Selasa, 19 Juli 2022

Anjing Penjaga yang Lembut (2)

"'Frasa 'watchdog' yang terkait dengan pers, berakar pada ide-ide pasar bebas yang sangat rasional dan manifestasi publik oleh individu.' sambung Ragotin, 'Jadi, media atau pers itu, anjing penjaga yang lembut bagi demokrasi. Warganegara yang memberdayakan politisi, dan punya kendali atas mereka, menyampaikan sebagian dari kekuatan ini, dan jurnalis. Dengan demikian, dua fungsi utama memenuhi jurnalis: rakyat secara layak terinformasi dan pemantauan pekerjaan para politisi. Pemantauan melibatkan verifikasi terus-menerus dan mengekspos kritik terhadap tindakan dan kegiatan politisi.
Menginformasikan bermakna mendukung keputusan yang dipercaya ketika bermanfaat, dan mengkritiknya tatkala menghasilkan lebih banyak mudharat dibanding maslahatnya. Namun keduanya, seyogyanya disusun semata demi kepentingan para pembaca, yang pada titik tertentu, bakal menjadi pemilih. Oleh karenanya, ada dua cara dimana media dapat berhubungan dengan kekuatan politik: politisi ingin melipatgandakan kekuatanmu, dan jurnalis berkewajiban melawan ketegangan yang berasal darinya, dan itu lantaran warga negara merupakan subjek informasi yang cacat, yang berasal dari sisi kekuatan politik. Para politisi mengikuti, sehingga mereka menyamarkan tindakan mereka, dan jurnalistik dirancang untuk mendukung debat publik dan menentukan publik agar berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.

Sejak zaman kuno, tekanan pers menyatakan keprihatinan politik dan agama. Ia tampil ke depan dan terutama politik, tetapi kemunculannya, tak diinginkan para penguasa. Sampai tahun 1920-an, tiga dari abad ke-19, ketika muncul surat kabar bagi masyarakat umum, informasi di media menyebutkan bahwa bidang keuangan dan elit aristokrat, bankir dan bangsawan ekonomi atau militer, punya kendali atas sumber-sumber komunikasi.

Munculnya demokrasi modern dan dua konsep fundamental: kebebasan dan kesetaraan, telah mengubah persepsi tentang dominasi media. Meski sedikit lepas dari tekanan politik dengan munculnya pemikiran pencerahan, proses pembebasan sejatinya dilaksanakan dengan perluasan komunikasi di ruang publik, yaitu ketika ada kemungkinan menyamakan akses informasi politik. Sejak awal, pers telah dibredel dan dikendalikan oleh para politisi.

Kebebasan pers benar-benar telah terjadi hingga akhir abad ke-19, ruang Anglo-Saxon, dimulai dari gagasan John Locke—yang biasa disebut sebagai Bapak Liberalisme—yang mengatakan bahwa kebebasan manusia tak boleh dibatasi oleh Filsuf Inggris yang dikenal pada periode Victoria, John Stuart Mill, salah seorang pemikir liberal paling berpengaruh abad ke-20, 'kemerdekaan' atau 'Kebebasan pers' melihat kebebasan pers sebagai cara kebebasan berbicara warga negara. Dengan demikian, setiap selungkup pembicaraan berubah menjadi selungkup kebebasan sipil. Jurnalis, karenanya, menjadi perwakilan hak-hak alami warga negara, ia tak punya hak superior atas orang lain, melainkan ia, individu yang diberkahi dengan berbagai kemampuan, yang membantunya mengkomunikasikan pendapat mereka kepada orang lain.
Informasi tentang hak berbicara dan Walter Lippmann, yang berpendapat bahwa kebenaran terungkap, hanya jika ada perdebatan bebas yang sedang berlangsung, tak boleh ditekan oleh batasan apapun. Pers tak bisa bebas kecuali ia dijamin oleh lingkungan ekonomi yang bebas dan kompetitif.

Sementara Edmund Burke menyebut media, beberapa abad yang lalu, sebagai 'Fourth Estate' karena perannya sebagai penyeimbang pemerintah otoriter, konsepsi media sebagai cabang pemerintahan keempat, terkait dengan konteks Amerika Serikat. Seperti dalam rumusan Burke, menyebut media sebagai cabang pemerintahan keempat, menarik perhatian pada kekuatannya yang besar. Memenangkan pemilihan politik secara efektif, tak mungkin tanpa dukungan media, atau setidaknya, perhatiannya. Mengkonseptualisasikan media sebagai cabang pemerintahan keempat, pula menarik perhatian pada fakta bahwa media itu, satu-satunya cabang tanpa penyeimbang; ia tak tunduk pada sistem konstitusional checks and balances. Sebaliknya, ia hanya tunduk pada kekuatan pribadi, ekonomi, pemilik dan pengiklan.

