. Dengan demikian, kerangka sentral dan operasi aturan tentang kehidupan ekonomi dan sosial, ialah keadilan.
Dalam Islam, keadilan ekonomi dipusatkan pada pemberian kesempatan yang sama (sarana) kepada semua manusia, agar berkembang sambil memberikan kehidupan yang bermartabat bagi penyandang cacat dan menghapus kemiskinan dimana-mana. Semua manusia, seyogyanya punya kesempatan dan kebebasan yang sama, guna mencapai tujuan ekonomi mereka (dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan gizi dasar) melalui kerja keras, sambil menjaga hak (jangan disamakan dengan amal) dari penyandang cacat dan kurang istimewa. Setelah manusia bekerja dan menerima upah yang adil, maka mereka hnedaknya membantu yang kurang beruntung memberantas kemiskinan dan menghindari disparitas kekayaan yang besar; inilah ujian bagi manusia guna menunjukkan cinta mereka kepada Pencipta mereka dan ciptaan-Nya, dibandingkan dengan cinta kekayaan yang cepat berlalu. Individu maupun negara, harus menghapus semua hambatan yang penting, termasuk penindasan, dari jalur pembangunan manusia. Setiap ketidakadilan yang dilakukan oleh individu terhadap manusia lain dan terhadap ciptaan lainnya, pada akhirnya merupakan ketidakadilan bagi diri sendiri. Manusia seyogyanya menjalani kehidupan yang adil dan berdiri tegak serta memberantas ketidakadilan, dimana pun mereka menemukannya.
Etika dalam Islam, dapat dipahami dengan baik berdasarkan prinsip-prinsip yang mengatur hak-hak individu, masyarakat, dan negara; undang-undang yang mengatur kepemilikan properti; dan kerangka kontrak. Pengakuan dan perlindungan Islam terhadap hak, tak terbatas pada manusia saja, tetapi mencakup semua bentuk kehidupan dan lingkungan. Setiap unsur ciptaan Allah, telah dikaruniai hak-hak tertentu dan masing-masing wajib menghormati dan menghargai hak-hak orang lain. Hak-hak ini, dibundel dengan tanggung jawab dimana manusia, harus bertanggungjawab.
Islam secara paksa menambatkan semua hubungan sosial-politik-ekonomi pada kontrak. Secara lebih umum, keseluruhan struktur Hukum Ilahi itu, kontraktual dalam konseptualisasi, isi, dan penerapannya. Muslim terus-menerus diingatkan akan pentingnya perjanjian kontrak, karena mereka diwajibkan oleh iman mereka, agar menghormati kontraknya.
Dalam Syariah, konsep keadilan, kesetiaan, pahala, dan hukuman, terkait dengan pemenuhan kewajiban yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan kontrak. Keadilan menghubungkan manusia dengan Allah dan dengan sesamanya. Ikatan inilah, yang membentuk landasan kontraktual Syariah, yang menilai keutamaan keadilan dalam diri manusia, tak semata dari kinerja materialnya, namun pula, dari atribut esensial niatnya (niyyah), yang dengannya, ia mengadakan setiap kontrak. Niat ini, terdiri dari ketulusan, kebenaran, dan desakan pada pemenuhan yang ketat dan setia dari apa yang telah ia setujui untuk dilakukan (atau tidak dilakukan). Kesetiaan pada kewajiban kontrak ini, sangat penting bagi kepercayaan Islam. Menjaga kesucian kontrak dan akuntabilitas terhadap komitmen seseorang terhadap perjanjian kontrak, merupakan sifat dan kebajikan karakter utama.
Jujur dan menjaga ucapan seseorang, ciri-ciri inti dari manusia sejati. Hal ini lebih ditekankan ketika seorang pedagang atau pengusaha, berlaku jujur dalam transaksinya. Seorang mukmin sejati, diharapkan jujur dalam bertransaksi, berkomitmen yang kuat terhadap perkataannya, dan berbicara kebenaran. Perkara terakhir dari komitmen terhadap kejujuran, bahwa seseorang diharapkan jujur saat memberikan bukti, bahkan jika itu, bertentangan dengan dirinya sendiri. Seorang pedagang yang jujur dan benar, akan diberi kabar gembira dari Sang Pencipta, sedangkan jika tak ada sifat-sifat tersebut, maka transaksinya, tak ada berkahnya. Kejujuran atau transparansi, juga meningkatkan kepercayaan antara para pihak dan di pasar dan dalam segala keadilan, masing-masing pihak mengharapkan transparansi dan pengungkapan penuh mengenai transaksi.
