Selasa, 26 Juli 2022

Di Luar Dingin! (2)

"'Pembicaraan etika bisnis modern, dimulai pada akhir 1960-an, sebagai hasil dari gerakan aktivisme sosial dan politik. Isu-isu seperti kualitas sosial dan akuntabilitas pemerintah, muncul di garis depan kepentingan publik, dan semakin banyak orang mulai mencermati otoritas, praktik, dan motivasi perusahaan besar,' sang lelaki melanjutkan. 'Etika bisnis itu, nilai moral yang digunakan perusahaan dalam membentuk strategi dan praktiknya, dan/atau dalam menciptakan standar yang dipegang oleh karyawannya. Seperti individu, etika hendaknya mengatasi masalah Big Picture—bagaimana kalangan bisnis itu, berbisnis—dan individu—bagaimana karyawan diperlakukan. Menentukan tindakan apa yang bermoral atau tidak, hal yang rumit bagi sebuah bisnis—bisnis bukanlah individu, namun juga, bisnis bukanlah entitas tunggal dengan kekuatan nalar—bukan pula, bergantung pada pendapat dan kepentingan banyak orang—bisnis, juga bukan merupakan badan pengatur dengan kewajiban moral kepada orang-orangnya.

Adakah tempat bagi Etika dalam dunia bisnis? Itu tergantung pada apa yang engkau anggap sebagai keharusan bisnis. Orang dapat berargumen bahwa bisnis tak perlu memusingkan tentang etika, sebab mereka bukan makhluk rasional yang harus mematuhi kode moral—bahwa mereka ada semata-mata untuk menghasilkan uang bagi pemilik atau pemegang sahamnya. (Yang, di satu sisi, tak berbeda dengan tujuan akhir kebahagiaan manusia). Dari perspektif Machiavellian, bisnis hendaknya, diperbolehkan melakukan apapun demi menghasilkan uang, dan uang sebanyak mungkin, namun sebenarnya, mereka takkan bisa. Mereka harus melakukannya, sembari tetap beroperasi dalam batas-batas hukum. Dari sudut pandang etika, melanggar hukum—atau memusuhi karyawannya, atau terlibat dalam penipuan harga, atau menjual produk yang salah—akan bertentangan dengan kepentingan bisnis, lantaran akan merusak citra publik dari bisnis tersebut. Menurunnya kepercayaan publik, belum lagi tuduhan merugikan, menyebabkan penurunan pendapatan, sehingga merugikan keharusannya demi menghasilkan uang.
Sebuah perusahaan yang beroperasi dengan cara yang sepenuhnya legal, mungkin tak melakukannya dengan cara yang adil atau bahkan menyenangkan. Misalnya, sebuah bisnis yang memecat sejumlah besar karyawan, lalu mengalihkan uang itu ke eksekutif, memang tak berperilaku ilegal, akan tetapi, tindakan ini, akan berdampak yang sangat negatif terhadap banyak orang dan membuat para pengambil keputusan perusahaan, terkesan negatif. . Bahkanpun jika praktik semacam ini, benar-benar legal, sebagian besar sekolah etika, boleh jadi, akan menganggapnya, sebagai tersangka secara moral.
Akan tetapi, bisnis itu, bagian dari masyarakat, dan berpengaruh—mereka hadir di depan umum, dan berdampak besar pada perekonomian dengan cara menjual barang atau jasa, membayar karyawan, membayar pajak, dan sebagainya. Oleh alasan ini, bisnis tak kebal terhadap standar moral yang memandu individu atau pemerintah. Pada akhirnya, kepentingan terbaik perusahaanlah yang menjaga hubungan baik dengan publik (dan pemegang sahamnya, serta pelanggannya) dengan beroperasi, dari sudut pandang moral yang baik.