Selagi legislatif bermaksud menoreh undang-undang, eksekutif menerapkannya, dan yudikatif menegakkan dan menafsirkannya, maka media ditujukan agar mempertahankan ruang publik dimana undang-undang pertama kali diusulkan dan diperdebatkan. Agar merawat ruang publik, media hendaknya menyediakan pasar 'gagasan' atau 'ide.' Meskipun slogan ini telah mengembangkan gloss ekonomi liberal dari beberapa komentator—meresepkan bahwa perusahaan media tak diatur menyediakan 'pasar bebas' produk media—konsep aslinya terbatas pada nilai-nilai demokrasi, bukan ekonomi. Artinya, metafora pasar ide awalnya mengacu pada ruang publik dimana semua ide dapat dikemukakan, didiskusikan, dan diperdebatkan—bukan pasar media laissez faire dimana perusahaan media dapat melakukan apa yang mereka inginkan tanpa pengawasan pemerintah. Metafora ini biasanya ditelusuri ke John Milton dan John Stuart Mill, meski mereka tak secara eksplisit menggunakannya. Keduanya mungkin akan memusuhi interpretasi 'pasar ide' sebagai pasar media komersial yang tak diatur; sebaliknya, poin mereka ialah bahwa harapan terbaik bagi masyarakat yang berpemerintahan mandiri, memperkenankan pembicara dari semua persuasi politik dan ideologis ke dalam ruang publik.

Konsepsi tentang pasar ide ini, mungkin secara akurat menggambarkan masa lalu, dimana siapapun yang ingin memulai surat kabar atau majalah yang kompetitif, dapat melakukannya dengan sedikit kesulitan, tetapi tak demikian halnya hari ini. Pertama, ekonomi media mencegah semua orang, kecuali yang paling kaya atau punya banyak dana, berpartisipasi secara efektif dalam ruang publik modern. Kedua, perkembangan teknologi telah mengubah lapangan permainan,' imbuh Ragotin seraya mengakhiri perbincangannya."

"Sementara itu, Miss Tabby bermeditasi siang dan malam, akhirnya sebuah gagasan pun muncul: Nyonya rumah punya seekor burung linnet—burung finch yang berwarna cokelat keabu-abuan dengan dada dan dahi kemerahan —yang membuatnya berbeda, dengan alunan musik kicauan liarnya. Sang Nona Puss, di suatu pagi buta, mengendap-ngendap dalam penyamarannya, menggaruk dan membuka kandang, mencekik sang musisi, dan dalam keadaan itu, meletakkannya ke dalam kandang sang Anjing.

Bayangkan, betapa resahnya sang nyonya saat ia merindukan sang linnet; seisi rumah gempar; mereka mencari di setiap parit dan sudut, akhirnya, mereka menemukan tubuh almarhum, tergeletak di dekat Ragotin. 'Hwadeh! Pengkhianat, matilah kau!,' ucap sang nyonya, tiada ampun bagi yang tak tahu berterima kasih.

Engkau tak dapat menghentikan seorang jenderal kecuali dengan batalion tempur. Para pelayan, tahu betul bahwa 'the watchdog' tak bersalah. Mereka berkumpul dan membuktikan bahwa Nona Puss-lah pelaku yang sebenarnya. 'Kalau begitu, oke!' kata sang Nyonya, 'Aku mengampuni mereka berdua, dengan syarat mereka harus saling memaafkan dan menjalankan tugas mereka sebagai 'buzzer' dan 'influencer' di rumah ini.'

Maka, dua makhluk yang awalnya bermusuhan karena masalah sepele ini, berdamai dan memulai babak baru dengan bernyanyi, 
Bukan maksudku, bukan maksudmu
Untuk selalu meributkan hal yang itu-itu saja

Mengapa kita saling membenci?
Awalnya kita selalu memberi
Apakah mungkin hati yang murni
Sudah cukup berarti?

Ataukah kita belum mencoba
Memberi waktu pada logika?
Jangan seperti selama ini
Hidup bagaikan air dan api *)

Sebagai penutup, Laluna mengimbuhkan, 'Di kejauhan, sepasang mata mengawasi kedua makhluk yang sedang bersuka-ria itu. Sang tikus, punya konsep menarik, yang menurutnya sebagai 'win-win solution.' Ia akan menawarkan sebuah konsep yang disebut 'Media Oligopoli' dengan tagline 'Who controls the data will rule the new world order post Industry 4.0. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Peter Beatties, Social Evolution, Political Psychology and the Media in Democracy, MacMillan
- Anna Maria Predilla, Media, The Gentle Guard Dog of Democracy, Annals of the University of Craiova for Journalism, Communication and Management
- Sieur Ded La Motte, One Hundred New Court Fables, Pater-Nofter-Row
*) "Air dan Api" karya Mohammad Amil Hussein