Integritas, kebajikan utama lain yang sangat dihargai dalam Islam. Rasulullah (ﷺ) dikenal sebagai orang yang jujur dan amanah, yang selalu menepati janjinya. Mengingat status Rasulullah (ﷺ) sebagai arketipe dan panutan, setiap Muslim diharapkan menjaga kebenaran dan integritas. Integritas seseorang atau entitas, menunjukkan bahwa orang atau entitas tersebut, jujur, tulus, dan menghormati kata-katanya, yang menyiratkan bahwa orang atau entitas tersebut, kemungkinan besar akan memenuhi komitmen dan janjinya secara penuh dan tepat waktu. Menghormati ucapanmu bermakna engkau jujur dan tak menyembunyikan informasi yang relevan, dan tak ada unsur penipuan atau pelanggaran kontrak atau hak milik. Integritas penting bagi individu, kelompok, organisasi, dan masyarakat, karena integritas mengembangkan modal sosial yang berharga dari kepercayaan dalam masyarakat. Perilaku seperti, sebagai karyawan atau sebagai manajer atau pemimpin organisasi, akan mengarah pada integritas entitas, yang dipercaya oleh semua pelaku ekonomi dan oleh karenanya, mencapai efisiensi dan kinerja yang lebih tinggi.
Islam sangat menekankan amanah dan menganggap amanah sebagai sifat kepribadian yang wajib. Pada tataran filosofis, peran manusia di muka bumi, bertindak sebagai khalifah atau wali Sang Pencipta. Akar kata “kepercayaan” (amanah) sama dengan kata “keyakinan” (ῑmān), karena al-Qur’an menegaskan bahwa sinyal kuat dari keyakinan yang benar, ialah kesetiaan pada kontrak dan janji. Jelaslah bahwa melakukan kewajiban atau janji kontraktual, karakteristik penting dan wajib dari seorang mukmin sejati.
Kontrak dan kepercayaan saling bergantung. Tanpa kepercayaan, kontrak menjadi sulit dinegosiasikan dan disimpulkan, serta mahal untuk dipantau dan ditegakkan. Ketika kepercayaan lemah, perangkat administratif yang rumit dan mahal, diperlukan demi menegakkan kontrak.
Lemahnya kepercayaan, menciptakan masalah kurangnya komitmen kredibel yang muncul ketika pihak-pihak dalam pertukaran, tak dapat berkomitmen atau tak percaya bahwa orang lain, dapat berkomitmen melakukan kewajiban kontrak.
Kasih-sayang (rahma), kebajikan yang sangat diinginkan dan dikagumi. Kasi- sayang ditekankan dalam Al-Qur'an sebagai sifat dasar Tuhan dan semua manusia diharapkan mengamalkan dan menunjukkannya. Kasing-sayang menuntut agar memperlihatkan belas-kasihan, kebaikan, dan semangat terhadap orang lain, dalam segala masalah ekonomi dan sosial. Salah satu penerapan kasih sayang, ialah kelonggaran transaksi ekonomi jika terjadi kesulitan dan merasakan sakit dan penderitaan orang lain. Kelonggaran terutama diberikan terhadap debitur yang berada dalam kondisi sulit, asalkan mereka melakukan upaya yang tulus guna memenuhi kewajibannya.
Kedermawanan, kebajikan yang menuntut pemberian hak seseorang melebihi harapan normal dan berbagi waktu, kekayaan, dan pengetahuan seseorang, dengan orang lain. Kedermawanan dapat berbentuk seperti kedermawanan terhadap orang lain dalam menebus hak mereka, atau kedermawanan dalam kontribusi kesejahteraan sosial sukarela, atau tak mengambil keuntungan dari pelanggan. Kebajikan kasih-sayang dan kedermawanan, memainkan peran penting dalam memperkuat ikatan sosial di antara manusia dan mendekatkan manusia.
Peran manusia sebagai khalifah Sang Pencipta, memikul tanggungjawab yang sangat berat agar bertindak dengan kehati-hatian, sebab setiap pelanggaran terhadap amanah ini sendiri, akan menjadi tidak etis. Tanggungjawab ini, menuntut pengelolaan yang bijaksana atas sumber daya organisasi atau negara serta bumi; perawatan dan kepedulian terhadap hewan; dan perlindungan lingkungan alam. Pemanfaatan sumber daya, baik langka maupun melimpah, memerlukan pengelolaan yang cermat dengan tetap memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan masyarakat. Tak seorang pun diizinkan menghancurkan atau menyia-nyiakan sumber daya yang diberikan Tuhan. Pemborosan sumber daya sangat dikutuk dalam Islam. Islam menyerukan sikap yang tak berlebihan dan berkeseimbangan dalam urusan sosial dan ekonomi. Kehati-hatian menuntut pemulihan keseimbangan dalam mengelola dan memanfaatkan sumber-daya guna mengoptimalkan manfaat dan kesejahteraan bagi semua. Kehati-hatian merupakan keutamaan penting bagi mereka yang berada dalam posisi kepemimpinan atau manajemen.