Relativisme berperan besar dalam etika bisnis. Kita ambil contoh di Amerika Serikat, dianggap tak etis—dan sebenarnya ilegal—membayar pekerja, kurang dari upah minimum. (Beberapa orang akan memperdebatkan standar yang lebih tinggi, seperti upah 'adil' atau 'layak huni', tetapi standar tersebut lebih sulit didefinisikan.) Meskipun upah minimum bervariasi dari satu negara bagian ke negara bagian lain, upah minimum ditetapkan pada tingkat federal dan tiada seorangpun, dapat dibayar kurang dari upah minimum per jam. Karena alasan ini, biaya tenaga kerja manufaktur di Amerika Serikat, cukup tinggi. Inilah lasan utama mengapa, banyak perusahaan Amerika, memindahkan operasinya ke luar negeri. Sebuah pabrik sepatu, misalnya, dapat memilih mengoperasikan sebuah pabrik di negara berkembang dan membayar pekerja, merakit sepasang sepatu, sedangkan operasi yang sama di AS, dapat menghabiskan biaya seratus kali lipat dalam hal tenaga kerja. (Pula, ada jauh lebih sedikit peraturan pabrik dan kondisi kerja di negara lain, yang keduanya membutuhkan biaya dan memperlambat produksi.) Yang juga berpotensi bermasalah, mengenai masalah pekerja anak-anak. Di Amerika Serikat, undang-undang perburuhan, melarang anak-anak bekerja di pabrik, dan tentu saja tak selama delapan belas jam sehari, sebagian karena praktik semacam itu, dianggap tak bermoral dalam budaya Amerika. Negara-negara lain, punya standar berbeda, dalam hal pekerja anak-anak.
Pada akhirnya, bisnis beroperasi di luar negeri agar memaksimalkan keuntungan. Namun bisnis seperti ini, sebenarnya mengabaikan hukum AS yang berbasis moral. Sebuah bisnis terlibat dalam eksploitasi ketika membayar pekerja di luar negeri sesedikit mungkin, semata karena agar dapat lolos begitu saja. Ini semua, dikarenakan relativisme moral. Seseorang mungkin berusaha menjelaskan praktik-praktik ini, dengan menggunakan prinsip relativisme moral. Namun argumen seperti ini, ambyar, lantaran perbandingan relatif itu sendiri, keliru: Dua budaya yang berbeda dan dua cetak biru moral yang berbeda, diperbandingkan secara relatif. Perusahaan sepatu tersebut, mengeksploitasi perbedaan budaya di lokasi luar negeri, guna menurunkan biaya dan menaikkan keuntungan—ia tak menyediakan pekerjaan berupah rendah, demi menghormati standar moral budaya lain.

Ada lebih banyak lagi landasan moral yang tergoyahkan di bidang periklanan dan pemasaran. Iklan 'berdaya-guna' terhadap semua orang, bahkan terhadap konsumen jetsetpun, karena pesan tentang produk, menemukan cara agar dapat tertanam di otak kita, dari waktu ke waktu. (Jika iklan tak berdaya-guna, ia takkan diberdayakan.) Namun, masalah etika, menyertai kekuatan tersebut, agar memanipulasi. Misalnya, sebagian besar orang dewasa yang cukup cerdas, memahami bahwa pernyataan iklan, dilebih-lebihkan. Pernyataan tersebut, dapat dinyatakan secara langsung (semisal, "Inilah makanan anjing yang paling disukai anjingmu!") Atau didramatisasi atau sangat dianjurkan (misalnya, seekor anjing dengan riang memakan makanannya dan kemudian menari dengan kaki belakangnya, berkat keajaiban visual khusus efek). Dengan kata lain, iklan berbokis.
Beretikakah bila menyatakan dusta, walau orang tahu, pernyataan tersebut, salah, dan menerimanya seakan itu benar? Mungkin tidak, sebab ada penonton, yang sangat mudah terpengaruh, terutama anak-anak. Menjelang akhir abad kedua puluh, pemerintah federal AS, menindak iklan terhadap anak-anak lantaran banyak yang menduga, kepercayaan dan kepolosan mereka, dieksploitasi. Pemasok utama iklan anak-anak pada saat itu, pembuat sereal gula dan makanan cepat saji, produk yang dapat dikaitkan dengan epidemi obesitas, yang berkembang di masa kanak-kanak. Kalangan bisnis bertanggungjawab agar tak merugikan klien mereka, dalam upaya menghasilkan uang, dan praktik periklanan, dapat dengan mudah menyebabkan perusahaan melewati batasan ini.

