Rabu, 20 Juli 2022

Mas-mas SCBD (1)

"'Busana, sebagai salah satu bentuk konsumsi yang teramat nampak, berperan utama dalam konstruksi identitas sosial. Pilihan busana memberikan bidang yang sangat baik guna mempelajari bagaimana orang menafsirkan bentuk budaya tertentu, demi tujuan mereka sendiri, yang mencakup norma-norma kuat tentang penampilan yang pantas pada saat tertentu—atau dikenal sebagai fashion atau fesyen—serta berbagai alternatif yang sangat kaya,' tanggap mas-mas SCDB—sebenarnya Sudirman Central Business District, sebuah kawasan bisnis dengan konsep pengembangan terpadu, yang terletak di Jakarta Selatan, yang terdiri dari kondominium, gedung perkantoran, hotel, pusat perbelanjaan dan hiburan. Namun dalam bahasa gaul, bermakna Sudirman, Citayam, Bogor, Depok. Istilah mas-mas atau mbak-mbak SCBD, identik dengan orang yang mengenakan outfit branded yang mahal, mulai dari lanyard, tas, dan sepatu—saat aku menyapanya dengan kata yang, kita semua telah akrab, 'Mas, gantengnya k'lewatan, munduran dikit dong!" Laluna bercerita setelah mengucapkan Basmalah dan Salam.

"'Salah satu penanda status sosial dan gender yang sangat terlihat,' kata mas SCBD, 'dan karenanya berguna dalam mempertahankan atau menumbangkan batas-batas simbolis, Busana merupakan indikasi bagaimana orang-orang di era yang berbeda, memandang derajat mereka dalam struktur sosial dan batas status yang disepakati. Pada abad-abad sebelumnya, Busana itu, sarana utama mengidentifikasi diri di ruang publik. Tergantung pada eranya, berbagai aspek identitas diekspresikan dalam pakaian di Eropa dan Amerika Serikat, termasuk pekerjaan, identitas regional, agama, dan strata sosial. Item pakaian tertentu, yang dikenakan oleh semua orang, semisal topi, sangat penting, mengirimkan sinyal instan status sosial yang dianggap asal atau status sosial yang diidamkan.Variasi dalam pilihan busana, indikator yang hampir tak kentara, tentang bagaimana sebenarnya, yang dialami berbagai jenis komunitas dan derajat yang berbeda dalam masyarakat.

Belakangan ini, para sosiolog mulai memahami kekuatan artefak menjalankan semacam 'agensi' budaya, yang mempengaruhi perilaku dan sikap sosial, dengan cara yang sering tak mampu kita kenali. Teknologi yang diwujudkan dalam mesin, arsitektur, dan komputer—bila menyebutkan beberapa nama—merupakan pengaruh besar dalam kehidupan modern dan cenderung mengaburkan fakta bahwa artefak nonteknologi, telah mempengaruhi perilaku manusia selama berabad-abad. Busana sebagai artefak, 'menciptakan' perilaku melalui kapasitasnya, untuk memaksakan identitas sosial dan memberdayakan manusia agar menegaskan identitas sosial laten. Di satu sisi, gaya busana, dapat menjadi pengekang, membatasi, secara harfiah, gerakan dan perilaku seseorang, seperti halnya busana wanita selama era Victoria. Selama berabad-abad, pakaian seragam telah digunakan untuk memikulkan identitas sosial pada subjek yang kurang lebih, bersedia mengenakannya. Sebagai alternatif, busana dapat dilihat sebagai gudang makna yang luas, yang dapat dimanipulasi atau direkonstruksi meningkatkan rasa agensi seseorang. Wawancara oleh psikolog sosial menunjukkan bahwa orang mengaitkan busana 'favorit' mereka dengan kapasitas untuk mempengaruhi cara mengekspresikan diri dan berinteraksi dengan orang lain.

Perubahan busana dan wacana yang melingkupi pakaian, menunjukkan adanya pergeseran hubungan sosial dan ketegangan antar kelompok sosial yang berbeda, yang menampilkan diri dengan cara yang berbeda, di ruang publik. Pada abad-abad sebelumnya, peningkatan ketersediaan pakaian bagi anggota kelas sosial yang berbeda, yang terkait dengan penurunan bertahap dalam biaya pakaian, mempengaruhi asal-usul dan aksesibilitas gaya modis. Pada akhir Abad Pertengahan, busana di masyarakat Eropa, mulai menyerupai yang kita kenal sekarang: gaun tak berbentuk digantikan oleh pakaian yang disesuaikan dan pas, yang bentuknya, umumnya dipengaruhi oleh mode, yang berasal dari istana raja atau kelas atas. Di beberapa negara, undang-undang barang mewah, menentukan jenis bahan dan ornamen yang dapat digunakan oleh anggota kelas sosial yang berbeda. Dalam struktur sosial yang relatif kaku, upaya menggunakan busana, menegosiasikan batasan status sama kontroversialnya dengan upaya analogi menggunakan pakaian guna menegosiasikan batasan gender di abad kedua puluh.