Kerendahan hati, suatu kebajikan yang berharga, mengingat seseorang sepenuhnya, hendaknya sadar akan keadaan manusia yang berhubungan dengan Sang Pencipta. Kerendahan-hati, dihargai, dan kesombongan, dianggap sebagai kejahatan terburuk. Kesombongan sangat tak disukai karena menjadi akar penyebab banyak kejahatan lainnya. Secara spiritual, kesombongan menandakan klaim manusia memiliki pengetahuan yang lebih baik daripada Sang Pencipta, dan oleh sebab itu, mengembangkan rasa percaya diri dan superioritas yang berlebihan terhadap manusia lain. Sejarah menjadi saksi kehancuran peradaban atau pemimpin karena kesombongannya.
Jujur dalam transaksi bisnis, sifat yang paling mendasar dari seorang mukmin. Al-Qur’an mengikat iman dan perbuatan melalui amal shalih, sebagai hal yang tak terpisahkan. Rasulullah (ﷺ) secara eksplisit menyatakan kejujuran sebagai pasal iman, lantaran beliau (ﷺ) mengatakan bahwa tak ada iman bagi orang yang tak punya kejujuran. Kejujuran tak semata datang dari sikap jujur, tetapi membutuhkan penghindaran kejahatan bagi keuntungan duniawi. Ada beberapa sifat buruk yang sangat dihindari ketika seseorang melakukan transaksi bisnis. Contoh, dengan sengaja menipu orang lain, terlibat dalam kecurangan dan penipuan, dan dengan sengaja menyimpan atau memanipulasi informasi yang berkaitan dengan transaksi. Ada satu surah penuh dari Al-Qur'an, mendedikasikan tentang memanipulasi takaran dan timbangan, dengan mengurangi takaran seraya menuntut takaran penuh dari orang lain. Surah ini menekankan konsekuensi serius dari perilaku seperti itu. Al-Qur'an juga merujuk pada komunitas Nabi Syu'aib, alaihissalam, yang dikenal terlibat dalam praktik bisnis yang menipu, terutama manipulasi timbangan. Akibatnya, komunitas ini, musnah oleh penipuan yang merajalela. Jadi, kejujuran dalam transaksi bisnis, hendaknya menjadi inti dari setiap pelaku bisnis.
Islam berusaha membimbing manusia agar mengarahkan tindakan individu dan partisipasi yang bertanggungjawab dalam urusan ekonomi, dengan cara yang mengikatnya pada solidaritas dan kerja sama komunitas, sehingga menghasilkan ekonomi yang dinamis dan berkembang. Dengan demikian, individu harus bertanggung jawab atas efek moral dari tindakan sosialnya, termasuk dalam urusan ekonomi, sehingga transformasi dan pertumbuhan pribadi-spiritual batiniahnya, terikat pada kemajuan komunitas.
Oleh sebab itu, Islam memanfaatkan kerjasama dan persaingan dalam penataan masyarakat yang ideal melalui harmonisasi dan rekonsiliasi antara dua kekuatan yang berlawanan, tapi sama-sama lebih awal dan berguna di setiap tingkat organisasi sosial. Dari perspektif ini, orang dapat berargumentasi bahwa salah satu ciri pembeda terbesar Islam, penekanannya yang kuat pada integrasi masyarakat manusia sebagai konsekuensi penting dari keesaan Allah. Untuk tujuan ini, kepribadian Rasulullah (ﷺ) tak dapat dipisahkan dari apa yang Al-Qur’an anggap sebagai pendekatan optimal yang diperlukan untuk munculnya solidaritas dalam masyarakat manusia. Setiap dimensi kepribadian Rasulullah (ﷺ), yang termanifestasi dalam berbagai peran sosialnya di masyarakat, diarahkan pada integrasi dan harmoni yang maksimal dalam masyarakat. Selain itu, setiap aturan perilaku, termasuk di bidang ekonomi, dirancang membantu proses integrasi. Sebaliknya, segala praktik yang dilarang, ialah praktik yang, dengan satu atau lain cara, mengarah pada disintegrasi sosial.
Keutamaan Ihsan, yang bermakna kebajikan, kebaikan, dan kesempurnaan, diakui dalam Al-Qur'an serta dalam sabda Rasulullah (ﷺ). Konsep Ihsan, ialah perwujudan kebaikan dan kesempurnaan dalam interaksi dan perilaku pada tingkat pribadi, tingkat organisasi, dan masyarakat. Sebagai proyeksi kebaikan, secara praktis dan spiritual, mencakup belas-kasih, keadilan, pengampunan, toleransi, dan perhatian. Konsep Ihsan, jauh lebih luas, yaitu berbuat baik kepada orang lain, mencakup upaya mencapai kesempurnaan dalam kebaikan sedemikian rupa, sehingga seseorang bersedia melampaui apa yang diharapkan sesuai norma-norma, guna mencapai kesejahteraan sesama manusia, komunitas, atau masyarakat. Kita akan membahas Ihsan pada bagian 4.'"