Dalam bidang Politik, kembali ketika filsafat dimulai sebagai pedoman bagi para politisi. Di Yunani kuno—dan bagi para filsuf besar seperti John Locke dan Niccolo Machiavelli—filsafat dan politik saling terkait. Socrates, Plato, dan lain-lain, sering menulis dan membahas tentang cara terbaik dimana manusia—hanya kaum lelaki, pada saat itu—dapat menjangkau jauh ke dalam dan menerapkan kebajikan terhormat yang mereka punyai, untuk memimpin orang lain dengan cara yang adil dan beretika. Dasar dari etika pribadi, menginformasikan politik, namun kemudian, etika pribadi, juga menjadi subjek keingintahuannya sendiri.
Saat ini, dengan begitu banyaknya pekerjaan yang telah dilakukan demi mengembangkan etika dan mencermati makna dari istilah-istilah seperti 'adil' dan 'beretika,' kewajiban para politisilah, untuk memimpin dengan cara yang beretika. Politisi yang dipilih oleh rakyat—atau dilahirkan untuk berkuasa—menghadapi banyak tantangan etika tertentu, semua pada akhirnya, bermuara pada kebutuhan memerintah, dan memerintah dengan cara yang adil dan berimbang. Walakin, bagaimana mereka melakukannya, dan siapa yang paling mereka ladeni?
Mengemban jabatan atau memegang posisi terpilih, membawa kekuasaan besar ... dan tanggungjawab besar. Sebuah suara bagi seorang kandidat itu, ekspresi kepercayaan, dan politisi, seyogyanya berusaha mewakili kepentingan pemilih dan memegang janji kampanye mereka sendiri, sekuat tenaga mereka. Namun politisi, pada umumnya, tak punya reputasi sebagai sekelompok orang yang punya banyak integritas atau serat moral. Setiap musim pemilihan, ketidaksenangan antar sesama politisi, membasahi eter budaya, terutama berkisar pada kampanye negatif, pembengkokan kebenaran atau kebohongan, dan keingintahuan kolektif tentang mengapa seseorang tertarik mengejar kekuasaan.
Kebanyakan politisi, punya minat yang tulus dalam pelayanan publik, namun banyak politisi, punya ide yang berbeda tentang apa maknanya. Cukup mendefinisikan siapa itu 'publik,' bisa menjadi tantangan. Melayani rakyatkah para politisi itu? Bila demikian, lalu, rakyat yang mana? Semua orang, ataukah cuma pemilih atau konco-konco mereka? Melayani kepentingan suatu daerahkah mereka, dan berbedakah kebutuhan individu di daerah itu, dengan kebutuhan lembaga atau pengusaha besar yang juga menempati daerah tersebut? Ataukah tanggungjawab seorang politikus, semata untuk mengabdi pada konstruksi hukum, cita-cita, atau konstitusi dalam upaya menjaga ketenangan? Semua target ini, mungkin punya nilai yang saling bertentangan. Demokrasi berjalan lambat, dan perubahan, teramat susah datangnya, maka, komitmen agar berubah ke arah kebaikan moral, membutuhkan tekad.