Hingga Revolusi Industri dan munculnya pakaian buatan mesin, Busana, umumnya termasuk di antara harta paling berharga seseorang. Pakaian baru tak dapat diakses oleh orang miskin, yang mengenakan pakaian bekas, yang sering melewati banyak tangan sebelum mencapai mereka. Seorang miskin, kemungkinan hanya memiliki satu setelan pakaian. Misalnya, di antara 278 orang yang ditangkap di dan sekitar Paris pada tahun 1780, cuna dua puluh delapan orang yang punya lebih dari satu pakaian. Mereka yang cukup kaya agar memiliki lemari pakaian yang cukup besar, menganggapnya sebagai bentuk properti yang berharga untuk diberikan kepada kerabat dan pelayan yang layak, ketika mereka meninggal. Kain sangat mahal dan sangat berharga, sehingga menjadi bentuk mata uang dan sering kali menggantikan emas sebagai bentuk pembayaran bagi pelayanan. Tatkala dana sangat terbatas, pakaian digadaikan, bersama dengan permata dan barang berharga lainnya.

Dalam masyarakat praindustri, perilaku berbusana, menunjukkan dengan sangat tepat, kedudukan seseorang dalam struktur sosial. Busana tak semata mengungkapkan kelas sosial dan jenis kelamin, melainkan pula, kerapkali : pekerjaan, afiliasi agama, dan asal daerah. Setiap pekerjaan punya kostum tertentu. Di beberapa negara, setiap desa dan wilayah di pedesaan, bervariasi dalam kostumnya, pada periode tersebut. Sebagai masyarakat industri Barat, efek stratifikasi sosial pada perilaku busana, berubah. Ekspresi kelas dan gender lebih diutamakan ketimbang komunikasi jenis informasi sosial lainnya. Esensi stratifikasi sosial dalam masyarakat industri, dapat dipahami dalam hal hierarki pekerjaan, pekerjaan menjadi indikator kontrol atas properti dan sumber-daya ekonomi lainnya. Busana, dalam pekerjaan tertentu, menghilang, dan digantikan oleh busana bagi jenis pekerjaan, dan dengan seragam, yang menandakan peringkat tertentu dalam suatu organisasi. Identifikasi regional menjadi kurang menonjol.

Dalam masyarakat industrialisasi abad kesembilan belas, afiliasi kelas sosial, merupakan salah satu aspek yang paling menonjol dari identitas seseorang. Perbedaan perilaku berbusana antar strata sosial, merupakan indikasi karakter hubungan interpersonal antar kelas sosial dalam masyarakat industrialisasi. 'Jurang' sosial antara kelas menengah dan atas serta kelas bawah, sangat lebar. Di akhir abad ini, kelas bawah merupakan mayoritas penduduk pada periode ini—73 persen di Prancis, 85 persen di Inggris; dan 82 persen di Amerika Serikat. Kontak antara kelas ini dan kelas sosial lainnya, terjadi sebagian besar melalui layanan yang dilakukan oleh anggota kelas pekerja kepada kelas menengah dan atas. Kontak seperti itu, dibatasi, sebagian besar, bagi pengrajin dan pedagang, yang umumnya kaum lelaki, dan pelayan, yang biasanya perempuan.

Bahkan di abad kesembilan belas, busana mewakili sebagian besar harta milik keluarga kelas pekerja. Di Prancis, setelan jas lelaki kelas pekerja, yang dibeli pada saat pernikahan pemiliknya, sering kali diharapkan bertahan seumur hidup dan dikenakan dalam berbagai tujuan, termasuk kebaktian gereja di hari Minggu, pernikahan, dan pemakaman. Seorang wanita muda dan kerabat wanitanya, biasanya menghabiskan beberapa tahun mempersiapkan baju pengantinnya, yang merupakan bagian penting dari sumber-daya yang ia sumbangkan untuk rumah tangga masa depannya dan yang berisi baju, pakaian dalam, dan seprai yang dimaksudkan agar bertahan selama beberapa dekade. Di Inggris, keluarga miskin membentuk klub dengan tujuan menabung agar dapat membeli pakaian. Busana relatif tak tersedia bagi kelas pekerja, namun sangat mudah diakses oleh kelas atas, bagi siapa fashion diciptakan. Anggota kelas lain yang ingin berpenampilan modis, diminta agar meniru kalangan ini.

Jelang akhir abad kesembilan belas, busana, secara bertahap menjadi lebih murah dan karenanya, lebih mudah diakses oleh level kelas bawah. Sebagai barang konsumen pertama yang tersedia secara luas, busana terkadang menjadi kesenangan bagi orang kaya dan miskin. Wanita muda kelas pekerja, yang bekerja menghabiskan upah mereka untuk barang-barang modis. Wanita kelas menengah dan atas, mencurahkan sebagian besar pendapatan keluarga mereka untuk membeli pakaian.