Masalah etika lain, yang berkaitan dengan politisi, tentang kehidupan pribadi mereka. Di AS, ada banyak contoh pejabat terpilih yang, ketika berita perselingkuhan mereka dipublikasikan, harus mengeluarkan permintaan maaf publik, dan kemudian, mengundurkan diri dari posisinya. Di negara lain, seperti Prancis, berselingkuh, lebih dapat diterima secara budaya bagi orang dewasa, dan politisi. Konstituen di negara-negara tersebut, dapat memisahkan kehidupan pribadi politisi dari kehidupan publiknya, lalu menilai kinerja politik pejabat terpilih mereka, semata-mata berdasarkan hal itu. Inlah Etika yang membingungkan, menentukan, sungguh pribadikah, kehidupan pribadi para politisi, padahal mereka juga, public figures. Apalagi, opini para tokoh politik, bisa berubah jika mereka gagal menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang telah lama dianut—dan kinerja mereka sebagai public figures, bisa dipertanyakan.
Duit, tentu pula dapat mengaburkan kebersihan etika para politisi. Saat berkampanye, menerima uang dari individu atau organisasi yang bukan merupakan konstituen mereka, potensi konflik kepentingan tercipta. Siapa politisi yang didanai dengan baik, sungguh terikat pada: donor atau pemilih mereka?

Kita bisa juga kepoin tentang niat para politisi. Tentu saja ada keuntungan dari pekerjaan itu—menjadi tenar dan mempeoleh kekuasaan serta pengaruh yang luar biasa, sangat menarik bagi sebagian orang. Namun pekerjaan politik, membawa serta pengawasan dan kritik yang intens. Segala yang diucapkan, dilakukan, atau dipilih, seyogyanya permainan yang adil. Yang membuat seseorang bertanya-tanya, mengapa ada orang yang ingin menjadi politisi. Ada banyak alasan, dan datangnya berasal dari seluruh spektrum etika. Ada politisi yang berkeinginan tulus melakukan perubahan melalui undang-undang, atau bekerja dari dalam 'perut jahanam.' Yang lain, mungkin berasal dari kepentingan pribadi—hasrat akan kekuasaan, misalnya. Motivasi, tentulah, dapat beragam, dan beberapa politisi merasa terdorong oleh keinginan untuk mengalahkan 'kejahatan'—atau lawan mereka, yang, jika iklan kampanye negatif dapat dipercaya, akan menjadi pilihan yang sangat buruk bagi pemilih. Tapi apapun alasan yang diberikan politisi dalam kampanye demi mendambakan pekerjaan itu, kita tak bisa tidak, bertanya-tanya, mengapa mereka benar-benar ingin mencalonkan diri.

Terlepas dari klise yang berkanjang bahwa semua politisi itu, pembohong yang merusak, kita berharap, para politisi dapat dipercaya dan jujur. Mungkin ini dikarenakan kita diharuskan—kita mesti memilih seseorang, dan kita ingin meyakini, bahwa kandidat yang kita pilih, lebih unggul secara moral. Demi kepentingan diri kita sendirilah, dan kebaikan yang lebih besar, memilih kandidat yang kita anggap paling bajik, dan menyangkal kandidat yang akan mudah terpengaruh oleh uang dan cuan. Dalam demokrasi Amerika, 'checks and balances' bawaan dalam sistem (bersama dengan whistle-blower, pers yang bebas, dan proses pemakzulan) telah ditetapkan untuk membantu membatasi korupsi semacam itu, dan gagasan bahwa para pemimpin, tak terjangkau hukum.
Kita berkeinginan, dan berharap, para politisi kita, sedikit lebih baik dari rata-rata. Kita mendambakan, mereka memimpin dengan keteladanan dan menjadi yang terbaik dari yang terbaik (sebuah citra yang kerapkali, kita paksakan pada mereka, dengan semangat-membara dan hagiografi, mengangkat mereka ke status setengah-dewa, dengan cara membenarkan pemberian begitu banyak kekuasaan dan meyakini bahwa mereka sanggup menggunakannya dengan bijak). Kita ingin, mereka menunjukkan etika kebajikan dan menjadi yang terbaik. Kita ingin, mereka jujur dan bertanggung jawab, peduli, dan bekerja keras demi menemukan solusi atas masalah yang kita hadapi.