Sejarawan kostum telah menyimpulkan bahwa busana didemokratisasi selama abad kesembilan belas, karena semua kelas sosial, mengadopsi jenis pakaian yang serupa. Mereka berpendapat bahwa transformasi ini, paling menonjol di Amerika Serikat, lantaran karakter struktur sosialnya. Struktur kelas dalam masyarakat industrialisasi selama abad kesembilan belas, tak serupa. Karena kelompok orang dengan posisi serupa dalam hierarki kelas cenderung berbagi pengalaman yang berbeda dan menentukan hidup, variasi dalam hierarki kelas terlihat dalam perilaku berbusana. Amerika Serikat pada abad kesembilan belas, secara luas diyakini sebagai masyarakat tanpa kelas, yang ditandai dengan tingkat mobilitas ke atas yang tinggi. Penilaian Tocqueville tentang negara, pada tahun 1840, sebagai salah satu dimana, 'setiap saat, seorang pelayan dapat menjadi majikan' tampaknya mencerminkan sikap populer pada saat itu. Obsesi fashion di kalangan wanita Amerika pada abad kesembilan belas, telah dikaitkan dengan tingkat tinggi 'persaingan status' yang ditimbulkan oleh 'sifat berubah-ubah masyarakat Amerika, perjuangan universal menggapai keberhasilan, kurangnya gelar kebangsawanan, dan masa lalu yang bersahaja bagi kebanyakan orang Amerika. Ironisnya, meskipun ekspektasi mobilitas ke atas lebih tinggi di Amerika dibanding di negara lain, namun tidak dengan tingkat mobilitas yang sebenarnya.

Sejumlah besar imigran di paruh kedua abad kesembilan belas, menjadikan busana di Amerika Serikat, sangat menonjol. Imigran melepaskan diri dari pakaian tradisional mereka seketika mereka tiba, menggunakan busana sebagai sarana membuang identitas lamanya dan membangun yang baru. Amerika Serikat mengalami pula tingkat mobilitas geografis yang tinggi oleh migrasi internal dari Timur ke Barat, yang bermakna bahwa banyak orang membangun identitas di tempat yang baru. Di Prancis, ada variasi yang sangat besar dalam lingkungan sosial. Di Paris, yang berada di garis depan perubahan sosial dan modernitas, serta fokus dalam migrasi internal, permintaan akan busana modis sangat tinggi. Sebaliknya, di kota-kota provinsi, yang merupakan tiruan pucat Paris, dan komunitas petani di pedesaan, yang tetap mendalami tradisi, busana baru, kurang dapat diakses.

Fashion, yang tampaknya menawarkan kemungkinan bagi seseorang agar meningkatkan strata sosialnya, hanyalah salah satu aspek busana selama periode ini. Hal ini hendaknya dipandang\dalam kaitannya dengan berbagai cara busana digunakan sebagai bentuk kontrol sosial, melalui pemberlakuan seragam dan aturan berbusana. Meskipun busana pria lebih sederhana bila dibandingkan dengan abad sebelumnya, busana di tempat kerja, menjadi lebih berbeda lantaran seragam menjamur di organisasi birokrasi guna menunjukkan peringkat dalam hierarki organisasi. Di tempat kerja, perbedaan kelas sosial dibuat semakin eksplisit dengan penggunaan seragam dan aturan berpakaian.

Pada abad kedua puluh, Busana secara bertahap kehilangan nilai ekonominya, namun tak secara simbolis, dengan ekspansi besar-besaran pakaian jadi di semua tingkat harga. Ketersediaan pakaian murah, bermakna bahwa semua yang bersumber-daya terbatas, dapat menemukan atau menciptakan style pribadi yang mengekspresikan persepsi mereka tentang identitas mereka dibanding meniru style yang awalnya dijual kepada orang yang lebih kaya. Sementara, di masa lalu, gaya jalanan kelas pekerja sesekali didokumentasikan, proliferasi gaya jalanan yang mewakili beragam subkultur di dalam kelas pekerja, hanya terjadi dalam lima puluh tahun terakhir. Secara teoritis, fashion tersedia bagi orang-orang di segala strata sosial, baik untuk menciptakan gaya yang mengekspresikan identitas mereka maupun guna mengadopsi gaya yang dibuat oleh perusahaan pakaian.

Alam fashion telah berubah, serta cara orang meresponsnya. Fashion abad kesembilan belas terdiri dari standar penampilan yang jelas, yang diadopsi secara luas. Fashion kontemporer lebih ambigu dan beragam, sesuai dengan sifat masyarakat pasca-industri kontemporer yang sangat terfragmentasi. Kaiser, Nagasawa, dan Hutton merujuk pada 'rangkaian kompleks dan beragam style busana dan penampilan pribadi yang 'modis' secara bersamaan…. berbagai pilihan di pasar berkontribusi pada keadaan membingungkan yang berbatasan dengan hiruk-pikuk.' Pilihan busana, mencerminkan kompleksitas cara kita memandang hubungan kita, satu sama lain, dalam masyarakat kontemporer.
[Bagian 2]