Falsafah moral, terkait dengan menentukan kebajikan dan alasan di balik etika. Hukum itu, aplikasi praktis, politis, dan terkodifikasi dari etika tersebut. Di antara kedua sistem ini, terdapat etika sosial, nama formal bagi standar moral, norma, dan kode etik tak resmi, yang diharapkan dari seseorang di dunia, atau dalam masyarakat, budaya, atau komunitas tertentu.
Etika sosial, dibangun di atas nilai-nilai bersama dari banyak orang. Tetapi nilai-nilai sosial, berbeda dengan nilai-nilai individual itu.
Nilai-nilai individu itu, kebajikan-kebajikan yang dicari setiap orang, bagi dirinya sendiri, dan nilai-nilai itu, bisa beragam seperti orangnya. Nilai-nilai pribadi ini, tak serta merta menjadi nilai-nilai sosial, pula, tak menjadi bagian dari kerangka etika sosial. Hal ini lantaran maksud dari nilai itu sendiri. Nilai-nilai individu, meskipun bajik dan baik (contohnya : berani, gagah-perkasa, dan berintegritas) semata menguntungkan individu, atau setidaknya, membingkai bagaimana individu itu, harus menjalani kehidupan pribadinya. Nilai-nilai sosial, sebaliknya, secara eksplisit berkaitan dengan kesejahteraan orang lain. Dorongan untuk membantu orang lain—atau bahkan gagasan abstrak tentang 'orang lain'—yang membuat nilainya, menjadi nilai sosial. Mempunyai nilai-nilai sosial dalam benak, mempengaruhi pikiran dan perilaku individu. Individu kemudian mengambil etika ini, dan itu, pada gilirannya, membantu membangun etika sosial suatu masyarakat.
Kewajiban kepada orang lain dalam suatu komunitas inilah, yang mendorong etika sosial. Kita berkewajiban untuk membantu orang lain, baik mereka yang kurang beruntung atau tidak, sebab berbagi itu, bahan bakar masyarakat. Masing-masing dari kita, bagian dari masyarakat, dan saat kita menikmati manfaat hidup dalam masyarakat itu, kita berkewajiban mengambil bagian di dalamnya guna membantunya, berfungsi. Bagian darinya adalah, berbagi, baik secara langsung, melalui pemberian uang atau makanan kepada yang kurang beruntung, misalnya, atau tak langsung, dengan menggunakan setiap bakat dan kemampuan unik kita, agar saling-menopang, sehingga kita dapat membantu masyarakat, beroperasi, dan berkembang. Akuntabilitas sosial, juga menjadi faktor dalam etika sosial. Karena kita masing-masing memiliki peran, kita dipercaya menjalankan peran itu, dan dengan demikian, kita bertanggungjawab atas tindakan kita. Hubungan antara individu dan masyarakat ini, sangat berharga dan rapuh, sebab orang lain mengandalkanmu, dan kontribusimu untuk membantu, menjadikan masyarakat bersenandung. Penolakan berperan, memengaruhi orang lain—dan tidaklah beretika jika melanggar kebahagiaan orang lain, atau menghalangi mereka, menjalani kehidupan terbaiknya.
Meskipun setiap masyarakat atau budaya, punya standar etikanya sendiri, bagaimana hal ini dibuat atau dikembangkan sepanjang waktu? Beberapa faktor tersebut antara lain, keyakinan agama yang dominan, faktor ekonomi, dan kepraktisan. Nilai-nilai sosial yang berlaku inilah, yang membantu masyarakat mencapai tujuannya, terutama yang berhubungan dengan perdamaian dan kemakmuran. Organisasi pemerintah, kemudian menanggapi norma-norma yang muncul, dengan menetapkan undang-undang berdasarkan standar etika yang berlaku. Yang ini, bisa menjadi tugas yang sulit, sebab beberapa topik yang lebih kontroversial dalam masyarakat modern, kontroversial khususnya dikarenakan sifat etisnya, tak jelas.'

Hening sejenak, lalu sang istri bertanya, 'Bagaimana Moral dan Etika dalam perspektif Islam?' Sang lelaki menjawab, 'Kita sambung ke bagian 3.'"